ini tidak merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi tidak bersifat accessoir, ia
merupakan unsur yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain, walaupun unsur ini
tidak ada yaitu karena adanya pengunduran diri secara sukarela maka percobaan tetap
dipandang ada. Jadi dalam kasus yang dikemukakan diatas, meskipun ada
pengunduran diri secara sukarela, perbuatannya tetap dipandang sebagai
perbuatan terlarang dan soal dipidana tidaknya si pembuat maupun si penganjur
adalah masalah pertanggunganjawab. Dalam kasus diatas si pembuat saksi tidak
dipidana karena menurut HR disitu ada pengunduran diri secara sukarela, sedangkan
sipenganjur tetap dapat dipidana karena telah menganjurkan suatu perbuatan yang
terlarang. Jadi pendapat kedua ini membedakan antara perbuatan yang dapat
dipidana criminal act dan pertanggung jawaban pidana criminal responsibility.
VI. PERCOBAAN MAMPU DAN TIDAK MAMPU
Masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini timbul sehubungan dengan telah dilakukannya
perbuatan pelaksanaan tetapi delik yang dituju tidak selesai atau akibat yang terlarang menurut
undang-undang tidak timbul. Tidak selesainya delik
atau tidak timbulnya akibat terlarang itu dapat disebabkan karena tidak mempunyai obyek
misal : mencoba menggugurkan bayi yang ternyata tidak hamil, mencoba membunuh orang
yang sudah mati, mencuri uang dari sebuah peti uang yang ternyata kosong, dsb atau karena tidak
mempunyai alat yang digunakan misal : mencoba membunuh orang dengan gula yang dikiranya
racun.
Pembeda antara percobaan mampu dan tidak mampu ini sebenarnya hanya pada mereka yang
menganut teori percobaan yang obyektif, karena hanya menitik beratkan pada sifat bahayanya
perbuatan. Para penganut teori yang subyektif tidak mengenal pembedaan tersebut, karena lebih
menitik beratkan pada sifat berbahayanya sikap batin atau watak si pembuat.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena obyeknya, M.v.T mengemukakan :
“Syarat-syarat umum percobaan menurut pasal 53 KUHP ialah syarat-syarat percobaan untuk
melakukan kejahatan yang tertentu didalam buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu
tersebut diperlukan adanya obyek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun harus ada
obyeknya. Kalau tidak ada obyeknya, maka juga tidak ada percobaan”.
Jadi menurut M.V.T tidak mungkin ada percobaan pada obyek yang tidak mampu, yang ada hanya
percobaan yang tidak mampu pada alatnya saja.
Mengenai percobaan yang tidak mampu karena alatnya, M.v.T membedakan antara :
Tidak mampu mutlak, yaitu bila dengan alat
itu tidak pernah mungkin timbul delik selesai, dalam hal ini tidak mungkin ada
delik percobaan.
Tidak mampu relative, yaitu bila dengan alat
itu tidak ditimbulkan delik selesai karena justru hal ikhwal yang tertentu dalam mana
si pembuat melakukan perbuatan atau justru karena keadaan tertentu dalam mana
orang yang dituju itu berada. Dalam hal ini mungkin ada delik percobaan.
Dari apa yang dikemukakan M.v.T diatas terlihat bahwa ketidakmampuan relative dapat dilihat dari
dua segi :
- Keadaan tertentu dari alat pada waktu si
pembuat melakukan perbuatan -
Keadaan tertentu dari orang yang dituju. Ukuran yang dikemukakan M.v.T itu ternyata tidak
mudah : a. Alat itu dapat dilihat sebagai jenis tersendiri
dan dapat dilihat dari keadaan konkritnya : - Apabila dilihat sebagai jenis tersendiri,
maka gula adalah alat yang tidak mampu digunakan untuk membunuh, sedangkan
warangan arsenicum adalah mampu;
- Apabila dilihat dari keadaan konkritnya, maka alat yang pada umumnya mampu
untuk membunuh misal warangan dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila
jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan untuk arsenicum 5
mg.
b. Begitu pula orang yang dituju, dapat dilihat secara abstrak untuk rata-rata orang dan dapat
dilihat dari keadaan konkrit tertentu. - Gula adalah alat yang tidak mampu
digunakan untuk membunuh orang pada umunya, tetapi dapat menjadi alat yang
mampu mematikan untuk orang yang berpenyakit diabetes;
- Warangan yang memenuhi dosis 5 mg, merupakan alat yang mampu untuk
membunuh, tetapi untuk orang yang sudah biasa warangan sejumlah itu tidak
merupakan alat yang mematikan.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka banyak sarjana yang menyatakan bahwa batas antara absolute
dan relative itu tergantung dari kehendak orang yang menggunakan willekeurig, tergantung dari
cara berpikir seseorang mengenai sesuatu hal.
