b.2. Medeplichtige pembantu pasal 48 KUHP Belanda pasal 56 KUHP
Indonesia. c. Code Penal Perancis dan Belgia :
c.1. Autores. c.2. Complices.
d. Di Inggris : d.1. Principals peserta baku.
d.2. Accessories peserta pembantu. 2. Pembagian tiga :
2.a. Di Jerman : 2.a.1. Tater pembuat
2.a.2. Anstifter penganjur 2.a.3. Gehile pembantu
2.b. Di Jepang : 2.b.1. Co principals pembuat
2.b.2. Instigator penganjur 2.c.3. Accessories pembantu
3. Pembagian empat : Di Uni Sovyet :
3.1. Executive of crime 3.2. Organizer
3.3. Instigator 3.4. Accessory
D. PENYERTAAN MENURUT KUHP INDONESIA 1. Pembagian penyertaan menurut KUHP
Indonesia adalah : a. Pembuatdader pasal 55 yang terdiri
dari : a.1. Pelaku pleger
a.2. yang menyuruh lakukan doenpleger
a.3. yang turut serta medepleger a.4. penganjur uitlokker
b. Pembantu mendeplichtige pasal 56 yang terdiri dari :
b.1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan
b.2. pembantu pada saat kejahatan belum dilakukan.
Mengenai pengertian pembuat dader, ada dua pandangan :
a. Pandangan yang
luas extensief :
- Dengan demikian mereka yang disebut dalam pasal 55 diatas
adalah pembuat. - Penganut : M.v.T, Pompe,
Hazewinkel-Suringa, van
Hattum, Moelyatno. b. Pandangan yang sempit
restrictief : - Pembuat hanyalah orang yang
melakukan sendiri perbuatan yang sesuai dengan rumusan
delik, jadi hanya pembuat materiil saja yaitu pada no.1
pada pasal 55 di atas.
- Menurut pandangan ini, mereka yang tersebut dalam
pasal 55 hanya dipandang
sebagai pembuat, jadi hanya disamakan saja dengan dader.
- Penganut : HR, Simons, van Hamel, Jonkers.
2. Pleger pelaku
a. Pelaku pleger ialah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang
memenuhi rumusan delik. b. Dalam praktek sukar menentukannya,
terutama dalam hal pembuat undang- undang tidak menentukan secara pasti
siapa yang menjadi pembuat. Mengenai hal ini ada beberapa
pedoman : 1. Peradilan Indonesia
Pembuat dalam arti sempit yaitu pelaku ialah orang yang menurut
maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang bertanggung
jawab.
2. Peradilan Belanda Dader dalam arti sempit ialah orang
yang mempunyai
kekuasaankemampuan untuk
mengakhiri keadaan terlarang, tetapi tetap memberikan keadaan terlarang
itu berlangsung terus.
3. Pompe Dader dalam arti sempit ialah orang
yang mempunyai kewajiban untuk mengakhiri keadaan terlarang itu.
c. Kedudukan “pleger” dalam pasal 55 sering dipermasalahkan. Mengenai hal
ini ada dua pendapat : 1. Janggal dan tidak pada tempatnya
Alasan : Karena pasal 55 berada dibawah bab V yang berjudul
“Penyertaan tersangkut beberapa pidana”, pada penyertaan apabila
“mereka yang melakukan” para pelaku itu diartikan pembuat
tunggal.
2. Dapat dipahami Alasan : Karena pasal 55 menyebut
“mereka yang dipidana” sebagai pembuat”, jadi plegers termasuk
didalamnya “Pompe”. Karena pasal 55 menyebut “ siapa-siapa yang
dinamakan pembuat”, jadi plegers juga
termasuk didalamnya
Hazewinkel-Suringa.
3. Doenpleger yang menyuruh lakukan
a. Doenpleger ialah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang
lain, sedang perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.
Dengan demikian :
- Pembuat langsung onmiddelijke dader, auctor physicus, manus
ministra - Pembuat tidaklangsung middelijke
dader, doenpleger,
auctor intellectuals, manus domina.
b. Pada Doenpleger terdapat unsur-unsur sbb :
- Alat yang dipakai adalah manusia; - Alat yang dipakai itu “berbuat” bukan
alat yang mati - Alat yang dipakai itu “tidak dapat
dipertanggungjawabkan” unsur ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari
doenpleger .
