Pendapatan Bumn Sebagai Pendapatan Negara Ditinjau Dari Uu Bumn Dan Uu Keuangan Negara

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Atmadjda Arifin P Soeria, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005 Bastian, Indra, Model Pengelolaan Privatisasi, Yogyakarta: BPFE, 2000. Bastian, Indra, Privatisasi di Indonesia, Jakarta: Salemba Empat, 2002.

Hadiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementasi, Edisi 2, Jakarta:PT.Gramedia, 2009.

Halim, Abdul dan Icuk Rangga Bawono, Pengelolaan keuangan Negara, hukum kerugian Negara dan badan pemeriksa keuangan, Jakarta: UPP STIM YKPN, 2011.

Hamzah, Fahri, Negara, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta:Yayasan Faham Indonesia,2012.

Ilmar, Aminuddin, Hak Menguasai Negara Dalam Privatisasi BUMN, Makassar : Kencana, 2012.

Khair, Abul dan Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, Medan: USU press, 2011.


(2)

Muhammad, Mar’ie dan Astar Siregar, “Badan Usaha Milik Negara,” dalam Hendra Esmara (Penyuting), Memelihara Momentum Pembangunan, Jakarta : Gramedia, 1985.

Nasution, Bismar, Hukum Kegiatan Ekonomi, Bandung: Boooks Terrace&Library, 2007.

Nugroho, Riant dan Wrihatnolo, Randy. R, Manajemen Privatisasi BUMN, Jakarta: PT Gramedia, 2008.

Nurdin, Andriani, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, Jakarta:Alumni, 2012.

Nursahid, Fajar, Tanggung Jawab Sosial BUMN, Jakarta:Piramedia, 2008. Prasetya, Rudhi, “Beberapa Segi Perusahaan Negara, Yayasan Penelitian dan

Pengembangan Hukum (Law Centre), Nomor 2, 1975.

Prasetya, Rudhi dan Neil Hamilton, “The Regulation of Indonesia State Enterprises,” Malaya Law Review, volume 16, Nomor 2, 1977.

Rajagukguk, Erman, Badan Hukum, Keuangan Negara, dan Korupsi, Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2009.

Soemantri, Priambodo, Dibyo, Refleksi BUMN 1993-2003,Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2004.

Sri Maemunah Suharto, “Pengelompokan BUMN dalam Rangka penyusunan Tolok Ukur pada Evaluasi Kinerja di Indonesia,” Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, 1996.


(3)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Gramedia, 2001.

Sugiharto, Peran Strategis BUMN, Jakarta:Elex Media Komputindo, 2008. Suharto, Sri Maemunah, Pengelompokan BUMN dalam Rangka Penyusunan

Tolok Ukur pada Evaluasi Kinerja di Indonesia, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas, Surabaya : Airlangga, 1996.

Sungono,Bambang , Metode Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Tangkilisan, Nogi S, Hessel, Distorsi Pengelolaan Privatisasi Jalan Tol, Yogyakarta: Lukman Offset, 2003.

Wibisono, Christianto dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.

B. Makalah, Karya Ilmiah, Tesis

Laporan dari Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) dalam Profit dan Anatomi BUMN, Jakarta, Edisi Kedua, Volume 1, 1989.

Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU,Tanggal 18 Februari 2003

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,Pidato Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Ekonomi Pada Fakultas Hukum USU, Gelanggang Mahasiswa Sabtu, 17 April 2004.


(4)

P. de Haan et al., “Bestuursrech in de Sociale Rechtstaat, Deel 1”, Kluwer-Deventer, Amsterdam, 1986.

C. Peraturan Perundang – undangan

Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 464/KMK.01/2005 Tentang Pedoman Strategi dan Kebijakan Departemen Keuangan (Road Map Departemen Keuangan tahun 2005-2009).

PP No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan BUMN disebutkan maksud dan tujuan pendirian BUMN.

Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. Undang – undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Kep-103/MBN/2002 tentang Pembentukan Komite Audit Badan Usaha Milik Negara.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor


(5)

Undang – undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) .

Nota keuangan dan RAPBN 2013.

D. Internet

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi internet,

Sejarah BUMN,

Tugas Pokok dan Fungsi Kementerian BUMN


(6)

BAB III

PENGERTIAN “KEKAYAAN NEGARA” DALAM PENDAPATAN BUMN DAPAT MENGAKIBATKAN TUDUHAN TINDAK PIDANA

KORUPSI YANG MENGANCAM DIREKSI BUMN.

E. Makna Kekayaan Negara

4. Dasar Hukum dan Pengertian Kekayaan Negara

Kekayaan Negara dalam bentuk keuangan negara yang sebelum amandemen UUD 1945 rumusannya sangat singkat, hanya diatur di dalam satu pasal yakni pasal 23. Pada sejarah Perundang – undangan di Indonesia, istilah “keuangan negara” pertama kali digunakan dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat (4) dan (5). Pada ayat (5) di katakan bahwa dalam pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksaan Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan undang – undang, dan hasil dari pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksaan Keuangan itu akan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini berarti tugas dari Badan Pemeriksa Keuangan ialah melanjutkan tugas

Aglemene Rekenmaker pada jaman hindia belanda.60

60

Arifin P Soeria atmadjda, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, (Jakarta:Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 24.

Tugas dari Badan Pemeriksaan Keuangan dalam memeriksa tanggung jawab pemerintah


(7)

tentang keuangan Negara dihubungkan dengan APBN yang sudah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.61

Ada tiga paket Undang – undang dalam Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah menjadikan lokomotif

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk didalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi wewenang kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara (domein privat).

62

61

Ibid.

62 Hadiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan Implementasi, (Jakarta

: Gramedia, 2001, Edisi 2), hlm 6.

bagi perubahan paradigma manajemen aset negara.


(8)

Pengertian kekayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia identik dengan harta (benda) yang menjadi milik orang63

1. barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D

. Dalam hukum, orang itu bisa berarti orang (persoon) dan badan hukum (persoonrecht). Negara merupakan badan hukum publik, dengan demikian dapat diartikan bahwa kekayaan negara adalah harta (benda) yang menjadi milik negara. Kekayaan negara juga diartikan sebagai benda berwujud dan tak berwujud, baik bergerak maupun tak bergerak yang mempunyai nilai, yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh negara.

Kekayaan negara dalam pengertian barang milik negara yang mengacu pada Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, barang milik negara/daerah meliputi :

2. barang yang dibeli berasal dari perolehan lain yang sah.

Di dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa barang yang berasal dari perolehan lain yang sah meliputi :

1. barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis; 2. barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak

63Kamus Besar Bahasa Indonesia versi internet,


(9)

3. barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang;atau 4. barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap.

Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai, baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.64

Kekayaan yang dimiliki negara adalah kekayaan dimana melekat hak milik negara (domein privat). Domein privat ini merupakan hak untuk “memiliki” suatu barang atau jasa. Kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari Pasal 23 UUD 1945.65 Kekayaan negara yang dipisahkan dapat berupa investasi pemerintah pada BUMN dan investasi pemerintah lainnya. Sedangkan kekayaan negara yang tidak dipisahkan berupa Barang Milik Negara/Daerah yang merupakan keseluruhan barang yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah atau perolehan lainnya yang sah.66

64 Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 464/KMK.01/2005 Tentang Pedoman

Strategi dan Kebijakan Departemen Keuangan (Road Map Departemen Keuangan tahun 2005-2009), hlm 10.

65Priambodo Dibyo Somantri, Refleksi BUMN 1993 – 2003, (Yogyakarta : Media

Pressindo, 2004), hlm.36


(10)

Pengaturan kekayaan negara dalam domein privat yang mengacu pada Pasal 23 UUD 1945, selama ini diatur dalam berbagai undang-undang yang mengatur mengenai perbendaharaan negara dan keuangan negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.67

67

Arifin P Soeria atmadjda, Op.cit., hlm. 81.

Kekayaan yang dikuasai negara adalah kekayaan dimana melekat mandat hukum atau kewenangan negara untuk mengelola dan mempergunakan kekayaan tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (domein publik). Domein publik adalah hak untuk “menguasai” suatu kekayaan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Berdasarkan hak menguasai tersebut, UUD 1945 memberikan kewenangan kepada negara untuk “mengatur” pengelolaan kekayaan negara agar kekayaan negara itu dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak mengatur ini merupakan hak publik, sehingga hak tersebut bersifat ekslusif, artinya hak ini hanya dapat dimiliki oleh negara dan tidak dapat dimiliki oleh pihak-pihak lain.


