Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah

(1)

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN

SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(3)

SUMMARY

AZHARI PURBATRAPSILA. Study of Species Diversity and Spatial Distribution of Snake on Several Habitat Types in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan. Supervised by: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Snake is one part of herpetofauna with large number of species. At least 154 species from 10 families of snakes have been recorded from Borneo island (Stuebing and Inger, 1999). Although information about snakes diversity is already available, however it is too general. Specific information about snakes diversity, especially in the conservation area is still very limited. Tanjung Puting National Park (TPNP) is one of the conservation area in Indonesia that have limited information about snakes diversity. Whereas, TPNP have many type of ecosystems as well as snakes habitat. The objectives of this research were to identify species diversity and mapping the spatial distribution of snakes in TPNP.

Data were collected about 24 days on April - May 2008 at 6 habitat types; shrub, secondary swamp forest at Beguruh, secondary swamp riverine forest at Sekonyer Kanan River, primary swamp forest, mixed forest at Camp Tanjung Harapan, and mixed forest at Camp Leakey. Data were collected using Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design method (Heyer et al., 1994) .

In total 14 species and 12 genus from 4 families of snakes were recorded during the surveys. The species richness represents 9,09 % of snakes in Borneo island. All of the species are not protected by Indonesian government laws and non-endemic species. There were two species categorized as Appendix II CITES, which are Naja sumatrana and Python reticulatus.

The highest species richness was recorded in Camp Tanjung Harapan. These habitat are ecotone area and has a high number of snakes prey. Lowest species richness was found in primary swamp forest, whereas no snake was recorded in shrub habitat. Spatial distribution of snake in each habitat type are affected by difference of habitat characteristics, especially cover, water, and easiness to get prey.


(4)

RINGKASAN

AZHARI PURBATRAPSILA. Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Ular merupakan salah satu herpetofauna yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Terdapat sedikitnya 154 jenis dari 10 suku ular di pulau Kalimantan (Stuebing and Inger, 1999). Meskipun informasi mengenai keanekaragaman jenis ular telah tersedia, namun informasi tersebut masih tergolong umum. Informasi yang lebih spesifik, khususnya di kawasan konservasi masih sangat terbatas. Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan kawasan konservasi yang memiliki informasi keanekaragaman jenis ular yang terbatas. Padahal TNTP memiliki beragam tipe ekosistem yang dapat menjadi habitat ular. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular di TNTP.

Pengambilan data dilakukan selama 24 hari antara bulan April-Mei 2008 pada 6 tipe habitat (semak/belukar, hutan rawa sekunder (Beguruh), hutan rawa primer riparian (Sungai sekonyer Kanan), hutan rawa primer, Camp tanjung Harapan, dan Camp Leakey). Pengambilan data menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design (Heyer et al., 1994).

Sebanyak 14 jenis dan 12 marga dari 4 suku ular dijumpai selama penelitian. Jumlah ular yang dijumpai merupakan 9,09 % dari total jenis ular di pulau Kalimantan. Seluruh jenis ular yang dijumpai, belum dilindungi undang-undang dan bukan jenis ular endemik. Terdapat dua jenis ular yang termasuk kategori Appendix II CITES, yaitu Naja sumatrana dan Python reticulatus.

Kekayan jenis tertinggi terdapat pada Camp Tanjung Harapan. Habitat ini merupakan daerah ekoton dan memiliki satwa mangsa ular yang melimpah. Sedangkan, kekayaan jenis terendah terdapat pada hutan rawa primer, meskipun pada habitat semak/belukar tidak dijumpai jenis ular. Sebaran spasial jenis ular pada setiap tipe habitat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik habitat yang ada, terutama tempat berlindung, air, serta kemudahan memperoleh satwa mangsa.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ”Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

Azhari Purbatrapsila E34104077


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Seluruh hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi mengenai jenis– jenis ular yang terdapat di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Tanjung Puting, Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalimantan Tengah, IRATA, OFI, OF-UK, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki berbagai kekurangan. Namun, penulis mengharapkan semua kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya konservasi herpetofauna, khususnya ular, di TNTP ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat!

Bogor, April 2009


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 23 Desember 1986 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Zainal Fanani dan Ibu Tunik Purbarenagalih. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 7 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) ”Forestra” dan Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2005-2006, serta menjadi ketua KPH ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2006-2007.

Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Tasikmalaya. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada tahun 2008.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ” Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan yang berguna dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak, Ibu, dan adik-adikku (Lya, Ryan, serta Si kecil Tetryn) atas segala doa, kasih sayang, kepercayaan, dukungan, dan semangat yang tiada henti. 2. Ir. Sudaryanto dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah memberikan arahan dan masukan yang berguna bagi penyempurnaan skripsi ini.

3. George T. Saputra (IRATA) atas persetujuan bantuan dana yang diberikan. 4. Ir. Yohanes Sudarto (Kepala Balai TNTP) beserta seluruh staff yang sudah

membantu dan memberikan ijin penelitian.

5. Ir. Ade Suharso, M.Si. (Kepala SKW II BKSDA Kalimantan Tengah) atas bantuan perijinan, masukan dan saran yang diberikan.

6. Prof. Dr. Birute M. F. Galdikas (Pimpinan OFI) atas bantuan, saran, dukungan dan masukan yang diberikan.

7. Stephen Brend (Pimpinan OF-UK) atas bantuan dan dukungan yang diberikan.

8. Pak Ichlas Al Zaqie, Ibu Waliyati, Bang Fajar, Bang Robert, Bang Ifran, Pak Tumin, serta seluruh staff OFI di kantor Pangkalan Bun dan Pasir Panjang atas pengalaman, pengetahuan, informasi, akomodasi, bantuan, dukungan, dan semua kesan positif yang diberikan selama penulis berada di Kalimantan. 9. Iman Sapari dan Keluarga atas kerelaannya membagi tempat tinggal selama

penulis berada di Kalimantan.

