Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan Konseling Ibu Balita terhadap Status Gizi Balita Gizi Kurang Dari Keluarga Miskin di Kota Tebing Tinggi

(1)

PENGARUH PROGRAM PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN KONSELING TERHADAP STATUS GIZI BALITA YANG

MENGALAMI GIZI KURANG DARI KELUARGA MISKIN KOTA TEBING TINGGI 2011

TESIS

OLEH

DINA KAMARINA 097032025/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

THE INFLUENCE OF SUPPLEMENTARY FOOD ADMINISTRATION PROGRAM AND COUNSELING ON THE NUTRITIONAL STATUS

OF CHILDREN UNDER FIVE YEARS OLD OF THE POOR FAMILY WITH MALNUTRITION IN THE CITY OF

TEBING TINGGI IN 2011

TESIS

OLEH

DINA KAMARINA 097032025/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGARUH PROGRAM PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN KONSELING TERHADAP STATUS GIZI BALITA YANG

MENGALAMI GIZI KURANG DARI KELUARGA MISKIN KOTA TEBING TINGGI 2011

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

OLEH

DINA KAMARINA 097032025/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH PROGRAM PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN KONSELING TERHADAP STATUS GIZI BALITA YANG MENGALAMI GIZI KURANG DARI

KELUARGA MISKIN KOTA TEBING TINGGI 2011

Nama Mahasiswa : Dina Kamarina Nomor Induk Mahasiswa : 097032025

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Ketua

) (Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji pada Tanggal : 4 April 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si Anggota : 1. Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes

2. Dra. Jumirah, Apt., M.Kes 3. Drs. Tukiman, M.K.M


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PROGRAM PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DAN KONSELING TERHADAP STATUS GIZI BALITA YANG

MENGALAMI GIZI KURANG DARI KELUARGA MISKIN KOTA TEBING TINGGI 2011

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dalam acuan naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2012


(7)

ABSTRAK

Pemantauan pertumbuhan anak balita berdasarkan capaian hasil penimbangan pada tahun 2006 balita naik berat badannya 73%, tahun 2007 naik mencapai 80,96%, tahun 2008 mencapai 85,76% dari balita yang ditimbang. Sejalan dengan fenomena tersebut dan dari hasil penimbangan ditemukan balita Bawah Garis Merah (BGM) yang kasusnya semakin menurun setiap tahun dan jauh dibawah target. Tahun 2006 ditemukan balita Bawah Garis Merah 3,24% dan tahun 2007 naik 4,98%, tahun 2008 mengalami penurunan 2,25%. Tahun 2009 ditemukan 117 balita (1,08%) dan tahun 2010 sampai bulan Juni mengalami kenaikan sebesar 260 balita (2,12%). Di bulan Agustus dari 11626 orang anak ditemukan 2 orang (0,03%) gizi buruk dan sebanyak 199 orang (1,66 %) gizi kurang.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan Konseling ibu balita terhadap status gizi balita gizi kurang dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi. J

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan status gizi balita sebelum dan sesudah dilakukan program makanan tambahan dan ada perbedaan yang signifikan pola asuh balita dalam pemberian makan sebelum dan sesudah dilakukan konseling gizi pada keluarga miskin di Kota Tebing..

enis penelitian adalah penelitian evaluasi dengan desain one group pre-test and post-test design. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober s/d 18 Desember 2011. Populasi adalah balita umur 6-59 bulan yang dijaring melalui kunjungan ke posyandu maupun hasil temuan lapangan pada saat kunjungan ke rumah sebanyak 199 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data pada anak balita dilakukan dengan pengukuran Tinggi Badan dan penimbangan Berat Badan sebelum dan sesudah PMT dan pada ibu balita dilakukan wawancara tentang pola asuh ibu dengan menggunakan kuesioner sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) melakukan intervensi. Data dianalisis menggunakan paired-samples T Test

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tebing Tinggi menggalakkan kembali program makanan tambahan khususnya susu secara rutin kepada balita setiap penyelenggaraan posyandu dan memberikan penyuluhan dan kunjungan rumah secara rutin serta melakukan PMT lanjutan bagi balita yang belum berubah status gizinya.


(8)

ABSTRACT

The monitoring of the growth of children under five years old is based on the result of weighing their body weight which increased for 73% in 2006, 80.96% in 2007, and 85.76% in 2008. Yet, based on the result previously mentioned, it was found out that cases of the children under five years old of Under the Red Line decreased every year and far below the target. In 2006, it was found out that the percentage of the children under five years old of Under the Red Line was 3.24%, in 2007 increased to 4.98%, and in 2008 decreased to 2.25%. In 2009, there were 117 children under five years old (1.08%), in up to June 2010, their number increased to 260 (2.12%). In August, of the 11626 children under five years old, 2 (0.03%) were found withsevere undernutrition and 199 (1.66%) withunder nutrition.

The purpose of this study conducted from September to November 2011 was to analyze the influence of supplementary food administration and counseling for mother on the nutritional status of children under five years old withunder nutrition belong to the poor family in the City of Tebing Tinggi. This research had done from October 18, 2011 to December 18, 2012.

The population of this study was all of the 199 children of 6 – 59 months old found through their visit to the Posyandu (Integrated Health Service Post) or during the health workers’ door-to-door visits and of the 199 children found were selected to be the samples for this study. The data were obtained through the questionnaires interview to their mothers (pre-test) and after (post-test) doing some intervention. The data were analyzed by using paired-samples t-test.

The result of this study showed that there was a significant difference between the nutritional status of the children under five years old before and after the administration of additional food and there was a significant difference between the nursing pattern for the children under five years old in terms of food administration before and after the provision of counseling on nutrition to the poor families in the City of Tebing Tinggi. The management of Tebing Tinggi Health Service is suggested to re-socialize the additional food program especially the routine provision of milk to the children under five years old in any activity implemented by Posyandu and to provide extension, to do a routine door-to-door visit, and to do a continuous supplementary food program for the children under five years old with nutritional status unchanged.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberi rahmat dan hidayat-Nya sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan Konseling Ibu Balita terhadap Status Gizi Balita Gizi Kurang Dari Keluarga Miskin di Kota Tebing Tinggi”

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M&H., M.Sc (CTM)., Sp.A, (K).

2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Dr. Drs. Surya Utama, M.S atas kesempatan penulis menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

3. Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si dan Sekretarisnya Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si.

4. Ketua Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, M.Si dan Anggota Komisi Pembimbing Ernawati Nasution, S.K.M, M.Kes atas segala ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan, saran dan perhatian selama proses proposal hingga penulisan tesis ini selesai.

5. Tim Penguji Dra. Jumirah, Apt., M.Kes dan Drs. Tukiman, M.K.M yang telah banyak memberikan saran, bimbingan dan perhatian selama penulisan tesis.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis dalam rangka menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

7. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada orangtua Ayahanda almarhum Usman Ahmad dan Ibunda Rohani Br. Butar-butar serta keluarga besar yang telah memberikan dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.


(11)

9. Teristimewa buat Suami Tercinta Ir. Hermansyah, dan Ananda Muhammad Karami, Amalia Sabrina, Safira Hanifati atas dorongan materi dan semangat hingga penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi ini.

10. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan tesis.

Akhirnya saya menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini, dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Mei 2012 Penulis


(12)

RIWAYAT HIDUP

Dina Kamarina, lahir pada tanggal 6 Juni 1964 di Bulu Cina Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, beragama Islam, bertempat tinggal di Jalan Bajak VI No. 48 HS Medan. Menikah dengan Ir. Hermansyah pada tanggal 20 Mei 1990 dan dikarunia 1 orang putra dan 2 orang putri, yaitu Muhammad Karami, Amalia Sabfrina dan Safira Hanifati.

Pendidikan, SD Medan Putri Medan (1976), SMP Tunas Kartika (1980), SMAN 3 Medan (1983), Fakultas Kedokteran Gigi USU (1990).

Bekerja sebagai Staf Puskesmas Kota Tebing Tinggi pada tahun 1992 sampai 2005, menjabat sebagai Kepala Puskesmas TI Bonjol Kota Tebing Tinggi Tahun 2005-2006, sebagai Kepala Puskesmas Rantau Laban Kota Tebing Tinggi tahun 2006-2007, sebagai Kabid Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi tahun 2007-2010 dan sebagai Kepala Kantor Pemberdayaan Perempuan Anak dan Keluarga Berencana Kota Tebing Tinggi tahun 2011 sampai sekarang.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Hipotesis ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Pemberian Makanan Tambahan ... 11

2.2 Pengaruh PMT terhadap Status Gizi Balita ... 19

2.3 Komunikasi... 22

2.4 Konseling ... 23

2.5 Konseling Gizi ... 30

2.6 Manfaat Konseling ... 35

2.7 Faktor Penghambat Konseling ... 39

2.8 Pengaruh Konseling terhadap Pertambahan Berat Badan Balita 40 2.9 Pengaruh PMT dan Konseling terhadap Pertambahan Berat Badan Balita ... 41

2.10 Kemiskinan ... 42

2.11 Landasan Teori ... 44

2.12 Kerangka Konsep ... 48

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Jenis Penelitian ... 50

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.3 Populasi dan Sampel ... 52

3.3.1 Populasi ... 52

3.3.2 Sampel ... 52


(14)

3.4.1 Data Primer ... 52

3.4.2 Data Sekunder ... 53

3.5 Variabel dan Definisi Operasional 3.6 Metode Pengukuran ... 54

... 53

3.7 Metode Analisis Data ... 55

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 57

4.2 Karakteristik Umur Balita ... 60

4.3 Karakteristik Responden ... 61

4.4 Status Gizi Balita Sebelum dan Sesudah Program Makanan Tambahan ... 62

4.5 Pola Asuh Sebelum dan Sesudah Konseling Gizi ... 64

4.6 Pola Asuh terhadap Status Gizi ... 66

4.7 Pengaruh Program Makanan Tambahan terhadap Status Gizi .. 66

4.8 Pengaruh Konseling terhadap Status Gizi ... 67

BAB 5. PEMBAHASAN ... 68

5.1. Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan terhadap Status Gizi Balita ... 68

5.2. Pengaruh Konseling Gizi terhadap Pola Asuh ... 71

5.3. Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Balita ... 74

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 76

6.1 Kesimpulan ... 76

6.2 Saran ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 78


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

4.1. Komposisi Zat Gizi Yang Terkandung Cerelac dan SGM

sebagai Program Makanan Tambahan ... 59 4.2 Distribusi Karakteristik Umur Balita Gizi Kurang Berdasarkan

Jenis Kelamin di Kota Tebing Tinggi ... 60 4.3. Distribusi Karakteristik Umur Balita Gizi Kurang Berdasarkan