(11)

5. Kekayaan Negara dalam Perusahaan BUMN

Seperti yang diketahui bahwa paling sedikit 51% dari modal Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah milik Negara. Penyertaan modal yang diberikan oleh Negara merupakan Kekayaan Negara yang dipisahkan.

Pada Pasal 1 ayat 1 Undang – Undang BUMN mengatakan bahwa modal BUMN yang berasal dari Negara bersumber dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Di dalam Pasal 2 huruf (g) Undang – Undang Keuangan Negara dikatakan juga bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan pada perusahaan Negara termasuk ke dalam keuangan Negara. Hal tersebutlah yang menyebabkan apabila terjadi kerugian pada perusahaan BUMN maka Negara juga akan mengalami kerugian.

Akan tetapi sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, perseroan terbatas merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Prof. Subekti, S.H. menjelaskan, badan hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia.68

68Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Gramedia, 2003), hlm. 21.

Badan hukum tersebut juga memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki


(12)

kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut.

Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT, yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara. Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri.

Hal tentang makna dari kekayaan Negara yakni keuangan Negara ini beberapa waktu yang lalu menjadi pembahasan hangat menyangkut permohonan uji materil yang di ajukan oleh forum hukum BUMN dan rekan – rekan terhadap Undang – undang keuangan Negara dan Undang – undang BPK. Uji materi dilakukan terhadap pasal yang mengatur tentang kekayaan negara yang dipisahkan dalam Undang – Undang Keuangan Negara dan pasal yang mengatur tentang kewenangan BPK untuk melakukan pemeriksaan keuangan terhadap kekayaan negara yang dipisahkan tersebut.

Menurut Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.


(13)

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan, ada beberapa unsur yang menjadi suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai BUMN69

1. Badan usaha atau perusahaan

:

2. Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh negara. Jika modal tersebut tidak seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap dikategorikan sebagai BUMN, maka negara minimum menguasai 51 % modal tersebut.

3. Di dalam usaha tersebut, negara melakukan penyertaan secara langsung;

Kekayaan yang dipisahkan ini adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk dijadikan modal BUMN. Setelah itu selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.70

Perusahaan Perseroan (Persero) merupakan salah satu BUMN yang berbentuk PT. Walaupun ada unsur negara di dalam perusahaan tersebut, tetapi oleh karena badan usaha ini adalah PT, maka badan usaha tersebut harus tunduk kepada UUPT yang menjadi dasar substantif pengaturan eksistensi PT.

69 Priambodo Dibyo Soemantri,Op.cit., hlm.34.


(14)

PT oleh hukum dipandang terlepas dari orang atau badan hukum lain dari orang yang mendirikannya. Di satu pihak PT merupakan wadah yang menghimpun orb ang-orang yang mengadakan kerjasama dalam PT, tetapi di lain pihak segala perbuatan yang dilakukan dalam rangka kerjasama dalam PT itu oleh hukum dipandang semata-mata sebagai perbuatan badan itu sendiri. Oleh karena itu, segala keuntungan yang diperoleh dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Demikian pula sebaliknya, jika terjadi suatu utang atau kerugian dianggap menjadi beban PT sendiri yang dibayarkan dari harta kekayaan PT.

6. Pengelolaan Kekayaan Negara dalam Perusahaan BUMN

Ketentuan mengenai pengelolaan Barang Milik Negara diatur secara singkat dalam Undang-Undang 1 Nomor Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan pengaturan yang lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Selain Undang-Undang 1 Nomor Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengenai pengelolaan keuangan negara diatur pada beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Pengelolaan keuangan negara subbidang kekayaan Negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang orientasinya


(15)

mencari keuntungan (profit motive). Ini dikarenakan keuangan Negara yakni kekayaan Negara yang dipisahkan terdapat dalam perusahaan BUMN. Sehingga dalam melakukan pengelolaan kekayaan Negara pada perusahaan BUMN tersebut berkaitan dengan kebijakan – kebijakan yang ada dalam BUMN, serta berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan pada perusahaan BUMN. Dengan kata lain kekayaan Negara yang terdapat pada perusahaan BUMN dikelola oleh pihak BUMN dan Negara yang diwakilkan oleh menteri terkait.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara:pengertian keuangan negara dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja.71

Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar

71 Hardiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep dan Implementasi, Edisi 2,


(16)

1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalam asas-asas umum, yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Penjelasan dari masing-masing asas tersebut adalah sebagai berikut.72

a. Asas Tahunan, memberikan persyaratan bahwa anggaran Negara dibuat secara tahunan yang harus mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR).

b. Asas Universalitas (kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.

c. Asas Kesatuan, mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah jumlah brutonya. d. Asas Spesialitas mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat

dalam mata anggaran tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi dan tidak boleh


(17)

dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.

e. Asas Akuntabilitas berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.

f. Asas Profesionalitas mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang profesional.

g. Asas Proporsionalitas; pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin dicapai.

h. Asas Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan dalam pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil pengawasan oleh lembaga audit yang independen.

i. Asas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan independen.

Saat ini, pengelolaan kekayaan negara dalam domein privat termasuk ruang lingkup keuangan negara, sehingga kekayaan negara harus dilihat dari perspektif yuridis keuangan negara. Pemahaman tentang keuangan negara mempunyai keterkaitan dengan konsepsi hukum administrasi


(18)

negara, karena perencanaan atas anggaran negara merupakan bagian dari “tugas penyelenggaraan kepentingan umum (public service)”.

Dengan adanya reformasi ekonomi, maka saat ini pengelolaan kekayaan negara telah menjadi bagian yang sangat penting dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Tujuan dari optimalisasi pengelolaan kekayaan negara menurut Doli D. Siregar adalah sebagai berikut73

73 Doli. D. Siregar, Harta Kekayaan Negara, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2007),

hlm. 143.

:

1) menciptakan transparansi dan kejelasan arah dari kebijakan pemerintah tentang pengelolaan harta kekayaan negara yang sangat berguna sebagai arahan dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya;

2) menciptakan sinergi dan keterpaduan gerak antara pengelolaan harta kekayaan negara dan berbagai kebijakan dan program pemerintah terutama dalam rangka mendukung program penyehatan perekonomian nasional;

3) meningkatkan pendayagunaan dan sistem operasi pengawasan dalam penguasaan dan pemanfaatan harta kekayaan negara dengan tujuan untuk mengarahkan, mengendalikan dan mengamankan pengelolaan harta kekayaan negara demi tercapainya pemerataan kemakmuran rakyat;


(19)

4) menciptakan sistem dan mekanisme pengelolaan harta kekayaan negara yang terpadu, efisien dan efektif serta memiliki kewenangan dan otoritas yang jelas.

F. Pendapatan BUMN

3. Dasar Hukum dan Pengertian Pendapatan BUMN

Dasar hukum mengenai Badan Usaha Milik Negara ini yakni UU no 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) .

Pengertian BUMN tertera pada Pasal 1 angka 1 UU BUMN74

Kekayaan Negara yang dipisahkan dijelaskan pada Pasal 1 angka 10 :

“BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan”.

75

74 Pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN. 75 Pasal 1 Ayat (10) Undang – Undang No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN.

:

“Kekayaan Negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal Negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya”.

Sedangkan mengenai pendapatan BUMN tidak dengan jelas diungkapkan pada UU BUMN ini.


(20)

Pendapatan BUMN adalah keseluruhan transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan BUMN, pendapatan tersebut meliputi modal dan laba dari BUMN tersebut. Pendapatan BUMN berasal dari seluruh sektor yang ada, akan tetapi tidak semua dari pendapatan BUMN tersebut di setor ke Negara, sebab didalam pendapatan BUMN tersebut terdapat modal perusahaan, biaya infrastruktur, biaya produksi dan lain sebagainya, termasuk laba. 76Sehingga jika kita melihat pendapatan serta seluruh faktor – faktor yang mempengaruhi pengadaan barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan BUMN, maka kita dapat menyimpulkan apakah BUMN memperoleh laba atau tidak. Apabila BUMN memperoleh laba, maka deviden dari laba tersebut dapat dibagikan kepada para pemilik saham, termasuk didalamnya Negara. Akan tetapi apabila BUMN merugi maka Negara berkewajiban untuk menyokong BUMN tersebut.77 Dalam hal ini BUMN terkesan tidak mematuhi UU PT yang menyatakan bahwa keterbatasan pemilik saham pada perseroan termasuk dalam hal perseroan merugi, yakni si pemilik saham hanya bertanggungjawab sebesar saham yang ia masukkan ke dalam perseroan.78

Sedangkan apabila Perusahaan BUMN memperoleh laba, maka Negara sebagai pemegang saham mayoritas berhak atas deviden BUMN tersebut sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki Negara.