10.Pak Henda ”Indul” dan Bang Ian di Camp Tanjung Harapan, Bang Sehin di Camp Beguruh, Lesan dan Epawi di Camp Pondok Ambung, Bang Dudin, Om Cecep, Bang Iim, Bang Edi, Bang Iwan, Manto, Adrianus, Yepi, serta seluruh Staff Lapang OFI di Camp Leakey yang sudah bergantian menemani penulis dalam pengambilan data.


(9)

11.Ibu Ika, Ibu Ijum, dan semua staff dapur di Camp Tanjung Harapan, Camp Beguruh, Camp Pondok Ambung, serta Camp Leakey yang selalu menyediakan makanan yang luar biasa nikmat selama penulis melakukan penelitian.

12.Keluarga besar HIMAKOVA dan KPH ”Python”, khususnya periode kepengurusan tahun 2006-2007 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui.

13.Keluarga besar KSH 41 tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

14.IC Balio 33B, Base Camp KSH 41 yang telah berkenan untuk dijadikan tempat bersinggah.

15.Semua orang yang menganggap penulis sebagai teman, sahabat, saudara, atau apapun itu, yang telah memberikan perhatian, bantuan, dukungan, semangat, dan kasih sayang, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang disadari maupun tidak disadari, hingga memberikan warna yang berbeda-beda dalam hidup penulis dan membuat ”satu tidak lagi kosong saat berada diantara sepuluh, seratus, seribu, atau bahkan tak terhingga”

Thanks for all..

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini apapun bentuknya.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ular... 3

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 3

2.1.2 Habitat dan Penyebaran... 5

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan ... 6

2.3 Penginderaan Jauh ... 7

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.4.1 Definisi ... 7

2.4.2 Subsistem SIG ... 8

2.4.3 Komponen SIG ... 9

2.4.4 Aplikasi SIG ... 10

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.3 Jenis Data ... 11

3.3.1 Data Primer ... 11

3.3.2 Data Sekunder ... 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 13


(11)

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS DAN SEBARAN

SPASIAL ULAR PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI

TAMAN NASIONAL TANJUNG PUTING,

KALIMANTAN TENGAH

Azhari Purbatrapsila

E. 34104077

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(13)

SUMMARY

AZHARI PURBATRAPSILA. Study of Species Diversity and Spatial Distribution of Snake on Several Habitat Types in Tanjung Puting National Park, Central Kalimantan. Supervised by: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. and Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Snake is one part of herpetofauna with large number of species. At least 154 species from 10 families of snakes have been recorded from Borneo island (Stuebing and Inger, 1999). Although information about snakes diversity is already available, however it is too general. Specific information about snakes diversity, especially in the conservation area is still very limited. Tanjung Puting National Park (TPNP) is one of the conservation area in Indonesia that have limited information about snakes diversity. Whereas, TPNP have many type of ecosystems as well as snakes habitat. The objectives of this research were to identify species diversity and mapping the spatial distribution of snakes in TPNP.

Data were collected about 24 days on April - May 2008 at 6 habitat types; shrub, secondary swamp forest at Beguruh, secondary swamp riverine forest at Sekonyer Kanan River, primary swamp forest, mixed forest at Camp Tanjung Harapan, and mixed forest at Camp Leakey. Data were collected using Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design method (Heyer et al., 1994) .

In total 14 species and 12 genus from 4 families of snakes were recorded during the surveys. The species richness represents 9,09 % of snakes in Borneo island. All of the species are not protected by Indonesian government laws and non-endemic species. There were two species categorized as Appendix II CITES, which are Naja sumatrana and Python reticulatus.

The highest species richness was recorded in Camp Tanjung Harapan. These habitat are ecotone area and has a high number of snakes prey. Lowest species richness was found in primary swamp forest, whereas no snake was recorded in shrub habitat. Spatial distribution of snake in each habitat type are affected by difference of habitat characteristics, especially cover, water, and easiness to get prey.


(14)

RINGKASAN

AZHARI PURBATRAPSILA. Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Dibimbing oleh: Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.

Ular merupakan salah satu herpetofauna yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Terdapat sedikitnya 154 jenis dari 10 suku ular di pulau Kalimantan (Stuebing and Inger, 1999). Meskipun informasi mengenai keanekaragaman jenis ular telah tersedia, namun informasi tersebut masih tergolong umum. Informasi yang lebih spesifik, khususnya di kawasan konservasi masih sangat terbatas. Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan kawasan konservasi yang memiliki informasi keanekaragaman jenis ular yang terbatas. Padahal TNTP memiliki beragam tipe ekosistem yang dapat menjadi habitat ular. Tujuan penelitian ini, yaitu untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular di TNTP.

Pengambilan data dilakukan selama 24 hari antara bulan April-Mei 2008 pada 6 tipe habitat (semak/belukar, hutan rawa sekunder (Beguruh), hutan rawa primer riparian (Sungai sekonyer Kanan), hutan rawa primer, Camp tanjung Harapan, dan Camp Leakey). Pengambilan data menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design (Heyer et al., 1994).

