POKOK BAHASAN PENGERTIAN Asas asas Hukum Pidana

B. Tujuan Instruksional Khusus Setelah mempelajari modul ini peserta diklat diharapkan mengetahui tentang ruang lingkup berlakunya, tindak pidana, adanya hubungan sebab akibat causaliteit, causalitat, sifat melawan hukum, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana, kesengajaan, kealpaan, delik pelanggaran, pemidanaan, percobaan, penyertaan, penggabungan tindak pidana, dasar penghapus pidana, gugurnya wewenang menuntut dan menjalankan pidana.

IV. POKOK BAHASAN

a. Ruang lingkup berlakunya Hukum Pidana. b. Tindak Pidana. c. Hubungan sebab akibat causaliteit, causalitat. d. Sifat melawan hukum rechtswdrig, unrecht, wederrechtelijk, onrechmatig. e. Kesalahan dan pertanggungjawaban pidana. f. Kesengajaan dolus, intent, opzet, vorsatz. g. Kealpaan culpa. h. Kesalahan dalam delik pelanggaran. i. Pidana dan pemidanaan hukum penitensier. j. Percobaan poging, attempt. k. Penyertaan. l. Penggabungan tindak pidana samenloop concursus. m. Alasan dasar penghapus pidana straffuitsluitingsgrond, grounds of impiunity. n. Gugurnya kewenangan menuntut dan menjalankan pidana.

V. FASILITAS MEDIA

Fasilitas dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran Pengantar asas-asas hukum pidana antara lain : a Modul asas-asas hukum pidana; b Internet; c Peraturan perundang-undangan; d Literatur yang terkait. BAB II RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT WAKTU

Penerapan hukum pidana atau suatu perundang- undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan feit pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan sama sekali tidak dapat dipidana. Asas Legalitas nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali Terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu. Dalam perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat 1 berbunyi dan berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional. Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang paksaan psikologis” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar : - Nulla poena sine lege tiada pidana tanpa undang-undang - Nulla Poena sine crimine tiada pidana tanpa perbuatan pidana - Nullum crimen sine poena legali tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada Adagium ini menganjurkan supaya : 1 Dalam menentukan perbuatan- perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga macamnya pidana yang diancamkan; 2 Dengan cara demikian maka orang yang akan melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan; 3 Dengan demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat. Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya. Prof. Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu : 1 Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP. 2 Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif. 3 Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Schaffmeister dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut : a Tidak dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan perundang-undangan formil. b Tidak diperkenankan Analogi pengenaan suatu undang-undang terhadap perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut. c Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan Hukum tidak tertulis. d Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas lex Certa. e Tidak boleh Retroaktif berlaku surut f Tidak boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang. g Penuntutan hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.

B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT LEX LOCI

Teori tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat terjadinya. Perbuatan yurisdiksi hukum pidana nasional, apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 dua pendapat yaitu : a. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara, baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain asas territorial. b. Perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah Negara. Pandangan ini disebut menganut asas personal atau prinsip nasional aktif. Pada bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum pidana menurut tempat : I. Asas Teritorial. II. Asas Personal nasional aktif. III. Asas Perlindungan nasional pasif IV. Asas Universal. Ad. I. Asas Teritorial Asas ini diatur juga dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP yaitu dalam pasal 2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”. Pasal ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Sedang dalam asas kedua asas personal atau asas nasional yang aktif menitik beratkan pada orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh Negara- negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada. Perluasan dari Asas Teritorialitas diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”. Ketentuan ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu kendaraan air dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia. Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana. Setiap orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan laut wilayah Negara lain. Asas-asas Extra Teritorial kekebalan dan hak-hak Istimewa Immunity and Previlege.  Kepala Negara asing dan anggota keluarganya.  Pejabat-pejabat perwakilan asing dan keluarganya.  Pejabat-pejabat pemerintahan Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui Negara-negara lain atau menuju Negara lain.  Suatu angkatan bersenjata yang terpimpin.  Pejabat-pejabat badan Internasional.  Kapal-kapal perang dan pesawat udara militer ABK diatas kapal maupun di luar kapal. Ad. II. Asas Personal Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala Negara, penghasutan, dll. Pasal 5 KUHP menyatakan : “1. Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang- undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana. 2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”. Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas melindungi kepentingan nasional asas nasional pasif karena : Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal- pasal tertentu saja, yang dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara. Ketentuan pasal 5 ayat 2 adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara Indonesia naturalisasi. Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran. Ketentuan pasal 6 KUHP : “ Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan pidana mati”. Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat 1 butir 2 KUHP adalah untuk melindungi kepentingan nasional timbal balik mutual legal assistance. Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara asing tadi. Ad. III. Asas Perlindungan Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayah Negara Pasal 4 KUHP seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976 “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131; 2. Suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; 3. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat- surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu; 4. Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional universal. Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang di luar Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut. Dikatakan melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan nasional, yaitu : 1 Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia pasal 4 ke-1 2 Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia pasal 4 ke-2 3 Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat- sertifikat hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian- bagiannya pasal 4 ke-3 4 Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia pasal 4 ke- 4 Ad. IV. Asas Universal Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional asas universal adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia hukum internasional. Dikatakan melindungi kepentingan internasional kepentingan universal karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas dan pasal 4 ke-4 KUHP mengenai pembajakan kapal laut dan pembajakan pesawat udara tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing. Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4 KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing. Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional asas nasional pasif. Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah asas melindungi kepentingan internasional asas universal. Pasal 7 KUHP “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”. Pasal ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal tersebut pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435 telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap diperhatikan pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14” Pasal 8 KUHP “Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam ordonansi perkapalan”. Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP. Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum internasional. Menurut Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi : 1 Kepala Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka 2 Duta besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial. 3 Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang mempunyainya 4 Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu. BAB III TINDAK PIDANA

a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Hingga saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana strafbaar feit. Menurut Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Terdapat 3 tiga hal yang perlu diperhatikan :  Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.  Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.  Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”. Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan die strafbaarheid van het feit dan dapat dipidananya orang strafbaarheid van den person. Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana criminal act dan pertanggungjawaban pidana criminal responsibility. Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan- perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar. Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana strafbaar feit adalah :  Perbuatan manusia positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan.  Diancam dengan pidana statbaar gesteld  Melawan hukum onrechtmatig  Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband staand  Oleh orang yang mampu bertanggung jawab toerekeningsvatoaar person. Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana strafbaar feit. Unsur Obyektif :  Perbuatan orang  Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.  Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”. Unsur Subyektif :  Orang yang mampu bertanggung jawab  Adanya kesalahan dollus atau culpa. Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan. Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :  Perbuatan manusia  Yang memenuhi rumusan dalam undang- undang syarat formil  Bersifat melawan hukum syarat materiil Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari : 1 Kelakuan dan akibat 2 Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi : a. Unsur subyektif atau pribadi Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat 1 sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut b. Unsur obyektif atau non pribadi Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum. Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan. 1 Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP Pasal 164 KUHP : barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan. Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik perbuatan pidana tetapi sebagai syarat penuntutan. 2 Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat 1 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun pasal 351 ayat 2 KUHP, dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun pasal 351 ayat 3 KUHP. Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana 3 Unsur melawan hukum Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada. Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum. Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin pendapat ahli ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum. Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah : 1 Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas; 2 Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi; 3 Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan; 4 Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana; 5 Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah; 6 Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur- unsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.

c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik.

1. Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran. Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran kriterium untuk membedakan kedua jenis delik itu. Ada dua pendapat : a. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah : 1. Rechtdelicten Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” mala perse. 2. Wetsdelicten Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan mala quia prohibita. Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain. b. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”. Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan. Kejahatan ringan : Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 1, 315, 407.

2. Delik formil dan delik materiil delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan

perumusan secara materiil a. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik. Misal : penghasutan pasal 160 KUHP, di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia pasal 156 KUHP; penyuapan pasal 209, 210 KUHP; sumpah palsu pasal 242 KUHP; pemalsuan surat pasal 263 KUHP; pencurian pasal 362 KUHP. b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki dilarang. Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran pasal 187 KUHP, penipuan pasal 378 KUHP, pembunuhan pasal 338 KUHP. Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.

3. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen

commissa a. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan. b. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan pasal 522 KUHP, tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan pasal 531 KUHP. c. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan dus delik commissionis, akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu pasal 338, 340 KUHP, seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel pasal 194 KUHP.

4. Delik dolus dan delik culpa doleuse en culpose delicten

a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.

5. Delik tunggal dan delik berangkai enkelvoudige en samenge-stelde delicten

a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali. b. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 penadahan sebagai kebiasaan

6. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai voordurende en aflopende delicten

Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang pasal 333 KUHP.

7. Delik aduan dan delik laporan klachtdelicten en niet klacht delicten

Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena gelaedeerde partij misal : penghinaan pasal 310 dst. jo 319 KUHP perzinahan pasal 284 KUHP, chantage pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2. Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai : a. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. b. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena. Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.

8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya peringannya eenvoudige

dan gequalificeerde geprevisilierde delicten Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang pasal 351 ayat 2, 3 KUHP, pencurian pada waktu malam hari dsb. pasal 363. Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak- kanak pasal 341 KUHP. Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan pasal 351 KUHP, pencurian pasal 362 KUHP.

9. Delik ekonomi biasanya disebut tindak pidana ekonomi dan bukan delik ekonomi

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.

d. SUBYEK TINDAK PIDANA

Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia naturlijke personen. Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut : a. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”. b. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu : 1. pidana pokok : a. pidana mati b. pidana penjara c. pidana kurungan d. pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan 2. pidana tambahan : a. pencabutan hak-hak tertentu b. perampasan barang-barang tertentu c. dimumkannya keputusan hakim Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia. c. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia. d. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia. Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan korporasi lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya. Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” omkering van bewijslast. Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya. Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan M.v.T terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” S.1948-144 dan “Ordonansi pengendalian harga” S.1948-295 terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan hukum melakuka tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana. Pompe hal. 83 menyatakan mengenai persoalan ini terjemahan “Untuk sebagian peradilan dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri penyelesaian untuk problem dalam materi baru ini”. Van Hattum hal. 147 : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”. Dalam pada itu sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi pembuat, bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van Hattum menulis a.l. : terjemahan …………. sebaiknya pembentuk undang-undang membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi. BAB IV HUBUNGAN SEBAB AKIBAT CAUSALITEIT, CAUSALITAT

A. Kausalitas

Didalam delik-delik yang dirumuskan secara materiil selanjutnya disebut delik materiil, terdapat unsur akibat sebagai suatu keadaan yang dilarang dan merupakan unsur yang menentukan essentialia dari delik tersebut. Berbeda dengan dengan delik formil terjadinya akibat itu hanya merupakan accidentalia, bukan suatu essentialia, sebab jika disini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik materiil itu tidak ada, paling banyak ada percobaan. Misalnya : Pasal 338 KUHP : Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain dihukum karena pembunuhan. Keadaan yang menentukan di sini adalah terampasnya nyawa seseorang. Contoh : matinya si A. Oleh karenanya untuk dapat menuntut seseorang misalnya X yang dilakukan melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan matinya seseorang, maka harus dapat dibuktikan bahwa karena perbuatan X itu maka timbul akibat matinya A. “akibat” ini artinya “perubahan atas suatu keadaan” dimana dapat berupa suatu pembahayaan atau perkosaan terhadap kepentingan hukum. Hubungan sebab akibat causaliteitsvraagstuk ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikualifikasi oleh akibatnya door het gevolg gequafili ceerde delicten misal pasal- pasal : 187, 188, 194 ayat 2, 195 ayat 2, pasal 333 ayat 2 dan 3, 334 ayat 2 dan 3, 351 ayat 2 dan 3, 355 ayat 2 dan 3 KUHP. Persoalan kausalias ini terjadi karena kesulitan untuk menetapkan apa yang menjadi sebab dari suatu akibat. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terdapat dalam lingkungan hukum pidana saja, akan tetapi juga dalam lapangan hukum lainnya. Misalnya hukum perdata dalam penentuan ganti rugi dan dalam hukum dagang misalnya dalam persoalan asuransi. Persoalan ini pun terdapat dalam lapangan ilmu pengetahuan lainnya, misalnya dalam filsafat. Dalam menetapkan apakah yang dapat dianggap sebagai sebab dari suatu kejadian, maka terjadilah beberapa teori kausalita. Teori-teori hendak menetapkan hubungan obyektif antara perbuatan manusia dan akibat, yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Akibat kongkrit harus bisa ditelusuri sampai ke sebab. Akan tetapi sebenarnya tidak boleh dipandang terlampau sederhana. Dalam filsafat terdapat “peringatan”, bahwa kejadian “B” yang terjadi sesudah kejadian “A”, belum tentu disebabkan karena kejadian “A” post hoc non propter hoc.