Pola Asuh di Kota Tebing Tinggi ... 61 4.4. Distribusi Responden dari Keluarga Miskin Berdasarkan

Karakteristik ... 61 4.5. Distribusi Status Gizi Balita Sebelum dan Sesudah Program

Makanan Tambahan di Kota Tebing Tinggi ... 63 4.6. Hasil Uji t test Status Gizi Balita Sebelum dan Sesudah Program

Makanan Tambahan ... 64 4.7. Distribusi Pola Asuh Responden Sebelum dan Sesudah

Dilakukan Konseling di Kota Tebing Tinggi ... 65 4.8. Hasil Uji t test Pola Asuh Sebelum dan Sesudah Konseling Gizi . 65 4.9. Distribusi Pola Asuh Responden Sebelum dan Sesudah

Dilakukan Konseling di Kota Tebing Tinggi ... 66 4.10. Distribusi Status Gizi Balita Sebelum dan Sesudah Dilakukan


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman 2.1. Mekanisme Perubahan Perilaku ... 26 2.2. Kerucut Edgar Dale ... 27 2.3. Pohon Masalah Faktor-Faktor yang Memengaruhi Status Gizi Balita

(Modifikasi dari UNICEF, 1998) ... 46 2.4. Kerangka Konsep Penelitian ... 48 3.1. Rancangan Penelitian ... 51


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 Ilmu

KesehatanMasyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat USU... 78

2. Surat Telah Selesai Meneliti dari Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi ... 79

3. Kuesioner Penelitian ... 81

4. Pengolahan Data ... 91

5. Master Data ... 101


(18)

ABSTRAK

Pemantauan pertumbuhan anak balita berdasarkan capaian hasil penimbangan pada tahun 2006 balita naik berat badannya 73%, tahun 2007 naik mencapai 80,96%, tahun 2008 mencapai 85,76% dari balita yang ditimbang. Sejalan dengan fenomena tersebut dan dari hasil penimbangan ditemukan balita Bawah Garis Merah (BGM) yang kasusnya semakin menurun setiap tahun dan jauh dibawah target. Tahun 2006 ditemukan balita Bawah Garis Merah 3,24% dan tahun 2007 naik 4,98%, tahun 2008 mengalami penurunan 2,25%. Tahun 2009 ditemukan 117 balita (1,08%) dan tahun 2010 sampai bulan Juni mengalami kenaikan sebesar 260 balita (2,12%). Di bulan Agustus dari 11626 orang anak ditemukan 2 orang (0,03%) gizi buruk dan sebanyak 199 orang (1,66 %) gizi kurang.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh Pemberian Makanan Tambahan dan Konseling ibu balita terhadap status gizi balita gizi kurang dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi. J

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan status gizi balita sebelum dan sesudah dilakukan program makanan tambahan dan ada perbedaan yang signifikan pola asuh balita dalam pemberian makan sebelum dan sesudah dilakukan konseling gizi pada keluarga miskin di Kota Tebing..

enis penelitian adalah penelitian evaluasi dengan desain one group pre-test and post-test design. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober s/d 18 Desember 2011. Populasi adalah balita umur 6-59 bulan yang dijaring melalui kunjungan ke posyandu maupun hasil temuan lapangan pada saat kunjungan ke rumah sebanyak 199 orang dan seluruh populasi dijadikan sampel penelitian. Pengumpulan data pada anak balita dilakukan dengan pengukuran Tinggi Badan dan penimbangan Berat Badan sebelum dan sesudah PMT dan pada ibu balita dilakukan wawancara tentang pola asuh ibu dengan menggunakan kuesioner sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) melakukan intervensi. Data dianalisis menggunakan paired-samples T Test

Disarankan kepada Dinas Kesehatan Tebing Tinggi menggalakkan kembali program makanan tambahan khususnya susu secara rutin kepada balita setiap penyelenggaraan posyandu dan memberikan penyuluhan dan kunjungan rumah secara rutin serta melakukan PMT lanjutan bagi balita yang belum berubah status gizinya.


(19)

ABSTRACT

The monitoring of the growth of children under five years old is based on the result of weighing their body weight which increased for 73% in 2006, 80.96% in 2007, and 85.76% in 2008. Yet, based on the result previously mentioned, it was found out that cases of the children under five years old of Under the Red Line decreased every year and far below the target. In 2006, it was found out that the percentage of the children under five years old of Under the Red Line was 3.24%, in 2007 increased to 4.98%, and in 2008 decreased to 2.25%. In 2009, there were 117 children under five years old (1.08%), in up to June 2010, their number increased to 260 (2.12%). In August, of the 11626 children under five years old, 2 (0.03%) were found withsevere undernutrition and 199 (1.66%) withunder nutrition.

The purpose of this study conducted from September to November 2011 was to analyze the influence of supplementary food administration and counseling for mother on the nutritional status of children under five years old withunder nutrition belong to the poor family in the City of Tebing Tinggi. This research had done from October 18, 2011 to December 18, 2012.

The population of this study was all of the 199 children of 6 – 59 months old found through their visit to the Posyandu (Integrated Health Service Post) or during the health workers’ door-to-door visits and of the 199 children found were selected to be the samples for this study. The data were obtained through the questionnaires interview to their mothers (pre-test) and after (post-test) doing some intervention. The data were analyzed by using paired-samples t-test.

The result of this study showed that there was a significant difference between the nutritional status of the children under five years old before and after the administration of additional food and there was a significant difference between the nursing pattern for the children under five years old in terms of food administration before and after the provision of counseling on nutrition to the poor families in the City of Tebing Tinggi. The management of Tebing Tinggi Health Service is suggested to re-socialize the additional food program especially the routine provision of milk to the children under five years old in any activity implemented by Posyandu and to provide extension, to do a routine door-to-door visit, and to do a continuous supplementary food program for the children under five years old with nutritional status unchanged.


(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan pembangunan suatu bangsa sangat bergantung pada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dengan umur harapan hidup), menikmati hidup sehat (terukur dengan angka kesakitan dan kurang gizi), mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan) dan hidup sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) (Baliwati dkk; 2004).

Dewasa ini kekurangan gizi bukanlah merupakan hal yang baru, tapi persoalan ini tetap menjadi isu aktual terutama di Indonesia karena hal itu mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap timbulnya masalah kesehatan. Salah satu faktor yang menyebabkan keadaan ini terjadi adalah pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali yang cenderung meningkat terus, sedangkan pertambahan produksi pangan belum mampu mengimbanginya walaupun telah diterapkan beragam teknologi mutakhir (Suhardjo, 1996). Untuk itu diperlukan upaya penanganan yang lebih serius untuk meningkatkan status gizi masyarakat melalui perbaikan gizi dalam keluarga maupun pelayanan gizi pada individu yang bersangkutan (Depkes RI, 2005).


(21)

Gizi adalah salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat status gizi yang optimal akan tercapai apabila kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) terpenuhi. Keadaan gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi saat itu saja, tetapi lebih banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa yang telah lampau, bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa (Wiryo, 2002).

Menurut Jelliffe (1989), masa krisis pertumbuhan dan perkembangan anak berada pada usia 12-24 bulan disebut dengan ”periode kritis”, karena pada usia ini, anak mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan otak yang sangat cepat hingga memerlukan asupan gizi yang baik. Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu dan sejak itu janin sudah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang mengandung. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi, maka janin tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah yang mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya.

Masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh penyebab langsung yaitu makanan dan penyakit. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makan tetapi


(22)

sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.

Penyebab tidak langsung ada 3 (tiga) yaitu ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Dimana setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup dan baik mutu gizinya. Ketersediaan pangan sangat erat hubungannya dengan ketidak mampuan ekonomi. Daya beli yang memadai merupakan salah satu kunci ketahanan pangan keluarga yang berakibat pada pertumbuhan anak. Dewasa ini banyak anak balita mengalami masalah gizi dan gangguan pertumbuhan. Penyebab karawanan pangan yang tidak dapat diabaikan adalah masalah kemiskinan yang banyak terjadi terutama di daerah perkotaan (Sudaryati, 2007).

Pola pengasuhan anak yang kurang memadai. Setiap keluarga dan masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang baik fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal memberi makan, pemeliharaan kesehatan, memberi kasih sayang dan sebagainya sangat dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, keterampilan, budaya keluarga dan lain-lain. Di samping itu sangat diperlukan peran keluarga dalam pengasuhan anak yang akan menentukan tumbuh kembang anak

Pelayanan kesehatan dan lingkungan yang kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana


(23)

pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan (Baliwati dkk, 2004).

Kurang Energi Protein (KEP) sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Balita disebut KEP bila berat badan balita dibawah normal dibandingkan rujukan WHO-2005 (World Health Organization-2005). Kurang Energi Protein dikelompokan menjadi 2, yaitu Gizi Kurang bila berat badan menurut umur di bawah -3 SD sampai dengan <-2 SD, dan Gizi Buruk bila berat badan menurut umur < -3 SD (Kemenkes RI, 2011).

Di Indonesia menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 1989 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 37,5%, menurun menjadi 26,4% pada tahun 1999. Kondisi pada tahun 2002 masalah kurang gizi meningkat kembali menjadi 27,4 %. Sebaliknya prevalensi gizi buruk pada tahun 1989 sebesar 6,3% dan tahun 1999 meningkat hampir 2 (dua) kali lipat menjadi 10,5%, dan kemudian menurun pada tahun 2002 menjadi 8,15%. Pada tahun 2007 prevalensi kekurangan gizi pada anak balita adalah sebesar 18,4% terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 5,4%. Masih terjadi disparitas angka kekurangan gizi yang cukup besar antar provinsi di mana wilayah Indonesia bagian Timur Indonesia yang tinggi dan Wilayah Barat lebih rendah (NTT 33,6%, Maluku 27,8% ,Bali 11,4% dan DIY 10,9%) (Bappenas, 2010).

Hasil penelitian FKM USU Medan yang dituang dalam buku Pedoman Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2006-2011 (Dinkes Prop SU, 2006) menunjukkan bahwa di Propinsi Sumatera Utara prevalensi


(24)

gizi buruk 4,21% dan gizi kurang 16,20%. Angka Ini mengalami peningkatan, dari data tahun 2007 yang menunjukkan prevalensi balita gizi kurang sebesar 18,80% sedangkan gizi buruk 4,40%.

Kondisi kesehatan masyarakat Kota Tebing Tinggi terutama kesehatan balita dapat terlihat dari laporan tiap bulan yang masuk ke Dinas Kesehatan dari 9 Puskesmas yang ada. Dari hasil pendataan tahun 2008 jumlah balita yang ada di Kota Tebing Tinggi sebanyak 11838 orang. Balita yang ditimbang di posyandu setiap bulannya sebanyak 11416 orang. Dari jumlah balita yang ada masih ditemukan sebanyak 422 balita yang tidak datang ke posyandu seperti yang diinginkan, hal ini akan berpengaruh pada masalah kesehatan balita itu sendiri (Profil Dinkes Tebing Tinggi, 2009).

