sehingga peranan dari masing-masing variabel tersebut menjadi lebih kelihatan.
3. Penetapan besaran potensi fiskal menggunakan besaran fiskal yang riil dan bukan menggunakan proxy, karena besaran riil tersebut telah dapat diukur.
3. Dana Alokasi Khusus
Pada hakikatnya pengertian dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yang dialokasikan kepada daerah
untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian dana alokasi
khusus ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara. Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang dimaksud
dengan kebutuhan khusus adalah: 1 kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang
tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasiprasarana baru, pembangunan
jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan 2 kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.
2.2.5. Lain-Lain Pendapatan yang Sah
Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya.
Pinjaman tersebut dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya dan dilakukan secara transparan sehingga setiap
perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh daerah diumumkan dalam lembaran daerah.
Pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat. Kemudian daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai
pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi
pelayanan masyarakat. Dan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah. Pinjaman daerah tersebut harus dilakukan
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Dalam melakukan pinjaman, daerah dilarang melakukan pinjaman daerah
yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah pinjaman daerah yang ditetapkan dan melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan
beban atas keuangan daerah.
2.2.6. Tinjauan Studi Terdahulu
Riyanto dan Siregar 2005 membahas masalah dampak dana perimbangan terhadap perekonomian daerah dan pemerataan antar wilayah. Penelitian tersebut
dilakukan dengan membangun model ekonometrika yang menangkap hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuangan daerah. Kesimpulan dari
penelitian tersebut adalah bahwa pada awal desentralisasi fiskal, belanja rutin meningkat signifikan, sedangkan belanja pembangunan mengalami penurunan.
Tetapi apabila dana perimbangan terus ditingkatkan maka akan direspon oleh pemerintah daerah dengan memperbesar pengeluaran pembangunan karena
pengeluaran rutin telah terpenuhi. Dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selanjutnya belanja rutin
dan belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap perekonomian daerah. Walau begitu, pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara
sebelum dan setelah desentralisasi fiskal diimplementasikan. Artinya, perubahan dalam pengelolaan fiskal, yang ditandai dengan semakin besarnya dana yang
mengalir ke daerah belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. Akibatnya, pemerataan pembangunan wilayah yang diharapkan
belum tercapai. Lin 2000 menganalis hubungan antara desentralisasi fiskal dan
pertumbuhan ekonomi di China, dengan menggunakan fungsi produksi Cobb- Douglas sebagai dasar analisis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa desentralisasi
fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan efisiensi alokasi sumber daya. Disamping itu reformasi pedesaan,
akumulasi modal, dan sektor swasta merupakan kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi di China.
Pakasi 2005, meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Kabupaten dan kota di Sulawesi Utara. Model ekonometrika yang
digunakan oleh Pakasi 2005 terdiri dari 4 blok yaitu blok fiskal daerah, produksi dan tenaga kerja sektoral, permintaan agregat, serta kinerja perekonomian daerah.
Menggunakan pool data 5 kabupaten dan kota tahun 1989-2002. Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1 penerimaan pajak
dan bagi hasil pajak tahun lalu signifikan dalam meningkatkan kedua sumber penerimaan tersebut. Penerimaan pajak dan bagi hasil pajak meningkat signifikan
setelah desentralisasi fiskal, 2 setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah dari sisi fiskal available didominasi oleh transfer dana alokasi umum dan sisi fiskal
needs oleh anggaran rutin, 2 kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah.
Sumedi 2005, meneliti dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dan kinerja perekonomian nasional dan daerah. Model
ekonometrika yang digunakan terdiri atas dua jenis model yaitu model Provinsi Jawa Barat dan model seluruh Indonesia. Model Jawa Barat terdiri dari 4 blok
yaitu: blok penerimaan pemerintah daerah, blok pengeluaran pemerintah daerah, blok defsit fiskal, dan blok kinerja perekonomian dan pertanian daerah. Model
nasional terdiri dari lima blok dengan ditambahannya blok permintaan agregat. Jenis data yang digunakan adalah pool data tahun 1994-2002.
Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa pajak daerah signifikan dipengaruhi oleh PDRB. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal berdampak
positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah, dan kinerja perekonomian baik pada skala nasional maupun di Jawa Barat.
Dampak positif kebijakan desetralisasi fiskal terhadap sektor pertanian diindikasikan dengan meningkatnya PDRB sektor pertanian, baik pangan maupun
nonpangan, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, dan peningkatan produksi padi. Peningkatan pendapatan daerah terutama yang bersumber pada transfer dana
dari pusat berupa dana alokasi umum yang sangat besar, telah meningkatkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat, meskipun kapasitas fiskal daerah
meningkat. Implementasi kebijakan fiskal berdampak terhadap meningkatnya kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya terdapat kecendrungan
menurun seiring dengan perbaikan formulasi alokasi dana alokasi umum. Secara umum simulasi kebijakan tidak berdampak besar terhadap kesenjangan antar
daerah. Peningkatan transfer dana pusat akan meningkatkan kesenjangan antar daerah. Realokasi anggaran rutin ke anggaran pembangunan meskipun
meningkatan kinerja perekonomian namun berdampak juga pada peningkatan kesenjangan antar daerah di Jawa Barat.
Usman 2006, meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Alat analisis yang digunakan adalah
ekonometrika terdiri dari 4 blok, yaitu: blok fiskal-penerimaan daerah, blok fiskal- pengeluaran daerah, blok permintaan agregat daerah, dan blok distribusi
pendapatan dan kemiskinan. Jenis data yang digunakan adalah pool data tahun 1995-2000 dari 26 provinsi di Indonesia.
Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ekonomi pada periode sebelum desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin, namun
sebaliknya kelompok kaya lebih diuntungkan. Periode sesudah desentralisasi fiskal pada awalnya menguntungkan kelompok kaya, namun tahun berikutnya
menguntungkan kelompok miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal sebagian besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi
determinan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan perumahan, infrastruktur, dan faktor komunitas atau wilayah.
Hasil dugaan model menunjukkan, desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal juga dapat
mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefisien negatif dan nyata. Hasil simulasi menunjukan dalam jangka pendek pengeluaran
pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka panjang,
pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan adalah sektor yang paling diprioritaskan.
Saefudin 2005 meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provinsi Riau. Alat analisis yang
digunakan adalah ekonometrika terdiri dari 3 blok, yaitu: blok penerimaan fiskal daerah, blok pengeluaran fiskal daerah, blok makro ekonomi daerah. Jenis data
yang digunakan adalah pool data 5 kabupaten dan kota di Riau tahun 1995-2000. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa evaluasi pelaksanaan sebelum
dan sesudah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi peningkatan di mana dana transfer dari pemerintah
pusat memberi kontribusi besar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukan alokasi pengeluaran rutin meningkat lebih tinggi dari pada alokasi pengeluaran
pembangunan. Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukan oleh penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya
sektor pertanian, dan pelayanan sosial umum. Kebijakan kenaikan dana alokasi umum dan bagi hasil bukan pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan
pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, penurunan kesenjangan antar daerah. Secara umum, eksekutif sebagai pelaksana
kebijakan desentralisasi fiskal dan legislatif sebagai fungsi anggaran dan kontrol pemda belum dapat menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dengan baik. Secara administrasi dan ekonomi, pemda belum mampu memberikan pelayanan publik dengan baik.
Indikator utama adalah belum adanya perubahan mendasar terhadap pelayanan publik, demikian halnya dengan kinerja administrasi keuangan, pengelolaan
pembangunan dan kelembagaan daerah.
Tabel 8. Ringkasan Tinjauan Studi Terdahulu Nama
Peneliti Lokasi Hasil
Penelitian
Riyanto et al2003
Indonesia • Dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap
peningkatan APBD tetapi tidak berbeda nyata antara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal
diimplementasikan. • Pemerataan pembangunan wilayah tidak tercapai
Lin 2000 Cina
• Desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di China.