B. Teori-teori Kausalitas ajaran-ajaran kausalitas

B.1. Teori Ekivalensi aquivalenz-theorie atau Bedingungstheorie atau teori condition sine qua non dari von Buri Teori ini mengatakan : tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat kongkrit, seperti yang senyata-nyatanya, menurut waktu, tempat dan keadaannya. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan lazim dirumuskan “nicht hiin weggedacht warden kann dan seterusnya tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter. Di tengah jalan ia kejatuhan genting, lalu mati. Penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari matinya A. Teori ekivalensi ini memakai pengertian “sebab” sejalan dengan pengertian yang dipakai dalam logika. Dalam hubungan ini baik dikemukakan, bahwa terlepas satu sama lain, John Stuart Mill di Inggris dalam bukunya : Sistem of Logic berpendapat, “bahwa “sebab itu adalah “the whole of antecedents” 1843. Van Hamel, seorang penganut teori ekivalensi berpendapat bahwa “untuk hukum pidana teori ini boleh digunakan, apabila diperbaiki dan diatur oleh teori kesalahan yang harus diterapkan dengan sebaik-baiknya”. Di sini dijelaskan, bahwa harus dibedakan antara hubungan kausal dan pertanggung jawaban pidana. Kritik keberatan terhadap teori ini : hubungan kausal membentang ke belakang tanpa akhir, sebab tiap-tiap “sebab” sebenarnya merupakan “akibat” dari “sebab” yang terjadi sebelumnya. Jadi misal : B ditikam oleh A sampai mati. Yang merupakan sebab bukan hanya ditikam A, tetapi juga penjualan pisau itu kepada A dan penjualan pisau itu tidak ada, apabila tidak ada pembuatan pisau. Jadi pembuatan pisau itu juga “sebab” dan begitu seterusnya. Berhubungan dengan keberatan itu, maka ada teori-teori lain yang hendak membatasi teori tersebut teori-teori yang akan disebutkan di bawah ini, mengambil dari sekian faktor yang menimbulkan akibat itu beberapa faktor yang kuat dominant, sedang faktor-faktor lainnya dipisahkan sebagai faktor- faktor yang irrelevant yang tidak perlu penting. Kebaikan teori ini : mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan juga karena tori ini menarik secara luas sekali dalam membatasi lingkungan berlakunya pertanggungjawaban pidana. Teori ekivalensi ini dapat dipandang sebagai pangkal dari teori-teori lain. B.2. Teori-teori Individualisasi Teori-teori ini memilih secara post actum inconcreto, artinya setelah peristiwa kongkrit terjadi, dari serentetan faktor yang aktif dan pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari peristiwa tersebut; sedang faktor-faktor lainnya hanya merupakan syarat belaka. Penganut- penganutnya tidak banyak antara lain : 1. Birkmayer 1885 mengemukakan : sebab adalah syarat yang paling kuat Ursache ist die wirksamste Bedingung 2. Binding. Teorinya disebut “Ubergewichtstheorie” Dikatakan : sebab dari sesuatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan negatif dan faktor yang positif, dimana faktor yang positif itu lebih unggul. Yang disebut “sebab” adalah syarat-syarat positif dalam keunggulannya in ihrem Ubergerwicht-bobot yang melebihi terhadap syarat-syarat yang negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat terakhir yang menghilangkan keseimbangan dan memenangkan faktor positif itu. B.3. Teori-teori generalisasi Teori-teori ini melihat secara ante factum sebelum kejadianin abstracto apakah diantara serentetan syarat itu ada perbuatan manusia yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu, artinya menurut pengalaman hidup biasa, atau menurut perhitungan yang layak, mempunyai kadar kans untuk itu. Dalam teori ini dicari sebab yang adequate untuk timbulnya akibat yang bersangkutan ad-aequare artinya dibuat sama. Oleh karena itu teori ini disebut teori adequat teori adequate, Ada-quanzttheorie. Contoh-contoh tentang ada atau tidaknya hubungan sebab akibat yang adequat : a. Suatu jotosan ang mengenai hidung, biasanya dapat mengakibatkan hidung keluar darah. Akan tetapi apabila orang yang pukul itu menjadi buta itu bukan akibat yang adequate. Ini suatu akibat yang abnormal, yang tidak biasa. b. Seorang yang menyetir mobil terpaksa mengerem sekonyong-konyong, oleh karena ada pengendara sepeda hendak menyebrang jalan yang membelok, sedang ini tidak disangka-sangka oleh pengendara mobil. Pengendara mobil ini mendapat penyakit trauma karena menekan urat. Dianipun dapat dikatakan bahwa perbuatan pengendara sepeda itu tidak merupakan penyebab yang adequate untuk timbulnya penyakit trauma tersebut. c. Seorang petani membakar tumpukan rumput kering hooi, dimana secara kebetulan bersembunyi tidur seorang penjahat hingga ikut mati terbakar. Adakah pen-sebab-an yang adequate ? Jawabannya tergantung dari keadaan. Jika biasanya menurut pengalaman sehari-hari, tidak timbul akibat semacam itu maka perbuatan petani itu bukanlah sebab. Akan tetapi apabila di daerah itu merupakan kebiasaan orang untuk bersembunyi atau menginap dalam tumpukan rumput, maka perbuatan petani itu benar-benar mempunyai kadar untuk matinya seseorang. Hal yang merupakan persoalan dalam teori ini ialah : bagaimanakah penentuannya, bahwa suatu sebab itu pada umumnya cocok untuk menimbulkan akibat tertentu itu ? Mengenai hal ini ada beberapa pendirian. Disini disebut antara lain : 1. Penentuan subyektif subjective ursprungliche Prognose. Disini yang dianggap sebab ialah apa yang oleh sipembuat dapat diketahui diperkirakan bahwa apa yang dilakukan itu pada umumnya dapat menimbulkan akibat semacam itu Von Kries jadi pandangan atau pengetahuan si pembuatlah yang menentukan. 2. Penentuan obyektif. Dasar penentuan apakah suatu perbuatan itu dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui. Jadi bukan yang diketahui atau yang dapat diketahui oleh sipembuat, melainkan pengetahuan dari hakim. Dasar penentuan Beurteilungs standpunkte ini disebut “objektive nachtragliche Prognose” Rumelin. Sebenarnya dalam teori kausal adequat subyektif Von Kries itu tersimpul unsur penentuan tentang kesalahan; oleh karena itu dapat dikatakan bahwa teori adequate subyektif dari von Kries ini bukan teori kausalitas yang murni. Sebab suatu perbuatan baru dianggap sebagai sebab yang adequate apabila sipembuat dapat mengira- ngirakan atau membayangkan voor zien akan terjadinya akibat atau kalau orang umumnya membayangkan terjadinya akibat itu; jadi sipembuat dapat membayangkan dan seharusnya dapat membayangkan. Oleh karena dalam ajaran tersebut tersimpul unsur kesalahan, maka ia juga menentukan pertanggunganjawab pidana, jadi bukan teori kausalitas dalam arti yang sesungguhnya. Contoh : seorang majikan, yang sangat membenci pekerjanya, tetapi tidak berani melepasnya, ingin sekali agar pekerja itu mati. Pada waktu hujan yang disertai petir ia menyuruh pekerjanya itu pergi ke suatu tempat dengan harapan agar orang itu disambar petir. Harapan itu terkabul dan pekerjanya itu mati disambar petir. Menurut teori ekivalensi : ya, sebab seandainya pekerja itu tidak disuruh keluar oleh majikan, maka ia tidak mati. Konsekwensi ini umumnya dipandang terlalu jauh. Oleh karena itu lebih memuaskan apabila dipakai teori adequate. Menurut teori ini : perbuatan menyuruh orang ke tempat lain pada umumnya tidak mempunyai kadar untuk kematian seseorang karena disambar petir. Penyambaran petir adalah hal yang kebetulan. Dengan ini maka tidak ada hubungan kausal, sehingga juga tidak ada pemidanaan. Beberapa penganut teori adequat yang lain : 1. Simons : Dikatakan olehnya : “suatu perbuatan dapat disebut sebagai sebab dari suatu akibat, apabila menuntut pengalaman manusia pada umumnya harus diperhitungkan kemungkinan, bahwa dari perbuatan sendiri akan terjadi akibat itu”. 2. Kami Ringkasan Hukum Pidana hal. 47 berpendirian senada dengan Simons. Beliau katakan : “Kehidupan hukum dan perhubungan hukum itu terdiri atas persangkaan, presumptie, bahwa alur peristiwa di dunia ini ada biasa dan normal. Ini kesimpulan pengalaman kita sebagai manusia. Syarat yang pada umumnya, biasanya, dengan mengikuti hal ikhwal yang berada dan menurut pengalaman kita, dengan kadarnya memadai sesuatu akibat, itulah yang dianggap sebagai suatu sebab”. 3. Pompe : yang disebut sebab ialah perbuatan- perbuatan yang dalam keadaan tertentu itu mempunyai strekking untuk menimbulkan akibat yang bersangkutan. Tinjauan terhadap teori-teori kausalitas tersebut di atas : teori ekuivalentie dapat dikatakan teori kausalitas yang benar, akan tetapi selalu diberi suatu penambahan. Teori ini ditambah dengan penentuan ada dan tidaknya unsur kesalahan pada sipembuat, dan memberi keterangan yang cukup memuaskan apakah sesuatu perbuatan itu merupakan sebab dari sesuatu akibat yang dimaksudkan dalam rumusan delik yang bersangkutan. Mengenai teori adequat dari von Kries, itu dapat juga dikatakan, bahwa teori tersebut sesuai dengan jiwa hukum pidana. Hukum Pidana itu mempunyai tugas untuk melindungi kepentingan hukum terhadap perkosaan dan perbuatan yang membahayakan. Berhubung dengan tugas tersebut maka hukum pidana harus membuat “pagar” terhadap perbuatan-perbuatan yang agaknya mendatangkan kerugian. Dalam hal ini teori adequat dapat menunjukkan perbuatan-perbuatan tersebut. Akan tetapi kelemahan teori ini tidak mudah dalam kenyataan, ia menggunakan istilah-istilah yang tidak terang misalnya biasanya, kadar, pengalaman manusia pada umumnya dan sebagainya. Dalam yurisprudensi Hindia Belanda, yang sesuai dengan asas konkordantie pada waktu itu, mengikuti yurisprudensi Negeri Belanda, tidak terlihat dengan nyata teori mana yang dipakai. Hooggerechtshof condong ke teori adequate. Akan tetapi dalam pada itu di dalam berbagai putusan pengadilan dapat ditunjukkan adanya persyaratan, bahwa antara perbuatan dan akibat harus ada hubungan yang langsung dan seketika onmiddellijk en rechtsreeks a. Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 . 147 hal 115 sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental ke atas rel dan seketika itu dilindas oleh kereta api. Terlindasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil. Maka matinya si korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan si terdakwa pengendara mobil. b. Putusan Politierechter Bandung 5 April 1933 Seorang ayah yang membiarkan anaknya yang berumur 14 tahun mengendarai sepeda motornya. Anak tersebut menabrak orang. Disini memang perbuatan si ayah dapat disebut syarat voorwaarde dari tabrakan itu, akan tetapi tidak boleh disebut sebab dari tabrakan itu, oleh karena antara perbuatan ayah dan tabrakan itu tidak ada hubungan kausal yang langsung. c. Putusan Politierechter Palembang 8 Nopember 1936 diperkuat oleh Hooggerechtshof 2 Pebruari 1937. Perbuatan terdakwa yang tidak menarik seorang pengemudi mobil yang sembrono dari tempat kemudi stuur dan membiarkan pengemudi tersebut terus menyopir tidak dianggap sebagai sebab dari kecelakaan yang terjadi, oleh karena antara perbuatan terdakwa dan terjadinya kecelakaan itu tidak terdapat hubungan yang langsung. Perbuatan terdakwa, yang membiarkan pengemudi itu tetap menyopir, hanya dipandang sebagai suatu syarat dan bukan sebab. d. Putusan Penagadilan Negeri Pontianak 7 Mei 1951, dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta Terdakwa sebagai kerani bertanggung jawab atas tenggelamnya satu kapal yang disebabkan oleh terlalu berat muatannya dan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang mengatur pemasukan barang- barang angkutan dalam kapal in casu tidak mempedulikan peringatan-peringatan dari berbagai pihak tentang terlalu beratnya muatan pada waktu kapal akan berangkat. Di dalam pertimbangan juga disebut bahwa perbuatan terdakwa mempunyai “hubungan erat” dengan “kecelakaan itu”.

