Permasalahan Tujuan Penelitian . Kerangka Konseptual

yang dieksploitasi. Selain itu provinsi ini memiliki wilayah yang luas yang masih belum digunakan secara maksimal. Dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan daerah seperti yang digambarkan pada Tabel 1 menunjukan bahwa setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 penerimaan daerah meningkat menjadi 642 miliar rupiah dari sebelumnya sebesar 272 miliar atau naik sebesar 135.95 persen. Kontribusi terbesar penyusun penerimaan daerah adalah dana perimbangan dimana lebih dari 80 persen pendapatan daerah berasal dari dana perimbangan. Semakin besarnya dana perimbangan mengindikasikan bahwa semakin banyak dana dari pusat yang ditransfer ke Kalimantan Tengah. Peningkatan penerimaan daerah ini merupakan instrumen desentralisasi fiskal guna membiayai peningkatan pengeluaran pemerintah daerah yang disebabkan oleh adanya penyerahan sebagian wewenang pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

1.2. Permasalahan

Desentralisasi fiskal menyebabkan penerimaan Kalimantan Tengah meningkat signifikan. Peningkatan penerimaan tersebut diikuti dengan diberikannya keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan sumber penerimaan sesuai kebutuhan daerah. Peningkatan penerimaan diikuti dengan keleluasaan dalam penggunaannya oleh daerah sangat mempengaruhi PDRB dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian untuk tiap daerah berbeda-beda tergantung dari kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian di Kalimantan Tengah secara komprehensif haruslah dilakukan penelitian lebih lanjut. Dari uraian di atas, dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah? 3. Bagaimanakah dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah? 4. Bagaimanakah dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan kondisi penerimaan dan pengeluaran fiskal daerah Kalimantan Tengah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. 3. Menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap penerimaan, pengeluaran pemerintah daerah dan perekonomian Kalimantan Tengah. 4. Menganalis dampak perubahan komponen penerimaan daerah dan komponen pengeluaran daerah terhadap perekonomian Kalimantan Tengah.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di provinsi Kalimantan Tengah dengan menggunakan panel data pooled data 13 kabupaten dan satu kota tahun 1995-2005. Kinerja perekonomian yang akan diteliti adalah PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Sebelum ada pemekaran wilayah pada tahun 2002, Kalimantan Tengah memiliki lima kabupaten dan satu kota. Setelah terjadi pemekaran daerah berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2002, terjadi penambahan delapan kabupaten baru seperti terlihat pada Tabel 2. Kabupaten dan kota yang digunakan dalam analisis adalah seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah dengan menggabungkan kabupaten pemekaran baru ke kabupaten induknya, sehingga jumlah kabupaten dan kota yang akan diteliti berjumlah enam yaitu: Kota Palangka Raya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito Utara dan Kabupaten Barito Selatan. Tabel 2. Nama-Nama Kabupaten dan Kota di Kalimantan Tengah Kabupatenkota Induk Kabupaten pemekaran Kabupatenkota Setelah Pemekaran 1. Kota Palangka Raya 1. Kota Palangka Raya 2. Kab. Kotawaringin Barat 3. Kab. Lamandau 2. Kab. Kotawaringin Barat Kab. Lamandau Kab. Sukamara 4. Kab. Sukamara 5. Kab. Kotawaringin Timur 6. Kab. Katingan 3. Kab. Kotawaringin Timur Kab. Katingan Kab. Seruyan 7. Kab. Seruyan 8. Kab. Kapuas 9. Kab. Gunung Mas 4. Kab. Kapuas Kab. Gunung Mas Kab. Pulang Pisau 10. Kab. Pulang Pisau 11. Kab Barito Utara 5. Kab Barito Utara Kab. Murung Raya 12. Kab. Murung Raya 13. Kab. Barito Selatan 6. Kab. Barito Selatan Kab. Barito Timur 14. Kab. Barito Timur Sumber: Kalimantan Tengah dalam Angka 2006 Fokus penelitian ini hanya pada dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah, dimana kinerja perekonomian dibatasi pada PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Keberhasilan desentralisasi fiskal tidak lepas dari kinerja pemerintah daerah, tetapi dalam penelitian ini tidak dibahas masalah kinerja pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah. II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teoritis Pendekatan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem perekonomian tertutup. Pendekatan teori tersebut diawali dengan dampak perubahan pengeluaran pemerintah terhadap perpotongan Keynesian yang berlanjut pada terbentuknya keseimbangan di pasar barangjasa dan keseimbangan di pasar uang. Keseimbangan di kedua pasar tersebut akan berinteraksi dengan keseimbangan di pasar tenaga kerja, sehingga terbentuk kurva permintaan dan penawaran agregat yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi daerah.

2.1.1. Permintaan Agregat

Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dan tingkat pendapatan. Kurva permintaan agregat terbentuk bila terjadi keseimbangan di pasar barang dan jasa dan keseimbagan di pasar uang. Kebijakan pemerintah mempengaruhi perekonomian akan terjadi di pasar barang dan jasa, sehingga pada penjelasan selanjutnya akan lebih membicarakan keseimbangan di pasar ini. Keseimbangan di pasar barang dan jasa dimulai dengan model dasar yang disebut perpotongan Keynesian Keynesian cross. Model ini adalah interpretasi paling mudah dari teori pendapatan Keynes Mankiw, 2002. Perpotongan Keynesian akan menjelaskan bagaimana konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi pendapatan. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian terjadi ketika pengeluaran aktual AE sama dengan pengeluaran yang direncanakan PE. Ekuilibrium dari perpotongan Keynesian merupakan pendapatan nasional atau produk domestik bruto PDB, pada tingkat daerah disebut dengan PDRB Teori pendapatan nasional Keynesian dalam Mankiw 2002 dituliskan kembali sebagai berikut: Y = C + I + G ........................................................................................2.1 Gambar 1 menunjukan apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah G sebesar G Δ , maka AE akan bergeser dari AE 1 ke AE 2 sehingga output akan meningkat dari Y 1 ke Y 2 . Pengganda pengeluaran pemerintah dalam Mankiw 2002 dituliskan kembali sebagai berikut: d bt b G Y + + − = Δ Δ 1 1 ...............................................................................2.2 Sumber: Mankiw 2002 Gambar 1. Kurva Perpotongan Keynesian Gambar 1 adalah kurva perpotongan keynesian yang merupakan kerangka dasar terbentuknya keseimbangan di pasar barang dan jasa. Apabila keseimbangan di pasar barang dan jasa berinteraksi dengan keseimbangan di pasar uang, maka akan terbentuk kurva permintaan agregat AD.

