Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah

kontribusi setelah desentralisasi fiskal. Penurunan kontribusi tersebut dikarenakan peningkatan bagi hasil bukan pajak tidak mampu mengimbangi peningkatan dana alokasi umum. Berdasarkan pertumbuhannya, bagi hasil bukan pajak mengalami penurunan sebesar 22.88 persen setelah desentralisasi fiskal dilaksanakan. Penurunan tersebut disebabkan Kalimantan Tengah tidak memiliki sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam. Tetapi di masa mendatang, sumbangan bagi hasil bukan pajak diharapkan akan meningkat karena Kalimantan Tengah memiliki banyak sumber daya alam lainnya seperti emas dan batu bara yang belum tereksploitasi.

4.2. Kondisi Pengeluaran Pemerintah Daerah

Menilai kondisi pengeluaran daerah dapat dilakukan dengan mengevaluasi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan daerah. Berdasarkan Tabel 15 dan Tabel 16 diketahui bahwa alokasi untuk pengeluaran rutin terus mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata alokasi sebesar 54.41 persentahun. Pengeluaran rutin sebagian besar dialokasikan untuk membiayai gaji pegawai daerah, oleh karena itu peningkatan yang signifikan dalam alokasi pengeluaran rutin tidak dapat dihindari karena setelah desentralisasi fiskal terjadi penyerahan pembiayaan pegawai dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Berdasarkan pertumbuhannya, pengeluaran rutin mengalami peningkatan yang cukup signifikan setelah desentralisasi fiskal yaitu sebesar 113.55 persen. Komponen pengeluaran daerah berikutnya adalah pengeluaran pembangunan. Pengeluaran pembangunan adalah pengeluaran yang ditujukan untuk membiayai berbagai proyek pemerintah daerah di setiap sektor. Alokasi pengeluaran pembangunan cenderung menurun, dengan rata-rata alokasi sebesar 45.60 persentahun. Menurunnya alokasi pengeluaran pembangunan dikarenakan meningkatnya pengeluaran yang dialokasikan untuk pengeluaran rutin. Meskipun pengeluaran pembangunan mengalami penurunan kontribusi, tetapi pertumbuhannya mengalami peningkatan. Pada awal desentralisasi fiskal, pengeluaran pembangunan tumbuh sebesar 113.55 persen. Pertumbuhan yang positif dalam pengeluaran pembangunan terus berlanjut sampai tahun 2005. Tabel 15. Perkembangan Alokasi Pengeluaran Rutin dan Pembangunan Kalimantan Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tengah Tahun 1995-2005 Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Tahun Pengeluaran Total Juta Rp. Juta Rp. Juta Rp. 1995 257033.80 92428.35 35.96 164605.45 64.04 1996 250129.75 96693.10 38.66 153436.65 61.34 1997 240656.41 89958.84 37.38 150697.56 62.62 1998 234539.62 138453.40 59.03 96086.22 40.97 1999 264243.23 159603.20 60.40 104640.04 39.60 2000 247415.98 149107.39 60.27 98308.59 39.73 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 562684.62 352749.45 62.69 209935.17 37.31 2002 562705.81 350436.87 62.28 212268.94 37.72 2003 726887.78 425742.92 58.57 301144.86 41.43 2004 817348.87 500259.72 61.21 317089.15 38.79 2005 896186.33 555941.12 62.03 340568.21 38.00 Rata-rata 54.41 45.60 Sumber: Badan Pusat Statistik Berbagai Tahun Berdasarkan hasil evaluasi kondisi fiskal pemerintah daerah secara keseluruhan, diketahui bahwa telah terjadi peningkatan yang besar pada penerimaan daerah. Peningkatan tersebut terjadi karena desentralisasi fiskal menyebabkan kontribusi dana perimbangan meningkat, walaupun di sisi lain terjadi penurunan kontribusi pendapatan asli daerah. Peningkatan penerimaan direspon oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan secara menyeluruh. Peningkatan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan secara menyeluruh ternyata tidak menggambarkan alokasi yang merata, karena peningkatan alokasi pengeluaran rutin menyebabkan alokasi pengeluaran pembangunan mengalami penurunan. Fakta tersebut serupa dengan hasil penelitian Sjafrizal 2002 dan Panjaitan 2006 di Sumatera Utara; Riyanto 2003, Sumedi 2005, Usman 2006, dan Nanga 2006 di Indonesia; dan Saefudin 2005 di Riau. Tabel 16. Perkembangan Pertumbuhan Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Pembangunan Kalimantan Tengah Atas Dasar Harga Konstan Tahun 1996, Tahun 1995-2005 Pengeluaran Rutin Pengeluaran Pembangunan Tahun Nominal Juta Rp. Tumbuh Nominal Juta Rp. Tumbuh 1995 92 428.35 164 605.45 1996 96 693.10 4.61 153 436.65 -6.79 1997 89 958.84 -6.96 150 697.56 -1.79 1998 138 453.40 53.91 96 086.22 -36.24 1999 159 603.20 15.28 104 640.04 8.90 2000 149 107.39 -6.58 98 308.59 -6.05 Setelah Desentralisasi Fiskal 2001 352 749.45 136.57 209 935.17 113.55 2002 350 436.87 -0.66 212 268.94 1.11 2003 425 742.92 21.49 301 144.86 41.87 2004 500 259.72 17.50 317 089.15 5.29 2005 555 941.12 11.13 340 568.21 7.40 Sumber: Badan Pusat Statistik Berbagai Tahun V. HASIL ESTIMASI MODEL DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN DAERAH Model yang digunakan dalam studi ini telah mengalami perubahan, menyesuaikan kondisi di lapangan. Model yang dibangun sebelumnya menggunakan data PDRB menurut penggunaan Lampiran 3 , tetapi data tersebut tidak tersedia pada level kabupaten dan kota sehingga PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB menurut lapangan usaha. Indeks harga konsumen IHK yang digunakan dalam penelitian ini adalah IHK perbulan Kota Palangka Raya yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik BPS. IHK dirata- ratakan untuk mendapatkan IHK pertahun yang sebelumnya telah disamakan tahun dasarnya menjadi tahun dasar 1996. Anggaran pendapatan dan belanja daerah yang digunakan dalam penelitian ini adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah yang dipublikaskan oleh BPS. Peneliti melakukan wawancara untuk dapat mengkonversi format anggaran pendapatan dan belanja daerah 1995-2005 menjadi format yang sama. Wawancara dilakukan pada Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah Sub Direktorat Informasi Keuangan Daerah di Jakarta dan Biro Keuangan Propinsi Kalimantan Tengah. Hasil estimasi model menggunakan metode 2SLS menyatakan bahwa semua persamaan memiliki tanda yang sesuai dengan harapan, yaitu seluruh persamaan memiliki R 2 di atas 0.50 dan F hitung yang signifikan pada taraf nyata 1 persen. Signifikannya F hitung menunjukkan bahwa semua variabel eksogen secara bersama-sama berpengaruh nyata secara statistik terhadap variabel endogennya pada taraf nyata 1 persen. Sementara itu, untuk melihat signifikan tidaknya variabel eksogen secara individual terhadap variabel endogen digunakan uji t dengan dua kriteria taraf nyata α yaitu: 1 persen dan 15 persen. Satuan peubah dan hasil estimasi dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 6.

5.1. Penerimaan Fiskal Daerah