C. Kausalitas dalam hal tidak berbuat

Persoalan ini timbul dalam delik-delik omissi dan dalam delik comisionis per ommisionem commissa delik omissi yang tak sesungguhnya. Jenis kedua ini sebenarnya delik commissi yang dilakukan dengan “tidak berbuat”. Pada delik omissi persoalannya mudah, karena delik omissi itu adalah delik formil, sehingga tidak ada persoalan tentang kausalitas. Yang ada persoalan ialah pada delik commisionis per omission commissa. Pada delik ini ada pelanggaran larangan dengan “tidak berbuat”. Dalam persoalan ini ada beberapa pendirian : a. Tidak mungkin orang tidak berbuat bisa menimbulkan akibat. Pendirian ini didasarkan kepada dalil ilmu pengetahuan alam yang berbunyi bahwa dari keadaan negatif tidak mungkin timbul kedaan positif. Pendirian ini tidak bisa diterima, karena dalil pengetahuan alam tidak tepat untuk dipakai dalam ilmu pengetahuan rokhani seperti hukum pidana ini. b. Yang disebut sebab ialah perbuatan yang positif yang dilakukan oleh sipembuat pada saat akibat itu timbul. Misal : dalam hal seorang ibu membunuh anaknya dengan tidak memberi susu, yang disebut sebagai sebab ialah “sesuatu yang dilakukan ibu itu pada saat ia tidak memberi susu itu, misal pergi ke toko. Teori ini dinamakan “teori berbuat lain. Teori inipun tidak dapat diterima, karena kepergian ibu itu tidak bisa dianggap ada perhubungan dengan akibat itu. c. Yang disebut sebagai sebab ialah perbuatan yang mendahului akibat yang timbul. Teori ini disebut “teori berbuat yang sebelumnya”, misal seorang penjaga wesel yang menyebabkan kecelakaan kereta api karena tidak memindahkan wesel; menurut ajaran ini yang menjadi sebab ialah apa yang dilakukan penjaga wesel. Teori inipun tidak memuaskan, sebab sulit dilihat hubungannya antara penerimaan jabatan dengan akibat yang timbul. d. Seseorang yang tidak berbuat dapat dikatakan sebab dari sesuatu akibat, apabila ia mempunyai kewajiban hukum untuk berbuat. Kewajiban itu timbul dari hukum, tidak hanya yang nyata-nyata tertulis dalam suatu peraturan tetapi juga dari peraturan-peraturan yang tidak tertulis, ialah norma-norma lainyang berlaku dalam masyarakat yang teratur. Di bawah ini diberi contoh-contoh apakah ada kewajiban berbuat atau tidak : 1 Ada anak yang dibunuh; orang tuanya mengetahui hal ini, tetapi tidak berbuat apa-apa. Apakah orang tua bertanggung jawab sebagai ikut berbuat dalam pembunuhan ? Jawab Hof Amsterdam 23 Oktober 1883: tidak, tetapi memang sikap semacam itu sangat tercela laakbaar dan tidak patut. 2 Seorang penjaga gudang membiarkan pencuri melakukan aksinya, ia dapat dipertanggungjawabkan, sebab sebagai penjaga ia berkewajiban untuk menjaga dan berbuat sesuatu. Kesimpulan mengenai kausalitas dalam hal tidak berbuat : sekarang tidak ada persoalan lagi, bahwa tidak berbuat itu dapat menjadi sebab dari suatu akibat. “Tidak berbuat” sebenarnya juga merupakan “perbuatan”. Dalam delik commisionis per omissionem commissa delik omissi yang tidak sesungguhnya “tidak berbuat” itu bukannya “tidak berbuat sama sekali” akan tetapi “tidak berbuat sesuatu”, yang diharapkan untuk diperbuatdilakukan. Maka dengan pengertian ini hal “tidak berbuat” pada hakekatnya sama dengan “berbuat sesuatu”, dalam arti dapat menjadi syarat untuk terjadinya suatu akibat. Sedang menurut teori adequate, mengingat keadaan yang kongkrit, dapat juga mempunyai kadar untuk terjadinya akibat, jadi juga dapat menjadi “sebab”. Akhirnya perlu diperhatiakn bahwa soal hubungan kausal ini terletak dalam segi obyektif yang menyangkut perbuatan dari keseluruhan syarat pemidanaan, jadi harus dibedakan dari persoalan kesalahan atau pertanggungan jawab pidana yang merupakan segi subyektifnya, ialah yang menyangkut orangnya. BAB IV SIFAT MELAWAN HUKUM Rechtswdrig, Unrecht, Wederrechtelijk, Onrechmatig