Sebanyak 14 jenis dan 12 marga dari 4 suku ular dijumpai selama penelitian. Jumlah ular yang dijumpai merupakan 9,09 % dari total jenis ular di pulau Kalimantan. Seluruh jenis ular yang dijumpai, belum dilindungi undang-undang dan bukan jenis ular endemik. Terdapat dua jenis ular yang termasuk kategori Appendix II CITES, yaitu Naja sumatrana dan Python reticulatus.

Kekayan jenis tertinggi terdapat pada Camp Tanjung Harapan. Habitat ini merupakan daerah ekoton dan memiliki satwa mangsa ular yang melimpah. Sedangkan, kekayaan jenis terendah terdapat pada hutan rawa primer, meskipun pada habitat semak/belukar tidak dijumpai jenis ular. Sebaran spasial jenis ular pada setiap tipe habitat dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik habitat yang ada, terutama tempat berlindung, air, serta kemudahan memperoleh satwa mangsa.


(15)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul ”Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2009

Azhari Purbatrapsila E34104077


(16)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Seluruh hasil penelitian yang tertuang dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sedikit informasi mengenai jenis– jenis ular yang terdapat di Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Tanjung Puting, Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Kalimantan Tengah, IRATA, OFI, OF-UK, serta semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki berbagai kekurangan. Namun, penulis mengharapkan semua kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam upaya konservasi herpetofauna, khususnya ular, di TNTP ke arah yang lebih baik di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat!

Bogor, April 2009


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 23 Desember 1986 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Bapak Zainal Fanani dan Ibu Tunik Purbarenagalih. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 7 Bogor dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama perkuliahan, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota Kelompok Pemerhati Flora (KPF) ”Forestra” dan Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2005-2006, serta menjadi ketua KPH ”Python” pada periode kepengurusan tahun 2006-2007.

Pada tahun 2007, penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di CA/TWA Kawah Kamojang, CA Leuweung Sancang, dan Perum Perhutani KPH Tasikmalaya. Selain itu, penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada tahun 2008.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian yang berjudul ” Studi Keanekaragaman Jenis dan Sebaran Spasial Ular Pada Beberapa Tipe Habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah” dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc.


(18)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si. dan Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan yang berguna dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak, Ibu, dan adik-adikku (Lya, Ryan, serta Si kecil Tetryn) atas segala doa, kasih sayang, kepercayaan, dukungan, dan semangat yang tiada henti. 2. Ir. Sudaryanto dan Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc. selaku dosen penguji yang

telah memberikan arahan dan masukan yang berguna bagi penyempurnaan skripsi ini.

3. George T. Saputra (IRATA) atas persetujuan bantuan dana yang diberikan. 4. Ir. Yohanes Sudarto (Kepala Balai TNTP) beserta seluruh staff yang sudah

membantu dan memberikan ijin penelitian.

5. Ir. Ade Suharso, M.Si. (Kepala SKW II BKSDA Kalimantan Tengah) atas bantuan perijinan, masukan dan saran yang diberikan.

6. Prof. Dr. Birute M. F. Galdikas (Pimpinan OFI) atas bantuan, saran, dukungan dan masukan yang diberikan.

7. Stephen Brend (Pimpinan OF-UK) atas bantuan dan dukungan yang diberikan.

8. Pak Ichlas Al Zaqie, Ibu Waliyati, Bang Fajar, Bang Robert, Bang Ifran, Pak Tumin, serta seluruh staff OFI di kantor Pangkalan Bun dan Pasir Panjang atas pengalaman, pengetahuan, informasi, akomodasi, bantuan, dukungan, dan semua kesan positif yang diberikan selama penulis berada di Kalimantan. 9. Iman Sapari dan Keluarga atas kerelaannya membagi tempat tinggal selama

penulis berada di Kalimantan.

10.Pak Henda ”Indul” dan Bang Ian di Camp Tanjung Harapan, Bang Sehin di Camp Beguruh, Lesan dan Epawi di Camp Pondok Ambung, Bang Dudin, Om Cecep, Bang Iim, Bang Edi, Bang Iwan, Manto, Adrianus, Yepi, serta seluruh Staff Lapang OFI di Camp Leakey yang sudah bergantian menemani penulis dalam pengambilan data.


(19)

11.Ibu Ika, Ibu Ijum, dan semua staff dapur di Camp Tanjung Harapan, Camp Beguruh, Camp Pondok Ambung, serta Camp Leakey yang selalu menyediakan makanan yang luar biasa nikmat selama penulis melakukan penelitian.

12.Keluarga besar HIMAKOVA dan KPH ”Python”, khususnya periode kepengurusan tahun 2006-2007 atas segala kebersamaan, kekompakan, serta pengalaman yang telah dilalui.

13.Keluarga besar KSH 41 tanpa terkecuali, atas segala kebersamaan, kekompakan, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, suka duka, serta semua hal yang telah dilakukan bersama hingga menjadi pengalaman dan pembelajaran hidup yang sangat berarti bagi penulis.

14.IC Balio 33B, Base Camp KSH 41 yang telah berkenan untuk dijadikan tempat bersinggah.

15.Semua orang yang menganggap penulis sebagai teman, sahabat, saudara, atau apapun itu, yang telah memberikan perhatian, bantuan, dukungan, semangat, dan kasih sayang, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang disadari maupun tidak disadari, hingga memberikan warna yang berbeda-beda dalam hidup penulis dan membuat ”satu tidak lagi kosong saat berada diantara sepuluh, seratus, seribu, atau bahkan tak terhingga”

Thanks for all..