76Aminuddin Ilmar, Op.cit., hlm.98 77Ibid.


(21)

4. Pengelolaan Pendapatan BUMN

Sebagai salah satu pelaku kegiatan ekonomi, keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peran penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Untuk itu, BUMN diharapkan: (1) dapat meningkatkan penyelenggaraan kemanfaatan umum, berupa penyediaan barang dan jasa dalam jumlah dan mutu yang memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (2) memberikan sumbangan kepada penerimaan negara; dan (3) meningkatkan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. Untuk mengoptimalkan keberadaan BUMN, pengembangan dan pembinaan BUMN secara umum diarahkan untuk dapat mensinergikan kebijakan industrial dan pasar tempat BUMN tersebut beroperasi dengan kebijakan restrukturisasi dan internal perusahaan sesuai dengan potensi daya saing perusahaan.

Oleh sebab itu pendapatan BUMN dari seluruh sektor diharapkan dapat dikelola dengan sebaik – baiknya. Pengelolaan pendapatan BUMN tidak terlepas dari peran serta Direksi, Komisaris, menteri BUMN, menteri Keuangan, serta pihak – pihak lain yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Pendapatan BUMN tersebut dikelola untuk perbaikan atau pengadaan infratruktur BUMN sedang devidennya dibagikan kepada seluruh pemengang saham seperti halnya pada perseroan selayaknya. Hanya saja dalam hal ini berbeda halnya, dikarenakan pada perusahaan


(22)

BUMN terdapat minimal 51% saham pemerintah, sehingga Negara berhak atas pembagian deviden dari perusahaan BUMN sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki Negara pada perusahaan tersebut.

Pada UU BUMN dilihat bahwa pengangkatan dan pemberhentian direksi diatur dengan keputusan menteri, ini berarti direksi diminta untuk bertanggung jawab penuh pada pekerjaannya di perusahaan BUMN. Ini dapat dilihat pada Pasal 21 UU BUMN yang berisikan:

(1) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana jangka panjang yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan Persero yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun.

(2) Rancangan rencana jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan Komisaris disampaikan kepada RUPS untuk mendapatkan pengesahan.

Dari isi Pasal 21 UU BUMN tersebut tertera bahwa Direksi wajib membuat rancangan rencana yang ingin dicapai perusahaan dalam jangka waktu ke depan yang telah ditentukan UU BUMN, selanjutnya rancangan rencana tersebut disampaikan kepada RUPS, dimana pada RUPS terdapat Negara sebagai pemegang saham mayoritas. Pada Pasal 22 UU BUMN tertera :

(1) Direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang merupakan penjabaran tahunan dari rencana jangka panjang.

(2) Direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan.

Pada Pasal 22 UU BUMN ini dapat dilihat peran direksi dalam pengelolaan pendapatan BUMN lewat rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang merupakan penjabaran dari rencana tahunan. Pada Pasal 35 PP No. 45 Tahun


(23)

2005 Tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara juga diatur Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP), dimana dikatakan juga bahwa direksi wajib menyiapkan RKAP yang memuat penjabaran tahunan, dan nantinya akan disahkan oleh RUPS.

Tidak hanya untuk hal tersebut diatas, akan tetapi pendapatan BUMN juga digunakan untuk melakukan CSR terhadap lingkungan sekitar untuk mewujudkan aksi sosial perusahaan, dan digunakan dalam menyelenggarakan program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

G. Direksi Pada Perusahaan BUMN 4. Tugas dan Wewenang Direksi

Direksi menjalankan tugas melaksanakan pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sebagai amanat dari pemegang saham yang ditetapkan dalam RUPS.

Tugas dan wewenang Direktur Utama adalah memimpin dan memastikan79

a. Tercapainya sasaran Perusahaan berdasarkan maksud dan tujuan, visi dan misi serta Rencana Jangka Panjang Perusahaan, dan bertanggung jawab atas jalannya Perusahaan;

:


(24)

b. Terlaksananya pengelolaan dan pengendalian fungsi Sekretaris Perusahaan, fungsi Pengawasan Intern dan fungsi Manajemen Risiko. Tugas dan wewenang Direktur Pengembangan dan Niaga adalah memimpin dan memastikan tercapainya sasaran Perusahaan berdasarkan maksud dan tujuan, visi dan misi serta Rencana Jangka Panjang Perusahaan, dan bertanggung jawab atas jalannya Perusahaan dalam bidang Pengembangan dan Niaga, meliputi80

a. Pengelolaan kegiatan investasi yang dilakukan oleh Perusahaan sendiri/Anak Perusahaan dan atau bekerja sama dengan mitra usaha;

:

b. Pengelolaan kegiatan Pengembangan Usaha Lain dengan memanfaatkan potensi-potensi sumber daya Perusahaan sendiri/Anak Perusahaan dan atau bekerjasama dengan mitra usaha;

c. Pemantauan dan Pengendalian kinerja Anak Perusahaan;

d. Pengelolaan dan pengembangan teknologi pembangunan usaha;


(25)

e. Pengelolaan Manajemen Risiko yang berkaitan dengan investasi pembangunan dan investasi usaha lain.

Tugas dan wewenang Direktur Operasi adalah memimpin dan memastikan tercapainya sasaran Perusahaan berdasarkan maksud dan tujuan, visi dan misi serta Rencana Jangka Panjang Perusahaan dan bertanggung jawab atas jalannya Perusahaan, meliputi81

a. Pengoperasian bidang usaha dalam rangka memberikan pelayanan terhadap pengguna;

:

b. Pengumpulan pendapatan;

c. Pemeliharaan dan peningkatan bidang usaha beserta kelengkapannya baik yang dilaksanakan oleh Perusahaan sendiri maupun bekerja sama dengan mitra usaha; d. Sistem pengamanan bidang usaha;

e. Pengelolaan Manajemen Risiko yang terkait dengan pengoperasian bidang usaha serta pemeliharaan dan peningkatan bidang usaha beserta seluruh kelengkapannya.

Tugas dan wewenang Direktur Keuangan adalah memimpin dan memastikan tercapainya sasaran Perusahaan berdasarkan maksud dan tujuan, visi dan misi serta Rencana Jangka Panjang Perusahaan, dan bertanggung jawab atas jalannya Perusahaan dalam bidang Keuangan,


(26)

Teknologi dan Informasi, serta Pengelolaan Manajemen Risiko, meliputi82

a. Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan serta Rencana Jangka Panjang Perusahaan;

:

b. Pengendalian keuangan Perusahaan;

c. Pengelolaan portfolio investasi keuangan Perusahaan; d. Pengelolaan Teknologi Informasi Perusahaan;

e. Pengelolaan Manajemen Risiko terkait dengan kebijakan-kebijakan di bidang keuangan;

f. Pengelolaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Tugas dan wewenang Direktur Sumber Daya Manusia adalah memimpin dan memastikan tercapainya sasaran Perusahaan berdasarkan maksud dan tujuan, visi dan misi serta Rencana Jangka Panjang Perusahaan, dan bertanggung jawab atas jalannya Perusahaan dalam bidang Pengelolaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, aktivitas bidang umum dan hukum, meliputi:

1. Pengembangan organisasi Perusahaan dan Manajemen;

2. Pengembangan sistem dan prosedur pengelolaan sumber daya manusia;


(27)

3. Pengembangan kompetensi sumber daya manusia; 4. Pengembangan dan pemeliharaan budaya

Perusahaan;

5. Pengelolaan aktivitas logistik, pengamanan aset Perusahaan dan aktivitas umum lainnya;

6. Pengelolaan fungsi pelayanan umum;

7. Pengelolaan Manajemen Risiko yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan di bidang pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia, bidang umum dan bidang hukum.