A. Istilah dan Pengertian

KUHP memakai istilah bermacam-macam : a. tegas dipakai istilah “melawan hukum”, wederrechtelijk dalam pasal 167, 168, 335 1, 522; b. dengan istilah lain misalnya : “tanpa mempunyai hak untuk itu” pasal 303, 548, 549; “tanpa izin” zonder verlof pasal 496, 510; “dengan melampaui kewenangannya” pasal 430; “tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan oleh peraturan umum” pasal 429. Alasan pembentuk undang-undang itu mencantumkan unsur sifat melawan hukum itu tegas-tegas dalam sesuatu rumusan delik karena pembentuk undang- undang khawatir apalagi unsur melawan hukum itu tak dicantumkan dengan tegas, yang berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang itu, mungkin dipidana pula. Arti istilah bersifat melawan hukum itu terdapat tiga pendirian: 1. bertentangan dengan hukum Simons 2. bertentangan dengan hak subyektief recht orang lain Noyon 3. tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu bertentangan dengan hukum H.R. Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan suatu penilaian obyektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si Pembuat. Bilamana sesuatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum ? Orang akan menjawab : “apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang”. Dalam bahasa Jerman ini disebut “tatbestandsmaszig”. Tasbestand disini dalam arti sempit, ialah unsur seluruhnya dari delik sebagaimana dirumuskan dalam peraturan pidana. Tasbestand dalam arti sempit ini terdiri atas tasbestand mer male, ialah masing-masing unsur dari rumusan delik. Pengecualian atas tasbestand mer male, dapat dikecualikan atas perbuatan yang memenuhi rumusan delik tatbestandsmaszig itu tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Misalnya dalam melaksanakan perintah undang-undang ps. 50 KUHP : 1 regu penembak, yang menembak mati seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman pidana mati, memenuhi unsur-unsur delik tersebut pasal 338 KUHP. Perbuatan mereka tidak melawan hukum. 2 Jaksa menahan orang yang sangat dicurigai telah melakukan kejahatan. Ia tidak dapat dikatakan melakukan kejahatan tersebut pasal 333 KUHP, karena ia melaksanakan undang-undang terdapat dalam peraturan hukum acara pidana sehingga tidak ada unsur melawan hukum. Di dalam kedua contoh tersebut hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan terdapat di dalam undang-undang. Namun dalam kasus : - seorang ayah memukul seorang pemuda yang memperkosa anak-anaknya - seorang menembak mati temannya atas permintaan sendiri, karena ia luka-luka berat dan tidak mungkin hidup terus, apalagi jauh dari dokter, karena dalam ekspedisi di Kutub Selatan - seorang bioloog membedah binatang-binatang vivisectie untuk penyelidikan ilmiah. Maka timbul persoalan ada tidaknya sifat melawan hukumnya perbuatan. Contoh lain yang mempermasalahkan unsur melawan hukum adalah : - Putusan PN Sawahlunto 10 Setember 1936 Seorang perempuan Minangkabau hidup bersama dengan seorang laki-laki dengan siapa ia menurut hukum adat dilarang kawin. Berhubung dengan pelanggaran adat ini, maka Mamak dari perempuan ini bersama-sama dengan orang lain mendatangi orang tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban dan untuk membawa laki-laki itu ke Wali Negeri. Oleh karena perempuan itu tidak mau membuka pintu rumahnya pintu didobrak. Pengadilan Negeri berpendapat perbuatan Mamak cs melanggar pasal KUHP merusak ketentraman rumah, dan memidana Mamak 3 bulan penjara dan lain-lainnya masing-masing 2 bulan. Alasan - Arrest Hoge Raad 20 Pebruari 1933 Seorang dokter hewan di kota Huizen dengan sengaja memasukkan sapi-sapi yang sehat ke dalam kandang yang berisi sapi-sapi yang sudah sakit mulut dan kuku, sehingga membahayakan sapi-sapi yang sehat itu. Perbuatan dokter hewan itu tegas-tegas masuk dalam rumusan delik tesebut dalam pasal 82 undang-undang ternak, ialah dengan sengaja menempatkan ternak dalam keadaan yang membahayakan mengkhawatirkan. Ketika dituntut, dokter hewan mengemukakan pada pokoknya, bahwa perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan peternakan. Putusan Mahkamah Agung Belanda : Pasal 82 Undang- undang ternak tidak dapat diterapkan kepada dokter hewan itu. Pertimbangannya antara lain : “tidak dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan yang diancam pidana itu mesti dipidana, apabila undang-undang sendiri tidak dengan tegas-tegas menyebut adanya alasan-alasan penghapus pidana, mungkin sekali dapat terjadi, bahwa unsur sifat melawan hukum tidak dicantumkan di dalam rumusan delik dan meskipun demikian tidak ada pemidanaan, karena dalam hal ini sifat melawan hukumnya perbuatan ternyata tidak ada, sehingga oleh karenanya pasal yang bersangkutan tidak berlaku terhadap perbuatan yang secara letterlijk memenuhi rumusan delik”. Pembagian Ajaran Sifat Melawan Hukum Menjawab persoalan tersebut maka hukum pidana membagi ajaran sifat melawan hukum dalam dua sudut pandang yaitu : 1. menurut ajaran sifat melawan hukum yang formil suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum, apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang- undang; sedang sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat hapus, hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang hukum tertulis. Menurut Simons, “Memang boleh diakui, bahwa suatu perbuatan, yang masuk larangan dalam sesuatu undang-undang itu tidaklah mutlak bersifat melawan hukum, akan tetapi tidak adanya sifat melawan hukum itu hanyalah bisa diterima, jika di dalam hukum positif terdapat alasan untuk suatu pengecualian berlakunya ketentuan larangan itu. Alasan untuk menghapuskan sifat melawan hukum tidak boleh diambil di luar hukum positif dan juga alasan yang disebut dalam undang-undang tidak boleh diartikan lain daripada secara limitatief. 2. menurut ajaran sifat melawan hukum yang materiil Suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang yang tertulis saja, akan tetapis harus dilihat berlakunya azas-azas hukum yang tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata- nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis uber gezetzlich. Jadi menurut ajaran ini melawan hukum sama dengan bertentangan dengan undang-undang hukum tertulis dan juga bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis termasuk tata susila dan sebagainya sebagaimana para sarjana yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang meteriil ialah : a Von Liszt : perkosaan atau pembahayaan terhadap kepentingan hukum hanyalah bersifat melawan hukum materiil materiel rechts widrig, jika perbuatan itu bertentangan dengan tujuan ketertiban hukum den Zwecken der das Zusammenleben regelnden Recht sordnung widerspricht; kalau tidak bertentangan dengan tujuan itu, maka tidak bersifat melawan hukum. b Zu Dohna mengatakan : Suatu perbuatan itu tidak melawan hukum jika perbuatan itu merupakan upaya yang haq untuk tujuan yang haq richtiges Mittel zum techten zwecke. Contohnya ialah seorang yang memukulpemuda yang memperkosa anak perempuannya. Di sini menurut Zu Dohna perbuatan ayahnya tidak bersifat melawan hukum. c M.E. Mayer mengatakan : Perbuatan itu melawan hukum materiil atau tidak, ditentukan oleh norma kebudayaan kulturnorm. Sifat melawan hukum itu, berarti bertentangan dengan kulturnorm yang diakui oleh negara. Kalau perbuatan itu sesuai dengan kulturnorm itu maka sifat melawan hukumnya hapus. d Zevenbergen Onrechtmatigheid adalah syarat yang umum, obyektif yang berdiri sendiri, yang biasanya ada jika suatu perbuatan memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi mengenai hal itu harus diselidiki untuk tiap-tiap kejadian yang kongkrit, apakah yang diharapkan oleh ketertiban hukum. Dalam hal ada keraguan mengenai sifat melawan hukum maka tidak boleh ada penjatuhan pidana. e Van Hattum Dengan adanya keputusan Hoge Raad tentang dokter hewan Huizen itu, ia katakan : dengan itu menurut hemat saya mer van Hattum telah diterima ajaran sifat melawan hukum yang materiil oleh Hoge Raad dan telah dipecahkan persoalan mer azas-azas yang boleh dikatakan benar dalam ajaran “penentuan hukum” dewasa ini in de hedendaagse leer Her rechtsvir onbetwist. Persaksian terhadap sifat melawan hukum yang materiil itu harus dilakukan secara hati- hati, dan istimewa hakim harus membuka diri pada peristiwa-peristiwa yang kongkrit. Misal abortus protus ps. 348 KUHP bisa tidak melanggar hukum berdasarkan petunjuk eugenetisch atau sosial. Eugenetiek adalah ajaran yang mempelajari perbaikan ras keturunan. Kesimpulan mengenai persoalan melawan hukumnya perbuatan, bila suatu perbuatan itu memenuhi rumusan delik, maka itu menjadikan tanda indikasi bahwa perbuatan itu bersifat melawan hukum. Akan tetapi sifat itu hapus apabila diterobos dengan adanya alat pembenar rechtvaardigingsgrond. Bagi mereka yang menganut ajaran sifat melawan hukum yang formil alasan pembenar itu hanya boleh diambil dan hukum yang tertulis, sedang penganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil alasan itu boleh diambil dan luar hukum yang tertulis. Berkaitan dengan hukum tertulis maka hakim dalam perkara kongkrit yang sedang dihadapi harus mempertimbangkan : a. Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul- betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Benarkah yang dipandang adil oleh suatu golongan dalam masyarakat biasa, juga dipandang adil benar oleh seluruh masyarakat pada umumnya. b. Apabila ada persoalan mengenai hukum yang tidak tertulis yang bertentangan dengan hukum yang tertulis, maka perlu dipertimbangkan betul- betul sampai dimanakah hukum tak tertulis itu dapat menghapuskan kekuatan berlakunya peraturan yang tertulis dsb. c. Sampai dimanakah rasa keadilan dan keyakinan masyarakat dapat menyisihkan peraturan yang tertulis, yang dibuat dengan sah. Ini adalah beban yang berat bagi hakim, sebab tiap- tiap keputusan harus memuat alasan yang mendasari keputusan itu. Maka hakim harus benar-benar mengetahui bagaimanakah keadaan masyarakat lebih-lebih keadaan masyarakat Indonesia yang dinamis yang bergerak menuju suatu masyarakat yang dicita-citakan, ialah masyarakat Pancasila mata, pikiran dan perasaan hakim harus tajam untuk dapat menangkap apa yang sedang terjadi dalam masyarakat, agar supaya putusannya tidak kedengaran sumbang. Hakim dengan seluruh kepribadiannya harus bertanggung jawab atas kebenaran keputusannya, baik secara formil maupun secara materiil. Mengenai pengertian melawan hukum yang materiil itu perlu dibedakan : - dalam fungsinya yang negatif Ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum. - dalam fungsinya yang positif Pengertian sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai sesuatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada di luar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif. Kalau Seminar Hukum Nasional tersebut di atas menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil tentunya hal tersebut dalam fungsinya yang negatif. Ini adalah konsekwensi dari diterimanya azas legalitas untuk KUHP. Nasional nanti dan masih berlakunya KUHP yang sekarang ini dimana juga masih tercantum azas seperti tersebut dalam pasal 1. Suatu negara yang mengakui azas nullum delictum dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menganut ajaran sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsinya yang positif. Misal A membunuh B dengan alasan bahwa B telah membunuh C kakak dari A. Memang di daerah yang bersangkutan ada anggapan bahwa hutang nyawa harus disaur dengan nyawa.

B. Pembuktian Unsur Sifat Melawan Hukum

Unsur sifat melawan hukum itu ada dalam rumusan delik : 1. ada yang tercantum dengan tegas, maka dalam hal ini adanya unsur tersebut harus dibuktikan 2. ada pula yang tidak tercantum. Terhadap delik-delik semacam itu ada perbedaan paham : a. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang positif untuk sesuatu delik artinya ada delik kalau perbuatan itu bersifat melawan hukum, maka harus dibuktikan. Sifat melawan hukum disini sebagai unsur konstitutif. b. Jika unsur sifat melawan hukum dianggap mempunyai fungsi yang negatif artinya : tidak ada unsur sifat melawan hukum pada perbuatan merupakan pengecualian untuk adanya suatu delik, maka tidak perlu dibuktikan. Yang menganggap sifat melawan hukum itu mempunyai fungsi yang positif merupakan unsur konstitutif a.l. van Hamel dan Zevenbergen. Yang menganggap sifat melawan hukum mempunyai fungsi yang negatif adalah Simons. Pendapat Simons, “ajaran sifat melawan hukum untuk hukum pidana pada umumnya hanyalah mempunyai hubungan dengan pertanyaan apakah ada pengecualian yang menyebabkan hapusnya sifat melawan hukum”. Prof. Muljatno yang meskipun menganggap unsur sifat melawan hukum adalah syarat mutlak yang tak dapat ditinggalkan”, namun berpendirian, bahwa itu tidak berarti bahwa dalam lapangan procesueel acara pemeriksaan perkara sifat itu harus dibebankan pembuktiannya kepada penuntut umum. Beliau setuju, jika tak disebut dalam rumusan delik, unsur dianggap dengan diam-diam ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, karena pada umumnya dengan mencocoki rumusan undang- undang sifat melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata pula. Hazewinkel-Suringa memandang sifat melawan hukum hanya sebagai tanda ciri dari tindak pidana.

C. Putatif Delik

Dalam pembicaraan unsur sifat melawan hukum ini ada delik disebut wahn delict atau putativ delict. Ini terjadi jika seorang mengira telah melakukan delict, padahal perbuatannya itu sama sekali bukan suatu delik, sebab perbuatannya itu tidak bersifat melawan hukum. BAB V KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

1. Pengertian Kemampuan Bertanggungjawab Zurechnungsfahigkeit

– Toerekeningsvatbaarheid Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung- jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab. Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung- jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk “kemampuan bertanggung jawab”. Simons : “kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya”. Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila : a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan kecerdasan yang membawa 3 kemampuan : a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri b. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya itu Van Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung- jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut. Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah seseorang itu dikatakan “dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut” ? Adapun Memorie van Toelichting memori penjelasan secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab itu, antara lain demikian : Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku : a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang. b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu. Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan “norm- adressat” sasaran norma, yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap supposed mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya lihat pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana. 2. Kesalahan 2.1. Pengertian Kesalahan Dipidananya seseorang tidaklah cukup dengan membuktikan bahwa orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan an objective breach of a penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk dapat dipertanggungjawabkannya orang tersebut masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjective guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatnnya, perbuatannya harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Dalam hal ini berlaku asas “TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN” atau Keine Strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder Schuld atau Nulla Poena Sine Culpa “culpa” disini dalam arti luas, meliputi juga kesengajaan. Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dlam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman UU No. 4 2004 berbunyi : Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari pepatah Jawa “sing salah, seleh” yang bersalah pasti salah. Untuk adany pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas “tiada pidana tanpa kesalahan” yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan dari hukum pidana yang menitikberatkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht ke arah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana taterstrafrecht, tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Tatstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang ada dewasa ini dapat disebut sebagai Sculdstrafrecht, artinya bahwa, penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan pada si pelaku. Tidak berbeda dengan konsep yang berlaku dalam sistem hukum di Negara Eropa Kontinental, unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di Negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim asas “Actus non facit reum nisi mens sit rea” atau disingkat dengan asas “mens rea”. Arti aslinya ialah “evil will” “guilty mind”. Mens rea merupakan subjective guilt melekat pada sipelaku subjective gilt ini berupa intent kesengajaan setidak-tidaknya negligence kealpaan.