Salah satu cara memantau pertumbuhan anak balita dengan melakukan penimbangan pada setiap bulan. Tahun 2006 balita naik berat badannya 73%, tahun 2007 naik mencapai 80,96%, tahun 2008 mencapai 85,76% dari balita yang ditimbang. Sejalan dengan fenomena tersebut masih ditemukan balita Bawah Garis Merah (BGM) yang kasusnya semakin menurun setiap tahun dan jauh dibawah target. Tahun 2006 ditemukan balita Bawah Garis Merah 3,24% dan tahun 2007 naik 4,98%, tahun 2008 mengalami penurunan 2,25%. Tahun 2009 ditemukan 117 balita (1,08%) dan tahun 2010 sampai bulan Juni mengalami kenaikan sebesar 260 balita (2,12%). Berdasarkan Pemantauan Status Gizi pada anak balita pada periode Agustus 2010, jumlah anak balita di Tebing Tinggi sebanyak 11626 orang anak. Dari jumlah tersebut ditemukan 2 orang (0,03%) gizi buruk, 193 orang (1,66 %) gizi kurang,


(25)

sebanyak 10803 (92,92 %) gizi baik dan sisanya 178 orang balita (1,53 %) dengan status gizi lebih (Dinkes Kota Tebing Tinggi, 2010). Meskipun prevalensi kasus gizi kurang di Kota Tebing Tinggi masih dalam keadaan normal, tapi jika tidak segera dilakukan evaluasi apa yang menjadi permasalahan ini akan menimbulkan kondisi yang berlarut-larut.

Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagai dampak krisis ekonomi di Indonesia sejak tahun 1997, dilakukan melalui program Jaminan Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang dikembangkan sejak tahun 1998, antara lain dengan pemberian makanan tambahan (PMT) kepada balita bermasalah melalui rumah sakit dan puskesmas (Almatsier, 2009).

Menurut Khomsan (2008), berbagai program perbaikan gizi yang dalam beberapa tahun terakhir dijalankan pemerintah dinilai belum optimal, ini bisa terlihat dari kegiatan yang dilakukan di tingkat bawah seperti di posyandu. Sebagian besar posyandu di daerah-daerah sekedar melakukan kegiatan penimbangan balita dan pada saat-saat tertentu immunisasi. Sementara fungsi-fungsi pokok posyandu yang lain, seperti sebagai pembawa pesan kesehatan dan pelaku utama upaya perbaikan gizi balita belum berjalan dengan baik.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita gizi buruk dan kurang. PMT diberikan selama 3 bulan dengan ketentuan bahwa dalam keadaan normal PMT yang diberikan akan memberikan hasil meningkatnya berat badan anak secara signifikan. Namun masalah kemudian setelah anak tersebut kembali pada keluarga, dengan kondisi ekonomi yang


(26)

serba kekurangan menyebabkan kurangnya asupan gizi yang diterima, pola asuh yang salah dan lingkungan yang tidak mendukung memungkinkan terjadinya penyakit infeksi, maka anak tersebut akan kembali jatuh ke dalam kasus gizi buruk. Pengasuhan anak pada keluarga miskin, walaupun diasuh oleh ibu sendiri, namun sering dibiarkan duduk di tanah, tanpa alas kaki, serta tanpa memakai celana. Di samping itu kondisi rumah juga kurang mendukung karena masih berlantai tanah. Karena itu pemerintah mengharapkan perhatian dan kepedulian semua pihak yang terkait untuk sama-sama dapat mengatasi masalah kekurangan gizi, karena pada hakekatnya kekurangan gizi desebabkan oleh multi faktor sehingga penanganannya harus multi sektor (Depkes RI, 2007).

Pada awalnya upaya penyuluhan kesehatan dan gizi lebih ditekankan pada penyuluhan kelompok atau penyuluhan massal. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal kunjungan rumah juga dilakukan agar masyarakat mengetahui, memahami dan selanjutnya diharapkan dapat merubah perilaku mereka kearah yang lebih baik. Agar hasil yang diinginkan dapat maksimal kunjungan rumah juga dilakukan dimana petugas memberikan penyuluhan langsung kepada ibu balita. Menyadari hal tersebut, maka sudah saatnya tenaga kesehatan dan petugas gizi yang bekerja pada institusi pelayanan kesehatan harus memperkaya kemampuan mereka dalam menberikan pelayanan dan pendidikan kesehatan dan gizi yang bersifat individu yang kita kenal sebagai Konseling (Depkes dan Kessos, 2000).

Dari survei awal yang dilakukan terhadap balita gizi kurang di beberapa kelurahan di Tebing Tinggi tahun 2010, kekurangan gizi pada balita disebabkan oleh


(27)

ketidak mampuan ekonomi dalam keluarga, pengasuhan balita yang kurang baik oleh keluarga dan kurang optimalnya penyuluhan oleh petugas Puskesmas.

Sejauh ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi melalui Dinkes sejak tahun 2008 sampai sekarang, adalah pengalokasian dana untuk penanggulangan kasus gizi buruk dan gizi kurang dalam APBD setiap tahun. Intervensi yang dilakukan adalah PMT selama 60 hari. Pada awalnya PMT diberikan dalam bentuk makanan olahan yang dimasak oleh kader kesehatan di setiap kelurahan. Tetapi pada tahun 2010 kebijakan Pemerintah Kota dirubah ke pemberian susu formula.

Perubahan kebijakan ini disebabkan karena pertama, akibat keterbatasan anggaran, PMT dalam bentuk makanan olahan hanya dapat diberikan sebesar 250 kkal, sedangkan kalori yang dibutuhkan anak usia 6-11bulan 650 kkal, usia 1-3 tahun 1000 kkal dan usia 4-6 tahun 1550 kkal. Untuk itulah kebijakan dirubah kebentuk susu formula agar kecukupan gizi dapat dipenuhi. Kedua, kader pengolah makanan tidak dapat secara intensif dipantau bagaimana cara mengolah makanan yang baik akibat dari keterbatasan sumber daya manusia. Ketiga, para ibu balita penerima PMT mengeluhkan jauhnya jarak rumah mereka dari rumah kader yang memasak makanan tambahan. Keempat yang dikeluhkan bahwa tidak semua anak menyukai makanan dalam bentuk bubur. Keempat masalah tersebut diduga memiliki hubungan erat dengan ketidak optimalan manfaat PMT yang diberikan.

Berdasarkan hasil monitoring PMT selama 60 hari dalam bentuk susu formula pada tahun 2010 mulai menampakkan hasil terhadap pertambahan berat badan balita


(28)

meskipun masih juga ditemukan balita yang tidak berubah status gizinya. Ada beberapa hal yang diduga berpengaruh yaitu jumlah balita di keluarga yang menerima susu formula lebih dari satu orang, sehingga susu juga diberikan kepada saudara yang lain dan otomatis mengurangi jatah yang disediakan hanya untuk 1 orang balita penerima PMT. Selain itu pengasuhan anak tidak dilakukan sendiri oleh ibu balita, tetapi dilakukan oleh kakak balita, nenek atau kerabat dekat hingga susu yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal-hal lain yang menjadi hambatan dalam program ini adalah ada beberapa balita yang tidak menyukai susu.

Petugas kesehatan dalam hal ini Tenaga Pemantau status Gizi (TPG) tetap berupaya memberi penyuluhan (konseling) pada masyarakat khususnya ibu yang mempunyai balita meskipun penyuluhan yang dilakukan belum berjalan optimal. Monitoring dilakukan 10 hari sekali di wilayah kerja masing-masing puskesmas, dengan melakukan penimbangan berat badan. Akibat beban tugas ganda, penimbangan dilakukan dengan meminta bantuan kader Posyandu. Pada balita yang tidak juga menunjukkan kenaikan status gizi di setiap akhir masa PMT, mereka tetap diberikan PMT lanjutan untuk 1 periode berikutnya melalui dana Jamkesmas yang ada di masing-masing Puskesmas.

1.2. Permasalahan

Apakah PMT pada balita dan konseling ibu berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita yang mengalami kekurangan gizi dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi.


(29)

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pengaruh pemberian makanan tambahan dan konseling ibu balita terhadap status gizi balita gizi kurang dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi.

1.4. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian makanan tambahan dan konseling ibu terhadap status gizi balita yang mengalami kekurangan gizi dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat kepada :

1. Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi untuk mengoptimalkan upaya-upaya penanggulangan masalah kurang gizi pada anak balita

2. Petugas kesehatan terutama tenaga pemantau status gizi di Puskesmas Kota Tebing Tinggi untuk mengoptimal upaya penyuluhan tentang gizi kepada masyarakat terutama ibu-ibu yang mempunyai anak balita.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberian Makanan Tambahan

Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena anak yang sedang tumbuh kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Kekurangan makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan anak dan makanan yang berlebihan juga tidak baik karena menyebabkan obesitas. Kecukupan pemberian makanan pada anak sangat penting sebab kekurangan energi/zat gizi dapat mengganggu pertumbuhan yang optimal, dan dapat pula menimbulkan penyakit gangguan gizi, baik yang dapat disembuhkan ataupun tidak.

Pemberian makanan pada anak tergantung dari beberapa hal sebagai berikut : pertama, jenis dan jumlah makanan yang diberikan. Jenis dan jumlah makanan tambahan yang diberikan pada anak tergantung dari kemampuan pencernaaan dan penyerapan saluran pencernaan. Kedua, kapan saat yang tepat pemberian makanan. Waktu yang tepat pemberian makanan pada anak tergantung pada beberapa faktor yaitu kemampuan pencernaan dan penyerapan saluran pencernaan serta kemampuan mengunyah dan menelan. Ketiga, umur anak pada saat makanan padat tambahan dini biasa diberikan. Pada umur berapa makanan padat tambahan biasanya diberikan kepada anak tergantung kebiasaan dan sosiokulltural masyarakat tersebut (Wiryo, 2002).


(31)

Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan kepada balita untuk memenuhi kecukupan gizi yang diperoleh balita dari makanan sehari-hari yang diberikan ibu. Makanan tambahan yang memenuhi syarat adalah makanan yang kaya energi, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang berbahaya, tidak ada potongan atau bagian yang keras hingga membuat anak tersedak, tidak terlalu panas, tidak pedas atau asin, mudah dimakan oleh si anak, disukai, mudah disiapkan dan harga terjangkau. Makanan tambahan diberikan mulai usia anak enam bulan, karena pada usia ini otot dan syaraf di dalam mulut anak sudah cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu kedalam mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru (Wiryo, 2002).

Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan makanan. Pola hidangan yang dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama yakni sumber zat tenaga seperti nasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepung-tepungan, gula dan minyak. Sumber zat pertumbuhan, misalnya ikan, daging, telur, susu, kacang-kacangan, tempe dan tahu. Serta zat pengatur metabolisme, seperti sayur dan buah-buahan. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak sangat berpengaruh pada kecukupan gizinya. Gizi yang baik akan menyebabkan anak bertumbuh dan berkembang dengan baik pula (Depkes RI, 2005).


(32)

Makin bertambahnya usia anak makin bertambah pula kebutuhan makanannya, secara kuantitas maupun kualitas. Untuk memenuhi kebutuhannya tidak cukup dari susu saja. Di samping itu anak mulai diperkenalkan pola makanan dewasa secara bertahap dan anak mulai menjalani masa penyapihan. Adapun pola makanan orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan yang bervariasi dengan menu seimbang (Waryana, 2010).

Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat gizi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga membahayakan kesehatan. Misalnya konsumsi energi dan protein yang berlebihan akan menyebabkan kegemukan sehingga beresiko terhadap penyakit. Oleh karena itu untuk mencapai kesehatan yang optimal disusun Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Achadi, 2007).

Dasar perhitungan AKG tahun 2004 dilakukan dengan cara : (1) Menetapkan berat badan untuk berbagai golongan umur. (2) Menggunakan rujukan WHO/FAO (2002) dimana AKG untuk energi dan protein disesuaikan dengan ukuran berat dan tinggi badan rata-rata penduduk sehat di Indonesia (Almatsier, 2009).


(33)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

Sumber : Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004

Pola makan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari-hari, sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan bagi bayi dan balita adalah tiga kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan dua kali makanan selingan (diantara dua kali makanan utama).

Berbagai kebijakan dan strategi telah diterapkan untuk mengurangi prevalensi terjadinya kekurangan gizi. Untuk itu masyarakat perlu diberi penyuluhan yaitu petunjuk dan ilmu pengetahuan tentang cara mengolah makanan dari bahan yang ada di sekitar (lokal) untuk bayi, balita, ibu hamil dan menyusui. Petunjuk tersebut harus disosialisasikan dengan lebih baik pada masyarakat (Wiryo, 2002).

Di Indonesia upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan gizi adalah dengan program PMT. Dimana yang menjadi sasaran adalah penderita gizi kurang, baik itu balita, anak usia sekolah, ibu hamil dan pada penderita penyakit infeksi, misalnya penderita TB Paru. Dalam program ini memerlukan dana yang tidak sedikit dan sangat diperlukan kerjasama pihak terkait (lintas program dan lintas sektor) dan yang terpenting adalah kesadaran masyarakat itu sendiri dalam melakukan upaya-upaya penanggulangan masalah gizi.


(34)

PMT ada 2 (dua) macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. PMT Penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan disamping untuk pemberian makanan tambahan juga sekaligus memberikan contoh pemberian makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT Pemulihan adalah PMT yang diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari pada balita gizi buruk dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita tersebut. Dalam hal jenis PMT yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi balita karena balita dengan KEP berat atau gizi buruk biasanya mengalami gangguan sistim pencernaan dan kondisi umum dari balita tersebut.

Program PMT bertujuan untuk pemulihan berat badan balita gizi buruk dan gizi kurang menjadi membaik dalam satu periode 60 s/d 90 hari sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat. Pelaksana adalah Dinas Kesehatan dalam hal ini Puskesmas yang diawali dengan penimbangan berat badan balita di posyandu. Pada anak usia 6 bulan s/d 11 bulan diberi makanan tambahan berupa bubur susu, pada anak usia 12 s/d 23 bulan dan pada anak usia 25 s/d 59 bulan diberi susu formula. PMT pada prinsipnya adalah untuk menambah kekurangan kalori dan protein dalam makanan si balita sehari-hari. Sebagai pedoman pelaksanaan distribusi asupan makan dalam kelompok umur di bawah ini ditampilkan tabel dari klasifikasi tersebut.


(35)

Tabel 2.2. Pedoman PMT oleh Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi

Usia Balita (bulan) Jenis Asupan

Makanan Volume x Freq (hari)

≥ 6 s/d 11

12 s/d 24 25 s/d 59

Bubur Susu Susu Formula Susu Formula

60 gr x 60 hr 60 gr x 60 hr 60 gr x 60 hr

Sumber : Dinas Kesehatan Tebing Tinggi (2010)

Untuk usia 6-11 bulan diberi Cerelac dimana takaran saji 5 sendok makan (50 gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 210 kkal, Lemak 4,5gr, Protein 8gr, Natrium 65mg. Untuk usia 12-24 bulan diberi SGM Eksplor dimana takaran saji 1 sendok makan (35gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 160 kkal, Lemak 5gr, Protein 6 gr, Karbohidrat 21gr. Untuk usia 25-59 bulan diberi SGM Aktif dimana takaran saji 3 sendok makan (32,5gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 140 kkal, Energi dari lemak 35 kkal, Protein 5gr, Natrium 100gr dan Karbohidrat total 21gr.

Pemerintah Kota Tebing Tinggi di dalam menindak lanjuti kerawanan gizi masyarakat khususnya balita gizi kurang memanfaatkan Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Dalam SKPG ditekankan perlunya kerjasama dengan pemerintah pusat khususnya program yang ditujukan bagi masyarakat miskin seperti Jaminan pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat miskin (Jamkesmas), antara lain : memberi pelayanan kesehatan dasar melalui Puskesmas dan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan. Penatalaksanaan perbaikan gizi melalui pembentukan Tim Kewaspadaan Pangan dan Gizi, komitmen Pemda, peningkatan kemampuan teknis dan pemantauan.


(36)

Intervensi pangan dan gizi berupa PMT bagi balita penderita gizi buruk dan gizi kurang serta Pemberian PMT penyuluhan yang dilakukan di posyandu setiap bulannya.

Kegiatan PMT tersebut di atas didasarkan atas pendapat yang menyatakan bahwa penyuluhan gizi bagi golongan tidak mampu akan efektif jika disertai bantuan pangan berupa makanan tambahan. Makanan tambahan merupakan makanan bergizi yang diberikan kepada seseorang untuk mencukupi kebutuhannya akan zat - zat gizi agar dapat memenuhi fungsinya di dalam tubuh manusia (Depkes RI, 2000).

Untuk mencapai keberhasilan program PMT, sangat diperlukan peran serta masyarakat, agar hasil yang diperoleh dapat maksimal. Kegiatan ini memerlukan kerja sama baik antar lintas sektoral (Rumah Sakit, PKK, Dinsos, LSM dll) dan lintas program, yang sejak tahun 2006 Pemerintah Kota Tebing Tinggi sudah melaksanakan PMT dalam penanggulangan kekurangan gizi pada balita (Dinkes Kota Tebing Tinggi, 2010).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan balita gizi buruk/kurang adalah : (a) Apabila anak belum mancapai umur 2 tahun maka ASI tetap diberikan, (b) Balita gizi buruk/kurang perlu diperhatikan dan pengamatan secara terus menerus terhadap kesehatan dan gizi antara lain dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai, (c) Anak yang menderita gizi buruk/ kurang terkadang mempunyai masalah pada fungsi alat pencernaan, hingga pemberian makanan tambahan memerlukan perhatian khusus.


(37)

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) diberikan kepada bayi/anak selain ASI. MP-ASI diberikan mulai umur 6-24 bulan, merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2005).

Menurut Nasution (2009), dalam penelitiannya tentang PMT pada anak balita gizi kurang di Puskesmas Mandala Medan Sumatera Utara mendapatkan hasil bahwa PMT selama 90 hari memberikan hasil positif yaitu peningkatan dari status gizi kurang menjadi gizi baik sebanyak 70 %, sementara sisanya 30 % tetap bertahan di status gizi kurang. Ada dibuat suatu rekomendasi berdasarkan kesimpulan penelitian di atas agar upaya PMT terus dilakukan untuk menanggulangi masalah gizi kurang.

Menurut Taopan (2005), menyatakan intervensi penanganan kasus gizi buruk yang melanda anak balita di Nusa Tenggara Timur (NTT), ternyata tidak cukup hanya dengan program PMT selama 90 hari. Alasannya adalah bahwa anak balita setelah diintervensi PMT selama 90 hari, kondisi gizi buruk anak tetap saja terjadi karena dalam keluarga tidak ada lagi makanan bergizi yang tersedia untuk dikonsumsi. Cara efektif untuk menangani kasus gizi buruk di NTT adalah memperbaiki kondisi ketahanan pangan masyarakat dengan cara mengubah pola tanam. Gagal panen kelihatannya memiliki hubungan kuat dengan kondis gizi buruk pada balita. Ia menambahkan kalau persediaan pangan masyarakat cukup maka kemungkinan munculnya kasus gizi buruk bisa ditekan. Ini yang bisa kita harapkan,


(38)

karena intervensi PMT selama 90 hari ternyata belum mampu menekan angka gizi buruk.

2.2. Pengaruh PMT terhadap Status Gizi Balita

PMT merupakan suatu program dalam rangka mencegah semakin memburuknya status kesehatan dan gizi masyarakat terutama keluarga miskin yang diakibatkan adanya krisis ekonomi. Adapun tujuan dari PMT tersebut adalah mempertahankan dan meningkatkan status gizi anak balita terutama dari keluarga miskin, meringankan beban masyarakat serta memotivasi ibu-ibu untuk datang ke posyandu.

Untuk mencapai keberhasilan program ini sangat diperlukan peran serta masyarakat berhubung bahwa dana yang disediakan pemerintah terbatas. Sejalan dengan program PMT, maka petugas gizi lapangan yang ada di Puskesmas tetap melakukan pemantauan perkembangan berat badan balita sekali seminggu melalui penimbangan dan pengukuran tinggi badan.

Studi Thaha dkk (2000), yang dilakukan di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan dan Kabupaten Tangerang Jawa Barat, memunculkan suatu fenomena bahwa jika perbaikan status gizi balita ingin tetap dipertahankan maka program PMT harus menjadi sebuah program yang berkesinambungan. Dengan kata lain, jangka waktu PMT harus diperhatikan. PMT sebaiknya diberikan terus menerus dengan mempertimbangkan masa pertumbuhan kritis anak.


(39)

Berdasarkan pengalaman di Klinik Gizi Bogor, untuk meningkatkan status gizi dari gizi buruk ke gizi kurang diperlukan jangka waktu pelaksanaan PMT selama sekitar 6 bulan. Dalam program PMT skala besar yang dilakukan oleh petugas/kader setempat direkomendasikan untuk memperpanjang waktu PMT menjadi 10-12 bulan (Jahari, 2000).