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini apapun bentuknya.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ular... 3

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 3

2.1.2 Habitat dan Penyebaran... 5

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan ... 6

2.3 Penginderaan Jauh ... 7

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.4.1 Definisi ... 7

2.4.2 Subsistem SIG ... 8

2.4.3 Komponen SIG ... 9

2.4.4 Aplikasi SIG ... 10

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.3 Jenis Data ... 11

3.3.1 Data Primer ... 11

3.3.2 Data Sekunder ... 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 13


(21)

3.4.2 Data Sekunder ... 15

3.5 Analisis Data ... 15

3.5.1 Analisis Data Keanekaragaman Jenis Ular ... 15

3.5.2 Analisis Data Habitat ... 16

3.6 Diagram Alur Pembuatan Peta Sebaran Ular ... 17

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Kawasan ... 18

4.2 Letak Kawasan ... 18

4.3 Fisik Kawasan ... 19

4.3.1 Topografi ... 19

4.3.2 Iklim ... 19

4.3.3 Hidrologi ... 19

4.3.4 Geologi dan Tanah ... 20

4.4 Biotik ... 21

4.4.1 Flora ... 21

4.4.2 Fauna ... 22

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 23

5.1.1 Kondisi Habitat di Lokasi Penelitian ... 23

5.1.2 Kekayaan Jenis Ular ... 30

5.1.3 Kemerataan Jenis Ular ... 32

5.1.4 Sebaran Spasial Jenis Ular ... 32

5.1.5 Kesamaan Jenis Ular ... 40

5.1.6 Peluang Perjumpaan Jenis Ular ... 41

5.2 Pembahasan ... 42

5.2.1 Kekayaan Jenis Ular ... 42

5.2.2 Kemerataan Jenis Ular ... 44

5.2.3 Sebaran Spasial Jenis Ular ... 45

5.2.4 Kesamaan Jenis Ular ... 47

5.2.5 Peluang Perjumpaan Jenis Ular ... 48


(22)

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1. Kesimpulan ... 52 6. 2. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53 LAMPIRAN... 58


(23)

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ... 11 2. Perjumpaan ular di lokasi penelitian ... 30 3. Daftar jenis ular di lokasi penelitian ... 31 4. Peluang perjumpaan ular di lokasi penelitian ... 41


(24)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Lokasi penelitian di Taman Nasional Tanjung Puting ... 12 2. Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak ... 14 3. Diagram alur pembuatan peta sebaran ular ... 17 4. Kondisi lokasi pengamatan di habitat semak/belukar ... 23 5. Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh ... 24 6. Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder riparian

di Sungai Sekonyer Kanan ... 25 7. Kondisi lokasi pengamatan di habitat hutan rawa primer ... 26 8. Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Tanjung

Harapan ... 28 9. Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Leakey ... 29 10. Kurva pertambahan jenis ular selama penelitian ... 31 11. Histogram nilai indeks kekayaan jenis ular di lokasi penelitian ... 32 12. Histogram nilai kemerataan jenis ular di lokasi penelitian ... 32 13. Peta sebaran ular di seluruh lokasi penelitian ... 34 14. Peta sebaran ular pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh ... 35 15. Peta sebaran ular pada habitat hutan rawa sekunder riparian

di Sungai Sekonyer Kanan ... 36 16. Peta sebaran ular di habitat hutan rawa primer ... 37 17. Peta sebaran ular pada hutan campuran di Camp Tanjung Harapan ... 38 18. Peta sebaran ular pada hutan campuran di Camp Leakey ... 39 19. Dendogram kesamaan jenis ular antar tipe habitat di lokasi penelitian ... 40 20. Dendogram kesamaan jenis ular di TNTP, Malinau, TNBK,

dan Batu Apoi (Brunei) ... 41 21. Posisi Psammodynastes pictus sedang menunggu mangsa ... 49


(25)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman 1. Daftar jenis tumbuhan hasil analisa vegetasi ... 59 2. Data analisa vegetasi ... 62 3. Data perjumpaan ular selama penelitian ... 69 4. Suhu udara di lokasi penelitian ... 71 5. Suhu air di lokasi penelitian ... 72 6. Data kelembaban udara di lokasi penelitian ... 73 7. Daftar jenis ular di Kalimantan dan TN Tanjung Putting ... 74 8. Perbandingan jenis ular yang dijumpai di TNTP, TNBK, Malinau

dan Batu Apoi ... 78 9. Posisi koordinat ular yang dijumpai di lokasi penelitian ... 79 10. Hasil analisis klaster berdasarkan Minitab 14 ... 81 11. Kunci determinasi spesies ular yang ditemukan selama penelitian ... 82 12. Deskripsi jenis ular yang dijumpai selama penelitian ... 84


(26)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ular merupakan salah satu satwa yang memiliki jumlah jenis yang tinggi. Menurut Halliday dan Adler (2000), ular terdiri dari 2.389 jenis dan 11 famili yang tersebar pada berbagai habitat. Berdasarkan Iskandar dan Colijn (2001), keanekaragaman jenis ular yang ada di Asia Tenggara dan Papua Nugini adalah sebanyak 658 jenis dari 11 famili. Pada beberapa pulau di Indonesia, tercatat sedikitnya 154 jenis dari 10 famili di Kalimantan (Stuebing dan Inger, 1999), 127 jenis dari 9 famili di Sumatera (Patrick dan Vogel, 1996), dan 52 jenis dari 13 famili di Sulawesi (de Lang dan Vogel, 2005).