5. Pertanggungjawaban Direksi

Pada Pasal 1 angka 9 UU BUMN mengatakan bahwa Direksi adalah organ BUMN yang bertanggung jawab atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN, serta mewakili BUMN baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Sama halnya dengan PT, Perusahaan BUMN yang berbentuk persero juga tunduk pada UU PT, hal ini dicantumkan pada Undang – undang BUMN. Agar suatu PT dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtpersoon, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhinya. Pertama, para pendiri harus mendirikan PT berdasarkan akta pendirian PT yang dibuat dihadapan notaris, akta mana mencakup pula anggaran dasar dari


(28)

PT yang bersangkutan. Kedua, para pendiri dan Direksi harus mendapatkan pengesahan atas akta pendirian tersebut dari Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Ketiga, setelah mendapat surat pengesahan dari Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Direksi mendaftarkan PT (beserta Akta Pendirian) tersebut dalam Daftar Perusahaan pada Kantor Pendaftaran Perusahaan dimana PT tersebut berdomisili untuk mendapatkan Tanda Daftar Perusahaan, dan mengumumkan Akta Pendirian dalam Tambahan Berita Negara.83

UUPT Pasal 97 mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada Direksi harus dilaksanakan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab, maka Direksi mana terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya (beriktikad tidak baik) mengakibatkan perseroan rugi, pemegang saham Perseroan sesuai ketentuan yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai per tanggung Bila suatu PT sudah mendapat surat pengesahan sebagai badan hukum oleh Menteri Hukum dan Perundangan namun belum melakukan proses pendaftaran, dikenakan sanksi perdata dan sanksi pidana. Sanksi perdata untuk hal ini diatur dalam UU PT, dimana untuk pelanggaran dan kelalaian ini maka anggota Direksi secara tanggung renteng betanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan PT (pasal 23 UU PT). Untuk sanksi pidana terdapat dalam pasal 32-35 Undang-undang No.3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan.


(29)

jawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang mengakibatkan Perseroan rugi.

6. Pelanggaran yang Dapat di Lakukan Direksi Terkait Pendapatan BUMN.

Ada doktrin “business judgment rule” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati.84 Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan sesuai dengan bunyi pasal 97 ayat (5) Undang- undang No. 40 Tahun 2007 Tentang PT. “Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.85

Akan tetapi sesuai dengan tugas dan wewenangnya Direksi BUMN dapat melakukan pelanggaran dalam pengelolaan perusahaan BUMN, serta dalam pelaporan pendapatan BUMN. Direksi dapat melakukan

84Erman Rajagukguk, Badan Hukum, Keuangan Negara, dan Korupsi, (Jakarta: Lembaga

Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2009), hlm.27.


(30)

manipulasi serta rekayasa data keuangan BUMN ketika pelaporan pendapatan BUMN. Tidak hanya itu apabila dalam fakta – fakta yang dipelajari hakim tentang direksi, dalam menjalankan perusahaan BUMN terdapat kesalahan yang tidak dapat dibebaskan dengan prinsip “Business judgment rule”, atau dengan kata lain direksi terbukti mengambil suatu keputusan tanpa berhati – hati, maka dalam hal demikian direksi melakukan suatu pelanggaran.86

Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut hukum pidana. Hal ini dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan melakukan penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang - Undang Perbankan, pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli, pelanggaran Undang-Undang Anti Pencucian Uang (Money sLaundering) dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi pidana.87

H. Penyelewengan Pendapatan BUMN Oleh Direksi Mengakibatkan Tuduhan Tindak Pidana Korupsi.

4. Dasar Hukum dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andrea istilah korupsi berasal dari bahasa latin yaitu corruptio atau corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa

86 Ibid., hlm.34. 87 Ibid., hlm.37.


(31)

corruption itu sendiri berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua yang berarti kerusakan atau kebobrokan, disamping itu dipakai pula untuk menunjukkan keadaan atau perbuatan yang buruk.88 Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie dan dari bahasa Belanda, yaitu corruptie dan dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.89

Disamping itu istilah korupsi di beberapa negara dipakai juga untuk menunjukkan keadaan dan perbuatan yang busuk. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan, ini dilihat dari istilah dibeberapa negara yakni Gin Moung (Muangthai), yang berarti “makan bangsa”; tanwu (Cina), yang berarti “keserahan bernoda”; Oshoku (Jepang) yang berarti “kerja kotor”. Kemudian arti korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu disimpulkan oleh Poerwadarwinta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia bahwa “korupsi ialah perbuatan buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya”.90

Pada Pasal 2 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang kini telah dirubah menjadi Undang – Undang No. 20

88

Abul Khair dan Mohammad Eka Putra, Pemidanaan, (Medan:USU press, 2011), hlm.28.

89 Ibid.,hlm. 32. 90 Ibid., hlm. 33.


(32)

Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi(TIPIKOR) dikatakan pengertian korupsi yakni91

5. Penyelewengan Pendapatan BUMN oleh Direksi

:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3 UU TIPIKOR berisikan tentang penyalahgunaan wewenang yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Direksi BUMN mungkin saja melakukan penyelewengan terhadap pendapatan BUMN. Sesuai dengan tugas dan wewenangnya Direksi BUMN dapat melakukan pelanggaran dalam pengelolaan BUMN, serta dalam pelaporan pendapatan BUMN. Direksi dapat melakukan manipulasi serta rekayasa data keuangan BUMN ketika pelaporan pendapatan BUMN. Tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan negara dalam penjelasan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

91


(33)

“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena 92

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;

:

b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

“Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang- Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang


(34)

Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).93

Namun dalam prakteknya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan kepada tindakan-tidakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu juga tidak ada yang salah dengan definisi keuangan negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).94

Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

93 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum,

(Jakarta:Alumni, 2012), hlm.59.


(35)

6. Tuduhan Tindak Pidana Korupsi terhadap Direksi

Salah satu unsur yang mendasar dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan negara. Sebelum menentukan adanya kerugian keuangan negara, maka perlu ada kejelasan definisi secara yuridis pengertian keuangan negara.Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum ada kesamaan tentang pengertian keuangan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mendefinisikan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dalam Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 ayat (1) menyatakan penyertaan negara merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Pemahaman terhadap Pasal ini adalah pada saat kekayaan negara telah dipisahkan, maka kekayaan tersebut bukan lagi masuk di ranah hukum publik tetapi masuk di ranah hukum privat.95

Undang-undang tentang Keuangan Negara memposisikan BUMN Persero masuk dalam tataran hukum publik. Pada sisi lain, Pasal 11 Undang-Undang BUMN menyebutkan pengelolaan BUMN Persero


(36)

dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Berarti, Undang-Undang PT sesuai dengan asas lex specialis derograt lex generalis yang berlaku bagi BUMN Persero.96

Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara, berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-Undang Keuangan Negara yang menyatakan kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan penjelasan umum Undang-Undang Tipikor yang menyatakan bahwa Penyertaan Negara yang dipisahkan merupakan kekayaan negara, sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik.

Dengan demikian, jika terjadi kerugian di suatu BUMN Persero maka kerugian tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara melainkan kerugian perusahaan atau lazim juga disebut resiko bisnis sebagai badan hukum privat.

97

Paparan di atas menunjukkan tidak adanya keseragaman mengenai pengertian keuangan negara antara Undang-Undang tentang BUMN, Undang-Undang tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Tipikor. Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut

96 Ibid.


(37)

menimbulkan kesulitan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.


(38)

BAB IV

PENDAPATAN BUMN YANG MERUPAKAN PENDAPATAN NEGARA JIKA DI TINJAU DARI PERATURAN YANG MENGATUR TENTANG

PENDAPATAN BUMN DAN PENDAPATAN NEGARA C. Pendapatan Negara

4. Pengaturan Tentang Pendapatan Negara

Sebagai suatu negara yang berdaulat, Negara Indonesia didirikan dengan suatu tujuan yang jelas. Tujuan bernegara tersebut tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) alinea keempat, yaitu : (i) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, (ii) menciptakan kesejahteraan umum, (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (iv) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Usaha-usaha untuk mewujudkan tujuan bernegara tersebut terus dilaksanakan pemerintah secara berkesinambungan. Investasi terus digalakkan pemerintah, baik di sektor industri maupun di sektor jasa. Dilain pihak, tabungan pemerintah yang berasal dari surplus anggaran sebagai andalan pembiayaan pembangunan dari dalam negeri, sampai saat ini masih belum mampu menutup keseluruhan dana yang diperlukan dalam investasi tersebut. Hal itulah yang menyebabkan pemerintah berusaha untuk meningkatkan


(39)

penerimaan negara, terutama penerimaan yang berasal dari dalam negeri, yaitu penerimaan yang berasal dari perpajakan maupun PNBP.98

98Fahri Hamzah, Negara, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat, (Jakarta:Yayasan Faham

Indonesia,2012), hlm.57.

Pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 1 Tahun 1994 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1994/1995 defenisi dari Pendapatan Negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan yang digunakan untuk membiayai belanja negara.

Pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1995 Tentang APBN Tahun 1995-1996 definisi dari Pendapatan Negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan yang digunakan untuk membiayai belanja negara.

Pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1996 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1996/1997 definisi dari Pendapatan Negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan yang digunakan untuk membiayai belanja negara.

Pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 6 Tahun 1997 Tentang APBN Tahun 1997/1998 definisi dari Pendapatan Negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan pembangunan yang digunakan untuk membiayai belanja negara.


(40)

Pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1998/1999 definisi dari Pendapatan Negara adalah semua Penerimaan Dalam Negeri dan Penerimaan Pembangunan yang digunakan untuk membiayai Belanja Negara. 99

Pendapatan Negara adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri.

Pada Pasal 1 Angka 1 UU Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000 definisi dari Pendapatan Negara adalah semua penerimaan dalam negeri dan penerimaan luar negeri yang digunakan untuk membiayai belanja negara.

Pada Pasal 1 Angka 13 UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara definisi dari Pendapatan Negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

100

Dibidang perpajakan, pemerintah telah melaksanakan ekstensifikasi dan intensifikasi guna meningkatkan penerimaan perpajakan tersebut. Na mun harus diakui, bahwa penerimaan perpajakan, sampai saat ini masih belum mampu menutup seluruh biaya yang diperlukan untuk membiayai semua pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah mencoba

99 Ibid., hlm.58. 100 Ibid., hlm.59.


(41)

menggali sumber-sumber penerimaan dalam negeri lainnya, antara lain adalah PNBP.101

Berkaitan dengan PNBP ini, pemerintah Indonesia senantiasa berusaha meningkatkan jumlahnya dari tahun ke tahun, untuk menopang penerimaan dalam negeri. Dan ini perlu dioptimalkan, karena sampai dengan saat ini PNBP masih dipandang dengan sebelah mata, dalam arti PNBP.102

PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan103. Pengertian Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia, yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945104

PNBP, sebagaimana perpajakan, pemungutannya harus didasarkan pada undang-undang. Dalam pelaksanaannya, pemerintah telah mengesahkan undang-undang mengenai PNBP ini, yaitu Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sebagai payung dalam pelaksanaan pemungutan, penyetoran, penatausahaan dan . PNBP bisa bisa didapat dari dalam negeri maupun luar negeri, dan berada dalam pengurusan suatu kementerian negara/lembaga.

101 Sugiharto, Op.cit.,hlm.49. 102

Fajar Nursahid, Op.cit., hlm 88.

103 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang PNBP Bab I Pasal1 angka 1


(42)

pertanggungjawaban pengelolaan PNBP oleh kementerian negara/lembaga.105

Adapun yang menjadi arah dan tujuan perumusan undang-undang PNBP itu sendiri adalah untuk106

1. Menuju kemandirian bangsa dalam pembiayan negara dan pembiayaan pembangunan melalui optimalisasi sumber-sumber PNBP dan ketertiban administrasi dalam pengelolaan PNBP serta penyetorannya ke kas negara;

:

2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan PNBP;

3. Menunjang kebijaksanaan pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta investasi seluruh wilayah Indonesia;

4. Menunjang upaya terciptanya aparat pemerintah yang kuat, bersih dan berwibawa, penyederhanaan prosedur dan pemenuhan kewajiban, peningkatan tertib administrasi keuangan negara, serta peningkatan pengawasan.

105 Ibid., hlm. 89.


(43)

Menurut pasal 1 ayat (13) Undang –undang Keuangan Negara, Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.

5. Jenis – jenis Pendapatan Negara

Pada dasarnya, penerimaan negara terbagi atas 2 jenis penerimaan, yaitu penerimaan dari pajak dan penerimaan bukan pajak yang disebut penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Menurut UU no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

UU tersebut juga menyebutkan kelompok PNBP meliputi107

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; :

b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;

d. penerimaan dari pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal

dari pengenaan denda administrasi;

f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah


(44)

g. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-undang tersendiri

Kecuali jenis PNBP yang ditetapkan dengan Undang-undang, jenis PNBP yang tercakup dalam kelompok sebagaimana terurai diatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Artinya diluar jenis PNBP terurai diatas, dimungkinkan adanya PNBP lain melalui UU.

Komponen PNBP dalam APBN terdiri dari : (i) penerimaan SDA, (ii) bagian pemerintah atas laba BUMN, (iii) PNBP lainnya, dan (iv) pendapatan BLU108

1. Penerimaan SDA .

PNBP yang berasal dari SDA, terdiri atas penerimaan SDA minyak dan gas bumi (migas), dan penerimaan SDA non-migas, merupakan sumber utama PNBP. Selama 2007-2011, penerimaan SDA memberikan kontribusi rata-rata 64,0% terhadap total PNBP, dengan pertumbuhan rata-rata 12,6% per tahun109

PNBP migas ini merupakan bagian bersih pemerintah atas kerja sama pengelolaan sektor hulu migas. PNBP SDA Non-migas berasal dari pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. PNBP SDA pertambangan umum meliputi

.

108 Ibid., hlm.98.


(45)

penerimaan dari iuran tetap untuk usaha pertambangan mineral logam dan batubara dan penerimaan dari iuran produksi/royalti pertambangan mineral dan batubara. PNBP SDA Kehutanan antara lain didapat dari Dana Reboisasi (DR), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) dahulu namanya Iuran Hak Pemangku Hutan (IHPH), dan Penggunaan Kawasan Hutan (PKH). PNBP SDA Perikanan secara garis besar dibagi dua, yaitu pungutan hasil perikanan (PHP), dan pungutan pengusahaan perikanan (PPP). Penerimaan pertambangan panas bumi bersumber dari setoran bagian pemerintah sebesar 34% dari penerimaan bersih usaha kegiatan (net operating income/NOI) pembangkitan energi/listrik setelah dikurangi dengan semua kewajiban pembayaran perpajakan dan pungutan lain sesuai dengan perundang-undangan110

2. Penerimaan Bagian Pemerintah atas Laba BUMN .

Penerimaan bagian pemerintah atas laba BUMN atau dividen, merupakan imbalan kepada Pemerintah Pusat selaku pemegang saham BUMN yang dihitung berdasarkan persentase tertentu terhadap laba bersih BUMN. Parameter dalam penerimaan dividen ini adalah


(46)

laba bersih, dividen payout ratio (rasio/persentase laba bersih yang dibagian untuk dividen), dan kepemilikan saham pemerintah dalam BUMN tersebut. Selama periode 2007-2011, kinerja BUMN terus menunjukan perkembangan yang positif, baik dari sisi aktiva, pendapatan dan laba, serta kapitalisasi BUMN terbuka. Selama periode tersebut, total aktiva BUMN tumbuh rata-srata 14 %, ekuitas tumbuh rata-rata 11%, sedangkan pendapatan dan laba masing-masing tumbuh rata-rata 14 dan 22%111

3. PNBP Lainnya .

PNBP lainnya didominasi dari penerimaan Kementerian Negara/Lembaga, yaitu penerimaan atas pemberian jasa layanan kepada masyarakat sesuai tugas dan fungsinya. Secara garis besar, PNBP lainnya terbagi dalam beberapa jenis penerimaan, antara lain : (i) pendapatan dari pengelolaan BMN, serta pendapatan penjualan, (ii) pendapatan jasa, (iii) pendapatan bunga, (iv) pendapatan kejaksaan dan peradilan, (v) pendapatan pendidikan, (vi) pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi, (vii) pendapatan iuran dan denda, serta (viii) pendapatan lain-lain.