Penelitian Mualim (2000), menunjukkan bahwa status gizi balita sebelum PMT-P 100% KEP berat (55,86%) dan sesudah PMT-P meningkat ke KEP sedang (63,73%). Tingkat kecukupan energi balita sebelum PMT-P yang berada pada tingkat baik 0%, sedang 24,3% dan tingkat kurang 75,7%, sesudah mendapat PMT-P tingkat kecukupan energi menjadi ketingkat baik 27%, tingkat sedang 59,5% dan masih berada di tingkat kurang 13,5% Jadi dapat disimpulkan bahwa status gizi balita sebelum PMT-P program JPS-BK rata-rata adalah berstatus gizi buruk, sesudah PMT-P program BK rata-rata berstatus gizi KEP sedang. PMT-P program JPS-BK sangat efektif digunakan sebagai media penyuluhan oleh petugas gizi terutama di masyarakat. Setelah berahirnya program JPS-BK pemerintah daerah agar menganggarkan dana untuk PMT melalui APBD.

Penelitian Nuh (2006), menunjukkan bahwa proporsi balita sebelum intervensi termasuk gizi buruk dengan kelainan klinis 1%, gizi buruk 41,7% dan gizi kurang 57,9%. Setelah pemberian PMT-P oleh pemerintah, kenaikan berat badan hanya pada 104 balita (34,7%) , sedangkan 181 balita (60,3%) berat badan tetap dan yang mengalami penurunan berat badan sebanyak 15 balita (5%). Perubahan status gizi balita pasca intervensi sebelum seluruhnya membaik seperti yang diharapkan dan


(40)

hanya 13% balita yang status giznya menjadi gizi baik. Sebanyak 61% masih berada pada level status gizi kurang dan 26% tetap berada pada level status gizi buruk.

Untuk itu disarankan pemberian PMT-P diberikan secara terus menerus hingga kelompok sasaran dinyatakan berstatus gizi baik sesuai dengan aturan kesehatan. Melakukan monitoring dan evaluasi program secara rutin serta perlu pengembangan pusat rehabilitasi gizi di daerah, penyuluhan dan konseling gizi serta memanfaatkan potensi lokal yang ada di masyarakat, sehingga asupan gizi yang masuk lebih bervariasi dan tidak hanya didominasi oleh makanan pokok saja.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahfiludin dkk (2005), pada anak sekolah di 8 SD di Semarang dimana 4 SD penerima PMT-AS dan 4 SD tidak menerima PMT-AS dalam kurun waktu 3 bulan. Hasil menunjukkan rerata perubahan status gizi (BB/U) dan prestasi belajar SD penerima PMT-AS lebih tinggi dibandingkan SD yang tidak menerima PMT-AS.

Hasil penelitian Wijayanti (2005), di Banyumas pada balita kelompok umur 12-24 bulan dengan rancangan penelitian pre dan post test dengan kelompok pembanding (kontrol). Analisa yang digunakan paired t test, independent t test dan regresi linier berganda. Hasil uji statistik paired t-test, ada perbedaan status gizi balita sebelum dan sesudah diberi PMT-P pada kelompok intervensi dan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan. Hasil uji statistik independent t-test menunjukkan tidak perubahan status gizi balita pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil uji statistik regresi linier berganda menunjukkan tidak ada pengaruh PMT-P dan tingkat kecukupan gizi harian terhadap perubahan status gizi


(41)

balita. Berdasarkan hasil penelitian dihimbau kepada Dinas Kesehatan setempat agar melakukan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan gizi yang komunikatif dan efektih sehingga masyarakat mampu mengatasi masalah gizi keluarga sendiri.

2.3. Komunikasi

Komuninaksi merupakan penyampaian informasi dari seseorang ke orang lain, ungkapan ekspresi wajah, sikap dan gerak-gerik, suara, kata-kata tertulis, dan lain-lain (Uchjana; 2003). Dengan demikian komunikasi adalah suatu proses pembudayaan masyarakat yang terlibat komunikasi tertentu supaya ada pembaharuan tatacara dan prilaku masyarakat yang dipapar menjadi sesuai dengan prinsip budaya yang dianggap lebih baik (Yulifah dkk, 2009). Dan menurut Widjaja (2000), komunikasi adalah kontak antar dan antara manusia baik individu maupun kelompok yang dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan bagian dari kehidupan manusia itu sendiri, paling tidak sejak ia dilahirkan telah berkomunikasi dengan lingkungannya yang ditandai dengan gerak dan tangis saat ia dilahirkan.

Banyak pakar mengklasifikasikan komunikasi berdasarkan konteksnya. Istilah-istilah lain juga lazim digunakan untuk merujuk pada konteks ini yaitu istilah tingkat, bentuk, keadaan, cara dan jenis. Indikator yang paling umum untuk mengklasifikasikan komunikasi adalah berdasarkan jumlah peserta yang terlibat dalam komunikasi. Maka dikenal komunikasi pribadi/interpersonal (konseling),


(42)

komunikasi kelompok, komunikasi antar budaya dan komunikasi massa (Uchjana dkk, 2007).

Dalam komunikasi terdapat sejumlah komponen atau unsur yang menjadi prasyarat untuk terjadinya sebuah komunikasi. Disadari atau tidak, saat ini anda sedang berkomunikasi melalui buku yang anda baca, karena komunikasi akan terjadi jika ada yang menyampaikan pesan, ada seorang atau lebih yang menerima pesan dan adanya pesan yang disampaikan. Adapun komponen atau unsur tersebut adalah komunikator (Who yaitu orang yang menyampaikan pesan), komunikan (Whom yaitu orang yang menerima pesan), pesan (Says What yaitu pernyataan yang didukung oleh lambang atau aksesoris lainnya), media (In Which Channel yaitu sarana yang mendukung pesan) dan efek (With What Effect yaitu dampak sebagai pengaruh dari pesan) (Enjang, 2009).

Selain untuk menyampaikan pesan tujuan dari komunikasi adalah mengungkapkan perasaan, mempelajari atau mengajarkan sesuatu, menstimulasi minat pada diri sendiri atau orang lain, mempengaruhi perilaku orang lain, berhubungan dengan orang lain, menjelaskan perilaku diri sendiri atau perilaku orang lain, menyelesaikan sebuah masalah dan menurunkan ketegangan (Ahiro, 2010).

2.4. Konseling

Berbicara tentang konseling tidak terlepas dari bimbingan, karena kedua kata ini selalu dikaitkan dan tidak terpisahkan. Meskipun ada yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling merupakan kata yang berbeda. Menurut Hallen (2002)


(43)

istilah bimbingan selalu dirangkaikan dengan konseling. Hal ini disebabkan karena bimbingan dan konseling merupakan suatu kegiatan yang integral. Konseling adalah merupakan salah satu teknik dalam pelayanan bimbingan diantara beberapa teknik lainnya. Sedangkan bimbingan itu lebih luas dan konseling merupakan alat yang paling penting dari usaha pelayanan bimbingan.

Pendapat yang sama juga dijelaskan oleh Sukmadinata (2005), yang menjelaskan bahwa konseling merupakan salah satu teknik layanan dalam bimbingan, tetapi karena peranannya yang sangat penting konseling disejajarkan dengan bimbingan. Konseling merupakan teknik bimbingan yang bersifat terapeutik karena yang menjadi sasarannya bukan perubahan tingkah laku, tetapi hal yang lebih mendasar dari itu yaitu perubahan sikap. Dengan demikian sesungguhnya konseling merupakan suatu upaya untuk merubah pola hidup seseorang. Untuk mengubah pola hidup seseorang tidak bisa hanya dengan teknik-teknik bimbingan yang bersifat informatif, tapi perlu teknik yang bersifat terapeutik atau penyembuhan.

Walgito (2010) mengatakan, konseling adalah bantuan yang diberikan pada seorang klien untuk memecahkan masalah kehidupannya dengan cara wawancara (face to face) dan dengan cara yang sesuai dengan keadaan yang dihadapi klien untuk mencapai kesejahteraanya.

Palmer (2011) mengatakan, konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seorang konselor kepada kliennya yang terlebih dahulu melakukan janji pertemuan dengan waktu yang telah disepakati untuk menolong klien dalam beragam permasalahannya hingga klien dapat menjalani kehidupan dengan lebih memuaskan.


(44)

Mundakir (2006) mengatakan, bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan oleh seorang perawat (konselor) kepada pasiennya (klien) melalui interaksi yang mendalam dalam bentuk kesiapan perawat untuk menampung ungkapan perasaan dan masalah kliennya dan kemudian perawat berusaha keras untuk memberikan alternatif pemecahan masalah untuk menunjang kestabilan emosi dan motivasi klien.

Berbagai rumusan tentang konseling yang berbeda-beda, akan tetapi pada intinya sama dan saling melengkapi. Konseling merupakan suatu hubungan profesional antara seorang konselor terlatih dengan seorang klien. Hubungan ini biasanya dilakukan orang per orang (komunikasi antar personal). Meskipun sering kali melibatkan lebih dari dua orang, hubungan dirancang untuk membantu klien memahami dan memperjelas pandangan hidupnya, belajar mencapai tujuan yang ditentukan sendiri melalui pilihan-pilihan yang bermakna dan penyelesaian masalah emosional atau antar pribadi. Dalam hubungan tersebut konselor harus profesional dan terlatih sehingga dapat membina hubungan baik dan harmonis, hingga proses yang dirancang dan direncanakan untuk membantu klien dalam menetukan pilihan dan memecahkan masalahnya dapat berjalan dengan baik (Yuswanto dkk, 2009).

Menurut Susanto (2004) seperti yang dikutip oleh Yulifah dan Yulianto (2009), dalam proses konseling terjadi komunikasi. Model komunikasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah komunikasi pribadi/personal atau lebih dikenal komunikasi interpersonal yang merupakan dasar penting dalam melakukan konseling. Bentuk komunikasi ini yang paling tepat karena komunikator langsung berhadapan


(45)

(face to face) dengan komunikan (ibu balita yang mengalami gizi kurang). Diharapkan nantinya terjadi perubahan perilaku ibu dalam pengasuhan balita dan ahirnya berdampak pada pertambahan berat badan balita. Mekanisme perubahan perilaku tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 2.1. Mekanisme Perubahan Perilaku

Menurut pendapat Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat ahli psikologi Skiner (1938) perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena itu, perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respon.