Meskipun catatan mengenai jenis ular di Indonesia telah tersedia, namun data tersebut masih tergolong umum karena hanya terbatas pada wilayah yang relatif luas. Data yang lebih spesifik mengenai jenis dan penyebaran ular pada wilayah-wilayah tertentu, terutama pada kawasan-kawasan konservasi di Indonesia masih sangat kurang. Padahal ular memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem kawasan secara alami, baik sebagai predator (pemangsa) maupun sebagai prey (mangsa). Di alam, ular berperan sebagai pengendali hama pertanian (tikus atau hewan pengerat lainnya) yang sangat efektif dan ular juga merupakan mangsa dari jenis satwa lain yang memiliki trophic level yang lebih tinggi (Goin et al., 1978; O’Shea, 1996; Link, 2005).

Taman Nasional Tanjung Puting merupakan salah satu kawasan konservasi yang berpotensi memiliki keanekaragaman jenis ular yang tinggi karena memiliki berbagai tipe habitat yang dapat mendukung kehidupan ular. Sampai saat ini, pengelolaan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting lebih ditujukan kepada perlindungan serta rehabililitasi orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Sementara itu, data satwa liar lainnya termasuk ular masih sangat terbatas, diduga karena satwa dari kelompok herpetofauna ini tergolong tidak populer. Kondisi ini mendorong untuk dilakukannya suatu kajian ilmiah agar data ular berikut penyebarannya dapat tersedia serta dapat menjadi sumber informasi yang berguna bagi pengelolaan kawasan yang lebih baik.


(27)

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular yang dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal mengenai keanekaragaman jenis ular beserta sebaran spasialnya berdasarkan tipe habitat. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi masukan yang berguna dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting.


(28)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Ular

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Klasifikasi ular menurut Goin et al. (1978) dan Gow (1989) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Reptilia Sub Class : Lepidosauria Order : Squamata Sub Order : Serpentes Infra Order : Scolecophidia

Henophidia Caenophidia

Ular tidak memiliki kaki, lubang telinga, dan kandung kemih (urinary bladder). Kelopak mata pada ular tidak dapat digerakkan. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik transparan yang dapat berganti pada jangka waktu tertentu. Ular mendeteksi mangsa dengan menggunakan sensor kimia, disebut Jacobson organ, yang terletak pada bagian dalam rahang atas dengan memanfaatkan lidahnya yang bercabang untuk menangkap partikel-partikel kimia di udara dan getaran yang ditimbulkan oleh mangsa, kemudian dimasukkan ke dalam organ tersebut secara cepat dan berulang.

Ular tidak memiliki larynx sehingga tidak dapat bersuara, namun ular dapat mengeluarkan bunyi mendesis. Terdapat organ internal yang berpasangan dan tersusun bersebelahan secara memanjang. Paru-paru berjumlah sepasang, namun hanya satu yang berkembang. Paru-paru kiri berukuran sangat kecil sedangkan paru-paru kanan berkembang dengan bentuk memanjang dan digunakan untuk pernapasan yang efektif (Goin et al., 1978).


(29)

Ular memiliki ruas tulang belakang lentur yang terdiri dari sekitar 400 vertebra. Setiap vertebra memiliki sepasang tulang rusuk, kecuali vertebra ekor. Bagian bawah tulang rusuk ular tidak menyambung sehingga dapat meregang ketika ular menelan mangsa yang besar (Setford, 2005).

Ular dapat digolongkan berdasarkan tipe taring bisa yang dimilikinya. Ada empat tipe taring bisa ular, yaitu Aglypha, Ophistoglypha, Proteroglypha, dan Solenoglypha (Suhono, 1986; Zug, 1993; Supriatna, 1995; Shine, 1999; Setford, 2005).

1. Aglypha

Merupakan jenis ular yang tidak memiliki taring bisa. Ular dengan tipe taring bisa ini tidak berbahaya jika menggigit. Namun beberapa jenis ular dengan tipe seperti ini memiliki ukuran tubuh yang sangat besar. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Python sp., Elaphe sp., dan Morelia sp.

2. Ophistoglypha

Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian belakang rahang atas. Bisa yang yang terdapat pada jenis ular ini tergolong bisa menengah dan tidak berbahaya bagi manusia. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Ahaetulla sp., Boiga sp., dan Enhydris sp.

3. Proteroglypha

Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian depan rahang atas. Ular dengan tipe taring bisa ini termasuk ular yang sangat berbahaya. Bisa yang terkandung umumnya berjenis neurotoxin yang menyerang pusat syaraf pernafasan. Jika tidak segera dilakukan penanganan lebih lanjut setelah digigit ular ini, maka akan mengakibatkan kematian pada korban yang digigit. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Naja sp., Bungarus sp., Laticauda sp., dan Ophiophagus hannah.

4. Solenoglypha

Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa berbentuk melengkung yang panjang pada bagian depan rahang atas dan dapat dilipat ke dalam sejajar dengan rahang. Ular ini termasuk jenis ular yang sangat berbahaya. Gigitannya dapat mengakibatkan kematian, seperti pada ular dengan tipe taring proteroglypha. Bisa yang terkandung berjenis haemotoxin yang menyerang


(30)

jaringan darah. Umumnya kelompok ular dengan tipe taring seperti ini memiliki kepala berbentuk segitiga. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Trimeresurus sp., Calloselasma rhodostoma, dan Daboia rusellii.

2.1.2 Habitat dan Penyebaran

Menurut Odum (1971), habitat merupakan tempat suatu individu hidup, sedangkan menurut Alikodra (2002) habitat merupakan suatu kesatuan fisik maupun biotik yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar.