(47)

4. Pendapatan BLU

Pendapatan BLU merupakan pendapatan dari Satuan Kerja (Satker) instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum (PPK-BLU), yaitu pendapatan atas penjualan barang dan/atau jasa produk instansi pemerintah bersangkutan kepada masyarakat pengguna, untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

6. Pengelolaan Pendapatan Negara

Kondisi yang melingkupi lahirnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP tujuh belas tahun yang lalu berbeda dengan kondisi saat ini atau pasca reformasi Tahun 1998. Gelombang reformasi di bidang keuangan negara ditandai dengan digantikannya Indische Compabiliteitswet (ICW) oleh Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Kemudian disusul dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.112

Paket Undang-undang di bidang keuangan negara membawa perubahan mendasar dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Perubahan


(48)

mendasar dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, antara lain ruang lingkup keuangan negara termasuk sumber dan lingkup pendapatan negara; penegasan kewenangan Menteri dan Menteri/Pimpinan Lembaga; penekanan konsep penyetoran, pencatatan, pengelolaan, pelaporan dan pertanggungjawaban yang harus dikelola secara profesional, akuntabel, kredibel dan transparan. Perubahan-perubahan konsep mendasar di bidang pengelolaan keuangan negara tersebut, menjadi salah satu amanah yang juga harus dijalankan dalam pengelolaan keuangan negara termasuk PNBP.113

Dalam pengelolaan PNBP saat ini, terdapat beberapa substansi pokok yang akan disesuaikan dan diadaptasi ke dalam konsep revisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang PNBP. Substansi tersebut, antara lain penyesuaian dan penegasan konsep ruang lingkup PNBP termasuk definisi dan kelompok PNBP; kewenangan Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga; konsep penetapan jenis dan tarif; konsep penyetoran, pemungutan dan penagihan; konsep pemeriksaan, pengembalian, keberatan dan keringanan; konsep penggunaan (earmarked); konsep pembinaan dan pengawasan; konsep pelaporan dan pertanggungjawaban; dan konsep pemberian sanksi administrasi dan pidana.114

113 Ibid., hlm.97.


(49)

PNBP didefinisikan sebagai seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Definisi PNBP yang keranjang sampah tersebut, misalnya dapat direvisi dengan memasukkan kelompok PNBP dalam definisi tersebut, sehingga menjadi penerimaan yang berasal dari pemanfaatan SDA, pengelolaan kekeyaan negara dan penerimaan berasal dari pelayanan yang diselenggarakan oleh negara.115

Jika dilihat, dalam pengelolaan PNBP saat ini, dibutuhkan pemberian kewenangan atributif kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga yang lebih luas dan tegas guna menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dibandingkan kewenangan yang dimiliki saat ini. Selain itu, dapat juga dengan memberikan kewenangan atributif kepada Menteri atau Pejabat setingkat Menteri untuk menyelesaikan konflik kewenangan tersebut.116

D. Pendapatan BUMN

5. Pengaturan Tentang Pendapatan BUMN

BUMN adalah Badan Usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. Kekayaan Negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk

115 Ibid.


(50)

dijadikan penyertaan modal Negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya. 117

Pendapatan BUMN adalah keseluruhan transaksi yang dilakukan oleh Perusahaan BUMN, pendapatan tersebut meliputi modal dan laba dari BUMN tersebut. Pendapatan BUMN berasal dari seluruh sektor yang ada, akan tetapi tidak semua dari pendapatan BUMN tersebut di setor ke Negara, sebab didalam pendapatan BUMN tersebut terdapat modal perusahaan, biaya infrastruktur, biaya produksi dan lain sebagainya, termasuk laba. Sehingga jika dilihat pendapatan serta seluruh faktor – faktor yang mempengaruhi pengadaan barang atau jasa yang diproduksi oleh perusahaan BUMN, maka kita dapat menyimpulkan apakah BUMN memperoleh laba atau tidak. Apabila BUMN memperoleh laba, maka deviden dari laba tersebut dapat dibagikan kepada para pemilik saham, termasuk didalamnya Negara. Akan tetapi apabila BUMN merugi maka Negara berkewajiban untuk menyokong BUMN tersebut. Dalam hal ini BUMN terkesan tidak mematuhi UU PT yang menyatakan bahwa keterbatasan pemilik saham pada perseroan termasuk dalam hal perseroan

Sedangkan mengenai pendapatan BUMN tidak dengan jelas diungkapkan pada UU BUMN ini.


(51)

merugi, yakni si pemilik saham hanya bertanggungjawab sebesar saham yang ia masukkan ke dalam perseroan. 118

6. Pembagian Pendapatan BUMN

Sedangkan apabila Perusahaan BUMN memperoleh laba, maka Negara sebagai pemegang saham mayoritas berhak atas deviden BUMN tersebut sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki Negara.

Seperti halnya PT (Perseroan Terbatas), BUMN berbentuk persero juga sama dalam hal pengaturannya, hal ini dikarenakan UU BUMN mengatakan bahwa selama tidak diatur pada UU BUMN maka diatur dalam UU PT. Pada Pasal (70), (71) dan (72) UU PT diatur tentang penggunaan laba yakni119

(1) Perseroan wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih setiap tahun buku untukcadangan.

:

Pasal 70

(2) Kewajiban penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif.

(3) Penyisihan laba bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai cadangan mencapai paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah modal yang ditempatkan dan disetor. (4) Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum

mencapai jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya boleh dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain.

Pasal 71

118 Ibid.


(52)

(1) Penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) diputuskan oleh RUPS.

(2) Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali ditentukan lain dalam RUPS.

(3) Dividen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya boleh dibagikan apabila Perseroan mempunyai saldo laba yang positif. Pasal 72

(1) Perseroan dapat membagikan dividen interim sebelum tahun buku Perseroan berakhir sepanjang diatur dalam anggaran dasar Perseroan.

(2) Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila jumlah kekayaan bersih Perseroan tidak menjadi lebih kecil daripada jumlah modal ditempatkan dan disetor ditambah cadangan wajib.

(3) Pembagian dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengganggu atau menyebabkan Perseroan tidak dapat memenuhi kewajibannya pada kreditor atau mengganggu kegiatan Perseroan.

(4) Pembagian dividen interim ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi setelah memperoleh persetujuan Dewan Komisaris, dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (2) dan ayat (3).

(5) Dalam hal setelah tahun buku berakhir ternyata Perseroan menderita kerugian, dividen interim yang telah dibagikan harus dikembalikan oleh pemegang saham kepada Perseroan.

(6) Direksi dan Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Perseroan, dalam hal pemegang saham tidak dapat mengembalikan dividen interim sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Dari isi Pasal (70), (71) dan (72) UU PT diatas maka dapat diketahui mekanisme penggunaan laba dari perseroan BUMN yang mana pengaturannya juga sama dengan pengaturan PT. Pada UU BUMN hanya diatur penggunaan laba BUMN Perum, sedangkan BUMN Persero diatur dalam UU PT. Laba bersih yang disisihkan ditentukan UU PT dan UU BUMN tersebut ditentukan RUPS. Seluruh laba bersih setelah dikurangi penyisihan untuk cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)


(53)

dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, kecuali RUPS menentukan lain, sebab para perusahaan persero keputusan tertinggi di pegang oleh RUPS.

Sebagai salah satu pelaku kegiatan ekonomi, keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki peran penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Oleh sebab itu Pendapatan BUMN dari seluruh sektor diharapkan dapat dikelola dengan sebaik – baiknya. Pengelolaan pendapatan BUMN tidak terlepas dari peran serta Direksi, Komisaris, menteri BUMN, menteri Keuangan, serta pihak – pihak lain yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Pendapatan BUMN tersebut dikelola untuk perbaikan atau pengadaan infratruktur BUMN, biaya produksi, serta faktor – faktor lainnya yang mempengaruhi produksi, sedang devidennya dibagikan kepada seuruh pemengang saham seperti halnya pada perseroan selayaknya. Hanya saja dalam hal ini berbeda halnya, dikarenakan pada perusahaan BUMN terdapat minimal 51% saham pemerintah, sehingga Negara berhak atas pembagian deviden dari perusahaan BUMN sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki Negara pada perusahaan tersebut.120

Tidak hanya untuk hal tersebut diatas, akan tetapi pendapatan BUMN juga digunakan untuk melakukan CSR terhadap lingkungan sekitar untuk


(54)

mewujudkan aksi sosial perusahaan, dan digunakan dalam menyelenggarakan program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.

Oleh karena itu dalam hal modal atau kepemilikan saham pada BUMN Persero hampir sama halnya dengan Perseroan Terbatas, yang menjadi perbedaan hanyalah pada pemilik saham, pada BUMN persero salah satu pemilik sahamnya adalah Negara, yakni minimal 51%.

7. Pendapatan BUMN yang Merupakan Pendapatan Negara.

Di dalam pendapatan BUMN terdapat deviden yang merupakan hak para pemilik saham, baik individu, pihak swasta, maupun pihak asing. Jika ditelusuri pembagian deviden dari pendapatan BUMN tersebut dilihat dari kepemilikan saham, maka pada BUMN terdapat beberapa pihak yang berhak atas deviden BUMN tersebut.

