Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

2.2. Tinjauan Pustaka 2..2.1. Desentralisasi Fiskal

Implikasi langsung dari kewenanganfungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Karena itu, perlu diatur perimbangan keuangan hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Apabila dilihat dari sisi keuangan negara, kebijaksanaan pelaksanaan desentralisasi fiskal telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Perubahan dimaksud ditandai dengan makin tingginya transfer dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara APBN ke daerah. Menurut Boediono 2002, kebijakan fiskal dilaksanakan melalui kebijakan pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara APBN dan anggaran pendapatan dan belanja daerah APBD. Dengan demikian tersirat pengertian bahwa kebijakan fiskal dilakukan melalui kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah melalui: 1 kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan, dan 2 kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan pengelolaan belanja.

2.2.2. Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebelum terjadi desentralisasi fiskal, hubungan keuangan pusat dan daerah diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 1956 kemudian diperbaharui oleh Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Sidik 2002, pemikiran terhadap perlunya undang-undang yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah timbul atas pengalaman selama ini khususnya berkaitan dengan siklus pengelolaan dana yang berasal dari pusat kepada daerah, terakhir berupa subsidi untuk belanja rutin daerah dan bantuan berupa instruksi presiden untuk belanja pembangunan daerah sering kurang jelas. Paling tidak, permasalahan yang sering timbul adalah: 1 aspek perencanaan, dominannya peranan pusat dalam menetapkan prioritas pembangunan top down di daerah, dan kurang melibatkan stakeholders; 2 aspek pelaksanaan, harus tunduk kepada berbagai arahan berupa petunjuk pelaksanaan maupun petujuk teknis dari Pusat; dan 3 aspek pengawasan, banyaknya institusi pengawasan fungsional, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan BPKP, Inspektorat Jendral Departemen, Inspektur Jenderal Pembangunan Irjenbang, Inspektorat Daerah, yang satu sama lain dapat saling tumpang tindih. Menurut Boediono 2002, beberapa kelemahan tersebut di atas menjadi bahan untuk pokok-pokok pemikiran tentang pembaharuan di bidang hubungan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, lahirnya undang-undang hubungan keuangan pusat dan daerah tidak bisa lepas kaitannya dengan upaya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, efisiensi penggunaan keuangan negara, serta prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Selanjutnya Boediono 2002 mengungkapkan, pelaksanaan otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat lokal seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal sering dikelola oleh instansi pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya yang relatif lebih besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh Pemerintah daerah. Konsep good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak universitaspakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keputusan Presiden, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD yang mayoritas anggotanya berasal dari pemerintah daerah. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui semua lapisan masyarakat.

2.2.3. Pendapatan Asli Daerah