2.2. Dasar Pemikiran

Filosofi dasar yang mempersoalkan kesalahan sebagai unsur yang menjadi persyaratan untuk dapat dipertanggungjawabkannya pelaku berpangkal pada pemikiran tentang hubungan antara perbuatan dengan kebebasan kehendak. Mengenai hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidak adanya kesalahan ada 3 pendapat dari : a. Aliran klasik yang melahirkan pandangan indeterminisme, yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas free will dan ini merupakan sebab dan segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan dan apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan. b. Aliran positivist yang melahirkan pandangan determinisme mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dalam arti naPasalu-naPasalu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain dan motif- motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang, tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan-jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan itu berupa tindakan maatregel untuk ketertiban masyarakat, dan bukannya pidana dalam arti penderitaan sebagai buah hasil kesalahan oleh si pelaku. c. Dalam pandangan ketiga melihat bahwa ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal irrelevant. Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas

1.3. Kesalahan Menurut Beberapa Sarjana

Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, di bawah ini disebutkan pendapat-pendapat dari berbagai penulis. a. MEZGER mengatakan : kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pelaku tindak pidana Schuldist der Erbegriiffder Vcrraussetzungen, die aus der Strafcat einen personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden. b. SIMONS mengartikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal ethisch” dan mengatakan antara lain : “Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan psychisch dari si pelaku dan hubungannya terhadap perbuatannya,” dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch jiwa itu perbuatannya dapat dicelakakan kepada si pelaku”. c. VAN HAMEL mengatakan, bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pelaku dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungan jawab dalam hukum Schuld is de verant woordelijkheid rechtens”. d. VAN HATTUM berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal, yang bersifat psychisch yang terdapat dapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pelakunya al het geen psychisch is aan dat complex, dat bestaat uit een strafbaar feit en deswege een strafbare dader. e. KARNI yang mempergunakan istilah “salah dosa” mengatakan : “Pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Selanjutnya ia katakan : “Salah dosa berada, jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungkan atas si perbuat; harus boleh dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan, baik dengan sengaja, maupun dengan salah”. f. POMPE mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak si pelaku adalah kesalahan. Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis batin antara pelaku dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan, pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan beserta akibatnya dan pada kealpaan tidak ada kehendak demikian. Jadi di sini hanya digambarkan deskriptif keadaan batin berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan. Dari pengertian-pengertian kesalahan dari beberapa sarjana di atas maka pengertian kesalahan dapat dibagi dalam pengertian sebagai berikut : - Pengertian kesalahan yang normatif Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya, tetapi di samping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara sipelaku dengan perbuatannya. “Penilaian dari luar” ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakat, ialah apa yang seharusnya diperbuat oleh sipelaku secara extreem dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam kepala sipelaku, melainkan di dalam kepala orang-orang lain”, ialah di dalamkepala dari mereka yang memberi penilaian terhadap sipelaku itu. Yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim. Di dalam pengertian ini sikap batin si pelaku ialah, yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggung-jawaban pidana. Di samping itu ada unsur lain ialah penilaian mengenai keadaan jiwa sipelaku, ialah kemampuan bertanggungjawab dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan.

1.4. Kesalahan dalam Hukum Pidana

Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 sudut : a. menurut akibatnya ia ada hal yang dapat dicelakakan verwijtbaarheid b. menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya vermijdbaar-heid perbuatan yang melawan hukum Dari pendapat-pendapat tersebut di atas maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakakan kepadanya, pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld”, melainkan “veranwoordelijkheid rechtens, seperti dikatakan oleh van Hamel. Namun demikian, untuk adanya kesalahan hemat kami harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat, bahwa “das Recht ist das ethische Minimum”. Setidak- tidaknya pelaku dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama.

1. Arti “kesalahan” dalam hukum Pidana

Dalam hukum pidana kesalahan memiliki 3 pengertian yaitu : a. kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”; di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya verwijtbaarheid sipelaku atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. b. kesalahan dalam arti bentuk kesalahan sculdvorm yang berupa : 1. kesengajaan dolus, opzet, vorzatz atau intention atau 2. kealpaan culpa, onachtzaamheid, fahrlassigkeit atau negligence. c. kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan culpa seperti yang disebutkan dalam b.2 di atas. Pemakaian istilah “kesalahan” dalam arti ini sebaiknya dihindarkan dan digunakan saja istilah “kealpaan”. Dengan diterimanya pengertian kesalahan dalam arti luas sebagai dapat dicelanya si pelaku atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif normativer schuldbegriff.

2. Unsur-unsur dari kesalahan dalam arti yang

seluas-luasnya Kesalahan dalam arti seluas-luasnya amat berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dimana meliputi : a. adanya kemampuan bertanggungjawab pada sipelaku schuldfahigkeit atau zurechnungsfahigkeit; artinya keadaan jiwa sipelaku harus normal. Disini dipersoalkan apakah orang tertentu menjadi “normadressat” yang mampu. b. hubungan batin antara sipelaku dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, ini disebut bentuk-bentuk kesalahan. Dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pelaku terhadap perbuatannya. c. tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf meskipun apa yang disebut dalam a dan b ada, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi sipelaku sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa ps. 49 KUHP Kalau ketiga-tiga unsur ada maka orang yang bersangkutan bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, sehingga bisa dipidana. Dalam pada itu harus diingat bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya pertanggungan jawab pidana orang yang bersangkutan harus pula dibuktikan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Kalau ini tidak ada, artinya, kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya untuk menerapkan kesalahan sipelaku. Sebaliknya seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan, artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Itulah sebabnya, maka kita harus senantiasa menyadari akan dua pasangan dalam syarat-syarat pemidaan ialah adanya : 1. dapat dipidananya perbuatan strafbaarheid van het feit 2. dapat dipidananya orangnya atau pelakunya strafbaarheid van de persoon. BAB VI KESENGAJAAN DOLUS, INTENT, OPZET, VORSATZ Unsur kedua dari kesalahan dalam arti yang seluas- luasnya pertanggungjawaban pidana adalah hubungan batin antara si pelaku terhadap perbuatan, yang dicelakakan kepada sipelaku itu. Hubungan batin ini bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Apakah yang diartikan dengan sengaja ? KUHP kita tidak memberi definisi. Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. Memorie van Toelichting, yang mengartikan “kesengajaan” opzet sebagai : “menghendaki dan mengetahui” willens en wetens. Pompe : 166. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu. Misal : seorang Ibu, yang sengaja tidak memberi susu kepada anaknya, menghendaki dan sadar akan perbuatannya.

1. Teori-teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki dan mengetahui itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut dua teori sebagai berikut: a. Teori kehendak wilstheorie Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang Simons, Zevenbergen b. Teori pengetahuan membayangkan voorstelling- theorie Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat. Frank. Terhadap perbuatan yang dilakukan sipelaku kedua teori itu tak ada perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah dalam istilahnya saja.

2. Bentuk Kesengajaan

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan sebagai berikut : a. kesengajaan sebagai maksud opzet als oogmerk untuk mencapai suatu tujuan yang dekat; dolus directus b. kesengajaan dengan sadar kepastian opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn c. kesengajaan dengan sadar kemungkinan dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet Bentuk kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan sipelaku bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan beserta akibatnya. Misal : A menempeleng B. Amenghendaki sakitnya B agar B tidak membohong. Perhatikan : haruslah ditoh:bedakan antara tujuan dan motif. Motif suatu perbuatan adalah alasan yang mendorong untuk berbuat misalnya cemburu, jengkel dsb. Dalam hal delik materiil harus dihubungkan faktor kausa yang menghubungkan perbuatan dengan akibat kausalitas dimana : 1. akibat yang memang dituju sipelaku. Ini dapat merupakan delik tersendiri atau tidak. 2. akibat yang tidak didinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam no. 1 tadi, akibat ini pasti timbul atau terjadi. Contoh 1 : A hendak membunuh B dengan tembakan pistol. B duduk di balik kaca jendela restoran. Penembakan terhadap B pasti akan memecahkan kaca pemilik restoran itu. Terhadap terbunuhnya B kesengajaan merupakan tujuan sedangkan terhadap rusaknya kaca ps. 406 KUHP ada kesengajaan dengan keinsyafan kepastian atau keharusan sebagai syarat tercapainya tujuan. Dalam hal ini ada keadaan tertentu yang semula merupakan diperkirakan sipelaku sebagai kemungkinan terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi merupakan resiko yang harus diemban sipelaku. Contoh 2 : A hendak membalas dendam B yang bertempat tinggal di Hoorn. A mengirim kue taart yang beracun dengan maksud untuk membunuhnya. A tahu bahwa ada kemungkinan istri B, yang tidak berdosa itu juga akan makan kue tersebut dan meninggal karenanya, meskipun A tahu akan hal terakhir ini namun ia tetap mengirim kue tersebut, oleh karena itu kesengajaan dianggap tertuju pula pada matinya istri B. Dalam batin si A, kematian tersebut tidak menjadi persoalan baginya. Jadi dalam kasus ini : Ada kesengajaan sebagai tujuan terhadap matinya B dan kesengajaan dengan keinsyafan kemungkinan terhadap kematian istri B Arrest H.R. 9 Maret 1911 Contoh 3 : Seorang yang melakukan penggelapan, merasa bahwa akhirnya ia akan ketahuan. Ia ingin menghindarkan diri dari peradilan dunia dan hendak membunuh dirinya dengan merencanakan sustu kecelakaan lalu – lintas, Ia menabrakkan mobil yang dikendarainya kepada otobis yang berisi penumpang. Tujuannya agar uang asuransinya yang sangat tinggi 1 ton itu dapat dibayarkan kepada soprnya. Tetapi ini gagal, ia tidak mati, hanya luka-luka. Beberapa penumpang bis mengalami luka dan seorang diantaranya luka yang membahayakan jiwa. R.v.J Raad van Justitie Semarang yang diperkuat oleh Hoogerechtshof dalam tingkat banding menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan penganiayaan berat. Pertimbangannya antara lain sebagai berikut: Meskipun terdakwa tidak mengharapkan penumpang- penumpang bis mendapat luka-luka, namun akibat ini ada dalam kesengajaanya, sebab iatetap melakukan perbuatan itu, meskipun ia sadr akan akibat yang mungkin terjadi. Kasus ini adalah pengalaman Jokers, ketika menjadi Jaksa Tinggi Officier van Justitie pada R.v.J di Semarang.