Ular termasuk kedalam salah satu jenis herpetofauna yang memiliki habitat dan penyebaran sangat luas. Ular dapat ditemukan di seluruh dunia, kecuali di daerah kutub. Secara garis besar, ular dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok, antara lain ular terrestrial yang hidup di tanah/daratan, ular akuatik dan semi akuatik yang hidup di daerah perairan, ular fossorial yang hidup di dalam tanah, dan ular arboreal yang hidup di atas pohon (Goin et al., 1978; Mattison, 1992; Halliday dan Adler, 2000).

Umumnya ular dapat ditemukan pada daerah yang memiliki suhu, kelembaban, serta cahaya matahari yang stabil (Mattison, 1992; Putegnat, 2006). Ular jarang ditemukan pada tempat-tempat yang dingin dan memiliki temperatur yang ekstrim, namun jenis Agkistrodon himalayanus pernah ditemukan pada ketinggian 4900 m dpl di daerah pegunungan yang merupakan habitat yang tidak ideal bagi ular dari jenis lain (Mattison, 1992). Menurut Matthews et al. (2002), faktor penting lainnya yang mempengaruhi penyebaran ular pada suatu habitat adalah ketersediaan satwa amfibi sebagai mangsanya. Selain itu, ketinggian tempat juga mempengaruhi penyebaran ular, terutama dalam hal keanekaragaman jenis dan kelimpahannya (Hofer et al., 2000; Endarwin, 2006)

Penyebaran beberapa jenis ular akuatik umumnya dipengaruhi oleh adanya asosiasi yang sangat erat dengan habitatnya. Beberapa jenis ular laut berasosiasi sangat erat dengan habitat perairan dasar laut. Adapula yang berasosiasi dengan terumbu karang, seperti Aipysurus laevis dan Emydocephalus annulatus. Jenis lainnya hidup berasosiasi dengan habitat estuarin (Lukoschek et al., 2007).


(31)

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan

Pada umumnya herpetofauna Indonesia (termasuk ular) tidak banyak dikenal, baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi maupun ciri-ciri ekologinya. Daerah penyebaran suatu jenis sangat sedikit diketahui. Hal ini disebabkan karena lambatnya penelitian tentang herpetofauna di Indonesia, terutama ular, dibandingkan dengan negara lain (Iskandar dan Erdelen, 2006).

Beberapa laporan yang mengungkapkan hasil penelitian maupun kompilasi deskripsi jenis mengenai ular yang dilakukan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, antara lain dilakukan oleh Boeadi et al. (1998), Cox et al. (1998), Erdelen (1998), Sugardjito et al. (1998), Shine et al. (1999a), Shine et al. (1999b), Stuebing dan Inger (1999), Harvey et al. (2000), Iskandar dan Colijn (2001), Nugroho (2003), de Lang dan Vogel (2005) serta Husna (2006).

Khusus untuk Pulau Kalimantan, penelitian mengenai ular yang telah di lakukan masih terbatas. Data ular yang tersedia saat ini sebagian besar merupakan hasil dari kompilasi deskripsi jenis yang berupa buku panduan lapangan maupun laporan umum, seperti Stuebing dan Inger (1999), Iskandar (2004), Meijaard et al. (2005), dan lainnya. Terbatasnya penelitian mengenai ular di Kalimantan menyebabkan sedikitnya pengetahuan masyarakat mengenai jenis-jenis ular yang terdapat di kawasan tersebut. Selama ini, jenis ular yang telah banyak diketahui oleh masyarakat adalah jenis Python reticulatus yang oleh sebagian masyarakat telah dimanfaatkan untuk diambil kulitnya atau untuk dikonsumsi (Stuebing dan Inger, 1999).

Kalimantan sebagai pulau terluas di Asia Tenggara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (Sheil dan Meijaard, 2005), berpotensi menjadi tempat ditemukannya jenis ular baru apabila dilakukan penelitian yang intensif. Beberapa publikasi ilmiah yang mengungkapkan penemuan jenis ular baru atau penemuan kembali jenis ular yang selama ini diduga sudah tidak terdapat lagi di Kaimantan, antara lain Stuebing (1994), Stuebing dan Inger (1998), Auliya (2002) serta Murphy et al. (2005).


(32)

2.3 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Menurut Lo (1995), penginderaan jauh merupakan suatu teknik mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa bersentuhan fisik. Fisher dan Lindenberg (1989) dalam Claasen (1992) menjelaskan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu kegiatan pengumpulan data keruangan dari spektrum elektromagnetik dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek yang diamati.

Penginderaan jauh umumnya digunakan untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Data hasil interpretasi penginderaan jauh bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, kehutanan, geografi, geologi, arkeologi, dan berbagai bidang lainnya. Banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari penginderaan jauh, membuat penerapannya semakin lama menjadi semakin berkembang.

Menurut Lillesand dan Kiefer (1979), keberhasilan penerapan penginderaan jauh meningkat cukup pesat dengan menggunakan pendekatan multi pandang. Pendekatan tersebut, meliputi penginderaan multi tingkat (data suatu daerah dikumpulkan dari berbagai tinggi), penginderaan multi spektral (data suatu daerah diperoleh dari beberapa saluran spektral secara bersamaan), serta penginderaan multi temporal (data suatu daerah dikumpulkan dengan lebih dari satu tanggal pemotretan).

2.4 Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.4.1 Definisi

Menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2002), SIG adalah sistem berbasis komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan data (data input), manajemen data (storage and retrieval), analisis dan manipulasi data, serta menghasilkan data (data output). Sedangkan Paryono (1994) mengartikan SIG sebagai sistem


(33)

berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, memanipulasi, dan menganalisa informasi geografis.