Hal yang menyebabkan alat pembuat materiil
tidak dapat
dipertanggungjawabkan ialah :
Bila ia tidak sempuna pertumbuhan jiwanya atau rusak jiwanya pasal
44;
Bila ia berbuat karena daya paksa
pasal 48
Bila ia melakukannya atas perintah jabatan yang tidak sah seperti
dimaksudkan dalam pasal 51 ayat 2;
Bila ia keliru sesat mengenai
salah satu unsur delik, misalnya A
menyuruh B untuk menguangkan pos wesel yang tanda tangannya
dipalsu oleh A, sedangkan B tidak mengetahui pemalsuan tersebut;
Bila ia tidak mempunyai maksud
seperti yang diisyaratkan untuk kejahatan ybs. dalam undang-
undang misal A menyuruh B seorang kuli untuk mengambil
barang dari suatu tempat. B mengambilnya untuk diserahkan
kepada A dan ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk memiliki
bagi dirinya sendiri.
c. Dalam hal pembuat materiil alat seseorang yang belum cukup umur,
maka tidak ada menuruh lakukan, karena pada dasarnya KUHP
menganggap orang yang belum cukup unur itu tetap mampu bertanggungjawab
lihat pasal 45 jo 47. Namun demikian, apabila yang disuruh itu anak yang
masih sangat muda sekali, yang belum begitu sadar akan perbuatannya, maka
dalam hal ini dimungkinkan ada menyuruh lakukan.
d. Apakah orang yang menyuruh lakukan doenpleger harus mempunyai kualitas
sebagai pelaku ? ada dua pendapat : d.1. Pendapat pertama : “harus”.
Alasan, karena tidakmungkin seorang A menyuruh oarng lain B
melakukan sesuatu yang A sendiri tidak dapat melakukannya. Misalnya
: A bukan pegawai negeri, maka ia tidak dapat melakukan “delik
jabatan”, jadi A tidak bisa menjadi pembuat langsung onmiddelijke
dader oleh karena itu ia juga tidak bisa menjadi pembuat tidak
langsung, maka A tidak bisa menjadi doenpleger. Jadi walaupun B yang
disuruh adalah “ pegawai negeri, tetap dikatakan tidak ada
doenpleger.
d.2. Pendapat kedua : “tidak harus”. “Menyuruh-lakukan sesuatu delik
jabatan tidak hanya terdapat apabila pembuat materiilnya adalah seorang
pejabat, akan tetapi juga sebaliknya, ialah apabila pelaksanaanya bukan,
sedang yang menyuruh-lakukan itu adlah pejabat”.
← Hazewinkel-Suringa :
← “Seorang peserta itu bukannya dipidana karena ia melakukan perbuatan
pidana, akan tetapi ia justru dipidana walaupun ia tidak melakukan
perbuatan”. Misal : A membius B seorang penjaga keamanan kereta api,
sehingga lalai menjalankan tugasnya dan timbul kecelakaan.
← Walaupun A tidak berkualitas seperti B yaitu tidak mempunyai kewajiban
seperti B, A tetap dikatakan sebagai doenpleger dalam delik omissi yang
dilakukan oleh B. ← Arrest HR tgl. 21 April 1913 kasus
Walikota Zaan-dam menyatakan : ← “Pasal 55 tidak menyatakan bahwa
mereka yang menyuruh lakukan adalah dader, tetapi bahwa mereka dipidana
sebagai dader, sehingga untuk menjadi middelijke dader doenpleger tidak perlu
ada kualitas pribadi seperti pembuat materiil”.
←
e. Mungkinkah ada menyuruh lakukan terhadap delik-colpoos?
Mungkin, dalam halo rang yang menyuruh-lakukan dapat menduga
sebelumnya bahwa ka nada sesuatu akibat yang tidak diharapkan. Misal :
A menyuruh seseorang pekerja B untuk melemparkan benda yang berat dari
atap rumah ke bawah, tanpa menghiraukan apakah benda itu akan
menimpa orang yang kebetulan ada lewat di bawah atap rumah itu. B
mengira bahwa A telah mengadakan pengamanan seperlunya. Jika karena
lemparan itu ada yang tertimpa dan mati, maka A dapat dituntu karena
menyuruh-lakukan tindak pidana yang tersebut dalam pasal 359 KUHP.
4. Medepleger orang yang turut serta
a. Pengertian : 1. Undang-undang tidak memberikan
definisi 2. Menurut M.v.T : Orang yang turut
serta melakukan medepleger ialah orang yang dengan sengaja turut
berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
3. Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana itu
ada dua kemungkinan : -
Mereka masing-masing
memenuhi semua unsur dalam rumusan delik.