Pakasi 2005
Sulawesi Utara
• Desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah.
Sumedi 2005
Indonesia dan Jawa
Barat • Desentralisasi fiskal berdampak terhadap meningkatnya
kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya terdapat kecenderungan menurun seiring
dengan perbaikan formulasi alokasi DAU Usman
2006 Indonesia
• Desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok miskin dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan.
• Dalam jangka pendek, pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan
distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan.
Saefudin 2005
Riau • Desentralisasi fiskal mendorong pertumbuhan ekonomi,
pemerataan pendapatan, dan penurunan kesenjangan antar daerah
• Secara umum, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal dan legislatif sebagai fungsi
anggaran dan kontrol pemda belum dapat menjalankan ketentuan UU No 22 Tahun 1999 dan UU N. 25 Tahun
1999 dengan baik.
Panjaitan 2006
Sumatera Utara
• Sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana
perimbangan dari pemerintah pusat. • Peningkatan DAU ke daerah berhasil meningkatkan
tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan khususnya di kota
Nanga 2006
Indonesia • Setelah desentralisasi fiskal terjadi penurunan
produktivitas di kedua sektor pertanian karena karena dummy desentralisasi fiskal pada persamaan PDRB
bertanda positif sedangkan pada persamaan tenaga kerja bertanda negatif
Panjaitan 2006, meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Alat
analisis yang digunakan adalah ekonometrika dengan metode 2 SLS yang terdiri
dari 3 blok yaitu: blok fiskal daerah, blok investasi dan infrastruktur, dan blok kinerja perekonomian. Data yang digunakan adalah pool data 17 kabupaten dan
kota tahun 1990-2003. Penelitian ini berkesimpulan bahwa: 1 sumber-sumber kebutuhan fiskal
daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat, 2 transfer ditentukan oleh tingkat
pendapatan dan kondisi sosial dan fisik daerah, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dipengaruhi oleh tingkat kepastian berusaha dan upah, 3
peningkatan dana alokasi umum ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan
khususnya di kota, dan 4 peningkatan dana alokasi umum diwaktu mendatang berhasil meningkatkan penerimaan, pengeluaran, pendapatan masyarakat,
kesempatan kerja dan distribusi pendapatan. Nanga 2006, meneliti tentang dampak transfer fiskal terhadap
kemiskinan di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika dengan metode 2 SLS yang terdiri dari 6 blok yaitu: blok fiskal, blok output, blok
tenaga kerja, blok pengeluaran perkapita, blok distribusi, dan blok kemiskinan. Data yang digunakan adalah pool data 25 provinsi di Indonesia 1990-2002. Data
provinsi pemekaran digabungkan ke propinsi induknya. Nanga 2006 menggunakan produk domestik regional bruto PDRB
menurut lapangan usaha. Blok output terdiri dari persamaan PDRB dan penyerapan tenaga kerja yang dibagi dalam dua sektor, yaitu pertanian dan non
pertanian. PDRB sektor pertanian dan non pertanian dipengaruhi oleh penyerapan tenaga kerja dan pengeluaran pemerintah di masing-masing sektor. Penyerapan
tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh PDRB pertanian dan upah tenaga kerja pertanian. Penyerapan tenaga kerja non pertanian dipengaruhi oleh PDRB di
sektor non pertanian dan rata-rata upah tenaga kerja. Setelah desentralisasi fiskal terjadi penurunan produktivitas di kedua sektor pembangunan karena dummy
desentralisasi fiskal pada persamaan PDRB bertanda positif sedangkan pada persamaan tenaga kerja bertanda negatif. Ringkasan dari tinjauan studi terdahulu
dapat dilihat pada Tabel 8.
2.3 . Kerangka Konseptual
Otonomi daerah di Indonesia diberlakukan mulai 1 Januari 2001 berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-
undangan. konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau yang disebut juga dengan
desentralisasi.