2.1.2. Penawaran Agregat

Menurut Dornbusch dan Fischer 1997, kurva penawaran agregat AS menggambarkan kombinasi output dan tingkat harga sedemikian rupa sehingga perusahaan berusaha, pada tingkat harga tertentu, menawarkan jumlah output yang tertentu atau dengan kata lain kurva penawaran agregat mencerminkan berbagai kondisi pada pasar faktor produksi terutama pasar tenaga kerja. Teori penawaran agregat dapat dijelaskan dengan teori klasik dan teori Keynesian. Pada kasus klasik, kurva penawaran agregat berbetuk vertikal, menunjukan bahwa berapapun tingkat harga yang berlaku, jumlah barang yang bersedia ditawarkan tidak berubah. Kurva penawaran agregat klasik didasarkan atas asumsi bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium dengan penggunaan tenaga kerja penuh dari angkatan kerja. Jika seluruh angkatan kerja yang ada telah digunakan, maka output tidak dapat naik di atas tingkat yang sekarang meskipun tingkat harga naik. Tidak ada lagi tenaga kerja yang bersedia untuk memproduksi output tambahan. Dengan demikian bentuk kurva penawaran agregat akan menjadi vertikal pada tingkat output yang sesuai dengan penggunaan tenaga penuh dari angkatan kerja. Asumsi yang mendasari bentuk skedul yang vertikal ini adalah bahwa pasar tenaga kerja selalu berada pada kondisi ekuilibrium karena tingkat upah akan menyesuaikan diri secara cepat guna mempertahankan kondisi ekuilibrium. Pada kasus keynesian, kurva penawaran agregat tidak vertikal karena tenaga kerja lambat menyesuaikan upahnya untuk mempertahankan kondisi ekuilibrium. Pada kasus yang ekstrim, kurva penawaran agregat horisontal, hal ini menunjukan bahwa perusahaan akan bersedia menawarkan pada tingkat harga yang ada, berapapun jumlah barang yang diminta. Gagasan yang mendasari kurva penawaran agregat Keynesian ini adalah karena terdapat pengangguran, perusahaan dapat memperoleh tenaga kerja sebanyak yang mereka perlukan dengan upah yang berlaku sekarang. Karena itu, peningkatan biaya produksi rata- rata mereka tidak berubah meskipun tingkat outputnya berubah.

2.1.3. Dampak Kebijakan Fiskal terhadap Keseimbangan Pemintaan

Agregat dan Penawaran Agregat Kasus klasik terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka panjang. Kasus Keynesian terjadi untuk perilaku perekonomian dalam jangka pendek, karena dalam jangka pendek harga-harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi fiskal dalam jangka pendek, misalnya pemerintah meningkatkan pengeluarannya atau pemerintah memotong pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dari AD 1 menjadi AD 2 , sehingga akan meningkatkan output dari Y 1 ke Y 2 . Apabila terjadi kontraksi fiskal, misalnya pemerintah mengurangi pengeluarannya atau pemerintah meningkatkan pajak maka dalam jangka pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke kiri dari AD 1 menjadi AD seperti pada Gambar 2. Sumber: Mankiw 2002 Gambar 2. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Pendek Sumber: Mankiw 2002 Gambar 3. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka Panjang Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi ataupun kontraksi fiskal akan mempengaruhi harga jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi output Y jangka panjang. Misalkan perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah menyebabakan kurva permintaan agregat bergeser ke atas dari AD 1 menjadi AD 2 , dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik D output berada di atas tingkat alamiah. Ketika harga naik, output secara berangsur-angsur kembali ketingkat alamiah, dan perekonomian bergerak dari titik B ke E. Sedangkan kebijakan kontraksi pemerintah menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke bawah dari AD 1 menjadi AD , dimana perekonomian bergeser dari titik A ke titik B output berada di bawah tingkat alamiah. Ketika harga turun, perekonomian secara perlahan-lahan pulih dari resesi, yang bergerak dari titik B ke C seperti pada Gambar 3.

2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal

Implikasi langsung dari kewenanganfungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan keuangan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara APBN ke daerah. Menurut Boediono 2002, kebijakan fiskal dilaksanakan melalui kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara APBN dan anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD. Dengan demikian tersirat pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui: 1 kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan, dan 2 kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan belanja.

2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Sidik 2002, pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat kepada daerah, terakhir berupa subsidi untuk belanja rutin daerah dan bantuan berupa instruksi presiden untuk belanja pembangunan daerah sering kurang jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: 1 aspek perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas pembangunan top down di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; 2 aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan 3 aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP, Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal Pembangunan Irjenbang, Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling tumpang tindih. Menurut Boediono 2002, beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara, serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Selanjutnya Boediono 2002 mengungkapkan, pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal sering dikelola oleh instansi pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah. Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak universitaspakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD yang mayoritas anggotanya berasal dari pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan masyarakat.