Pihak – pihak yang berhak atas deviden pendapatan BUMN tersebut yakni para pemilik saham, baik individu, swasta, asing, maupun Negara sebagai pemilik saham mayoritas sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki.

Tidak semua pendapatan BUMN Persero merupakan pendapatan Negara, yang termasuk dalam pendapatan Negara yakni devidennya dibagikan kepada seluruh pemengang saham seperti halnya pada perseroan selayaknya. Hanya saja dalam hal ini berbeda halnya, dikarenakan pada perusahaan BUMN terdapat minimal 51% saham


(55)

negara, sehingga Negara berhak atas pembagian deviden dari perusahaan BUMN sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki Negara pada perusahaan tersebut. Negara dalam hal ini merupakan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti subjek hukum lain. 121

Seluruh penyertaan modal BUMN oleh Negara dimuat di dalam Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN), termasuk didalamnya juga deviden yang diterima Negara dari BUMN.122

8. Pengelolaan Pendapatan BUMN yang Merupakan Pendapatan Negara

Deviden dari Perusahaan BUMN yang disetor ke Negara merupakan salah satu pendapatan Negara yang dimasukkan kedalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pendapatan BUMN yang merupakan pendapatan Negara yakni deviden BUMN yang disetor kepada Negara. Deviden yang disetorkan kepada Negara tersebut dimuat kedalam APBN, penerimaan deviden ini dimasukkan kedalam PNBP.123

121 Sri Maemunah Suharto., Op.cit.,hlm. 79. 122 Ibid., hlm.99.

123 Ibid., hlm.100.

Sedangkan pendapatan Negara sendiri tidak hanya berasal dari PNBP.


(56)

Akan tetapi pada hal ini penulis hanya membahas pendapatan Negara yang merupakan PNBP, yakni deviden BUMN yang diterima oleh Negara.

Pendapatan Negara yang bersumber dari deviden BUMN tersebut merupakan salah satu pendapatan terbesar Negara yang dimuat pada APBN. Pengelolaan PNBP yang didapat dari deviden BUMN yang disetor ke kas Negara tersebut adalah untuk kesejahteraan rakyat, yakni pengadaaan infrastruktur Negara, untuk membantu BUMN yang merugi, serta belanja Negara yang lainnya yang dimuat pada APBN.124

a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; Pengaturan Tentang PNBP diatur pada Undang – Undang No. 20 Tahun 1997. Pada Pasal 2 Ayat (1) UU PNBP dikatakan :

Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak meliputi: b. penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam;

c. penerimaan dari hasil - hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;

d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari

pengenaan denda administrasi;

f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah;

g. penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang – undang tersendiri. Pada bagian (c) dikatakan bahwa PNBP meliputi penerimaan dari hasil – hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan. Kekayaan Negara yang dipisahkan terdapat dalam perusahaan BUMN, jadi kata lain PNBP meliputi hasil – hasil penerimaan Negara dari perusahaan BUMN.


(57)

Sedangkan pengelolaan PNBP ini diatur pada Pasal (4) dan (5) UU PNBP yakni125

125Undang – undang No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak. :

Pasal 4.

Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetor langsung secepatnya ke Kas Negara.

Pasal 5.

Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak dikelola dalam sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Dari Pasal – pasal tersebut dapat dilihat bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak akan dikelola dengan sistem Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN C. Kesimpulan

Berdasarkan pada analisis dan pembahasan mengenai pendapatan BUMN merupakan pendapatan Negara di atas, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Negara memiliki peran yang cukup besar dalam BUMN, hal ini dikarenakan Negara merupakan pemegang saham mayoritas. Inilah yang menyebabkan Negara berperan aktif dalam menjalankan BUMN, Terlihat dari keputusan RUPS adalah yang tertinggi dalam sebuah perseroan, Negara selaku pemilik saham mayoritas tentu memiliki pengaruh besar pada suatu keputusan yang dibuat RUPS. Negara juga berperan memantau produktivitas BUMN agar mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

2. Perumusan mengenai keuangan negara dalam penjelasan Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan :

“Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah;


(59)

b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”

“Kekayaan negara yang dipisahkan” dalam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang – Undang bila seseorang dengan sengaja menggelapkan surat berharga dengan jalan menjual saham tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Namun dalam prakteknya sekarang ini tuduhan korupsi juga dikenakan kepada tindakan-tidakan Direksi BUMN dalam transaksi-transaksi yang didalilkan dapat merugikan keuangan negara. Dapat dikatakan telah terjadi salah pengertian dan penerapan apa yang dimaksud dengan keuangan negara. Begitu juga tidak ada yang salah dengan definisi keuangan negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan


(60)

kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1). Pasal 2 menyatakan Keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi, antara lain kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Direksi suatu perusahaan BUMN Persero dapat dituntut dari sudut hukum pidana. Hal ini dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan melakukan penggelapan, pemalsuan data dan laporan keuangan, pelanggaran Undang - Undang Perbankan, pelanggaran Undang Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli, pelanggaran Undang-Undang-Undang-Undang Anti Pencucian Uang (Money Laundering) dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi pidana, dan dalam hal ini focus penulis yakni penggelapan yang sebenarnya dapat juga dikatakan korupsi.

3. Tidak semua pendapatan BUMN merupakan pendapatan Negara. Di dalam pendapatan BUMN terdapat deviden yang merupakan


(61)

hak para pemilik saham, baik individu, pihak swasta, maupun pihak asing. Jika kita menelusuri pembagian deviden dari pendapatan BUMN tersebut dilihat dari kepemilikan saham, maka pada BUMN terdapat beberapa pihak yang berhak atas deviden BUMN tersebut. Pihak – pihak yang berhak atas deviden pendapatan BUMN tersebut yakni para pemilik saham, baik individu, swasta, asing, maupun Negara sebagai pemilik saham mayoritas sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki. Deviden tersebut dibagikan kepada seluruh pemengang saham seperti halnya pada perseroan selayaknya. Hanya saja dalam hal ini berbeda halnya, dikarenakan pada perusahaan BUMN terdapat Negara sebagai salah satu pemegang saham, sehingga Negara berhak atas pembagian deviden dari perusahaan BUMN sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki Negara pada perusahaan tersebut. Negara dalam hal ini merupakan subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti subjek hukum lain. Seluruh penyertaan modal BUMN oleh Negara dimuat di dalam Anggaran Penerimaan Belanja Negara (APBN), termasuk didalamnya juga deviden yang diterima Negara dari BUMN. Deviden dari Perusahaan BUMN yang disetor ke Negara merupakan salah satu pendapatan Negara yang dimasukkan kedalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).


(62)

D. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan berkaitan dengan pembahasan dan kesimpulan di atas adalah:

1. Negara sebagai pemilik saham mayoritas pada perusahaan BUMN seharusnya lebih berperan aktif lagi dalam perusahaan – perusahaan BUMN yakni dengan memantau secara ketat perusahaan – perusahaan BUMN dalam melaksanakan prinsip - prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan juga memantau produktivitas dari BUMN supaya selalu terjadi peningkatan. Sesuai dengan peraturan menteri Negara BUMN tentang GCG, dengan demikian maka Negara dapat menunjang peningkatan kinerja BUMN.

2. Makna dari keuangan Negara seharusnya dapat dengan mudah dimengerti, dan keuangan Negara yang berada pada perusahaan BUMN selayaknya tetap di periksa oleh BPK, hal ini demi memberantas tindak pidana korupsi yang dapat dengan mudah dilakukan oleh direksi bekerjasama dengan pihak – pihak yang berperan lainnya. Jika Keuangan BUMN yang terdapat keuangan Negara di dalamnya tidak diperiksa oleh BPK, maka tindakan menyimpang atau korupsi yang terjadi di BUMN tidak dapat dijerat dengan UU Tipikor. Korupsi di BUMN hanya dianggap sebagai tindakan “penggelapan” dan hanya dijerat dengan Pasal


(63)

372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun penjara tanpa adanya pidana minimal dan kewajiban mengembalikan kerugian keuangan BUMN yang dilakukan pelaku. Bandingkan jika pelaku dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor (ancaman pidana minimal 1 tahun penjara maksimal pidana penjara seumur hidup, ditambah denda dan pembayaran uang pengganti).

3. Seharusnya pendapatan Negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari pendapatan BUMN yakni deviden yang dibagi kepada para pemegang saham, semakin meningkat dari waktu – ke waktu setelah Negara berperan aktif dalam perusahaan BUMN.