3. Dolus Eventualis

Dolus eventualis lahir karena suatu keadaan dimana sikap batin pelaku dimana pelaku tidak menghendaki suatu tujuan untuk mewujudkan suatu tindak pidana, akan tetapi keadaan menyebabkan ia tidak dapat mengelak dari suatu keadaan tertentu. Contoh: Seorang mengendarai mobil angkutan umum dengan lajunya di jalan dalam kota. Dimuka ia lihat sekelompok anak yang sedang bermain-main. Apabila ia tetap dalam kecepatan yang sama tanpa menghiraukan nasib anak-anak dan tanpa mengambil tindakan pencegahan, dan apabila akibat perbuatanya itu beberapa anak luka atau mati, maka disini ada kesengajaan unuk menganiaya atau membunuh, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa ia mengiginkan akibat tadi, namun jelas ia menghendaki hal itu, dalam arti, meskipun ia sadar akan kemungkinan tentang luka dan matinya anak ia mendesak kesadaran itu kebelakang dan menerima apa boleh buat kemungkinan itu, dengan melampiaskan naPasalunya untuk menegar kudanya. Di atas telah disebutkan 2 teori yang menerangkan bagaimana sikap batin seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja. Bagaimanakah menerangkan adanya kesengajaan dengan sadar kemungkinan dolus eventualis ? Berdasarkan teori kehendak, jika sipelaku menetapkan dalam batinnya, bahwa ia lebih menghendaki perbuatan yang dilakukan itu, meskipun nanti akan ada akibat yang ia tidak harapkan, dari pada tidak berbuat, maka kesengajaan orang tersebut juga ditujukan kepada akibat yang tidak diharapkan itu. Berdasarkan teori pengetahuan, pelaku mengetahui membayangkan akan kemungkinan terjadinyan akibat yang tak dikehendaki, tetapi bayangkan itu tidak mencegah dia untuk tidak berbuat; maka dapat dikatakan, bahwa kesengajaan diarahkan kepada akibat yang mungkin terjadi itu. Dalam kedua teori itu digambarkan, bahwa dalam batin si – pelaku terjadi suatu proses, bahwa ia lebih baik berbuat dari pada tidak berbuat. Disini ada suatu yang tidak jelas, oleh karena itu disamping kedua teori itu ada teori yang disebut teori apa boleh buat “In Kauf nehmen theorie”atau” op de koop toe nemen theorie”. Menurut teori apa boleh buat “In Kauf nehmen theorie “atau”op de koop toe nemen theorie” keadaan batin si pelaku terhadap perbuatannya adalah sebagai berikut: a. akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat itu b. akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila toh keadaanakibat itu timbul, apa boleh buat hak itu diterima juga, ini berarti ia berani memikul resiko.” Dalam perdebatan di Eerste Kamsr mengenai W.v.S. Menteri Modderman mengatakan, bahwa “voorwaardelijkk opzet” dolus eventualis itu ada, apabila kehendak kita langsung ditujukan pada kejahatan tersebut, tetapi meskipun telah mengetahui bahwa keadaan tertentu masih akan terjadi, namun kita berbuat dengan tiada tercegah oleh kemungkinan terjadinya hal yang telah kita ketahui itu. Dengan teori apa boleh buat ini maka sebenarnya tidak perlu lagi untuk membedakan kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Dalam uraian-uraian diatas penentuan tentang kesengajaan si-pelaku adalah dengan melihat bagaimana sikap batinnya perbuatan ataupun akibat perbuatannya. Demikian itu karena kesengajaan dipandang sebagai sikap batin pelaku terhadap perbuatannya. Dengan teori-teori itu diusahakan untuk menetapkan kesengajaan sipelaku Dalam kejadian konkret tidaklah mudah bagi Hakim untuk menentukan bahwa sikap batin yang berupa kesengajaan atau kealpaan itu benar-benar ada pada pelaku. Orang tidak dapat secara pasti mengetahui mengetahui batin orang lain, lebih-lebih bagaimana keadaan batinnya pada waktu orang ini berbuat. Apabila orang ini dengan jujur menerangkan keadaan batinnya yang sebenarnya maka tidak ada kesukaran. Kalau tidak, maka sikap batinnya harus disimpulkan dari keadaan lahir, yang tampak dari luar. Jadi dalam banyak hal hakim baru mengobyektifkan adanya kesengajaan itu. Contoh Van Bemmelen: A melepaskan tembakan kepada B dalam jarak 2 meter. Meskipun A mungkin, bahwa ia mempunyai kesengajaan untuk membunuh B, namun Hakim tetap akan menentukan adanya kesengajaan tersebut, kecuali apabila dapat diterima alasan-alasan yang sangat masuk akal bahwa A tidak tahu pistol itu berisi atau bahwa matinya B itu disebabkan karena kekhilafan dari A. Dalam hal ini diragukan adanya kesenjajaan, sehingga ada pembebasan. Hakim harus sangat berhati-hati. Kesengajaan berwarna gekleurd dan tidak berwarna kleurloos. Persoalan ini berhubungan dengan masalah: apakah untuk adanya kesengajaan itu sipelaku harus menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang bersifat melawan hukum ? Mengenai hal ini ada 2 pendapat, ialah yang mengatakan bahwa: a. sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan sipelaku bahwa perbuatanya melawan hukum dilarang; harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat boos opzet. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa sipelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan dalam bukunya leerboek van het Nederlandsch Strafrecht, tahun 1924, halaman 169, bahwa: Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.” Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada sipelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang danatau dapat dipidana b. Kesengajaan tidak berwarna Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti, bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa sipelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang sifat melawan hukum. Dapat saja sipelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum. Penganut-penganutnya antara lain : Simons, Pompe, Jonkers. Menurut M.v.T. tidak perlu ada “boos opzet”. M.v.T. mengatakan demikian : “Akan tetapi untuk berbuat dengan sengaja itu apakah sipelaku tidak harus menyadari, bahwa ia melakukan suatu perbuatan yang menurut tata susila tidak dibenarkan zadelijk ongeoorlooid ? Cukupkah dengan adanya kesengajaan saja atau perlukah adanya “kesengajaanj jahat” boos opzet ? Jawabnya tidak akan lain dari pada itu. Keberatan terhadap pendirian bahwa kesengajaan itu berwarna ialah akan merupakan beban yan berat bagi jaksa apabila untuk membuktikan adanya kesengajaan, tiap kali ia harus membuktikan bahwa pada terdakwa ada kesadaran atau pengetahuan tentang dilarangnya perbuatan itu. Sebaliknya, alasan bahwa kesengajaan itu berwarna ialah kesalahan itu, jadi termasuk kesengajaan, berisi bahwa sipelaku harus sadar bahwa perbuatan itu keliru. Apabila ia sama sekali tidak sadar akan itu, meskipun pada kenyataannya ia melakukan perbuatan yang dilarang, yang melawan hukum, ia tidak dapat dipidana.

4. Perumusan Unsur Sengaja dalam KUHP

M.v.T. memuat suatu asas yang mengatakan antara lain, bahwa “unsur-unsur delik yang terletak dibelakang perkataan opzettelijk dengan sengaja dikuasai atau diliputi olehnya”. Oleh karena itu pembentuk undang-undang menetapkan dengan seksama dimana letak perkataan “opzettelijk” itu. bacalah ps. 151 dan 152 dan bandingkan letak perkataan sengaja dalam kedua pasal tersebut. Unsur yang terletak di muka perkataan “opzettelijk” disebut “diobjektip-kan” geobjektiveerd, artinya dilepaskan dari kekuasaan kesengajaan. Jadi tidak perlu dibuktikan bahwa kesengajaan sipelaku ditujukan kepada hal tersebut, seperti halnya ps. 152. Lihat ps. 303 KUHP. Kesengajaan disini harus ditujukan kepada hal-hal apa saja ? Pecahkanlah sendiri Dalam hal itu asas yang dianut M.v.T. itu tidak berlaku untuk semua delik. Ada pengecualiannya. Lihat ps. 187 KUHP. Di sini ada keadaan-keadaan, yang disebut di belakang perkataan sengaja, diobjektipkan, sehingga tak perlu dibuktian bahwa kesengajaan pelaku ditujukan kepada hal tersebut yang diobjektipkan, artinya yang tidak perlu ditanyakan apakah sipelaku mengetahui atau menghendakinya, ialah “dapat terjadinya bahaya umum atau bahaya maut tersebut”. Demikianlah teknik perundang-undangan yang diikuti oleh KUHP dalam teks Belanda. Yang menjadi masalah ialah apabila kita menghadapi KUHP dalam teks Bahasa Indonesia, yang sebenarnya bukan teks resmi. Tata bahasa kedua bahasa itu tidak sama, oleh karena itu teknik perundang-undangan dalam menyusun kalimat tentunya tidak dapat atau tidak perlu mengikuti KUHP sepenuhnya. Menghadapi teks terjemahan yang diusahakan oleh beberapa penulis sekarang ini tidak ada jalan lain bagi pelaksana hukum misalnya hakim, untu melihat teks aslinya ialah teks Bahasa Belanda dan mendasarkan penafsiran pada teks tersebut. Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur “met het oogmerk om ........ dengan tujuan untuk, misalnya pada delik pencurian ps. 362, pemalsuan surat ps. 263, ialah yang disebut “Tendenz-delikte” atau Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum subjektif. Unsur ini memberi.sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan. Pada delik-delik yang memuat unsur-unsur ”met het oogmerk om..............dengan tujuan untuk........., misalnya dalam delik pencurian pasal 362, pemalsuan surat pasal 263, ialah apa yang disebut “Tendenz-delikte” atau “Absicht-delikte”, ada pendapat bahwa unsur tersebut bukannya unsur kesengajaan, melainkan unsur melawan hukum yang subjektif. Unsur ini memberi sifat atau arah dari perbuatan yang dimaksud dalam rumusan delik yang bersangkutan. 4.1. Kata “dan” Dalam KUHP teks Belanda, dalam merumuskan sesuatu delik, terdapat bentuk rumusan: - Sengaja tanpa ada rumusan unsur melawan hukum wederrechtelijk - Sengaja melawan hukum wederrechtelijk tanpa kata dan - Meyisipkan kata “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum”, jadi merumuskan sebagai “sengaja dan melawan hukum” opzettelijk en wederrechtelijk. Contoh: Pasal 333: Hij die opzettelijk iemand wederrechtelijk van devrijhiid berooft of berooft houdt.............. Dalam pasal ini jelas bahwa kesengajaan meliputi melawan hukumnya perbuatan dengan perkatan lain pelaku harus tahu, bahwa perbuatan yang dilakukan itu bertentangan dengan hukum, disamping ia berbuat dengan sengaja. Apabila ia dengan iktikad baik te goeder trouw mengira, bahwa ia dalam keadaan tertentu boleh merampas kemerdekaan seseorang, maka ia tak dapat dipidana. Disini ada kesesatan yang bisa membebaskan. Pasal 406: Hij die opzettelijk en wederrechitelijk enig goed dat geheel of ten deele aan een onder toebe hoort, vernielt, beschadigt, onbruik baar maakt of wegmaakt, wordt..................... Dalam rumusan dalam bahasa Belanda yang demikian ini menjadi persoalan apakah sifat melawan hukumnya perbuatan juga harus diliputi oleh kesengajaan. Mengenai hal ini terdapat tiga pandangan: a. Perkataan “en” dan menunjukkan kedudukan yang sejajar. Kesengajaan pelaku tidak perlu ditujukan kepada sifat melawan hukumnya perbuatan, dengan perkataan lain sifat melawan hukum ini diobjektipkan. Sipelaku tidak perlu tahu bahwa perbuatannya melawan hukum. Contoh pasal 406 : Seorang pekerja yang mendapat perintah dari pemilik rumah untuk membongkar rumahnya, tetapi sebelum melaksanakan perintah tersebut, tanpa diketahui olehnya rumah itu ganti pemilik. Ia terus saja membongkar. Ia merusak dengan sengaja dan dengan melawan hukum. Ia dapat dipidana. b. Perkataan “en” dan tidak ada artinya. Semua delik yang menurut unsur “sengaja melawan hukum” dapat dibaca “sengaja dan melawan hukum”, yang berarti dua hal yang terpisah dan tidak berpengaruh satu sama lain, meskipun tidak ada perkataan “en” dan tersebut : Dalam hukum, pendapat ini diragukan. c. Perkataan “en” dan tidak ada artinya Berbeda dengan pendapat ke 2 tersebut, pendapat ini justru mengartikan sengaja dan melawan hukum “sebagai” sengaja melawan hukum. Jadi meskipun ada perkataan dan, kesengajaan sipelaku harus ditujukan kepada melawan hukumnya perbuatan, sesuai dengan asas, bahwa semua unsur yang terletak di belakang perkataan sengaja dikuasai olehnya. Jadi menurut pendapat ini dalam contoh tersebut di atas, si-pekerja tidak dapat dipidana karena ia sama sekali tidak mengetahui sifat melawan hukumya perbuatan yang ia lakukan. Van Hamel, Simons, Pompe menganut pendapat yang pertama, sedang Vos, Zevenbergen, Langemeyer mengikuti pendapat yang ketiga. Hoge Raad mengikuti pendapat pertama. Dalam arrest tgl. 21 Desember 1914 dimuat antara lain : karena antara unsur kesengajaan dan unsur melawan hukum ada perkataan “en”, maka unsur melawan hukum tidak diliputi oleh kesengajaan. Bagi Prof. Muljatno perkataan “dan” diantara perkataan “sengaja” dan perkataan “melawan hukum” tidak mempunyai arti. Unsur sifat melawan hukum itu harus dikuasai oleh unsur kesengajaan. Pelaku harus tahu bahwa yang dilakukan itu bersifat melawan hukum.