Misal : dua orang dengan bekerja sama melakukan
pencurian disebuah gudang beras, salah seorang memenuhi
semua unsur delik, sedang yang lainnya tidak.
Misal : dua orang pencopet A dan B saling bekerja sama, A
yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang
mengambil dompet orang itu.
- Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya
tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu misalnya :
dalam pencurian dengan merusak pasal 363 ayat 1 ke-
5 salah seorang melakukan penggangsiran,
sedang kawannya masuk rumah dan
mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada
kawannya yang menggangsir tadi.
b. Syarat adanya medepleger :
Ada kerjasama secara sadar bewuste samenwerking.
Adanya kesadaran bersama tidak berarti ada permufakatan lebih
dulu, cukup apabila ada pengertian antara peserta pada
saat perbuatan dilakukan dengan tujuan menacpai hasil yang sama.
Yang penting aialah harus ada kesenjangan secara sadar.
Tidak ada turut serta, bila orang yang satu hanya menghendaki
untuk menganiaya, sedang kawannya menghendaki matinya
si korban. Penentuan kehendak atau kesenjangan masing-masing
peserta itu dilakukan secara normatif.
Ada pelaksanaan bersama
secara fisik gezamenlijke
ultvoeringphysieke samenwerking.
Persoalan kapan dikatakan ada perbuatan
pelaksanaan merupakan persoalan yang sulit
ingatlihat Bab VI tentang “percobaan”, namun secara
singkat dapat dikatakan bahwa perbuatan pelaksanaan berarti
perbuatan yang langsung menimbulkan selesainya delik
ybs. Yang penting disini harus ada kerjasama yang erat dan
langsung. Batas antara perbuatan pelaksanaan dan perbuatan
pembantuan sangatlah sulit dan hal ini akan dibicarakan dalam
masalah pembantuan.
c. Apakah medepleger harus mempunyai kualitas sebagai pelaku ?
Mengenai hal ini ada dua penadapat :
1. Pendapat pertama : “harus”. Medepleger adalah suatu bentuk
daderschap keadaan sifat pelaku pembuat, orang turut serta
melakukan adalah pembuat dader apabila ada beberapa orang
bersama-sama melakukan delik, maka mereka timbal balik terhadap
satu sama lain disebut pembuat peserta
mededader. Pembuat
peserta sebagai pembuat harus mempunyai sifat yang oleh rumusan
undang-undang diisyaratkan untuk daderschap. Barang siapa tidak
dapat menjadi pembuatan tunggal alleendader juga tidak dapat
dinamakan pembuat peserta mededader.
Sifat-sifat atau keadaan pribadi yang menentukan
dapat dipidananya perbuatan, hanya berlaku pada pembuat peserta yang
mempunyai sifat-sifat tersebut.
2. Pendapat kedua : “tidak harus”.
Yurisprudensi putusan pengadilan Negeri Tulunganggung tanggal 5
Januari 1932 yang kasusnya sbb : A memegang gelang milik orang lain
untuk dijualkan. Suami A menggadaikan gelang tersebut untuk
kepentingannya sendiri, dengan persetujuan A. Dalam kasus A
dinyatakan salah melakukan penggelapan, sedang suaminya
“turut serta melakukan penggelapan” meskipun suaminya tidak memenuhi
semua unsur yang terdapat dalam pasal 372.
Status A terhadap barang ialah “memiliki dengan melawan hukum
barang yang ada padanya bukan karena kejahatan “, sedang status
suaminya terhadap barang itu ialah menggadaikan barang milik orang
lain yang ada dalam kekuasaannya karena kejahatan”. Yaitu ia dapat dari
A dan tahu bahwa barang itu bukan milik A.
d. Mungkinkah ada turut serta terhadap delik culpoos ? pada turut serta,
kesengajaannya ditujukan kepada : 1. Kerjasama dengan orang lain
ditujukan pada perbuatan.
2. Tercapainya hasil yangmerupakan delik ditujukan pada akibat.
Dalam delik culpa orang tidak menghendaki terjadinya akibat. Kalau
kesenjangan orang turut serta juga harus ditujukan untuk timbulnya delik
culpa tersebut, maka jelas tidak mungkin ada turut serta melakukan secara culpa.