2.2.3. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan asli daerah terdiri atas: hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Menurut Simanjuntak 2001, kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi pada zaman orde lama diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah. Kedua undang-undang ini menyebabkan bermunculannya berbagai jenis pajak dan retribusi baru. Jenis pajak dan retribusi yang demikian banyak terutama karena daerah melihat potensi untuk meningkatkan penerimaan adalah dari sekian jenis pajakretribusi yang umumnya kecil-kecil itu. Sebagaimana diketahui celah yang diberikan kepada daerah untuk menggali penerimaannya adalah “lapangan pajak yang belum dipergunakan oleh negara atau daerah tingkat di atasnya”. Selanjutnya Simanjuntak 2001 memberikan gambaran bahwa Undang- Undang No. 11 Tahun 1957 tentang Peraturan umum Pajak Daerah mencatat 5 buah jenis pajak provinsi dan tidak kurang 20 jenis pajak kabupatenkota. Karena undang-undang ini memberi kewenangan kepada daerah untuk “menggali dan mengembangkan jenis pajak baru”, maka dalam praktiknya jumlah pajak daerah yang ada jauh lebih banyak dari itu, yaitu sekitar 40 jenis. Hal sama terjadi untuk retribusi daerah. Peraturan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 terdapat 36 jenis retribusi provinsi dan 58 retribusi daerah kabupatenkota. Dalam praktiknya, jumlah retribusi daerah di Indonesia saat itu tidak kurang dari 180 jenis. Masalahnya adalah sebagian dari pajak-pajak dan retribusi-retribusi tersebut tidak efisien dan cenderung mendistorsi kegiatan ekonomi sehingga mengganggu para pengusaha dan investor dalam melakukan kegiatannya di daerah. Prosedur pembayaran dari pungutan yang beraneka ragam itu cenderung rumit, tidak transparan dan kurang memiliki dasar pungutan yang kuat. Itulah sebabnya Undang-Undang No. 18 tahun 1997 dikeluarkan dengan tujuan untuk: 1 menyederhanakan jenis pajak dan retribusi daerah, 2 mengurangi ekonomi biaya tinggi, 3 menata kembali beberapa jenis retribusi yang pada hakekatnya bersifat pajak, dan 4 meningkatkan jumlah peneriman daerah hanya dari jenis pajakretribusi daerah yang potensial serta mencerminkan kegiatan ekonomi daerah. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 dan ditindaklanjuti peraturan pelaksanaannya dengan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah. Berbagai kebijakan tentang pemungutan pajak dan retribusi daerah telah melalui berbagai penyempurnaan dan penyesuaian agar tidak mengganggu perekonomian. Tetapi, tetap saja terjadi pembengkakan jumlah pungutan pajak dan retribusi seperti yang dikemukakan oleh Fitrani, Hofman, and Kaiser 2005 yang mengemukakan bahwa otonomi daerah telah menciptakan banyak pemekaran daerah baru. Setiap daerah pemekaran ternyata juga menciptakan jenis pajak dan retribusi baru yang menambah jumlah daftar pajak dan retribusi baru di Indonesia.

1. Pajak Daerah

Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Lahirnya Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah merupakan landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam mengeluarkan peraturan daerah untuk memungut pajak dan retribusi di daerahnya masing-masing. Namun demikian peraturan daerah yang akan dikeluarkan pemerintah daerah tentu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku, termasuk terhadap Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 yang telah diamandemen melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, ada empat jenis pajak provinsi dan tujuh jenis pajak kabupatenkota. Pajak provinsi terdiri atas: 1 pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, 2 bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, 3 pajak bahan bakar kendaraan bermotor, dan 4 pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Rincian jenis pajak provinsi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis Pajak Provinsi menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah No Jenis Pajak Tarif Tertinggi Tarif Final 1. Pajak Kendaraan Bermotor : - Kendaraan bermotor bukan umum - Kendaraan bermotor umum - Kendaratan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar 5 1.5 1.0 0.5 2. Pajak Kendaraan di atas air 5 1.5 3. Bea balik nama kendaraan bermotor: Penyerahan pertama: a. kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat besar Penyerahan kedua dan seterusnyat: a.kendaraan bermotor non umum b.kendaraan bermotor umum c.kendaraan alat-alat berat besar Penyerahan karena warisan: a. kendaraan bermotor non umum b. kendaraan bermotor umum c. kendaraan alat-alat berat dan besar 10 10 10 3 1 1 0.3 0.1 0.1 0.03 4. Bea balik nama kendaraan di atas air: - penyerahan pertama - penyerahan kedua - penyerahan karena warisan 10 5 1 0.1 5. Pajak bahan bakar kendaraan bermotor 5 6. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah 20 7. Pajak pengambilan dan pemanfaatan air pemukaan 10 Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Adapun jenis pajak kabupatenkota adalah sebagai berikut: 1 pajak hotel, 2 pajak restoran, 3 pajak hiburan, 4 pajak reklame, 5 pajak penerangan jalan, 6 pajak pengambilan bahan galian golongan C ,dan 7 pajak parkir. Rincian jenis pajak kabupatenkota dapat dilihat pada Tabel 4. Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 telah menetapkan tarif pajak maksimal yang bisa dipungut oleh provinsi dan kabupatenkota. Kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah, pemerintah menetapkan tarif final untuk jenis-jenis pajak provinsi. Tabel 4. Jenis Pajak Kabupatenkota menurut Undang-UndangTahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dan Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah No Jenis Pajak Tarif Tertinggi 1. Pajak Hotel 10 2. Pajak Restoran 10 3. Pajak Hiburan 35 4. Pajak Reklame 25 5. Pajak Penerangan Jalan 10 6. Pajak Penggalian Bahan Galian Golongan C 20 7. Pajak Parkir 20 Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Selain jenis pajak daerah seperti yang disebutkan di atas, daerah melalui peraturan daerah juga dapat menetapkan jenis pajak kabupatenkota asalkan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam menciptakan pajak baru adalah sebagai berikut: 1 bersifat pajak dan bukan retribusi, 2 objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupatenkota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah kabupatenkota yang bersangkutan, 3 objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum, 4 objek pajak bukan merupakan objek pajak provinsi danatau objek pajak Pusat, 5 potensinya memadai, 6 tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif, 7 memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, dan 8 menjaga kelestarian lingkungan. Jika suatu jenis pajak tidak mampu memenuhi kriteria di atas maka pemerintah daerah tidak dapat memungut pajak kepada masyarakat. Oleh sebab itu jenis pajak daerah sama pada semua daerah, kecuali retribusi yang bisa tergantung pada banyaknya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Menurut Lewis 2006, setelah desentralisasi fiskal, pemerintah daerah mengelola pajak secara tidak efisien. Biaya rata-rata dari administrasi pajak sebagai persentase dari penerimaan pajak tersebut diestimasi lebih dari 50 persen.