(64)

BAB II

PERAN DAN KEWENANGAN NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN BUMN DITINJAU DARI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN.

D. Makna, Sejarah, Pembentukan, Serta Kedudukan BUMN Dalam Ekonomi Nasional.

5. Makna dan Pengertian BUMN

Seperti yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki oleh Negsara dan badan usaha yang tidak seluruh sahamnya dimiliki Negara tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yakni BUMN yang merupakan patungan atau kerja sama antara pemerintah dengan pemerintah daerah, BUMN yang merupakan patungan antara pemerintah dengan BUMN lainnya, dan BUMN yang merupakan badan usaha patungan dengan usaha swasta nasional/asing, dengan saham mayoritas dengan minimal 51% milik Negara.25

Makna dari pendirian BUMN itu sendiri adalah upaya Negara untuk melakukan penguasaan Negara pada bidang kehidupan yang vital dan strategis, oleh karena bidang itu menyangkut kepentingan umum atau masyarakat banyak.26

25 Aminuddin Ilmar, Op.cit.Hlm.79. 26 Ibid.Hlm.72.


(65)

Pada Undang – Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dikatakan definisi BUMN pada pasal 1 angka (1) yakni, Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.27 Pada angka (2) pasal ini juga dikatakan Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.28

Kini BUMN sendiri terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan (“Persero”) dan Perusahaan Umum (“Perum”). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

27 Pasal 1 Undang – undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN ( Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608)


(66)

pengelolaan perusahaan.29

Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam

Fokus penulis adalah pada Perusahaan BUMN Persero.

(“UUPT”). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero selama tidak diatur oleh UU BUMN.30

6. Sejarah dan Latar Belakang Pendirian BUMN

Sejarah dan latar belakang pendirian Perusahaan Perseroan di Indonesia dapat ditemukan dalam sejarah pembentukan perusahaan-perusahaan negara oleh pemerintah. Perusahaan negara telah lama dikenal sejak masuknya Belanda di Indonesia, adanya VOC dapat dijadikan bukti keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi.31

29

Indra Bastian, Model Pengelolaan Privatisasi,(Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm.23.

30

Christianto wibisono dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 32.

31Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Boooks Terrace&Library,

2007), hlm. 12.

Sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan hingga sekarang, Badan Usaha Negara telah memainkan peranan penting dalam pembangunan dan perekonomian


(67)

negara. Keberadaan perusahaan-perusahaan negara di Indonesia dapat dilihat dari beberapa periode, yaitu:

1. periode pertama periode sebelum kemerdekaan,

2. periode kedua tahun 1945-1960,

3. periode ketiga tahun 1960-1969,

4. periode keempat tahun 1969-2003.

5. Pada periode berikutnya tahun 2003 sampai sekarang.

Pada periode pertama, periode sebelum kemerdekaan, perusahaan – perusahaan negara dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda yang melakukan usaha untuk kepentingan Pemerintah Belanda. Pada periode ini terdapat dua jenis Badan Usaha Negara yaitu perusahaan yang tunduk pada Indische Bedrijven Wet (IBW) dan perusahaan yang diatur oleh Indische Comptabiliteits Wet (ICW). Perusahaan di bawah IBW berada langsung di bawah pengawasan pemerintah, sedangkan perusahaan yang diatur ICW sebenarnya bukan perusahaan, melainkan merupakan cabang dinas dari pemerintah. Keuntungan yang diperoleh dari kedua jenis perusahaan tersebut menjadi bagian dari penerimaan negara.

Periode kedua (1945-1960), perusahaan-perusahaan yang tunduk kepada IBW dan ICW tetap dilanjutkan. Pada periode ini, pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Perusahaan – perusahaan tersebut beroperasi dalam hampir semua sektor perekonomian negara. Dengan pengambilalihan perusahaan – perusahaan Belanda


(1)

5. Bapak Ramli Siregar, S.H, M. Hum, selaku Sekertaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Dosen Pembimbing I, yang telah memberikan bimbingan, masukan dan petunjuk serta perhatian dan dorongan dalam penulisan skripsi ini;

7. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.H selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, masukan dan petunjuk serta perhatian dan dorongan dalam penulisan skripsis ini;

8. Kedua Orangtua Penulis yang teramat berarti, John Romulus Sirait, BA dan Ir. Emma Siregar yang tak henti – henti memberikan semangat, kasih sayang dan nasihat kepada penulis.

9. Keempat Abang – abang penulis yang selalu memberikan pelajaran tentang hidup (Jimmy Philips,ST, Ir.Hendra Syahputra, Surya Triparta,Amd, Ronald Marthin,ST) dan ketiga kakak – kakak ipar penulis yang senantiasa mendukung penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

10.Tommy Hot Tua Marbun, S.H, kekasih tersayang yang selalu setia menemani dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(2)

11.Dosen dan Seluruh Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12.Staf dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kemudahan pelayanan administrasi kartu rencana studi selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13.Teman – teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, semoga pertemanan kita langgeng dan Good Luck buat kita semua.

Akhirnya Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua orang yang membaca skripsi ini dan jika ada kekurangan dalam skrisi ini, Penulis dengan senang hati menerima masukan dan koreksi dari para pembaca.

Sekian dan Terima Kasih.

Medan, April 2014


(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi v

Abstraksi ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...11

D. Keaslian Penulisan...12

E. Tinjauan Kepustakaan...14

F. Metode Penulisan...20

G. Sistematika Penulisan...22

BAB II PERAN DAN KEWENANGAN NEGARA TERHADAP PERUSAHAAN BUMN DITINJAU DARI PENGATURAN PERUNDANG – UNDANGAN. A. Makna, Sejarah, Pembentukan, Serta Kedudukan BUMN Dalam Ekonomi Nasional. 1. Makna dan Pengertian BUMN….………..……….…24


(4)

3. Tujuan BUMN……….………..………….32

4. Bentuk Usaha BUMN………...……..………36

B. Lembaga – Lembaga Negara yang Berperan dan Berwenang Atas Perusahaan BUMN.

1. Kementerian Keuangan Negara………...……….…….…39

2. Kementerian BUMN……….….41

3. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)………..……….43

C. Peraturan Perundang – Undangan yang Mengatur Kewenangan Negara Terhadap Perusahaan BUMN.

1. Pengaturan dalam UU BUMN………48 2. Pengaturan dalam UU Keuangan Negara………52 3. Pengaturan dalam UU BPK………54

BAB III PENGERTIAN DARI “KEKAYAAN NEGARA” DALAM

PENDAPATAN BUMN DAPAT MENGAKIBATKAN TUDUHAN TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MENGANCAM DIREKSI BUMN.

A. Makna Kekayaan Negara


(5)

2. Kekayaan Negara dalam Perusahaan BUMN…….………60

3. Pengelolaan Kekayaan Negara dalam

PerusahaanBUMN……….….……….64

B. Pendapatan BUMN

1. Dasar Hukum dan Pengertian Pendapatan BUMN…...………..69 2. Pengelolaan Pendapatan BUMN……….70

C. Direksi Pada Perusahaan BUMN

1. Tugas dan Wewenang Direksi ………...………73 2. Pertanggungjawaban Direksi………..77 3. Pelanggaran yang Dapat di Lakukan Direksi Terkait Pendapatan

BUMN………...……….79

D. Penyelewengan Pendapatan BUMN oleh Direksi Mengakibatkan Tuduhan Tindak Pidana Korupsi.

1. Dasar Hukum dan Pengertian Tindak

Pidana Korupsi………….………...80 2. Penyelewengan Pendapatan BUMN oleh Direksi…..………….82 3. Tuduhan Tindak Pidana Korupsi terhadap Direksi…….………84


(6)

BAB IV PENDAPATAN BUMN YANG MERUPAKAN PENDAPATAN NEGARA JIKA DI TINJAU DARI PERATURAN YANG

MENGATUR TENTANG PENDAPATAN BUMN DAN PENDAPATAN NEGARA

A. Pendapatan Negara

1. Pengaturan Tentang Pendapatan Negara……….88 2. Jenis – jenis Pendapatan Negara………...93 3. Pengelolaan Pendapatan Negara………..…………...97

B. Pendapatan BUMN

1. Pengaturan Tentang Pendapatan BUMN………..………..99 2. Pembagian Pendapatan BUMN………...……….101 3. Pendapatan BUMN yang Merupakan

Pendapatan Negara...………....104 4. Pengelolaan Pendapatan BUMN yang Merupakan

Pendapatan Negara……….…..105

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan…..……….……….108 B. Saran……....………..…111