Akan tetapi jika kesengajaan itu hanya ditujukan kepada adanya kerjasama,
ialah kepada perbuatan yang dilakukan bersama, maka mungkin ada turut serta
melakukan secara culpa. Misal :
A dan B bersama-sama melemparkan barang berat dari gedung bertingkat dan
menimpa orang yang ada di bawah sampai mati. Keduanya tidak
menghendaki sampi matinya orang tersebut, akan tetapi mereka bersama-
sama secara sadar melakukan pelemparan barang dan merekapun
kurang berhati-hati serta patut menduga akibat yang timbul. Oleh karena itu
mereka dapat dituntut bersama-sama melakukan perbuatan yang tersebut
dalam pasal 55 jo pasal 359 KUHP.
5. Uitlokker penganjur
a. Pengertian : Pengajur ialah orang yang
menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana
denganmenggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang
untuk melakukan kejahatan. Jadi hamper sama dengan menyuruh-
lakukan
doen-pleger, pada
penganjuran uitlokking ini ada usaha untuk menggerakkan orang lain sebagai
pembuat materiil auctor physicus. Adapun perbedaannya sbb :
Penganjuran Menyuruh-lakukan
Menggerakkannya dengan sarana-
sarana tertentu limitatif
Sarana menggerakkannya
tidak ditentukan tidak limitatif
Pembuat materiil dapat
dipertanggungjawa bkan
tidakmerupakan manus ministra
Pembuat materiil tidak
dapat dipertanggungjawa
bkan merupakan manus ministra
b. Syarat penganjuran yang dapat dipidana :
Berdasarkan pengertian diatas, maka syarat pengajuran yang dapat dipidana
ialah :
Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain
melakukan perbuatan yang terlarang.
Menggerakkannya dengan
menggunakan upaya-upaya
sarana-sarana seperti tersebut dalam undang-undang bersifat
limitatif.
Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan
karena hal-hal tersebut pada a dan b jadi ada psychise
causaliteit.
Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang
dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.
Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana. Dari lima syarat yang disebutkan diatas,
jelas bahwa syarat 1 dan 2 merupakan syarat yang harus ada pada si
penganjur, sedangkan syarat 3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada
orang yang dianjurkan pembuat materiil.
c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?
Mengenai hal ini ada beberapa pendapat :
1. Tidak mungkin.
d. Mungkinkah ada percobaan pengajuran atau pengajuran yang gagal ?
e. Pertanggungjawaban si penganjur.
c. Mungkinkah ada penganjuran untuk melakukan delik culpa ?
Mengenai hal ini ada beberapa pendapat : a. Tidak mungkin.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh van Hamel dengan mengemukakan alasan bahwa
sifat khas dari uitlokking ialah membujuk terjadinya perbuatan dengan sengaja.
b. Mungkin. Simons menganggap bukannya mustahil dalam
bentuk demikian seseorang dapat membujuk terjadinya sesuatu perbuatan dengan
pengetahuan bahwa orang yang akan
melakukan perbuatan itu dapat mengira-ngira kemungkinan terjadinya akibat yang tidak
dikehendaki atau dapat mengirakan kemungkinan terjadinya akibat tersebut.
Menurut Pompe orang nyata-nyata dapat sengaja menyuruh orang lain untuk melakukan
delik culpa, dalam arti orang itu sebagai pembujuk mempunyai kesengajaan untuk
menggerakkan agar orang lain melakukan perbuatan yang ternyata suatu delik culpa dan
inklusif didalam perbuatan sengaja itu termasuk kealpaan, dan pula dalam arti bahwa yang di
bujuk dan pembujuk mempunyai kealpaan yang diisyaratkan oleh undang-undang. Misal :
Seorang pemilik mobil sengaja meminjamkan mobilnya untuk dipakai orang lain dengan
mengetahui bahwa dengan pemberian pinjaman itu, orang lain tersebut akan mengendarainya.
Jadi, pada pembujuk ada kesengajaan yang ditujukanuntuk menggerakkan orang lain untuk
menyupir. Kalau orang lain itu tidak dapat menyupir hal mana diketahui oleh pembujuk,
maka jika pengendara tersebut melanggar seseorang yang mengakibatkan mati, ia dapat
dikatakan melakukan tindak pidana dalam pasal 359, sedang pemilik mobil dapat dikatakan
melakukan pembujukan untuk terjadinya pelanggaran pasal 359 itu.
d. Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran yang gagal ?
Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hal seseorang telah dengan sengaja
menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu tindak pidana dengan menggunakan
salah satu sarana dalam pasal 55 1 ke-2, akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau
mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan perbuatan yang dapat dipidana.
catatan : Dengan kata lain, baru terpenuhi syarat 1 dan 2 atau syarat 1 sd 3 seperti
dikemukakan pada no. b diatas.
Timbul masalah apakah terhadap percobaan untuk membujuk atau penganjuran yang gagal dapat
dipidana ? mengenai hal ini sebelum adanya pasal 163 bis, ada dua pandangan :
1. Pendapat pertama : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang bersifat accessoir
tidak berdiri sendiri = onzelfstandig.
Menurut pandangan ini, pengajuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
materiil. D.p.l si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat
dipidana. Karena dalam “percobaan untuk
penganjuran” ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pengajur juga tidak dapat dipidana.
Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.
2. Pendapat kedua : Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accessoir berdiri
sendiri = zelfstanding, tidak bergantung pada yang lain. Menurut pendapat ini, ada tidaknya
penganjuran tidak tergantung pada ada tidaknya atau terjadi tidaknya tindak pidana. D.p.l
sipenganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak
terjadi. Jadi menurut pandangan kedua ini, “percobaan untuk penganjuran” tetap dapat
dipidana. Penganutnya : Blok. Jomkers, Pompe, van Hattum.
Catatan : Dari uraian diatas jelas, bahwa menurut
pendapat pertama accessoir, strafbaarheid sifat dapat dipidananya si penganjur
digantungkan dari apa yang dilakukan oleh orang lain. Jadi sudut pandangnya tidak
membedakan antara sifat dapat dipidananya perbuatan tindak pidana dan sifat dapat
dipidananya orang pertanggungjawaban pidana. Jadi lebih mendekati pandangan
monistis.
Sehubungan dengan pandangan yang pertama diatas, dalam KUHP Jerman sebelum
perubahan tahun 1943, dikenal apa yang dinamakan extreme accessoiriteit yaitu bahwa
untuk adanya bentuk-bentuk penyertaan harus ada yang bertanggung jawab sebagai Tater
pelaku.
Menururt KUHP Jerman itu, untuk dapat memidana seseorang peserta sebagai Mittater
si turut-serta melakukan medepleger, anstifter pengajur uitlokker, atau gehilfe
pembantu medeplichtige, maka si pembuat materiil harus melakukan strafbare handlung,
yang diartikan bukan saja melakukan perbuatan yang dilarang diancam pidana, tetapi juga
dapat dijatuhi pidana. Dengan demikian apabila si pembuat materiil tidak dapat dijatuhi pidana
karena tidak ada kesalahan, tidak mungkin ada penyertaan.
Pertanggungjawaban peserta tidak lagi digantungkan pada pertanggungjawaban si
pelaku atau peserta lainnya, tetapi dipandang berdiri sendiri, asal saja pelaku atau peserta
lainnya itu telah melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang.
Pandangan accessoiriteit yang terbatas ini sesuai dengan pandangan dualistis a.l Prof. Ruslan saleh
yang melihatnya dari dua sudut pandang :
1. Dari sudut perbuatan, pada umumnya tiap-tiap peserta tidak berdiri sendiri-sendiri, sifat
melawan hukumnya perbuatan dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatan
dari si pembuat atau si pembantu baru timbul jika perbuatannya di hubungkan dengan
pelaku atau peserta lainnya.
2. Dari sudut pertanggungjawaban, tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sendiri-sendiri
menurut sikap batinya masing-masing berhubung dengan apa yang diperbuatnya.
Persoalan percobaan pengajuran atau penganjuran yang gagal ini sekarang sudah tidak menjadi persolan
lagi, setelah pada tahun 1925 S. 1925 No. 197 jo 273 ditambahkan pasal 163 bis kedalam KUHP pasal
ini berbunyi :
1. Barang siapa dengan menggunakan salah satu sarana tersebut dalam pasal 55 ke-2, mencoba
menggerakkan orang lain supaya melakukan kejahatan, diancam pidana penjara paling lama 6
enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah sekarang menjadi Rp. 4.500,-, jika tidak
mengakibatkan kejahatan atau percobaan kejahatan yang dipidana, tetapi dengan ketentuan,
bahwa sekali-kali tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari pada yang ditentukan
terhadap percobaan kejahatan, atau jika percobaan
itu tidak dipidana, tidak dapat dijatuhkan pidana yang lebih berat dari yang ditentukan terhadap
kejahatan itu sendiri.