Stimulus (rangsangan) berupa pesan, dalam hal ini pesan kesehatan yang menyangkut pengetahuan tentang pemeliharaan dan perawatan anak balita yang mengalami gizi kurang. Pengetahuan yang disampaikan dapat dilakukan dengan berbagai metode (cara) yaitu dengan metode perorangan (individual), kelompok atau massa. Metode individual atau komunikasi interpersonal atau disebut juga konseling adalah metode yang paling efektif karena kontak klien (ibu balita) dengan petugas

Stimulus

Rangsangan Proses Stimulus Tingkah Laku Reaksi (terbuka)

Sikap (tertutup)


(46)

lebih intensif, karena masalah yang dihadapi oleh klien dapat digali dan dibantu penyelesaiannya (Notoatmodjo, 2003).

Agar pesan (pengetahuan) yang disampaikan dapat dimengerti dan dipahami oleh klien sangat diperlukan suatu alat bantu (alat peraga). Menurut Notoatmodjo (2007), yang mengutip pendapat Elgar Dale, alat peraga dibagi menjadi 11 macam.

1. Kata - kata 2. Tulisan

3. Rekaman , Radio 4. Film

5. Televisi 6. Pameran 7. Field Trip 8. Demonstrasi 9. Sandiwara 10. Benda Tiruan 11. Benda Asli

Gambar 2.2 Kerucut Edgar Dale

Dari gambar kerucut tersebut dapat dilihat bahwa lapisan paling dasar adalah “benda asli” dan yang paling atas adalah “kata-kata”. Hal ini berarti bahwa dalam proses perubahan perilaku benda asli mempunyai intensitas yang paling tinggi untuk mempersepsi pesan yang disampaikan. Sedangkan penyampaian pesan yang hanya dengan kata-kata saja sangat kurang efektif atau intensitasnya paling rendah. Jelas

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11


(47)

bahwa menggunakan alat peraga (media) adalah salah satu prinsip perubahan perilaku.

Kondisi di Kota Tebing Tinggi dalam proses konseling gizi alat peraga yang sering digunakan adalah kata-kata (disampaikan langsung). Jika alat peraga yang digunakan adalah benda asli akan memberikan hasil yang maksimal. Karena pesan yang disampaikan akan lebih dimengerti dan dipahami oleh ibu. Tetapi kenyataan di lapangan akibat dari keterbatasan dana dan sarana, konseling lebih sering menggunakan kata-kata. Penggunaan alat peraga seperti poster, leaflet, tulisan, demonstrasi, benda tiruan ataupun benda asli hanya dilakukan pada acara tertentu yang melibatkan lintas sektor dan tidak dilakukan secara interpersonal. Sebagai contoh melakukan demonstrasi pengolahan makanan sehat dengan menggunakan bahan-bahan alami, contoh buah-buahan dan jenis-jenis bahan makanan yang sehat yang mudah didapat disertai dengan memberikan daftar menu makanan.

Respon yang diterima klien akibat dari pesan yang telah disampaikan dapat bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersifat aktif (tindakan nyata). Menurut Notoatmodjo (2007) mengutip pendapat Robert Kwick (1974), menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap adalah hanya sebagian dari perilaku manusia.


(48)

Perilaku (respon) yang ditunjukkan oleh klien sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor tersebut adalah : (1) faktor internal yakni tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya; (2) faktor eksternal yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Menurut Willis (2004) dan Enjang (2009), bahwa konseling tidak sama dengan memberikan informasi dan nasihat saja, meskipun informasi atau nasihat dapat diberikan jika memang dibutuhkan dalam proses konseling. Juga tidak sama dengan meyakinkan atau membujuk untuk bersikap dan bertingkah laku tertentu, serta tidak sama pula dengan memperingatkan, mengancam atau memaksa. Justru sebaliknya, dalam konseling seseorang meminta bantuan karena ingin mendapatkan satu perubahan atas kesadaran serta kemauan sendiri, dengan cara meminta bantuan dari konselor.

Berdasarkan pendapat Liliweri (2009) yang mengutip pendapat Walstroom (1992), efektivitas konseling interpersonal ditentukan oleh : (1) menghormati pribadi orang lain; (2) mendengarkan dengan senang hati; (3) mendengarkan tanpa menilai; (4) empati; (5) bersikap tegas dan (6) mempunyai kompetensi dalam berkominikasi.

Atau dengan kata lain konseling interpersonal yang efektif akan terjadi manakala dua pihak memberikan makna yang sama atas pesan yang mereka percakapkan, mereka diskusikan dan mereka dialogkan, atau yang lebih utama lagi adalah apa yang mereka pertukarkan itu diterima, dipahami dan dilaksnakan sebagai


(49)

wujud perubahan sikap dan perilaku oleh komunikan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh komunikator.

2.5. Konseling Gizi

Konseling gizi adalah suatu proses komunikasi antara petugas penyuluh gizi (konselor atau komunikator) dengan klien (orang tua balita dalam hal ini ibu balita) yang bertujuan untuk membantu ibu untuk memutuskan apa yang akan dilakukan dalam mengatasi masalah kekurangan gizi yang dialami oleh balita. Dalam proses konseling ini konselor bukan memberi nasihat tetapi memberikan informasi dan alternatif pemecahan masalah, selanjutnya ibu balita memilih dan memutuskan sendiri alternatif yang terbaik untuk dirinya (Depkes, 2000).

Konselor (”Counselor”) gizi adalah ahli gizi yang bekerja untuk membantu orang lain (klien) mengenali, mengatasi masalah gizi yang dihadapi dan mendorong klien untuk mencari dan memilih cara pemecahan masalah gizi secara mudah sehingga dapat dilaksanakan oleh klien secara efektif dan efisien. Dalam disertasinya Notoatmodjo (1987), menyatakan bahwa ada suatu bukti bahwa PMT saja tidak akan menunjukkan perubahan status gizi balita tanpa dibarengi dengan upaya pembekalan pengetahuan ilmu gizi pada ibu. Untuk memperkuat manfaat PMT, dibutuhkan program konseling yang variatif dan efektif terhadap ibu-ibu dari anak balita gizi kurang yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Berbagai upaya dilakukan untuk penanggulangan masalah gizi salah satunya adalah posyandu sebagai garda terdepan dan terdekat dengan masyarakat memiliki


(50)

peran penting. Namun dibeberapa tempat, berbagai keluhan terhadap layanan kesehatan seperti posyandu masih sering terdengar, terutama dalam hal komunikasi. Sikap tidak ramah dan kaku, kurang senyum dan cerewet dan sejenisnya adalah sebagian gambaran yang diberikan petugas di tempat pelayanan kesehatan. Termasuk istilah medis yang sering dikemukakan tanpa penjelasan yang benar pada ahirnya menjadi istilah umum dikalangan masyarakat yang sebenarnya kurang tepat (Alven, 2008).

Seorang konselor gizi diharapkan mempersiapkan diri dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam memberikan konseling. Adapun syarat sebagai konselor adalah sebagai berikut : Pertama, bahwa materi dan pengetahuan yang sebaiknya dimiliki dan dikuasai konselor diantaranya pengetahuan tentang bahan makanan yang tersedia di wilayah tersebut lengkap dengan harga dan jenisnya, kebiasaan mengolah dan cara menyiapkan makanan yang baik. Mereka juga perlu memiliki wawasan tentang ilmu gizi dasar, ilmu bahan pangan, ilmu penyakit, ilmu sanitasi, ilmu kesehatan masyarakat dan materi tentang masalah gizi di Indonesia, yaitu: gizi buruk,gizi kurang, gizi lebih dan obesitas, anemia gizi besi, kurang vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), dan penyakit degeneratif atau penyakit terkait gizi lainnya.

Hal kedua adalah konselor memiliki sikap dan keterampilan meliputi penampilan rapi, sopan dan sederhana. Menghindari pakaian dan perhiasan yang dapat menyolok perhatian klien. Selalu tepat waktu dan tidak membuat klien


(51)

menunggu. Terbiasa memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan bertemu klien serta menunjukkan sikap membantu.

Konselor juga perlu bijaksana menjelaskan perkiraan waktu yang diperlukan untuk wawancara dan diskusi. Menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal. Konselor diupayakan dapat bertatap muka langsung dengan klien dengan bahasa verbal yang mudah dimengerti. Menciptakan suasana lingkungan konseling yang nyaman dan terjalin hubungan yang baik antara klien dan konselor. Menjadi pendengar yang baik dan aktif dalam menerima keluhan klien. Menunjukkan kepada klien bahwa permasalahannya sudah dimaklumi. Jelaskan bahwa semua informasi yang diberikan klien dijamin kerahasiaannya.

Sasaran konseling adalah pasien/orang sakit dan atau keluarganya, mereka yang sedang menjalani rawat jalan di puskesmas, atau mereka yang datang karena membutuhkan informasi tentang masalah kesehatan atau masalah gizi yang dihadapi. Bagi pasien balita biasanya klien adalah orang tua/keluarga/orang yang mengasuh anak tersebut (Depkes dan Kessos RI, 2000).

Penyampai pesan pada penelitian ini adalah petugas gizi puskesmas bersama tim, sementara komunikan adalah ibu yang mempunyai anak balita gizi kurang. Pesan yang diberikan terlebih dahulu ditata supaya mudah dimengerti. Tujuannya untuk memberi keterangan, dan diharapkan ibu balita menerima pesan, menyikapi dan merubah prilaku mereka seperti yang dipesankan. Tidak semua ibu mudah mengerti karena berbagai macam alasan atau permasalahan yang dihadapi seperti tingkat pengetahuan, perhatian dan lingkungan ketika berkomunikasi seperti bising atau


(52)

ruangan yang pengap dan sesak. Pada proses konseling berbagai macam respon yang diberikan ibu balita seperti sikap menerima, acuh tak acuh atau bingung karena mungkin tidak dapat memahami apa yang dipesankan.

Petugas penyuluh harus memantau respons dari ibu balita secara langsung, apakah mereka mau menurut dan merubah prilaku terhadap masalah gizi, atau sama sekali tidak berbuat apa-apa. Semua respons menjadi masukan dan selanjutnya petugas dapat merubah cara yang lebih efektif dan efisien (Liliweri, 2005).

Pesan harus dikemas sesuai dengan masalah yang dihadapi hingga memberi jalan keluar yang baik. Dalam hal ini petugas gizi harus menjelaskan: Pertama, pengertian aneka ragam makanan bergizi seimbang yang meliputi makanan pokok, lauk pauk, sayur-syuran, buah-buahan dan susu. Manfaat, akibat dan tindakan yang perlu dilakukan bila keluarga belum makan aneka ragam makanan. Kedua, agar memantau kesehatan dan pertumbuhan anggota keluarganya, akibat dan tindakan yang perlu dilakukan bila hal tersebut belum dilaksanakan (Depkes, 2007).