Misal : percobaan pembunuhan dengan pistol yang tidak berpeluru.
Orang dapat mengatakan bahwa pistol yang demikian adalah alat yang absolut tidak mampu,
tetapi dapat juga dikatakan bahwa pistol adalah alat yang mampu untuk membunuh, namun dalam
hal tertentu bersifat relative karena tidak ada pelurunya.
Sehubungan dengan tidak jelas dan tidak mudahnya ukuran yang diberikan oleh M.v.T itu,
maka para sarjana berusaha memberikan batas atau ukuran antara percobaan yang mampu dan
tidak mampu.
Karena pada hakekatnya masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini dalah masalah
hubungan kausal yang ada dalam lapangan obyeltif, maka banyak sarjana misal Simons,
Pompe, Van Hattum yang berusaha menentukan garis pembatas tersebut dengan menggunakan
ukuran-ukuran dalam hubungan kausal. Ukuran-ukuran kausalitas yang digunakan adalah
teori generalisasi adekuat yang melihat secara ante factum sebelum peristiwaakibat karena
memang dalam hal percobaan, akibat yang merupakan delik yang dituju justru belum terjadi,
jadi tidak menggunakan teori individualisasi yang melihat sesudah terjadinya akibat post factum.
Ukuran atau batas percobaan mampu dan tidak mampu yang dikemukakan oleh para sarjana itu
adalah sbb :
1. SIMONS
Ada percobaan yang mampu, apabila perbuatan yang menggunakan alat yang
tertentu itu dapat membahayakan benda hukum.
Tidak perlu bahwa bahaya itu harus nyata- nyata ada dalam keadaan khusus dimana
perbuatan itu dilakukan. Jika menurut keadaan normal, dengan alat tersebut tidaklah akan
ditimbulkan delik maka dalam hal demikian tidak ada percobaan yang mampu. Sebaliknya
jika alat yang pada umumnya tidak berbahaya, tetapi dalam keadaan tertentu dapat
membahayakan dan dengan sengaja pula alat itu digunakan, maka persangkaan bahwa alat
itu tidak berbahaya akan lenyap dengan diajukan bukti-bukti sebaliknya. Perbuatan
demikian lalu dapat dipidana.
2. POMPE
Ada percobaan mampu, jika perbuatan atau alat yang digunakan mempunyai kecendrungan
strekking atau menurut sifatnya mampu untuk menimbulkan delik selesai.
Misal : - Mencoba membunuh orang dengan
mendoakan terus menerus supaya mati, bukanlah percobaan yang
mampu sebaliknya pemberian warangan pada orang yang normal
adalah mampu jika jumlahnya
memang dapat mematikan orang yang normal.
- Ada orang membeli warangan di apotik untuk melakukan pembunuhan, tetapi
karena kekeliruan apotik, bukan warangan yang diberikan tetapi gula
sehingga tidak menimbulkan kematian. Dalam hal demikian, tetap dikatakan
ada percobaan karena meskipun sifat gula adalah tidak mampu secara
absolute, tetapi penting dilihat dari keseluruhan
perbuatan yaitu
mencampurkan gula yang diberikan oleh apotik yang dikiranya warangan,
kedalam makanan orang lain.
3. VAN HATTUM
Dalam menentukan percobaan mampu dan tidakmampu, van Hattum seperti halnya
Simons dan Pompe jelas-jelas menggunakan hubungan kausal yang adekuat. Dikatakan ada
percobaan yang mampu, apabila perbuatan terdakwa ada hubungan kausal yang adekuat
dengan akibat yang dilarang oleh undang- undang.
Dalam menggunakan hubungankausal yang adekuat itu, menurut van Hattum yang penting
adalah bagaimana merumuskan memformulir perbuatan terdakwa yang bersangkutan. Dalam
memformulir perbuatan terdakwa secara
adekuat kausal itu, van Hattum memberikan ukuranpedoman sbb :
a. Hal-hal yang terjadi secara kebetulan
jangan dimasukan, karena rasa keadilan tidak membenarkan hal demikian member
keuntungan kepada si pembuat;
b. Hal-hal yang merintangi selesainya kejahatan yang dituju jangan dimasukkan,
apabila pada hakekatnya perbuatan terdakwa
membahayakan bendakepentingan hukum rechtsgoed.
Misal : Dengan maksud menembak musuhnya, seseorang telah mengisi senapanya dengan
peluru dan kemudian meletakkannya di suatu tempat untuk menunggu saat yang baik.
Sementara itu dengan tidak diketahuinya ada orang lain mengososngkan senapanya itu,
sehingga pada saat ditembakkan tidak menimbulkan akibat amtinya orang lain
musuhnya itu.