2. Aturan tersebut tidak berlaku, jika tidak mengakibatkannya kejahatan atau percobaan
kejahatan yang dipidana itu disebabakan karenakehendaknya sendiri.
Pasal diatas mengancam pidana terhadap pembujukan yang gagal dan juga yang tidak menimbulkan akibat.
Dengan demikian pasal ini menjadikan perbuatan “ pembujukan yang gagal” sebagai delik yang berdiri
sendiri delictum suigeneris. Delik ini merupakan delik formil, artinya perumusannya dititikberatkan pada
perbuatan si pembuat, jadi jika seseorang dengan salah satu sarana yang tersebut dalam pasal 55 ke-2
itu berusaha menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, maka ia sudah dapat dipidana.
Alasan penghapus pidananya tercantum dalam ayat 2. Menurut Prof. Moelyatno, pasal 163 biss 2
merupakan alasan penghapus penuntutan.
Perlu diperhatikan bahwa dalam pasal 163 bis itu digunakan kata-kata “mencoba berusaha
menggerakkan orang lain untuk…”. Jadi dapat juga dikenakan kepada “menyuruh lakukan doenplegen
yang gagal”, asal saja sarana yang dipakai oleh si pembuat termasuk salah satu sarana untuk
pembujukan yang tersebut dalam pasal 55 ayat 1 ke- 2.
e. Pertanggungjawaban si penganjur. Dalam pasal 55 ayat 2 dinyatakan bahwa penganjur
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja dianjurkannya beserta akibatnya. Misal :
A menganjurkan B untuk menganiaya C dan akibat penganiayaan itu C mati, Dalam hal ini
pertanggungjawaban A bukan terhadap perbuatan “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan”
pasal 55 jo 351 tetapi “menganjurkan orang lain melakukan penganiayaan yang berakibat mati” pasal
55 jo 351 ayat 3.
Bagaimanakah apabila B yang dianjuri langsung membunuh C. dalam hal ini matinya C tidak dapat
dipertanggungjawabkan pada A Jadi tidak dapat dituduh berdasar pasal 55 jo 338, karena
pembunuhan itu bukan dimaksud disengaja oleh A. Namun
demikian, A
masih dapat
dipertanggungjawabkan berdasrkan pasal 163 bis, yaitu pembujukan yang gagal untuk penganiayaan.
Maksimum pidana yang dapat dikenakan adalah maksimum pidana untuk penganiayaan yang terbukti
sengaja dianjurkan oleh A, yaitu kalau penganiayaan biasa pasal 351 1, maksimumnya 2 tahun 7 bulan,
kalau penganiayaan ringan pasal 352 maksimumnya 3
bulan, kalau penganiayaan yang direncanakan pasal 351 1 maksimumnya 4 tahun penjara dst. Jadi
maksimumnya bukan 6 tahun perhatikan redaksi pasal 163 bis.
Ketentuan pasal 163 bis juga dapat dipertanggungjawabkan pada A dalam hal B yang
dianjuri tidak mau melaksanakan anjuran dari A walaupun mungkin ia sudah menerima sesuatu
pemberian hadiah dari A. jadi gagalnya pengajuran A karena kehendak orang yang ditujuk B. Apabila tidak
terjadi atau gagalnya pengajuran A itu karena kehendak A sendiri, maka pasal 163 bis tidak dapat
dikenakan pada A.
Bagaimanakah apabila dalam melaksanakan anjuran A untuk menganiaya C itu, B baru melaksankannya
sampai taraf percobaan penganiayaan tidak dipidana dan ini berarti “tidak terjadi percobaan kejahatan
yanmg dipidana” seperti disebutkan dalam pasal 163 bis.
Kalau A membujuk B untuk membunuh C dengan menggunakan pistol, tetapi karena “penyimpangan
sasaran” aberretio ictus afdwalirgsgevallen tembakan B mengenai D, maka perbuatan A tetap
dapat disebut “membujuk untuk percobaan pembunuhan terhadap C” pasal 55 jo 53 jo 338.
Bagaimanakah terhadap matinya D, apakah A dapat dipertanggungjawabkan ?