Masa balita adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, untuk itu kebutuhan akan zat gizi harus terpenuhi dan masa balita juga merupakan masa yang rentan mengalami masalah gizi. Adapun manfaat zat gizi bagi balita adalah: (1) untuk proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, (2) memelihara kesehatan dan memulihkan kesehatan bila sakit, (3) melaksanakan berbagai aktivitas dan (4) mendidik kebiasaan makanan yang baik dengan menyukai makanan yang mengandung gizi yang diperlukan oleh tubuh (Lailiyana, dkk, 2010).


(53)

Setelah anak berumur 1 tahun menu makanan harus bervariasi untuk mencegah kebosanan dan diberi susu. Makanan padat tidak perlu dilumat lagi supaya anak yang sudah mempunyai gigi dapat belajar mengunyah. Adakalanya anak tidak mau makan makanan padatnya, ibu harus menyikapinya tidak memberi susu sebagai pengganti. Akan tetapi makanan disimpan dahulu lalu coba lagi jika anak sudah mulai lapar (Sibagariang, 2010).

Ada beberapa hal yang perlu dihindari bagi anak agar makannya tidak berkurang, seperti membatasi makanan yang kurang menguntungkan, misalnya coklat, permen, kue-kue manis, karena dapat membuat kenyang sehingga nafsu makan berkurang. Menghindari makanan yang merangsang seperti yang pedas dan terlalu panas, menciptakan suasana makan yang tentram dan menyenangkan, memilih makanan dengan nilai gizi tinggi, memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan, tidak memaksa anak untuk makan serta tidak menghidangkan porsi makanan yang terlalu banyak (Waryanan, 2010).

Agar konseling memberikan hasil yang maksimal sebaiknya menggunakan media komunikasi. Alat bantu ini memudahkan menyampaikan pesan dari sumber kepada penerima. Yang digunakan sebagai media dalam konseling adalah brosur, leaflet, poster dan lain-lain yang dapat memudahkan petugas kesehatan memberi penjelasan apa-apa yang harus dilakukan ibu, jenis-jenis atau menu makanan sehat apa yang harus diberikan kepada anak dan perlu juga disampaikan gambar-gambar anak yang mengalami kurang gizi agar dapat memotivasi ibu untuk mengadakan perubahan perilaku dalam pengasuhan anak.


(54)

Tahap awal respon ibu dapat langsung dilihat dari sikapnya pada saat konseling berlangsung apakah ibu antusias dalam mengikuti proses konseling atau bahkan memperlihatkan sikap acuh tak acuh. Disini sangat diperlukan sikap cermat dari petugas bagaimana agar tercipta suasana konseling yang dapat membangkitkan semangat si ibu atau merubah suasana konseling yang tadinya tegang menjadi kekeluargaan dengan memberi kesempatan bagi ibu untuk menceritakan keluhan atau masalah yang dihadapinya selama ini.

Keberhasilan proses konseling sangat tergantung pada sikap petugas dalam memberikan penjelasan pada ibu. Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pengalaman petugas agar hasil yang diharapkan dapat tercapai. Tidak hanya sampai disini tindak lanjut perlu dilakukan yaitu dengan mendatangi rumah ibu balita untuk melihat secara langsung apakah yang disampaikan pada saat konseling dilaksanakan oleh ibu. Ini dapat dinilai dari sikap dan perilaku ibu pada saat sebelum dilakukan konseling dengan setelah dilakukan konseling.

2.6. Manfaat Konseling

Komunikasi dan konseling seperti yang diulas pada sub paragraf terdahulu dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan dalam hal ini Puskesmas dengan harapan bahwa proses tersebut akan dapat memperbaiki status gizi anak-anak balita secara terpadu dan proporsional. Pada hakekatnya setiap pekerjaan dalam manajemen organisasi memerlukan kerja sama demi mencapai tujuan. Tujuan tersebut bila tercapai, dapat disebut sebagai salah satu indikator kinerja dari tim. Nilainya harus dapat dan selalu


(55)

diukur, apakah cukup efektif berdasarkan rasio antara pencapaian dengan target standar. Artinya konseling harus juga dievaluasi bagaimana aspek kinerjanya terkait dengan variabel-variabel yang berpengaruh. Untuk melakukan teknik evaluasi tersebut di bawah ini dipaparkan paradigma Harold Lasswell, seorang pakar komunikasi.

Harold Lasswell’s (1948) seperti yang dikutip oleh Watson dan Hill (1996) mengungkapkan: “Who Says What, In Which Channel, To Whom and With What Effect ?, Teori tersebut dapat ditulis secara sederhana terkait dengan penelitian: “Siapa komunikatornya yang mengatakan pesan apa, dengan cara atau jalur yang sesuai bagimana, kepada komunikan para ibu-ibu balita gizi kurang dan bagaimana efek atau akibatnya, apakah sesuai dengan harapan atau tidak”.

Jadi ada 5 faktor yang berpengaruh dalam proses komunikasi yaitu: (1) konselor; (2) isi pesan tentang gizi, asupan makanan dan kesehatan; (3) sikap

konselor (simpatik dan empatik); (4) penerima pesan (ibu balita); (5) kemudian dievaluasi bagaimana efeknya terhadap pebaikan gizi anak balita yang mengalami gangguan gizi.

Pada saat pertama kali klien bertemu dengan konselor, berbagai perasaan ada pada klien seperti rasa takut, tidak menentu, cemas, bingung, malu, apatis, dll. Oleh karena itu, perlu strategi untuk menghadapi agar klien merasa siap untuk bertemu konselor, diantaranya: mengenal klien lebih awal dengan menggali data klien selengkap mungkin, misalnya nama orang tua, nama klien, alamat, keadaan sosial ekonomi, kondisi penyakit, sikap penerimaan klien terhadap proses perawatan pada


(56)

waktu di RS/Puskesmas. Untuk pasien rawat inap informasi dapat diperoleh dengan membaca buku rekam medik/catatan medik, dari perawat dan dokter yang merawatnya. Untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan dengan menghubungi dokter atau perawat yang pernah menanganinya, atau kader posyandu/dasawisma.

Tempat yang baik untuk konseling, (a) Ruang tersendiri/terpisah dengan ruangan lain, sehingga klien merasa nyaman, (b) Ukuran besar kecilnya ruang konseling tergantung dari jumlah klien yang dilayani atau jumlah konselor yang akan memberikan konseling, (c) Ada tempat/meja untuk mendemonstrasikan materi konseling, (d) Ruangan sebaiknya dihias/dekor dengan pesan-pesan gizi yang atraktif, (e) Lokasi mudah dijangkau oleh klien termasuk klien yang mempunyai keterbatasan fisik, (f) Ruangan mempunyai lampu dan sirkulasi udara yang cukup, (g) Ruangan didukung dengan fasilitas peralatan belajar yang cukup memadai antar lain poster, leaflet, majalah dll

Waktu konseling yang baik adalah 30 menit sampai dengan 60 menit. Pembagian waktu kira – kira 30 menit untuk menggali data, dan selebihnya untuk diskusi dan pemecahan masalah.

Menurut Notoatmodjo (2005), bahwa telah ditempuh salah satu cara perbaikan gizi terhadap balita melalui usaha intervensi konseling terhadap prilaku ibu. Menurut Notoatmodjo bahwa program seperti itu, lebih dikenal sebagai bagian usaha pendidikan gizi masyarakat, telah terbukti mampu meningkatkan pengetahuan dan prilaku ibu, dan berdampak positif terhadap gizi anak balita di berbagai negara.


(57)

Upaya PMT kepada anak balita tanpa dibarengi dengan pendidikan gizi kepada ibu anak balita, tidak dapat meningkatkan status gizi anak balita secara bermakna. .

Sejumlah 234 pasangan ibu dan bapa serta anak balita mereka, tersebar dalam 3 kelompok. Dua (2) kelompok dijadikan sebagai kelompok eksperimen, sementara kelompok ke 3 adalah kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak membuktikan ada perbedaan peningkatan jumlah ibu yang mempunyai pengetahuan gizi baik dengan kelompok yang diberi pendidikan gizi melalui metode permainan dengan kelompok yang diberi pendidikan dengan metode ceramah. Perbedaan peningkatan pengetahuan gizi diantara kelompok yang diberi ceramah ataupun permainan dengan kelompok kontrol menunjukkan ada perbedaan yang bermakna.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pengaruh yang secara statistik bermakna tentang pengaruh konseling dan penyuluhan kelompok terhadap sikap dan perilaku ibu dalam masalah gizi balita. Konseling menghasilkan sikap 13 poin dan perilaku 15 poin lebih tinggi dari pada penyuluhan kelompok (Wijayanti, 2010). Responden overweight dan obes dilakukan konseling gizi secara berkala setiap minggu selama 8 (delapan) kali dilakukan penimbangan berat badan. Hasil menunjukkan perubahan berat badan sebesar 0,72 kg (sebelum konseling 62,74 kg dan sesudah konseling 63,46 kg). Penelitian ini membuktikan bahwa konseling gizi dapat memberikan perubahan konsep dan perilaku responden yang overweight dan obes untuk menurunkan berat badannya (Podojoyo dkk, 2007).

Proses konseling bermanfaat karena ada nuansa pemberian pesan dibuat secara khusus terhadap individu (komunikasi interpersonal). Keakraban dapat


(58)

diciptakan disini sehingga effek empati dan perasaan dilayani secara simpatik akan lebih memberi pengaruh positif terhadap materi yang dipesankan oleh komunikan kepada para ibu. Kerahasiaan pribadi yang ada kalanya menghambat komunikasi terbuka dengan banyak orang, jadi lebih terbuka dan dapat dicarikan solusi.

2.7. Faktor Penghambat Konseling

Ada beberapa faktor yang menghambat proses berlangsungnya konseling yaitu faktor individual, faktor yang berkaitan dengan interaksi, faktor situasi dan kompetensi dalam melakukan konseling. Faktor individual disini termasuk keterikatan budaya, dan ini merupakan gabungan dari faktor fisik (kemampuan melihat, mendengar, usia, jenis kelamin dan sudut pandang) serta faktor sosial (sejarah keluarga, status sosial dan peran dalam masyarakat). Faktor yang berkaitan dengan interaksi adalah tujuan, harapan, sikap dan pembawaan. Faktor situasi yang berpengaruh adalah keadaan lingkungan dimana proses konseling dilakukan. Faktor kompetensi adalah merupakan sikap kompeten dari kedua belah pihak. Dimana proses komunikasi dapat terputus karena adanya kegagalan menyampaikan informasi, perpindahan topik pembicaraan dan salah pengertian (Enjang, 2009).