Burrough (1986) mendefinisikan SIG sebagai sistem penanganan dan pengolahan data serta informasi geografis, baik data atribut maupun data spasial. Data spasial dapat disajikan dalam dua model, yaitu model raster berupa grid atau kisi dan model vektor (Paryono, 1994). Pada model data raster, semua objek disajikan dalam bentuk sel yang disebut piksel (picture element). sedangkan pada model data vektor, objek disajikan sebagai titik atau segmen-segmen garis.

SIG dapat dianggap sebagai sistem pengelolaan peta. Berbagai peta disimpan untuk digunakan kembali sewaktu-waktu. Peta yang ada dapat dianalisis dan dimanipulasi sehingga membentuk peta baru yang disajikan sebagai pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan, seperti perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumberdaya alam, lingkungan, transportasi, dan sebagainya.

2.4.2 Subsistem SIG

Berdasarkan definisi-definisi yang telah berkembang, Prahasta (2002) menguraikan SIG menjadi beberapa subsistem, yaitu masukan data, keluaran data, manajemen data, serta manipulasi data.

1. Masukan data

Subsistem ini bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini pula yang bertanggung jawab dalam mengkonversi format-format data aslinya kedalam format yang dapat digunakan SIG.

2. Keluaran data

Subsistem ini menampilkan atau menghasilkan keluaran seluruh atau sebagian basis data baik dalam bentuk softcopy ataupun hardcopy seperti grafik, tabel, peta dan lain-lain.

3. Manajemen data

Subsistem ini mengorganisasikan data spasial maupun data atribut ke dalam sebuah data sedemikian rupa sehingga mudah dipanggil, update dan di-edit.


(34)

4. Manipulasi dan analisis data

Subsistem ini menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Selain itu, subsistem ini juga melakukan manipulasi dan permodelan data untuk mengahasilkan informasi yang diharapkan.

2.4.3 Komponen SIG

SIG merupakan sistem kompleks yang terintegrasi dengan sistem-sistem komputer lain di tingkat fungsional dan jaringan. SIG terdiri dari beberapa komponen, yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data dan informasi geografi, serta manajemen data (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2002).

1. Perangkat keras

Saat ini SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras, mulai dari PC desktop, workstations, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki harddisk yang besar, dan memiliki kapasitas memori (RAM) yang besar. Perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer, mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner.

2. Perangkat lunak

SIG merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secar modular, dimana basis data memegang peranan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul, sehingga terdapat ratusan program yang dapat dieksekusi sendiri.

3. Data dan informasi geografis

SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data serta informasi yang diperlukan, baik secara tidak langsung (mengimportnya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain) maupun secara langsung (mendijitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari table-tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard).

4. Manajemen data

Suatu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan.


(35)

2.4.4 Aplikasi SIG

SIG dapat digunakan untuk perencanaan tata ruang (penggunaan lahan), perencanaan geologi, pengelolaan sumberdaya alam, lingkungan, satwaliar, perencanaan pertanian, perencanaan tata kota, lalu lintas, dan transportasi (jaringan jalan), perencanaan rekreasi, serta perencanaan pelayanan umum (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2002).

Menurut Prahasta (2002), aplikasi SIG antara lain dapat digunakan dalam aspek sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan, lingkungan, dan pertahanan. pada aspek sumberdaya alam, SIG digunakan dalam kegiatan inventarisasi, manajemen, serta analisis kesesuian lahan untuk pertanian, kehutanan, perencanaan tata guna lahan, analisis daerah rawan banjir, dan sebagainya.


(36)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Pengambilan data dilakukan selama 24 hari antara bulan April - Mei 2008 pada beberapa tipe habitat di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah (Gambar 1), meliputi habitat semak/belukar, hutan rawa sekunder di Beguruh, hutan rawa sekunder riparian di Sungai Sekonyer Kanan, hutan rawa primer, hutan campuran di Camp Tanjung Harapan, dan hutan campuran di Camp Leakey.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan kegunaannya (Tabel 1).

Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No. Kegunaan Alat dan Bahan 1 Pembuatan plot

analisis vegetasi

Kompas, meteran (50m), meteran jahit, tambang plastik, tali rafia.

2 Pengambilan data ular GPS, Tongkat ular, kantong spesimen, buku panduan identifikasi jenis ular, senter, baterai, kaliper, spidol permanen.

3 Pengukuran faktor fisik lingkungan

Termometer air raksa, Hygrometer.

4 Analisis data ArcView 3.3, Minitab 14, peta penutupan lahan TNTP, peta sungai TNTP, peta batas kawasan, serta peta study area Camp Leakey.

5 Preservasi Alat suntik, alkohol 70%, kapas, kertas label, benang jahit, kotak penyimpanan spesimen.

6 Dokumentasi Kamera, tally sheet, alat tulis.

3.3 Jenis Data 3.3.1 Data Primer

Data primer diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan, antara lain: 1. Data ular: nama jenis, jumlah individu jenis, waktu ditemukan, posisi (vertikal dan horizontal) dan koordinat, substrat, sex, aktifitas, panjang tubuh (SVL), dan panjang ekor.