Ada pendapat bahwa dalam hal ini A tidak dapat dipertanggungjawabkan karena matinya D bukan yang
dikenhendaki disengaja dianjurkan oleh A, jadi karena tidak ada identitas kesamaan antara
perbuatan yang dibujukkan dengan perbuatan yang benar–benar dilakukan. Pendapat ini menghendaki
adanya hubungan langsung antara kesengajaan si pembujuk dengan terjadinya delik yang dilakukan oleh
orang yang dibujuk. Jadi masalah pokoknya berkisar pada sampai seberapa jauh “kesengajaan” menurut
pasal 55 2 itu dapat dipertanggungjawabkan kepada di pembujuk, apakah hanya bertanggung jawab
terhadap “kesengajaan dengan maksud yang langsung dituju” atau meliputi juga seluruh corak
kesengajaan.
Apabila pengertian “sengaja yang dianjurkan” dalam pasal 55 2 meliputi juga dolus eventualis yang
dilakukan oleh pembuat materiil, maka dlam kasus diatas A juga dapat dipertanggungjawabkan terhadap
matinya D apabila terbukti bahwa pada saat B pembuat materiil menembak C dapat dibayangkan
kemungkinan tertembaknya orang lain b yang berada di dekat C. Penetuan hal ini dilakukan secara
normative oleh Hakim.
6. PEMBANTUAN medeplichtige
a. Sifat : Dilihat dari perbuatannya. Pembantuan ini bersifat accessoir artinya untuk
adanya pembantuan harus ada orang yang melakukan kejahatan harus ada orang yang
dibantu. Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir. Artinya dipidananya pembantu tidak
tergantung pada dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.
b. Jenis : Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :
Jenis pertama : Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-undang
Jenis kedua : Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;
Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang yaitu dengan cara : memberi
kesempatan, sarana atau keterangan.
Pembantuan jenis pertama ini mirip dengan turut serta medeplegen perbedaannya sbb :
Pembantuan Turut Serta
Menurut ajaran penyertaan Menurut ajaran obyektif :
obyektif : perbuatannya hanya membantu
menunjang ondersteuning shanling
perbuatan merupakan
perbuatan pelaksanaan uitvoering shandelling
Menurut ajaran subyektif :
Kesenjangan merupakan animus
socii hanya untuk memberi bantuan
saja pada orang lain;
Tidak harus ada
kerja sama yang disadari beweste
samenwerking
Tidak mempunyai
kepentingan tujuan sendiri.
Menurut ajaran subyektif :
Kesenjangan merupakan animus
coauctores diarahkan untuk
terwujudnya delik;
Harus ada kerja
sama yang disadari bewuste
samenworking
Mempunyai
kepentingan tujuan sendiri.
Terhadap pelanggaran
tidak dipidana pasal 60 KUHP.
Terhadap kejahatan
maupun pelanggaran dapat dipidana.
Maksimum pidananya
dikurangi sepertiga pasal 57-1.
Maksimum pidananya sam dengan si pembuat.
Pembantuan jenis kedua ini mirip dengan penganjuran uitlokking. Perbedaannya adalah sebagai berikut :
Penganjuran Pembantuan
Kehendak untuk melakukan Kehendak jahat pada
kejahatan pada pembuat materiil ditimbulkan oleh si
pengajur ada kausalitas psikhis
pembuat materiil sudah ada sejak semula tidak
ditimbulkan oleh si pembantu.
Adanya ajaran teori penyertaan yang obyektif dan subyektif, ditimbulkan oleh adanya konsepsi yang saling
bertentangan menganai
batas-batas pertanggungjawaban para peserta, yaitu :
A. Sistem yang berasal dari hukm Romawi, Menurut system ini tiap-tiap peserta sama nilainya
sama jahatnya dengan orang yang melakukan, tindak pidana itu sendiri, sehingga mereka
masingt-masing juga dipertanggungjawabkan sama dengan pelaku.
Karena tiap-tiap peserta dipertanggungjawabkan sama, maka batas antara bentuk-bentuk
penyertaan sama, maka batas antara bentuk- bentuk penyertaan tidaklah prinsip, yang dijadikan
titik berat untuk menentukan batas antara pelaku dengan para peserta diletakkan pada
perbuatannya dan saat bekerjanya masing-masing jadi bersifat obyektif. Pendirian inilah yang
kemudian dikenal dengan teori atau jaran penyertaan obyektif.
Sistem yang pertama ini terdapat dalam Code Penal Prancis dan dianut juga di Inggris.