Di Kota Tebing Tinggi sendiri faktor penghambat konseling itu terjadi disebabkan oleh kemampuan petugas penyuluh yang kurang akibat dari latar belakang pendidikan yang tidak kompeten, sikap dan keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang tidak sebanding dengan jumlah balita gizi kurang yang ada hingga penyuluhan tidak maksimal dilakukan. Faktor pengahambat dari si ibu balita itu


(59)

sendiri adalah kemampuan menerima informasi yang berbeda-beda, kesibukan dari si ibu balita yang bekerja mencari nafkah hingga waktu yang tersedia terbatas, sikap ibu yang acuh tak acuh terhadap kondisi kesehatan anaknya hingga bagaimanapun proses konseling dilakukan tidak akan merubah perilaku pola asuh ibu pada anak balita. Hal ini juga diperkuat dari hasil penelitian Pujiati (2008), yang megatakan selain pengetahuan petugas , peran orang tua dan keluarga, kondisi kemiskinan juga berperan dalam penanggulan kasus gizi kurang dan gizi buruk.

2.8. Pengaruh Konseling terhadap Perubahan Status Gizi Balita

Salah satu upaya penanggulangan masalah gizi adalah menyelenggarakan pendidikan gizi pada masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai anak balita, contohnya adalah konseling. Agar terjadi perubahan perilaku kearah konsumsi pangan dan gizi yang sehat. Ini dicapai dengan menyusun model-model pendidikan yang efektif dan efisien.

Dengan konseling, ibu dapat mempraktekkan perilaku gizi yang baik untuk anak, seperti menimbang berat badan balita secara rutin ke posyandu atau puskesmas, memberi ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan sampai usia 6 bulan (ASI Eksklusif), makan beraneka ragam makanan, menggunakan garam beryodium dan minum suplemen gizi sesuai anjuran (Depkes RI, 2007).

Hasil penelitian Graf, dkk (2009), dengan judul Pengaruh konseling gizi pada ibu terhadap perbaikan status gizi balita gizi kurang usia 6-11 bulan dan usia 12-24 bulan yang mendapat MP-ASI di Yogyakarta, menunjukkan bahwa kelompok


(60)

perlakuan konseling dan MP-ASI lebih baik dari kelompok perlakuan hanya MP-ASI. Ini berarti perbaikan status gizi lebih baik pada kelompok anak yang ibunya diberi konseling gizi sebelum dan selama pemberian MP-ASI dibandingkan status gizi pada kelompok anak yang ibunya tidak diberi konseling gizi sebelum dan selama pemberian MP-ASI.

2.9. Pengaruh PMT dan Konseling terhadap Perubahan Status Gizi Balita Berbagai strategi pemerintah dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia diantaranya peningkatan pelayanan kesehatan, PMT, revitalisasi posyandu dan lain-lain tidak akan berhasil tanpa ada kerjasama antar lintas sektor. Disamping itu partisipasi masyarakat dalam menyikapi langkah-langkah yang telah disosialisasikan oleh Pemerintah dalam hal ini Puskesmas.

PMT adalah salah satu langkah, tapi bila PMT yang diberikan tanpa adanya penyuluhan atau konseling pada masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai balita gizi kurang tidak akan memberi efek yang maksimal. Karena PMT tanpa pengawasan dari petugas kesehatan akan diberikan ibu dengan sesuka hati, bahkan ada ibu yang memberikan PMT kepada anaknya yang lain. Agar upaya yang dilakukan Pemerintah tidak sia-sia, untuk itu monitoring dan konseling tetap dilakukan sampai PMT dapat memberikan dampak pertambahan berat badan balita.

Dari hasil penelitian Wanatorey, dkk (2006), tentang pengaruh konseling gizi terhadap pengetahuan gizi ibu dan perbaikan status gizi balita gizi buruk yang mendapatkan PMT Pemulihan di Kota Sorong, Irian Jaya Barat menunjukkan bahwa


(1)

PMT * Kategori Status Gizi setelah intervensi Crosstabulation

Kategori Status Gizi setelah intervensi

Total

Gizi Baik (-2 SD s/d 2 SD)

Gizi Kurang (<-2 SD s/d -3 SD)

PMT Baik Count 94 23 117

% within PMT 80.3% 19.7% 100.0%

% of Total 47.2% 11.6% 58.8%

Tidak baik Count 1 81 82

% within PMT 1.2% 98.8% 100.0%

% of Total .5% 40.7% 41.2%

Total Count 95 104 199

% within PMT 47.7% 52.3% 100.0%

% of Total 47.7% 52.3% 100.0%

setelah intervensi (Konseling 3) * Kategori Status Gizi setelah intervensi Crosstabulation

Kategori Status Gizi setelah intervensi

Total

Gizi Baik (-2 SD s/d 2 SD)

Gizi Kurang (<-2 SD s/d -3 SD) setelah intervensi

(Konseling 3)

Baik Count 70 66 136

% within setelah intervensi

(Konseling 3) 51.5% 48.5% 100.0%

% of Total 35.2% 33.2% 68.3%

Tidak baik Count 25 38 63

% within setelah intervensi

(Konseling 3) 39.7% 60.3% 100.0%

% of Total 12.6% 19.1% 31.7%

Total Count 95 104 199

% within setelah intervensi

(Konseling 3) 47.7% 52.3% 100.0%

% of Total 47.7% 52.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.398(b) 1 .121

Continuity Correction(a) 1.949 1 .163

Likelihood Ratio 2.412 1 .120

Fisher's Exact Test .130 .081

Linear-by-Linear

Association 2.386 1 .122

N of Valid Cases 199

a Computed only for a 2x2 table


(2)

T-Test Status Gizi Balita

Paired Samples Statistics

Mean N

Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 Status Gizi

sebelum intervensi -2.718 199 .1881 .0133

Status Gizi setelah

intervensi -2.0256 199 .67405 .04778

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Status Gizi sebelum intervensi & Status Gizi setelah intervensi

199 .303 .060

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference Upper Lower Pair 1 Status Gizi

sebelum intervensi - Status Gizi setelah intervensi

-.69196 .64262 .04555 -.78179 -.60213 -15.190 198 .000

t-Test Pola Asuh Balita

Paired Samples Statistics

Mean N

Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 Pola Asuh

sebelum intervensi 75.37 199 3.621 .257

Pola Asuh setelah

Intervensi 97.30 199 16.672 1.182


(3)

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Pola Asuh sebelum intervensi & Pola Asuh setelah Intervensi

199 .122 .086

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed)

Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference

Upper Lower

Pair 1 Pola Asuh sebelum intervensi - Pola Asuh setelah Intervensi


(4)

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excluded

(a) 0 .0

Total 30 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics

Cronbach's Alpha N of Items

.962 53

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

p1 84.80 345.062 .614 .961

p2 85.00 343.724 .505 .962

p3 84.67 344.713 .494 .962

p4 85.17 342.764 .635 .961

p5 85.07 341.582 .667 .961

p6 84.80 341.752 .627 .961

p7 84.70 340.976 .591 .961

p8 84.90 340.438 .603 .961

p9 84.90 346.162 .450 .962

p10 84.87 341.568 .614 .961

p11 84.77 343.771 .546 .961

p12 84.77 341.426 .596 .961

p13 85.00 342.966 .595 .961

p14 84.93 343.720 .563 .961

p15 85.03 341.620 .598 .961

p16 84.60 341.559 .526 .962

p17 85.10 344.438 .607 .961

p18 84.63 345.413 .479 .962

p19 85.13 344.326 .547 .961

p20 84.97 337.206 .729 .961

p21 84.80 342.441 .595 .961

p22 84.67 340.851 .565 .961

p23 84.87 342.602 .481 .962


(5)

p24 84.93 347.237 .448 .962

p25 84.77 343.289 .474 .962

p26 84.77 346.737 .407 .962

p27 84.70 343.803 .474 .962

p28 84.93 345.651 .424 .962

p29 84.90 346.231 .509 .962

p30 84.93 342.754 .505 .962

p31 84.70 344.286 .497 .962

p32 85.03 340.240 .659 .961

p33 84.63 341.895 .586 .961

p34 85.13 340.878 .645 .961

p35 85.03 339.068 .710 .961

p36 84.70 339.872 .590 .961

p37 84.70 343.252 .496 .962

p38 85.00 344.414 .596 .961

p39 84.83 344.557 .445 .962

p40 84.87 342.602 .568 .961

p41 84.73 342.478 .623 .961

p42 85.03 341.895 .586 .961

p43 84.67 341.885 .625 .961

p44 85.17 344.144 .566 .961

p45 85.03 339.620 .686 .961

p46 84.77 342.599 .545 .961

p47 84.73 344.823 .460 .962

p48 84.97 345.620 .469 .962

p49 84.83 340.695 .606 .961

p50 84.83 339.178 .670 .961

p51 84.70 342.631 .571 .961

p52 84.80 341.890 .620 .961


(6)

Scale: ALL VARIABLES

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 30 100.0

Excluded

(a) 0 .0

Total 30 100.0

a Listwise deletion based on all variables in the procedure. Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

.878 7

Item-Total Statistics

Scale Mean if Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item

Deleted

k1 8.53 5.706 .533 .876

k2 8.73 5.720 .527 .877

k3 8.60 5.421 .654 .861

k4 8.60 5.214 .645 .863

k5 8.80 5.338 .747 .850

k6 8.80 5.269 .783 .845

k7 8.73 5.237 .762 .847


Dokumen yang terkait

Karakteristik Anak dan Ibu, Status Gizi Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sentosa Baru Kecamatan Medan Perjuangan Kota Medan Tahun 2014

4 89 208

Pengaruh Pola Asuh terhadap Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Aceh Besar

3 41 99

Pola Makan dan Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Karakteristik Keluarga di Kelurahan Pekan Dolok Masihul Kecamatan Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2011

5 41 77

Status Gizi Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMTP) Di Puskesmas Tambusai Kecamatan Tambusai Kabupaten Rokan Hulu Provinsi Riau

2 43 79

Gambaran Status Gizi Anak Balita Gizi Kurang Setelah Mendapatkan Pemberian Makanan Tambahan Di Puskesmas Mandala Medan Tahun 2009

0 57 105

MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP STATUS GIZI BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SIDOHARJO Hubungan Sikap Dan Praktik Ibu Selama Program Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen.

0 4 12

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESM

0 3 18

EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA GIZI BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA EFEK PEMBERIAN FORMULA 100 TERHADAP BERAT BADAN DAN STATUS GIZI BALITA BURUK DAN GIZI KURANG KELUARGA MISKIN RAWAT JALANDI WILAYAH KERJA PUSKESMAS

0 2 15

PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN TERHADAP STATUS GIZI BURUK BALITA DI KECAMATAN PAUH KODYA PADANG.

0 0 9

PENGARUH PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN MODIFIKASI TERHADAP STATUS GIZI BALITA

0 0 6