2. Retribusi Daerah

Selain pajak daerah, sumber pendapatan asli daerah juga meliputi retribusi atau perijinan yang diperbolehkan dalam undang-undang. Retribusi daerah merupakan salah satu jenis penerimaan daerah yang dipungut sebagai pembayaran atau imbalan langsung atas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada mayarakat. Retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Menurut Saragih 2003, Undang-Undang No. 12 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi daerah memiliki beberapa kelemahan: 1 hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan penyediaan jasa oleh daerah, 2 biaya pungutannya relatif tinggi, 3 kurang kuatnya prinsip dasar retribusi, terutama dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besar tarif, 4 beberapa retribusi pada hakekatnya bersifat pajak, karena pungutannya tidak dikaitkan secara langsung dengan pelayanan pemda kepada pembayar retribusi, 5 adanya jenis retribusi perijinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan, dan 6 adanya retribusi yang mempunyai dasar pengenaan dan objek yang sama. Adanya kelemahan Undang-Undang No.12 Tahun 1957 menyebabkan perlunya diperbaharui dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang No. 34 Tahun 2000. Tabel 5. Objek atau Jenis Retribusi Daerah Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 No Objek atau Jenis Retribusi Daerah Prinsip atau kriteria pengenaan tarif 1. Retribusi Jasa Umum • Kebijakan daerah yang bersangkutan • Besarnya biaya penyediaan jasa yang bersangkutan • Kemampuan masyarakat • Aspek keadilan 2. Retribusi Jasa Usaha Tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak 3. Retribusi Perijinan tertentu Tujuan untuk menutup sebagianseluruh biaya penyelenggaraan ijin yang bersangkutan Sumber: Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 Berdasarkan undang-undang terbaru tersebut, ada tiga jenis retribusi daerah, yaitu: 1 retribusi jasa umum, adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan, 2 retribusi jasa usaha, adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta, dan 3 retribusi perijinan tertentu, adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Jenis-jenis retribusi jasa umum terdiri dari: 1 retribusi pelayanan kesehatan, 2 retribusi pelayanan persampahankebersihan, 3 retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, 4 retribusi pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, 5 retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum, 6 retribusi pelayanan pasar, 7 retribusi pengujian kendaraan bermotor, 8 retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, 9 retribusi penggantian biaya cetak peta, dan 10 retribusi pengujian kapal perikanan. Jenis- jenis retribusi jasa usaha terdiri dari: 1 retribusi pemakaian kekayaan daerah, 2 retribusi pasar grosir danatau pertokoan, 3 retribusi tempat pelelangan, 4 retribusi terminal, 5 retribusi tempat khusus parkir, 6 retribusi tempat penginapanpesanggrahanvilla, 7 retribusi penyedotan kakus, 8 retribusi rumah potong hewan, 9 retribusi pelayanan pelabuhan kapal, 10 retribusi tempat rekreasi dan olah raga, 11 retribusi penyeberangan di atas air, 12 retribusi pengolahan limbah cair, dan 13 retribusi penjualan produksi usaha daerah. Jenis-jenis retribusi perizinan tertentu terdiri dari: 1 retribusi izin mendirikan bangunan, 2 retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, 3 retribusi izin gangguan, dan 4 retribusi izin trayek. Menurut Saragih 2003, penggolongan retribusi berdasarkan Undang- Undang No. 34 Tahun 2000 tersebut memiliki konsekuensi bahwa jumlah dari jenis pelayanan yang diberikan pemerintah daerah yang dapat dipungut retribusi menjadi terbatas dan rasional sehingga pada tahap awal pelaksanaan undang- undang ini berdampak pada penurunan penerimaan retribusi daerah. Menurut Damuri et al 2003, undang-undang tersebut juga memberikan peluang pemerintah daerah untuk menetapkan retribusi yang mendistorsi pasar dan berbahaya bagi perdagangan domestik dan mengganggu investasi dan iklim bisnis di daerah. Tetapi dampak negatif ini bisa dikurangi apabila pemerintah pusat melakukan kebijakan pembatasanseleksi terhadap retribusi daerah yang dapat mengganggu perekonomian tersebut.

3. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Pendapatan daerah yang termasuk kelompok ini adalah pendapatan yang tidak termasuk pajak daerah, retribusi daerah ataupun hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.

2.2.4. Dana Perimbangan

Dana perimbangan berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 terdiri dari: 1 bagian daerah dari penerimaan pajak bumi dan bangunan, 2 bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam, 3 dana alokasi umum, dan 4 dana alokasi khusus. Dimensi ekonomi-politik hubungan keuangan dan daerah tercermin dalam proses pengambilan kebijakan tentang dana perimbangan. Dana perimbangan yang merupakan instrumen penyeimbang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Saragih 2003 mengemukakan beberapa model hubungan keuangan pusat dan daerah yang dapat dijadikan sebagai alternatif pendekatan antara lain adalah: 1 By Percentage, yakni distribusi penerimaan yang diterapkan pada pajak bumi dan bangunan PBB, royalti atau license fee, land rent, dibidang kehutanan dan pertambangan umum serta pertambangan migas yang diberikan sebagian hasilnya kepada daerah dengan persentase tertentu; 2 By Origin, yakni bahwa distribusi penerimaan ke daerah di dasarkan pada atau menurut asal sumber penerimaan; 3 By Formula, yakni distribusi penerimaan ke daerah yang didasarkan kepada suatu formula tertentu atau mempertimbangkan faktor-faktor tertentu; by grant to reimburse: artinya transfer keuangan kepada daerah untuk membiayai satu jenis pengeluaran tertentu; dan 4 By Hoc Grants, yakni transfer keuangan yang didesain oleh pemerintah pusat yang didasarkan pada antara lain alokasi prioritas nasional atau alokasi tambahan yang ditujukan untuk tujuan tertentu untuk satu tahun anggaran tertentu. Berdasarkan berbagai pendekatan di atas, maka pendekatan dalam merumuskan dana perimbangan untuk mendukung pelaksanaan desentralisasi adalah: by percentage of share sebagai pendekatan dalam menghitung bagi hasil pajak dan non pajak share taxes dan non taxes, by formula sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi umum block grant dan by hoc atau special grant sebagai pendekatan dalam menghitung dana alokasi khusus special grant yang sebagian besar didasarkan atas kebutuhan khusus atau yang sifatnya sangat mendesak.