B. Sistem yang berasal dari para jurist Italia dalam abad pertengahan.
Menurut system ini tiap-tiap peserta tidak dipandang sama nilainya tidak sama jahatnya,
tergantung dari perbuatan yang dilakukan. Oleh karena itu pertanggungjawabannya juga berbeda,
ada kalanya sama berat dan ada kalanya lebih ringan dari pelaku. Karena pertanggungjawaban
para peserta itu berbeda, maka batas antara masing-masing bentuk penyertaan itu adalah
prinsip sekali, artinya harus ditentukan secara tegas. Adapun yang dijadikan batas antara
masing-masing bentuk penyertaan dititik beratkan pada sikap batin masing-masing peserta.
Pendirian inilah yang dikenal dengan teori atau ajaran penyertaan yang subyektif.
Sistem, kedua ini dianut dalam KUHP Jerman dan Swiss. Seperti telah dikemukakan, di Jerman
dibedakan antara Tater pembuat, anstifter penganjur dan Gehilfe pembantu. Berdasar
teori subyektif, maka jarang termasuk tater harus mempunyai tater-willen niat untuk menganjurkan
dan yang termasuk Gehilfe harus mempunyai Gehilfewiller niat untuk membantu orang lain.
Menurut Prof Moelyatno, KUHP kita dapat digolongkan kedalam kelompok teori campuran
karena :
- Dalam pasal 55 disebutkan “dipidana sebagai
pembuat” dan dalam pasal 56 disebutkan “ dipidana sebagai pembantu”. Dengan adanya
dua bentuk penyertaan ini yang dapat disamakan dengan pembagian autors dan
complices di Prancis atau principals dan accessoir di Inggris, berarti menganut system
yang pertama.
- Akan tetapi apabila dilhat perbedaan
pertanggungjawabannya yaitu pembantu dipidana lebih ringan dikurangi sepertiga dari
si pembuat, maka ini berarti dianut yang kedua.
Selanjutnya dikemukakan oleh beliau, bahwa apabila pada dasarnya KUHP kita menganut
system Code Penal system pertama dengan pengecualian untuk pembantuan dianut system
KUHP Jerman system kedua, maka konsekuensinya ialah :
A. Perbedaan dalam pasal 55 antara pelaku orang yang menyuruh lakukan, yang turut serta
dan yang menganjurkan, dalah tidak prinsipil. Ini berarti batas antara mereka yang tergolong
dalam “daders” itu tidak perlu ditentukan secara subyetif menurut niatnya masing-masing
peserta, tetapi cukup secara obyektif menurut bunyinya peraturan saja.
Dalam hubungan ini yang penting adalah perbedaan antara orang yang menyuruh
lakukan dan penganjur. Perbedaan antara keduanya jangan dicari dalam sikap batin
masing-masing, tetapi cukup bahwa :
- Untuk menjadi orang yang menyuruh lakuka, apabila orang yang disuruh tidak dapat
dipidana sebagai pembuat karena dipandang tidak mempunyai kesalahan, dan
- Untuk menjadi pengajur sudah cukup, apabila cara-cara yang digunakan untuk
menganjurkan tersebut dalam pasal 55 1 ke-2 dan si pembuat materiil dapat
dipertanggungjawabkan.
B. Perbedaan antara pembuat dader dan pembantu megeplichtige adalah prinsipil,
sehingga batas antara keduanya ditentukan menurut sikap batinnya.
c. Pertanggungjawaban pembantu. 1. Pada prinsipnya KUHP menganut system bahwa
pidana poko untuk pembantu lebih ringan dari pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 1
dan 2 yaitu : - Maksimum pidana poko untuk pembantuan dikurangi sepertiga ayat 1;
- Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka maksimum pidana
untuk pembantu ialah 15 tahun penjara ayat 2.
Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam : a. Pasal 333 4 : Pembantu dipidana sama berat
dengan pembuat, lihat juga pasal 415 dan 417. b. Pasal 231 3 : Pembantu dipidana lebih berat
dari si pembuat, lihat juga pasal 349. 2. Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan
ancaman terhadap kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat pasal 57 : 3.
3. Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP
mengamut system
bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri tidak bersifat
accessoir, artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si pembuat. Misal pasal 57 4
dan 58.
4. Ada pendapat dari Prof Moelyatno dan Prof. Oemar sadji, bahwa system pemidanaan untuk pembantuan
hendaknya dipakai system “facultative Minderbes Taftung strafmilderung yaitu terserah pada hakim
apakah terhadap pembantu pidananya akan dikurangi atau tidak.
E. PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN CULPOSE DEELNEMING