Dalam hal yang demikian, menurut van Hattum janganlah perbuatan terdakwa diformulir
sebagai percobaan yang tidak mampu karena kenyataannya ia membunuh dengan alat yang
relative tidak mampu yaitu senapan yang kosong. Tetapi harus diformulirkan sbb :
“mengarahkan senapan yang semula sudah diisi dengan peluru dan kemudian
menembakkannya”. Perbuatan demikian
merupakan yang pada umumnya dapat menimbulkan akibat matinya orang lain jadi
mempunyai hubungan kausal yang adekuat untuk adanya pembunuhan. Dengan demikian
perbuatan terdakwa merupakan percobaan yang mampu. Tidak berbeda dengan
menembakkan senapan yang pelurunya macet. Dari pendapat van Hattum diatas jelas terlihat
bahwa “kosongnya pistol” merupakan hal yang kebetulan dan mengisi senapandengan peluru
dan menembakkannya” merupakan perbuatan yang membahayakan benda hukum orang lain
berupa nyawa. Van Hattum menyatakan bahwa makin banyak hal-hal konkrit yang
dimasukkan dalam merumuskan perbuatan terdakwa, maka ketidakmampuan yang relative
akan menjadi ketidakmampuan yang absolut.
4. MOELYATNO
Dalam memecahkan masalah percobaan mampu dan tidak mampu ini, Prof. Moelyatno
tidak mendasarkan pada teori adekuat kausal karena kenyataanya dalam percobaan tidak
sampai menimbulkan kejahatan yang dituju tidak timbul akibat terlarang. Ukuran yang
dugunakan beliau dikembalikan pada ukuran patut dipidananya suatu delik, yaitu adanya
perbuatan yang bersifat melawan hukum. Jadi ukurannya tidak ditetapkan secara kausatif,
tetapi secara normatif.
Dikatakan ada percobaan yang mampu apabila perbuatan terdakwa mendekatkan pada
terjadinya delik selesai sedemikian rupa sehingga merupakan perbuatan yang melawan
hukum. Perlu dicatat bahwa karena beliau menganut ajaran sifat melawan hukum yang
materiil, maka perbuatan itu harus menggelisahkan masyarakat atau tidak pantas
dilakukan.
Ukuran yang digunakan Prof. Moelyatno itu didasarkan pada Eindrucks theorie teori
kesan yang berasal dari Von Bar, yang dikemukakan didalam bukunya Prof. Edmund
Mezger 1952. Menurut teori ini, sudah cukup dikatakan ada
percobaan, yang mampu apabila dalam keadaan tertentu ada perbuatan yang
menimbulkan kesan keluar bahwa ada permulaan perbuatan yang dapat dipidana.
Apabila suatu perbuatan dipandang dari sudut masyarakat telah menimbulkan kesan
mengganggu atau melukai tata-hukum, dan oleh karena itu telah menggincangkan
kesadaran umum mengenai kepastian berlakunya tata hukum tadi, maka perbuatan
demikian sudah mengandung bahaya. Dengan demikian ternyata, menurut Mezger, bahwa di
dalam teori kesan terdapat azas general preventive. Misal : perbuatan orang yang
hendak membunuh dengan senjata yang ternyata kosong atau macet pelurunya, atau
pencuri yang merogoh kantong orang lain yang ternyata kosong.
Perbuatan-perbuatan demikian dilihat dari teori kesan sudah merupakan percobaan yang
mampu dan oleh karenanya dapat dipidana, karena ada kesan dari luar yaitu dari sudut
masyarakat bahwa perbuatan-perbuatan itu telah mengganggu melukai tata hukum.
Menurut Prof. Moelyatno, dengan memakai ukuran melawan hukumnya perbuatan dalam
menentukan mampu tidaknya suatu percobaan berdasar teori kesan, tidak berarti bahwa sifat
berbahaya tidaknya percobaan itu dilihat dari sudut hubungan kausal tidak perlu
diperhatikan. Pertimbangan segi kausalitas ini tetap penting, tetapi bukan untuk menentukan
mampu tidaknya suatu percobaan, melainkan untuk menentukan berat ringannya pidana
yang akan dijatuhkan. Dalam hubungan ini beliau membandingkan dengan pasal 23 KUHP
Swiss yang menentukan. “Jika alat yang dipakai untuk mencoba melakukan kejahatan,
atau obyekterhadap mana dilakukan kejahatan, adalah sedemikian rupa hingga
perbuatan memang tidak mungkin dilaksanakan dengan alat atau terhadap obyek
yang demikian itu, maka hakim boleh mengurangi pidana menurut kebijaksanaanya
sendiri. Jika si pembuat berbuat karena kebodohan unverstand hakim boleh tidak
menjatuhkan pidana”.