1. Dana Bagi Hasil

Untuk mengurangi ketimpangan vertikal vertical imbalance antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil. Pola bagi hasil ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil by origin. Bagi hasil tersebut meliputi bagi hasil pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan bagi hasil sumber daya alam yang terdiri dari sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan. Tabel 6. Proporsi Pembagian Dana Perimbangan Sebelum dan Sesudah Diberlakukannya Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 Lama Baru No. Jenis Penerimaan Pusat Prop Kab Kota Pusat Prop Semua Kab Kota Kab Kota Penghasil Kab Kota Lain I Bagian daerah 1. Pajak bumi bangunan PBB 2. Bea perolehan atas tanah bangunan BPHTB 3. Pajak penghasilan PPh perorangan 4. SDA kehutanan: - Iuran hasil hutan IHH - Provisi sumber daya hutan PSDH 5. SDA pertambangan umum: - royalti 3.3 dari 13.5 batu bara + emas - landrent iuran tetap 6. SDA migas: - royalti migas a. Minyak bumi b. gas alam 7. Agraria 8. Royalti perikanan - pungutan pengusaha perikanan PPP pungutan hasil perikanan PHP 10 20 80 55 30 20 20 100 100 40 - 16.2 16 20 30 70 16 16 - - 40 - 64.8 64 - 15 - 64 64 - - 20 - 10 20 80 20 20 20 20 85 70 100 20 16.2 16 20 16 16 16 16 3 6 - - 64.8 64 - - - - - - - - 80 - - - 64 32 32 64 6 12 - - - - - - 32 32 - 6 12 - - II DAU SDO dan Inpres 75 2.5 22.5 - - III DAK Dialokasikan tergantung pada kebutuhan Sumber: Tambunan 2001 Bagi hasil dialokasikan kepada daerah dengan persentase tertentu yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2001. Selanjutnya berdasarkan Undang- Undang PPh yang baru UU No. 17 Tahun 2000, mulai Tahun Anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan PPh orang pribadi personal income tax, yaitu Pajak Penghasilan PPh Karyawan Pasal 21 serta Pajak Penghasilan Orang Pribadi Pasal 2529. Ditetapkannya pajak penghasilan Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara. Dari Tabel 6 terlihat bahwa dana bagi hasil setelah desentralisasi fiskal telah mempertimbangkan daerah penghasil, seperti pos iuran hasil hutan IHH, provisi sumber daya hutan PSDH, royalti dan land rent sumber daya alam pertambangan umum, dan royalti sumber daya alam migas. Selain mempertimbangkan daerah penghasil, undang-undang yang baru ini memberikan persentase bagi hasil yang lebih besar dari pada undang-undang sebelumnya untuk beberapa pos.