5. Kesengajaan Menurut Doktrin

Dalam ilmu pengetahuan dikenal beberapa macam kesengajaan :

a. dolus premeditatus

Bentuk ini mengacu pada rumusan delik yang mensyaratkan unsur “dengan rencana lebih dahulu” met voorbedachte rade sebagai unsur yang menentukan dalam pasal. Ini terdapat dalam delik-delik yang dirumuskan dalam pasal 363, 340, 342 KUHP. Istilah tersebut meliputi bagaimana terbentuknya “kesengajaan” dan bukan merupakan bentuk atau tingkat kesengajaan. Menurut M.v.T. untuk “voorbedachte rade” diperlukan “saat memikirkan dengan tenang” een tijdstip van kalm overleg, van bedaard nedenken. Untuk dapat dikatakan “ada rencana lebih dulu”, si pelaku sebelum atau ketika melakukan tindak pidana tersebut, memikirkan secara wajar apa yang ia lakukan atau yang akan ia lakukan.

b. dolus determinatus dan indeterminatus

Unsurnya ialah pendirian bahwa kesengajaan dapat lebih pasti atau tidak. Pada dolus determinatus, pelaku misalnya menghendaki matinya orang tertentu, sedang pada dolus indeterminatus pelaku misalnya menembak ke arah gerombolan orang atau menembak penumpang-penumpang dalam mobil yang tidak mau disuruh berhenti, atau meracun reservoir air minum, dan sebagainya.

c. dolus alternativus

Dalam hal ini, sipelaku menghendaki atau A atau B, akibat yang satu atau yang lain

d. dolus indirectus, Versari in re illicita

Ajaran tentang “dolus indirectus” mengatakan, bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Ajaran ini dengan tegas ditolak oleh pembentuk undang-undang. Macam dolus ini masih dikenal oleh Code Penal Perancis. Dolus ini ada, apabila dari suatu perbuatan yang dilarang dan dilakukan dengan sengaja timbul akibat yang tidak diinginkan. Misalnya A dan B berkelahi, A memukul B, B jatuh dan dilindas mobil. Ini oleh Code Penal dipandang sebagai “meutre”. Hazewinkel-Suringa menganggap hal ini sebagai suatu pengertian yang tidak baik. Ajaran dolus indirectus ini mengingatkan orang kepada ajaran kuno hukum kanonik tentang pertanggung-jawab, ialah versari in re illicita.menurut ajaran ini seseorang yang melakukan perbuatan terlarang juga dipertanggung-jawabkan atas semua akibatnya. Dipertanggung-jawabkan dalam hukum pidana, meskipun akibat itu tidak dapat dibayangkan sama sekali olehnya dan timbul secara kebetulan. Di Inggris dan Spanyol pengertian dolus indirectus adalah sama dengan apa yang kita sebut “dolus eventualis”.

e. dolus directus

Ini berarti, bahwa kesengajaan sipelaku tidak hanya ditukaun kepada perbuatannya, melainkan juga kepada akibat perbuatannya.

f. dolus generalis

Pada delik materiil harus ada hubungan kausal antara perbuatan terdakwa dan akibat yang tidak dikehendaki undang-undang. Misalkan seseorang yang bermaksud untuk membunuh orang lain, telah melakukan serangkaian perbuatan misalnya mencekik dan kemudian melemparnya ke dalam sungai. Menurut otopsi pemeriksaan mayat matinya orang ini disebabkan karena tenggelam, jadi pada waktu dilempar ke air ia belum mati. Menurut ajaran kuno disini ada dolus generalis, ialah harapan dari terdakwa secara umum agar orang yang dituju itu mati, bagaimanapun telah tercapai. Simons menyetujui jenis dolus ini. Hazewinkel-Suringa menganggap hal tersebut secara dogmatis tidak tepat. Perbuatan pertama mencekik dikualifikasikan sebagai “percobaan pembunuhan”, sedang perbuatan kedua melempar ke kali merupakan perbuatan yang terletak di luar lapangan hukum pidana atau “menyebabkan matinya orang karena kealpaannya”. Contoh : Seorang Ibu yang ingin melepaskan diri dari bayinya, menaruh bayi itu di pantai dengan harapan agar dibawa oleh arus pasang. Akan tetapi air pasangnya tidak setinggi yang diharapkan; namun bayinya mati karena kelaparan dan kedinginan. Meskipun jalannya peristiwa tidak tepat seperti yang dibayangkan oleh sipelaku, namun karena akibat yang dikenhendaki telah terjadi, maka disini menurut von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian von Hippel ada pembunuhan yang direncanakan. Pendirian Von Hippel ini sama dengan pendapat H.R. dalam arrestnya tanggal 26 Juni 1962. BAB VII KEALPAAN CULPA CULPA dalam arti sempit, SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO, TELEDOR. Disamping sikap batin berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga. Dalam buku II KUHP terdapat beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa culpose delicten. Delik-delik itu dimuat antara lain dalam : Pasal 188 : Karena kealpaannya menimbulkan peletusan, kebakaran dst Pasal 231 4 : Karena kealpaannya sipenyimpan menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita Pasal 359 : Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang Pasal 360 : Karena kealpaannya menyebabkan orang luka berat dsb. Pasal 409 : Karena kealpaannya menyebabkan alat-alat perlengkapan jalan api dsb hancur dsb. Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono teledor, pendek kata “ schuld” kealpaan yang menyebabkan keadaan tadi”.er zijn feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat de wet ook de onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”

1. Pengertian kealpaan atau culpa dalam arti sempit

Menurut M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan dipihal lain dengan hal yang kebetulan toevel atau caous.kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya kesengajaan yang ringan. Beberapa penulis menyebut beberapa syarat untuk adanya kealpaan: a. Hazenwinkel – Suringa Ilmu pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” kealpaan sebagai: kekurangan penduga – duga atau kekurangan penghati-hati. b. Van hamel Kealpaan mengandung dua syarat: 1. tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2. tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. c. Simons: Pada umumnya “schuld” kealpaan mempunyai dua unsur : 1. Tidak adanya penghati-hati, di samping 2. dapat diduganya akibat d. Pompe. Ada 3 macam yang masuk kealpaan anachtzaamheid: 1. Dapat mengirakan kunnen venvachten timbulnya akibat 2. Mengetahui adanya kemungkinan kennen der mogelijkheid 3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan kunnen kennen van de mogelijkheid Tetapi nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya =untuk tidak melakukan perbuatan. Kealpaan orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku itu. a. “Orang pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling hati-hati, paling ahli dan sebagainya. b. Untuk menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus didahulukan”. Apabila seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan orang lain Pasal. 360 1 K.U.H.P Dalam hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri. Ia menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin perbuatan itu perbuatan yang abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa. Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan alasan pembenar rechtvaar digingsgrond. c. Untuk adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi harus culpa lata dan bukanya culpa levis kealpaan yang sangat ringan.