5. MANGEL AM TATBESTAND
Telah dilemukakan diatas bahwa secara teoritis percobaan mampu dan tidak mampu dapat
dibedakan mengenai obyeknya maupun mengenal alatnya dan dapat pula dibedakan
antara tidak mampu yang absolute dan relative.
Karena tidak jelasnya batas penetu antara tidak mampu absolute danrelatif, tergantung dari
kehendak cara berpikir seseorang bersifat Willekeurig, maka ada pendapat seperti M.v.T
yang tidak memasukkan kedalam lapangan percobaan tidak mampu apabila objek tidak
mampu. Menurut pendapat aliran ini, percobaan tidak mampu karena obyeknya
bukanlah delik percobaan karena tidak cukupnya atau tidak terpenuhinya unsur-unsur
delik. Misal dalam hal membunuh orang yang sudah mati atau menggugurkan kandungan
orang yang tidak hamil, disitu tidak terpenuhi unsur delik dalam pasal 333 KUHP yaitu harus
adanya nyawa orang hidup yang dihilangkan dan unsur delik dalam pasal 346 KUHP
menggugurkanmematikan kandungan yaitu harus adanya seorang wanita yang benar-
benar mengandung.
Dalam ilmu hukum pidana Jerman, tidak adanya atau tidak lengkapnya tidak
terpenuhinya unsur-unsur delik itu, disebut Mangel am Tatbestand Mangel =kekurangan;
Tatbestand = keadaan yang betulsempurna atau mencocoki rumusan delik. Istilah ini
dikemukakan oleh Graf zu Dohna 1910.
Yang setuju dengan pendapat ini ialah Simons dan Pompe. Menurut Pompe, dalam kedua
contoh yang dikemukakan diatas tidak mungkin lagi dikatakan ada percobaan karena
maksudtujuan terdakwa sudah tercapai. Sedangkan van Hamel, tidak setuju dengan
mereka yang memandang tidak ada percobaan apabila obyeknya tidak mampu. Menurut beliau
memang benar bahwa membunuh bayi yang sudah mati atau menggugurkan kandungan
orang yang tidak hamil adalah tidak mungkin, tetapi hal yang demikian sebenarnya tidak
berbeda dengan membunuh bayi yang lahir hidup tetapi kemudian diganti dengan boneka
atau mencuri uang dari sebuah kantong yang ternyata kosong.
Demikian pula Jonkers tidak setuju bahwa dalam contoh-contoh di atas dikatakan tidak
ada percobaan, karena sifat khusu dari percobaan ialah :
a. Delik tidak selesai karena hal ikhwal yang tidak tergantung dari
kehendak terdakwa; b. Oleh karena dalam pikiran
terdakwa dalam kasus-kasus diatas adalah mungkin sekali
akan melaksanakan delik yang dituju.
Dari alasan yang kedua b ini jelas terlihat pandangan yang subyektif tentang percobaan.
Sehubungan dengan masalah ini KARNI membedakan antara Mangel am Tatbestand
dengan percobaan tidak mampu istilah beliau “percobaan tak terkenan”. Dalam hal
menggugurkan kandungan orang yang tidak hamil, disini ada percobaan yang tidak mampu
karena tujuan si pembuat tidak tercapai jadi berbeda dengan pendapat Pompe, jadi ini
bukan Mangel am Tatbestand. Sedangkan untuk mangel am Tatbestand dicontohkan sbb:
- Orang yang melarikan perempuan yang
ternyata sudah cukup umur; -
Orang yang mencuri barang yang ternyata sudah menjadi miliknya.
Dalam kedua contoh ini menurut Karni tujuanya sudah tercapai, hanya saja unsur delik yang
bersangkutan pasal 332 dan pasal 362 KUHP tidak terpenuhi secara sempurna. Ketidak
sempurnaan dipenuhinya unsur delik inilah yang menurut Karni merupakan hakekat atau
watak hukum dari Mangel am Tatbestand. Dalam hal demikian, terdakwa tidak dapat
dipidana karena memang tidak ada pasal yang dilanggar dan kepastian hukum terancam jadi
berlainan dengan van Hamel. Selanjutnya ditegaskan oleh Karni bahwa Mangel am
Tatbestand ini merupakan “kekhilafan tentang anasir delik” yang harus dibedakan dengan
salah sangka tentang adanya undang-undang putatief delict.
Perbedaan ini terlihat pula dalam pendapat Utrecht, delik putatief merupakan
“rechtsdwaling” sedangkan Mangel am Tatbestand merupakan “feitelijke dwaling”.
VII. PEMIDANAAN TERHADAP PERCOBAAN