2. Dana Alokasi Umum

Pola sistem bagi hasil berhasil mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah karena sebagian keuangan pusat telah di limpahkan ke daerah untuk mendukung desentralisasi tetapi akan menimbulkan ketimpangan horizontal horizontal imbalance antara daerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi sumber daya alam secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas alam, pertambangan, dan kehutanan. Demikian pula halnya dengan potensi penerimaan daerah dari pajak bumi dan bangunan, bea perolehan atas tanah bangunan, dan pajak penghasilan perorangan, dimana potensi yang cukup signifikan hanya dimiliki oleh beberapa daerah saja. Dana alokasi umum merupakan dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antar daerah. Secara umum pada pemerintahan orde baru terdapat tiga jenis transfer uang dari pusat ke daerah yaitu dalam bentuk subsidi daerah otonom, instruksi presiden dan daftar isian proyek DIP. Kedua jenis pertama merupakan bantuan antar tingkat pemerintah daerah intergovernmental grant sebab menjadi anggaran pemerintah daerah. Sementara daftar isian proyek diklasifikasikan sebagai “in-kind” alocation, sebab walaupun dana mengalir ke daerah, namun tidak termasuk ke dalam anggaran pemerintah daerah. Subsidi daerah otonom adalah jenis bantuan dari pemerintah pusat untuk mendukung anggaran rutin pemerintah daerah untuk membantu menciptakan perimbangan keuangan antar tingkat pemerintahan. Oleh karena itu sebagian besar dana subsidi daerah otonom 95 persen untuk membiayai pegawai pemerintah di daerah. Sementara instruksi presiden adalah bantuan untuk kegiatan pembangunan di daerah. Ada beberapa instruksi presiden yaitu: Instruksi Presiden Daerah Tingkat I, Instruksi Presiden Daerah Tingkat II, Instruksi Presiden Sekolah Dasar, Instruksi Presiden Kesehatan, Instruksi Presiden Penghijauan dan Reboisasi, Instruksi Presiden Pasar, Instruksi Presiden Peningkatan Jalan Provinsi, Instruksi Presiden untuk Desa Tertinggal atau IDT Mahi, 2000. Menjelang otonomi daerah diberlakukan sistem transfer dari pusat ke daerah di Indonesia tidak mempunyai perbedaan yang berarti dengan pola subsidi daerah otonom dan instruksi presiden. Istilah yang digunakan untuk transfer selama tahun anggaran 1999-2000 adalah dana rutin daerah DRD untuk pengganti subsidi daerah otonom dan dana pembangunan daerah DPD untuk mengganti instruksi presiden. Dana pembangunan daerah tahun 19992000 terdiri dari empat bagian yaitu dana pembangunan desa, dana pembangunan kabupatenkota, dana pembangunan provinsi dan jaring pengaman sosial JPS. Setelah otonomi daerah, dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah diganti dengan dana alokasi umum. Nilai dana alokasi umum meningkat signifikan dibanding dengan pola lama karena jumlahnya paling tidak 25 persen dari penerimaan dalam negeri pemerintah sesudah dikurangi bagian dari pajak dan sumber daya alam yang diserahkan ke daerah. Jadi tujuannya lebih kepada pemerataan. Riyanto 2003 menjabarkan dana alokasi umum sebagai berikut. Formula dana alokasi umum tahun 2001 disusun dari tiga komponen yaitu faktor penyeimbang FP daerah, faktor formula dan faktor lum-sump. Faktor penyeimbang untuk menghitung dana alokasi umum 2001 menggunakan patokan “minimal sama dengan dana rutin daerah dan dana pembangunan daerah tahun sebelumnya”. Demi menghindari tidak diterimanya pembagian dana tersebut oleh daerah. Dalam formula, ini merupakan “faktor penyeimbang” untuk menjamin tidak ada daerah yang mendapat transfer lebih rendah dari tahun sebelumnya. Untuk faktor formula digunakan pendekatan fiskal gap yaitu selisih antara kebutuhan daerah dengan potensi penerimaan daerah. Daerah yang kebutuhannya besar tetapi potensinya kurang akan memperoleh bagian dana alokasi umum yang besar. Untuk menghitung potensi penerimaan daerah digunakan beberapa variabel PDRB sektor sumber daya alam, PDRB sektor industri dan jasa, dan besarnya angkatan kerja sebagai proxy terhadap indeks sumber daya manusia. Sementara kebutuhan daerah didekati dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, indeks harga bangunan, jumlah penduduk miskin. Dari fiskal gap inilah kemudian dirumuskan bobot setiap daerah sebagai faktor formula alokasi dana alokasi umum. Formula dana alokasi umum tahun 2001 sebagai awal pelaksanaan desentralisasi fiskal menimbulkan kesan bagi daerah bahwa keseimbangan horizontal antar daerah belum sepenuhnya tercermin pada pendistribusian dana alokasi umum tersebut. Oleh karena itu, formula dana alokasi umum tahun 2002 didistribusikan dengan cara yang agak berbeda dengan dana alokasi umum tahun 2001. Walaupun prinsip-prinsip yang digunakan untuk mendistribusikan alokasi dana alokasi umum sama dengan tahun 2001, namun formula dan variabel penentu agak berbeda dan tampaknya formula dana alokasi umumtahun 2002 relatif lebih “ideal” dibandingkan formula dana alokasi umum tahun 2001. Tabel 7 memberikan perbandingan formula dana alokasi umum tahun 2001 dan tahun 2002. Prinsip dasar dan variabel-variabel yang dipergunakan dalam formula dana alokasi umum tetap mengacu Undang-Undang No. 25 Tahun 1999. Formula dana alokasi umum harus sederhana simple dalam artian dapat dijelaskan dan mudah dipahami serta dimengerti oleh semua pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, diharapkan daerah dapat menghitung sendiri alokasi dana alokasi umum yang akan diterimanya. Tabel 7. Perbandingan Formula Dana Alokasi Umum Tahun 2001 dan 2002 Keterangan Tahun 2001 Tahun 2002 Formula DAU DAU i = FP i + FF i + FL i FP i = 1.3 SDOi + 1.1 Inpresi Yang merupakan faktor penyeimbang FF i = Faktor Formula yang didasarkan atas selisih antara kebutuhan pembiayaan daerah i dengan potensi penerimaan daerah i. FL i = Faktor Lumsump yang merupakan mekanisme untuk membagi habis DAU yang tersisa setelah dialokasikan berdasarkan Faktor Penyeimbang FP dan Faktor Formula FF DAU i = FP i + BD i x DAU n BD i = bobot daerah ke-i ditentukan berdasarkan rasio fiskal gap daerah ke-i terhadap total fiskal gap Fiskal gap daerah ke-i didasarkan atas selisih antara kebutuhan pembiayaan daerah i dengan potensi penerimaan daerah i Variabel Penentu Potensi Penerimaan Daerah 1. PDRB 2. PDRB sektor industri dan jasa 3. Besarnya angkatan kerja 1. Pendapatan Asli Daerah 2. PBB dan BPHTB 3. PPh perorangan 4. Bagi hasil SDA Variabel Penentu Kebutuhan Daerah 1. Jumlah penduduk 2. Luas wilayah 3. Indeks harga bangunan 4. Jumlah penduduk miskin 1. Jumlah penduduk 2. Luas wilayah 3. Indeks harga bangunan 4. Jumlah penduduk miskin 5. Pengeluaran daerah rata- rata Sumber: Sidik et al 2002 Dalam kaitannya dengan belanja pegawai negeri sipil yang telah dilimpahkan ke daerah, maka secara konseptual sebenarnya dana alokasi umum sudah terlepas dari permasalahan belanja pegawai. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, dana alokasi umum merupakan suatu bentuk alokasi grants yang bersifat pure block grants, sehingga penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi one to one relation antara dana alokasi umum dengan belanja pegawai. Meski secara konseptual dana alokasi umum dan belanja pegawai tidak ada kaitannya lagi, namun dalam implementasi formulasi dana alokasi umum baik tahun 2001 maupun 2002 masih mempertimbangkan besaran belanja pegawai sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi alokasi dana alokasi umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar dampak pengalihan pegawai masih dapat ter-cover dengan alokasi dana alokasi umum ini. Hal inilah yang sering disebut sebagai Faktor Penyeimbang ataupun Alokasi Minimum. Menurut Boediono 2002, secara garis besar formulasi dana alokasi umum 2002 terdapat 3 tiga perbedaanperubahan utama dari formulasi dana alokasi umum 2001, yaitu: 1. Mengurangi besaran faktor penyeimbang sehingga performa formula dana alokasi umum menjadi lebih menonjol, maka salah satu alternatif yang dilakukan adalah dengan menggunakan “hanya” belanja pegawai sebagai faktor penyeimbang. Namun demikian, telah disadari bahwa belanja pegawai secara teori mempunyai banyak kelemahan apabila dijadikan sebagai tolak ukur pemberian grant namun demikian dalam masa transisi dan jangka pendek hal ini masih dapat dilakukan, dengan catatan bahwa secara gradual harus dikurangi. Sampai saat ini masih terus dikaji apakah belanja pegawai ini akan ditetapkan secara utuh dalam besaran faktor penyeimbang ataukah berdasarkan persentase tertentu yang berlaku secara seragam. 2. Penentuan proxy kebutuhan fiskal sejauh mungkin memberikan fleksibilitas dalam penetapan bobot variabelnya dengan melalui berbagai kajian akademis sehingga peranan dari masing-masing variabel tersebut menjadi lebih kelihatan. 3. Penetapan besaran potensi fiskal menggunakan besaran fiskal yang riil dan bukan menggunakan proxy, karena besaran riil tersebut telah dapat diukur.