2. Bentuk kealpaan

Pada dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi dalam 2 dua bentuk yaitu a. Kealpaan yang disadari bewuste schuld Disini sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi b. Kealpaan yang tidak disadari onbewuste schuld. Dalam hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya. Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan yang ada pada pelaku, yang tidak merupakan dolus eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadan bukan feitelijk begrip. Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si-pelaku itu berbuat. 3. Delik “pro parte dolus pro parte culpa” Delik-delik yang di-rumuskan dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama. Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya diculpakan. Misalnya: Pasal 480 penadahan Pasal 483, 484 delik yang menyangkut pencetak dan penerbit. Pasal 287, 288, 292 delik-delik kesusilaan. Rumusan yang dipakai dalam delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan “sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju kepada salah satu unsur dari delik itu. - Pada delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh dari kejahatan”. - Pada delik-delik kesusilaan pasal 287 dan pasal 288 ditujukan kepada “umur-wanita belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu dikawin”. - Pada delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama kelamin itu”. - Pada delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelakuorang yang menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar Indonesia. Dalam surat dakwaan: a. Cukup dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”. b. Ada dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan ditetapkan oleh Hakim. c. Pembuktiannya cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui. Arrest Hooggerchtshof dalam tingkat kasasi yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” pasal 480, Hooggerechtshof H.G.H menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan, dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul- betul mempunyai dugaan atau tidak. Kelapaan orang lain tidak dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa. Contoh : a. terdakwa sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak meniadakan kealpaan terdakwa. b. Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00 melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu. Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan. BAB VIII KESALAHAN DALAM DELIK PELANGGARAN Persoalan kesalalahan pada tindak pidana berupa pelanggaran. Pada tidak pidana berupa kejahatan diperlukan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam undang-undang unsur-unsur dinyatakan dengan tegas atau dapat diambil dari kata kerja dalam rumusan tindak pidana itu. Dalam rumusan tindak pidana berupa pelanggaran pada dasarnya tidak ada penyebutan tentang kesengajaan atau kealpaan, artinya tidak disebut apakah perbuatan dilakukan dengan sengaja atau alpa. Hal ini penting untuk hukum acara pidana, sebab kalau tidak tercantum dalam rumusan Undang-undang, maka tidak perlu dicantumkan dalam surat tuduhan dan juga tidak perlu dibuktikan. Dalam hal ini berlakulah ajaran “fait materiel” de leer an het matericle feit ajaran perbuatan materiil dimana menurut M.v.T. : Pada pelanggaran hakim tidak perlu mengadakan pemeriksaan secara khusus tentang adanya kesengajaan, bahkan adanya kealpaan juga tidak, lagi pula tidak perlu memberi keputusan tentang hal tersebut. Soalnya apakah terdakwa berbuattidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan Undang-undang atau tidak. Contoh : arrest H.R tanggal 14 Pebruari 1916 arrest air dan susu. Duduk perkara; A.B., pengusaha veehouder menyuruh melever susu kepada para langganan. Yang mengedarkan susu itu D, pelayan. Pada suatu ketika susu yang dilever oleh D itu ternyata tidak murni dicampur air. D tidak tahu menahu tentang hal itu. Pasal 303a dan 344 Peraturan Polisi Umum mengancam dengan pidana Barang siapa melever susu dengan nama susu murni, padahal dicampur dengan sesuatu tidak murni. Ini merupakan tindak pidana berupa pelanggaran. A.B. dituntut dan dalam tingkat banding dijatuhi pidana. A.B. mengajukan kasasi, dengan alasan yang lebih kurang demikian: a. Rechtbank Amsterdam salah menerapkan Pasal 47 W.v.S Belanda Pasal 55 K.U.H.P, sebab telah memutuskan secara tidak benar bahwa A.B. telah menyuruh lakukan perbuatan yang dituduhkan, tanpa menyelidiki terlebih dahulu apakah pelaku materiil ialah D tidak bertanggung-jawab atas perbuatan itu. b. tidak terjadi persoalan apakah pelaku materiil D dianggap tidak berhak untuk menyelidiki murni dan tidaknya susu yang disuruh melevernya. c. lebih-lebih pasal 303a dan 344 tersebut mengancam dengan pidana barang siapa melever susu yang tidak murni tanpa memandang ada kesalahan atau tidak. Permohonan kasasi ini ditolak oleh Hooge Raad, dan terhadap alasan yang dikemukakan oleh A.B. H.R. memberi pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Telah dinyatakan terbukti bahwa penuntut kasasi A B telah menyuruh pelayannya D untuk melever susu dengan sebutan “susu murni” padahal dicampur dengan air. Hal mana tidak diketahui oleh D. b. memang dalam pasal 303 tidak disebut dengan tegas bahwa orang yang melakukan perbuatan itu harus mempunyai kesalahan “enige schuld”, akan tetapi ini tidak dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak mempunyai kesalahan sama sekali geheel gemis van schuld peraturan ini dapat diterapkan kepada. c. tidak ada suatu alasanpun, terutama dalam riwayat W.v.S. yang memaksa untuk menganggap dalam hal unsur kesalahan tidak dicantumkan dalam rumusan delik, khususnya dalam pelanggaran, pembentuk Undang-undang menyetujui sistem, orang yang berbuat harus dipidana yang terdapat dalam Undang- undang, sekalipun ternyata tidak ada kesalahan sama sekali asas : afwezigheid van alle schuld. d. Untuk menerima sistim tersebut dalam c, yang bertentangan dengan rasa keadilan dan asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” yang juga dianut dalam hukum pidana kita, hal ini harus tegas-tegas ternyata dalam rumusan delik. Arrest air dan susu penting untuk perkembangan hukum pidana. Dengan arrest itu, maka: a. ajaran “fait materiel” pada pelanggaran ditinggalkan. b. Diakui untuk pertama kalinya oleh badan pengadilan yang tertinggi Belanda berlaku asas ”tiada pidana tanpa kesalahan” geen straf zonder schuld. BAB IX PIDANA DAN PEMIDANAAN HUKUM PENITENSIER Sebelum membahas materi ini terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan. Pidana merupakan nestapaderita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara melalui pengadilan dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana the criminal justice process merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh sejumlah lembaga kepolisian, kejaksaan,pengadilan lembaga pemasyarakatan yang berkenaan dengan penanganan pengadilan kejahatan dan pelaku kejahatan. Pemidanaan merupakan penjatuhan pidanasentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri. Pidana perlu dijatuhkan pada seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma yang mencerminkan nilai dan struktur masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu. Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak menyenangkan. Ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan dinamakan Hukum PenitensierHukum Sanksi. Hukum Penitensier adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman strafstelsel dan sistem tindakan matregelstelsel, menurut Utrecht, hukum penitensier ini merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan: 1. Jenis sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber hukum pidana lainnya UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana yang memuat sanksi pidana; 2. Beratnya sanksi itu; 3. Lamanya sanksi itu dijalani; 4. Cara sanksi itu dijalankan;dan 5. Tempat sanksi itu dijalankan. Sanksi berupa pidana maupun tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier. I S T I L A H Ada beberapa istilah yang digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf, Hukuman, Punishment, dan Jinayah. Menurut beberapa ahli hukum pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan pidana hukum sebagai perasaan tidak enak sengsara yang dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum Pidana. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi: 1. Suatu pengenaan penderitaannestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan; 2. Diberikan dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan berwenang; 3. Dikenakan pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU orang memenuhi rumusan delikpasal. SEJARAH PIDANA DAN PEMIDANAAN DI INDONESIA Pidana dan pemidanaan di Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht Wvs diundangkan yaitu tahun 1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 11946 tentang KUHP berdasarkan atas konkordansi. Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al: 1. Dibakar hidup, terikat pada suatu tiang hanya untuk pelaku pembakarpembunuh 2. Dimatikan dengan suatu keris 3. Dicap bakar. 4. Dipukul, dipukul dengan rantai pidana badancorporal punishment 5. Ditahandimasukkan dalam penjara 6. Kerja paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum. Menurut Utrecht dan R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa: terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta kekayaan pidana denda, pembatasan kebebasan bergerakkemerdekaan orang pidana kurunganpenjara dan perampasan terhadap nyawa hukuman mati. Di samping itu hukum pidana merupakan ultimum remedium senjata pamungkas, jalan terakhir, jalan satu-satunyatiada jalan lain. Selanjutnya kita akan membahas siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan tata tertib negara dilihat dari sudut obyektif, dalam hal ini KUHP merupakan peraturan yang dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku dilihat dari sudut subyektif; Utrecht juga menambahkan bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat; 1. Negara sebagai organisasi sosial tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas mempertahankan tata tertib masyarakat; 2. Negara sebagai satu-satunya alat yang dapat menjamin kepastian hukum. Teori-Teori yang berkaitan dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin 1. Teori AbsolutRetributifPembalasan lex talionis, para penganutnya antara lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang yang salah harus dihukum. Menurut Leo Polak aliran retributif, hukuman harus memenuhi 3 syarat: a. Perbuatan tersebut dapat dicela melanggar etika b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi melanggar etika c. Beratnya hukuman seimbang dengan beratnya delik. 2. Teori relatif tujuan utilitarian, menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada umumnya bersifat menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat memperbaikimerehabilitasi karena pelaku kejahatan adalah orang yang “sakit moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada treatment dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis. Tujuan lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan prevensi umum dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jerakapok, tidak mengulangi perbuatankejahatan serupa; atau kejahatan lain prevensi khusus. Tujuan yang lain adalah memberikan perlindungan agar orang lainmasyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan tidak mengalami kejahatan. 3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan untuk:  Pembalasan, membuat pelaku menderita  Upaya prevensi, mencegah terjadinya tindak pidana  Merehabilitasi Pelaku  Melindungi Masyarakat Saat ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai koreksi atas Retributive justice. Restorative Justice keadilan yang merestorasi secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005. Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP tahun 2005: Pasal 54 1 Pemidanaan bertujuan: a. mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana dan; e. memaafkan terpidana. 2 Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia . Dalam pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU kita. Pasal 55; 1 Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. Kesalahan pembuat tindak pidana; b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. Sikap batin pembuat tindak pidana; d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. Cara melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana h. Pengaruh pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana; i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. Pemaafan dari korban danatau keluarganya dan atau; k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. 2 Rintangan perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dari aturan diatas dapat dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar dari tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat dalam tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan memaafkan terpidana. Jenis-jenis HukumanPidana Menurut Pasal 10 KUHP : a. Hukuman Pokok: 1. Hukuman mati 2. Penjara sementara waktu atau seumur hidup 3. Kurungan 4. Denda UU No. 11960, dikonversi: dikali 15 5. Tutupan UU No.201946 b. Hukuman Tambahan: 1. Pencabutan beberapa hak tertentu 2. Perampasan barang tertentu 3. pengumuman keputusan hakim Jenis-jenis Hukuman Pidana Menurut R-KUHP: Pasal 65 1 Pidana pokok terdiri atas: a. pidana penjara; b. pidana tutupan c. pidana pengawasan d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial. 2 Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 menentukan berat ringannya pidana Pasal 66 Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Pasal 67 1 Pidana tambahan terdiri atas: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu danatau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. 2 Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain. 3 Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. 4 Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk pidan pidananya. Uraian tentang jenis-jenis hukuman menurut KUHP: Hukumanpidana Mati diatur dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP Tindak Pidana yang diancam dengan hukuman mati : A. Dalam KUHP :  Pembunuhan berencana  Kejahatan terhadap keamanan negara  Pencurian dengan pemberatan  Pemerasan dengan pemberatan  Pembajakan di laut dengan pemberatan. B. Diluar KUHP;  Terorisme  Narkoba  Korupsi  Pelanggaran HAM Berat; Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan sistematis. Hukuman mati dijalankan oleh algojo di tiang gantungan ps.11 KUHP, tapi berdasarkan Penpres no. 21964 : ditembak dibagian jantung danatau kepala dan tidak dilakukan di muka umum rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya. Hukuman mati tidak dapat dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah dihukum menjadi gila dan wanita hamil. Eksekusi baru dapat dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan. HukumanPidana Penjara Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 121995 tentang Pemasyarakatan Pasal 12 KUHP: Hukuman penjara lamanya seumur hidup atau sementarapidana penjara dilakukan dalam jangka waktu tertentu min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20 thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn. Pidana penjara dilakukan di penjara prisonjail, di indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan LPlapas. Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya disebut narapaidananapi inmates: Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan UU No.121995. Pembagian Sistem Penjara – gevangenisstelsel, menurut Utrecht :  Sistem Pennsylvania, AS : para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel. Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga selsipir penjara. Dilakukan peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum lain  Sistem Auburn, New York, AS, disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali ke sel.  Sistem Irlandia Irish System yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika berkelakuan baik, maka hukumannya diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of feformatory pelepasan bersyarat, publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah menjalani dari ¾ hukumannya.  Sistem Elmira NY, AS, diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.  Sistem Borstal LONDON, UK. Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman Minister of justice. Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.  Sistem Osborne NY,US. Memilih ‘BOS’ – mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi : Tampingbuilding tender. Di Indonesia diterapkan ke 5 nya :  Beberapa hukuman dimasukkan dalam satu sel atau 1 orang1 sel. Minimum securitymaximum securitySuper Maximum Security SMS  Napi pada umumnya boleh keluar dari sel pada pagi danatau siang hari, sore masuk sel sampai besok pagi. Ada jadwal kegiatannya.  Jika melakukan pelanggaran berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.  Boleh bekerja di luar sel secara bersama-sama = kerja di kebontaman, masak di dapur, bersihkan kolam, kerja di bengkel LP untuk buat kerajinanfurniture, menjahit, menyulam, merangkai bunga dsb. Boleh belajarsekolah dlm LP, boleh membaca, dengar radiononton TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi sesuai dengan jam yang telah ditentukan.  Dapat diberikan pelepasan bersyarat PB- reclassering, jika telah menempuh 23 dr hukumannya pasal 15 KUHP. Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang diatur dalam Pasal 14a KUHP.  Meskipun hukuman penjara dilakukan bersama- sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :  Laki-laki dan perempuan  Orang dewasa dan anak di bawah umur  Orang yang dihukumditahan – orang yang dihukum karena upaya preventif  Orang militer dan orang sipil Pidana kurungan Dilaksanakan di penjara, tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih dari terpidana penjara. Pidana Denda Pasal 30 ayat 1 KUHP dan UU No. 11960 Dengan adanya pidana denda seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP. Pidana Tutupan UU No.201946 Pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari oleh suatu motivasi yang patut dihormatidihargai. Tempatnya di penjara, namun diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan menikmati buku bacaan dan radiotape. Untuk hukuman ini terdapat 1 yurisprudensi di Jogja. BAB X PERCOBAAN POGING, ATTEMPT

I. PENGERTIAN

Di dalam bab IX buku I KUHP tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, tidak dijumpai rumusan arti atau definisi mengenai apa yang dimaksud dengan istilah “percobaan”. KUHP hanya merumuskan batasan mengenai kapan dikatakan adanya percobaan untuk melakukan kejahatan yang dapat dipidana, yaitu pasal 53 1 yang menyatakan : “Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Redaksi pasal ini jelas tidak merupakan suatu definisi, tetapi hanya merumuskan syarat- syarat atau unsur-unsur yang menjadi batas antara percobaan yang dapat dipidana dan yang tidak dapat dipidana. Percobaan yang dapat dipidana menurut system KUHP bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa “kejahatan” saja, sedangkan percobaan terhadap pelanggaran tidak dipidana sebagimana ditentukan dalam pasal 54 KUHP. Pada pasal 54 KUHP memperlihatkan adanya pemikiran dari para perumusnya bahwa delik pelanggaran bersifat lebih ringan dari pada kejahatan. Oleh karena itu percobaan pun terlalu rendah dari KUHP. Disamping itu perlu dicatat bahwa ketentuan umum dalam pasal 53 1 diatas tidak berarti bahwa percobaan terhadap semua kejahatan dapat dipidana. Pengecualian tersebut misalnya :  Percobaan duel perkelahian tanding pasal 184 ayat 5;  Percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan pasal 302 ayat 4;  Percobaan penganiayaan biasa pasal 351 ayat 5;  Percobaan penganiayaan ringan pasal 352 ayat 2;

II. SIFAT LEMBAGA PERCOBAAN