3. Dana Alokasi Khusus

Pada hakikatnya pengertian dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Pengalokasian dana alokasi khusus ditentukan dengan memperhatikan tersedianya dana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara. Sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah: 1 kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan Daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasiprasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer, dan saluran drainase primer; dan 2 kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

2.2.5. Lain-Lain Pendapatan yang Sah

Menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 1999, daerah dapat melakukan pinjaman dari sumber dalam negeri untuk membiayai sebagian anggarannya. Pinjaman tersebut dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Daerah untuk memenuhi kewajibannya dan dilakukan secara transparan sehingga setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh daerah diumumkan dalam lembaran daerah. Pinjaman yang bersumber dari luar negeri harus melalui Pemerintah Pusat. Kemudian daerah dapat melakukan pinjaman jangka panjang guna membiayai pembangunan prasarana yang merupakan aset daerah dan dapat menghasilkan penerimaan untuk pembayaran kembali pinjaman, serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat. Dan pinjaman jangka pendek guna pengaturan arus kas dalam rangka pengelolaan kas daerah. Pinjaman daerah tersebut harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Dalam melakukan pinjaman, daerah dilarang melakukan pinjaman daerah yang menyebabkan terlampauinya batas jumlah pinjaman daerah yang ditetapkan dan melakukan perjanjian yang bersifat penjaminan sehingga mengakibatkan beban atas keuangan daerah.

2.2.6. Tinjauan Studi Terdahulu

Riyanto dan Siregar 2005 membahas masalah dampak dana perimbangan terhadap perekonomian daerah dan pemerataan antar wilayah. Penelitian tersebut dilakukan dengan membangun model ekonometrika yang menangkap hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuangan daerah. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah bahwa pada awal desentralisasi fiskal, belanja rutin meningkat signifikan, sedangkan belanja pembangunan mengalami penurunan. Tetapi apabila dana perimbangan terus ditingkatkan maka akan direspon oleh pemerintah daerah dengan memperbesar pengeluaran pembangunan karena pengeluaran rutin telah terpenuhi. Dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Selanjutnya belanja rutin dan belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap perekonomian daerah. Walau begitu, pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal diimplementasikan. Artinya, perubahan dalam pengelolaan fiskal, yang ditandai dengan semakin besarnya dana yang mengalir ke daerah belum diikuti oleh peningkatan kinerja perekonomian daerah yang signifikan. Akibatnya, pemerataan pembangunan wilayah yang diharapkan belum tercapai. Lin 2000 menganalis hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di China, dengan menggunakan fungsi produksi Cobb- Douglas sebagai dasar analisis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan efisiensi alokasi sumber daya. Disamping itu reformasi pedesaan, akumulasi modal, dan sektor swasta merupakan kunci yang mendorong pertumbuhan ekonomi di China. Pakasi 2005, meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Kabupaten dan kota di Sulawesi Utara. Model ekonometrika yang digunakan oleh Pakasi 2005 terdiri dari 4 blok yaitu blok fiskal daerah, produksi dan tenaga kerja sektoral, permintaan agregat, serta kinerja perekonomian daerah. Menggunakan pool data 5 kabupaten dan kota tahun 1989-2002. Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1 penerimaan pajak dan bagi hasil pajak tahun lalu signifikan dalam meningkatkan kedua sumber penerimaan tersebut. Penerimaan pajak dan bagi hasil pajak meningkat signifikan setelah desentralisasi fiskal, 2 setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah dari sisi fiskal available didominasi oleh transfer dana alokasi umum dan sisi fiskal needs oleh anggaran rutin, 2 kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah. Sumedi 2005, meneliti dampak kebijakan desentralisasi fiskal terhadap kesenjangan antar daerah dan kinerja perekonomian nasional dan daerah. Model ekonometrika yang digunakan terdiri atas dua jenis model yaitu model Provinsi Jawa Barat dan model seluruh Indonesia. Model Jawa Barat terdiri dari 4 blok yaitu: blok penerimaan pemerintah daerah, blok pengeluaran pemerintah daerah, blok defsit fiskal, dan blok kinerja perekonomian dan pertanian daerah. Model nasional terdiri dari lima blok dengan ditambahannya blok permintaan agregat. Jenis data yang digunakan adalah pool data tahun 1994-2002. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa pajak daerah signifikan dipengaruhi oleh PDRB. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap penerimaan daerah, pengeluaran daerah, kapasitas fiskal daerah, dan kinerja perekonomian baik pada skala nasional maupun di Jawa Barat. Dampak positif kebijakan desetralisasi fiskal terhadap sektor pertanian diindikasikan dengan meningkatnya PDRB sektor pertanian, baik pangan maupun nonpangan, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, dan peningkatan produksi padi. Peningkatan pendapatan daerah terutama yang bersumber pada transfer dana dari pusat berupa dana alokasi umum yang sangat besar, telah meningkatkan ketergantungan fiskal daerah kepada pusat, meskipun kapasitas fiskal daerah meningkat. Implementasi kebijakan fiskal berdampak terhadap meningkatnya kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya terdapat kecendrungan menurun seiring dengan perbaikan formulasi alokasi dana alokasi umum. Secara umum simulasi kebijakan tidak berdampak besar terhadap kesenjangan antar daerah. Peningkatan transfer dana pusat akan meningkatkan kesenjangan antar daerah. Realokasi anggaran rutin ke anggaran pembangunan meskipun meningkatan kinerja perekonomian namun berdampak juga pada peningkatan kesenjangan antar daerah di Jawa Barat. Usman 2006, meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika terdiri dari 4 blok, yaitu: blok fiskal-penerimaan daerah, blok fiskal- pengeluaran daerah, blok permintaan agregat daerah, dan blok distribusi pendapatan dan kemiskinan. Jenis data yang digunakan adalah pool data tahun 1995-2000 dari 26 provinsi di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ekonomi pada periode sebelum desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin, namun sebaliknya kelompok kaya lebih diuntungkan. Periode sesudah desentralisasi fiskal pada awalnya menguntungkan kelompok kaya, namun tahun berikutnya menguntungkan kelompok miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal sebagian besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi determinan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan perumahan, infrastruktur, dan faktor komunitas atau wilayah. Hasil dugaan model menunjukkan, desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal juga dapat mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefisien negatif dan nyata. Hasil simulasi menunjukan dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka panjang, pengeluaran pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan adalah sektor yang paling diprioritaskan. Saefudin 2005 meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provinsi Riau. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika terdiri dari 3 blok, yaitu: blok penerimaan fiskal daerah, blok pengeluaran fiskal daerah, blok makro ekonomi daerah. Jenis data yang digunakan adalah pool data 5 kabupaten dan kota di Riau tahun 1995-2000. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi peningkatan di mana dana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi besar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukan alokasi pengeluaran rutin meningkat lebih tinggi dari pada alokasi pengeluaran pembangunan. Penurunan alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukan oleh penurunan alokasi pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian, dan pelayanan sosial umum. Kebijakan kenaikan dana alokasi umum dan bagi hasil bukan pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, penurunan kesenjangan antar daerah. Secara umum, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal dan legislatif sebagai fungsi anggaran dan kontrol pemda belum dapat menjalankan ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 dengan baik. Secara administrasi dan ekonomi, pemda belum mampu memberikan pelayanan publik dengan baik. Indikator utama adalah belum adanya perubahan mendasar terhadap pelayanan publik, demikian halnya dengan kinerja administrasi keuangan, pengelolaan pembangunan dan kelembagaan daerah. Tabel 8. Ringkasan Tinjauan Studi Terdahulu Nama Peneliti Lokasi Hasil Penelitian Riyanto et al2003 Indonesia • Dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan APBD tetapi tidak berbeda nyata antara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal diimplementasikan. • Pemerataan pembangunan wilayah tidak tercapai Lin 2000 Cina • Desentralisasi fiskal memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di China. Pakasi 2005 Sulawesi Utara • Desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun relatif kecil terhadap perekonomian daerah. Sumedi 2005 Indonesia dan Jawa Barat • Desentralisasi fiskal berdampak terhadap meningkatnya kesenjangan antar daerah, meskipun pada tahun berikutnya terdapat kecenderungan menurun seiring dengan perbaikan formulasi alokasi DAU Usman 2006 Indonesia • Desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok miskin dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. • Dalam jangka pendek, pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Saefudin 2005 Riau • Desentralisasi fiskal mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penurunan kesenjangan antar daerah • Secara umum, eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal dan legislatif sebagai fungsi anggaran dan kontrol pemda belum dapat menjalankan ketentuan UU No 22 Tahun 1999 dan UU N. 25 Tahun 1999 dengan baik. Panjaitan 2006 Sumatera Utara • Sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat. • Peningkatan DAU ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan khususnya di kota Nanga 2006 Indonesia • Setelah desentralisasi fiskal terjadi penurunan produktivitas di kedua sektor pertanian karena karena dummy desentralisasi fiskal pada persamaan PDRB bertanda positif sedangkan pada persamaan tenaga kerja bertanda negatif Panjaitan 2006, meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika dengan metode 2 SLS yang terdiri dari 3 blok yaitu: blok fiskal daerah, blok investasi dan infrastruktur, dan blok kinerja perekonomian. Data yang digunakan adalah pool data 17 kabupaten dan kota tahun 1990-2003. Penelitian ini berkesimpulan bahwa: 1 sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat, 2 transfer ditentukan oleh tingkat pendapatan dan kondisi sosial dan fisik daerah, sedangkan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja dipengaruhi oleh tingkat kepastian berusaha dan upah, 3 peningkatan dana alokasi umum ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan khususnya di kota, dan 4 peningkatan dana alokasi umum diwaktu mendatang berhasil meningkatkan penerimaan, pengeluaran, pendapatan masyarakat, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan. Nanga 2006, meneliti tentang dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan di Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah ekonometrika dengan metode 2 SLS yang terdiri dari 6 blok yaitu: blok fiskal, blok output, blok tenaga kerja, blok pengeluaran perkapita, blok distribusi, dan blok kemiskinan. Data yang digunakan adalah pool data 25 provinsi di Indonesia 1990-2002. Data provinsi pemekaran digabungkan ke propinsi induknya. Nanga 2006 menggunakan produk domestik regional bruto PDRB menurut lapangan usaha. Blok output terdiri dari persamaan PDRB dan penyerapan tenaga kerja yang dibagi dalam dua sektor, yaitu pertanian dan non pertanian. PDRB sektor pertanian dan non pertanian dipengaruhi oleh penyerapan tenaga kerja dan pengeluaran pemerintah di masing-masing sektor. Penyerapan tenaga kerja pertanian dipengaruhi oleh PDRB pertanian dan upah tenaga kerja pertanian. Penyerapan tenaga kerja non pertanian dipengaruhi oleh PDRB di sektor non pertanian dan rata-rata upah tenaga kerja. Setelah desentralisasi fiskal terjadi penurunan produktivitas di kedua sektor pembangunan karena dummy desentralisasi fiskal pada persamaan PDRB bertanda positif sedangkan pada persamaan tenaga kerja bertanda negatif. Ringkasan dari tinjauan studi terdahulu dapat dilihat pada Tabel 8.

2.3 . Kerangka Konseptual

Otonomi daerah di Indonesia diberlakukan mulai 1 Januari 2001 berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang- undangan. konsekuensi otonomi daerah adalah penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah atau yang disebut juga dengan desentralisasi. Gambar 4. Kerangka Konseptual Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Perekonomian Provinsi Kalimantan Tengah Desentralisasi fiskal ditandai dengan meningkatnya alokasi dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dana penerimbangan, yaitu berupa peningkatan persentase bagi hasil bagi pemerintah daerah dan peningkatan dana alokasi umum yang sebelumnya dikenal dengan subsidi daerah otonom dan instruksi presiden. Selain itu, desentralisasi fiskal juga memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk mengatur belanjanya. Pemerintah daerah diberikan keleluasaan dalam pengalokasian perencanaan maupun penggunaan dana yang berasal dari pusat. Penggunaan dana desentralisasi yang diharapkan dapat dialokasikan sesuai dengan skala prioritas daerah itu sendiri, tentunya akan lebih memperhatikan kebutuhan dan keterlibatan masyarakat setempat. Desentralisasi fiskal yang dimulai tahun 2001 menyebabkan penerimaan daerah meningkat signifikan sebesar 135.95 persen menjadi 642 milyar rupiah. Peningkatan peneriman daerah yang diikuti dengan kebebasan untuk mengatur belanja daerah dan penentuan sektor pembangunan akan berdampak terhadap kinerja perekonomian daerah melalui PDRBdan penyerapan tenaga kerja di Kalimantan Tengah. Keberhasilan daerah untuk meningkatkan perekonomian daerah tidak terlepas dari peran kinerja pemerintah daerah untuk mengkoordinasikan unit kerjanya baik dalam mengelola sumber-sumber pendapatan dan pengeluarannya. III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Dan Sumber Data