2. Data habitat: suhu udara, kelembaban udara, serta struktur, dan komposisi vegetasi.


(37)

(38)

1. Kondisi umum lokasi penelitian.

2. Peta tipe penutupan lahan Taman Nasional Tanjung Puting. 3. Peta sungai Taman Nasional Tanjung Puting.

4. Peta batas kawasan Taman Nasional Tanjung Puting. 5. Peta study area Camp Leakey

3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Data Primer

1. Data keanekaragaman jenis ular

Pengambilan data keanekaragaman jenis ular dilakukan dengan menggunakan metode Visual Encounter Survey (VES) with randomized-walk design (Heyer et al., 1994). Langkah-langkah pengambilan data, yaitu:

a. Survei pendahuluan

Survei pendahuluan dilakukan sebelum pengambilan data. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan karakteristik habitat di setiap lokasi penelitian sehingga mempermudah penentuan lokasi pengamatan dan memperbesar peluang menemukan ular.

b. Inventarisasi ular

Kegiatan ini dilakukan pada waktu pagi hari dan malam hari. Pengamatan pagi hari dilakukan pada pukul 08.30-11.30 WIB, sedangkan pengamatan malam hari dilakukan pada pukul 20.00-23.00 WIB. Pengamatan dilakukan dengan 4 (empat) kali ulangan pada setiap lokasi penelitian dan difokuskan pada tempat-tempat yang diperkirakan menjadi sarang atau tempat-tempat persembunyian ular, seperti ranting pohon, di bawah kayu lapuk, diantara akar-akar pohon, di celah-celah batu, di lubang dalam tanah, di bawah tumpukan serasah, atau di tepi sungai. Pengamatan dilakukan dengan berjalan secara acak pada lokasi yang telah ditentukan dengan jumlah pengamat sebanyak 2 orang.

c. Pengumpulan spesimen

Setiap jenis ular yang ditemukan, ditangkap lalu dimasukan ke dalam kantong spesimen dan dilakukan penandaan koordinat dengan menggunakan GPS. Selain itu, jenis ular yang ditemukan diluar waktu pengamatan tetap dicatat


(39)

datanya. Data ular yang dicatat saat ditemukan meliputi jenis, waktu, aktifitas, substrat, serta posisi (vertikal dan horizontal). Ular yang berhasil dikumpulkan, dibawa untuk diukur panjang tubuh (SVL) dan panjang ekornya lalu diidentifikasi. d. Preservasi spesimen

Jenis ular yang belum teridentifikasi di lapangan, akan diawetkan dengan alkohol 70% dan disimpan dalam kotak spesimen serta diberi label. Spesimen yang telah dipreservasi akan diidentifikasi lebih lanjut di Laboratorium Herpetologi Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi-LIPI Cibinong. Seluruh spesimen yang diambil selanjutnya disimpan di Laboratorium Herpetologi Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan-IPB Bogor.

2. Data habitat

Data habitat diperoleh dengan mencatat suhu udara dan kelembaban udara pada awal dan akhir pengamatan, serta melakukan analisis vegetasi dengan tujuan untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi yang menjadi habitat ular. Analisis vegetasi dilakukan pada tipe habitat hutan alam yang mendominasi sebagian besar kawasan TNTP, yaitu pada hutan rawa primer dan hutan rawa sekunder, dengan menggunakan metode jalur berpetak berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (1987). Sedangkan pada habitat hutan campuran, tidak dilakukan analisis vegetasi karena pengambilan data ular hanya dilakukan di sekitar areal bangunan camp yang terdapat di dalam hutan campuran tersebut. Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak disajikan pada Gambar 2.

Keterangan:

A = 2x2 m (Tingkat semai) B = 5x5 m (Tingkat pancang) C = 10x10 m (Tingkat tiang) D = 20x20 m (Tingkat pohon)

Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi metode jalur berpetak.

B

A Arah Jalur

C D A B C D D C B A


(40)

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan cara studi pustaka.

3.5 Analisis Data

3.5.1 Analisis Data Keanekaragaman Jenis Ular

1. Kekayaan jenis

Kekayaan jenis ular dihitung dengan menggunakan indeks kekayaan jenis Margalef:

 

Keterangan:

DMG = Indeks kekayaan jenis Margalef S = Jumlah jenis

N = Total individu

2. Kemerataan Jenis

Kemerataan jenis ular dihitung dengan menggunakan rumus (Brower dan Zar, 1977):

 

Keterangan:

E = Indeks kemerataan jenis

H’ = Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener S = Jumlah jenis

ln = Logaritma natural

3. Kesamaan jenis

Kesamaan jenis ular antar tipe habitat yang dijumpai di lokasi penelitian ditunjukkan melalui dendogram dari hasil analisis klaster menggunakan metode ward linkage correlation coefficient distance pada Minitab 14.

4. Peluang perjumpaan

Peluang perjumpaan ditentukan dengan cara membagi jumlah individu jenis ke-i dengan waktu pengamatan. Peluang perjumpaan ular dihitung dengan rumus:


(41)

 

Keterangan:

Pp = Peluang perjumpaan ni = Jumlah jenis ke-i t = Waktu pengamatan

3.5.2 Analisis Data Habitat

Analisis vegetasi dilakukan untuk menentukan komposisi dan dominansi suatu jenis tumbuhan pada suatu komunitas. Dominansi suatu jenis pohon digambarkan oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari hasil perhitungan. Untuk vegetasi tingkat pohon dan tiang, nilai INP diperoleh dari hasil penjumlahan nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), dan Dominansi Relatif (DR). Sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang, INP diperoleh dari hasil penjumlahan antara Kerapatan Relatif (KR) dan Frekuensi Relatif (FR). Data habitat lainnya dijelaskan secara deskriptif sesuai dengan kondisi lapangan.

Persamaan yang digunakan dalam analisis vegetasi ini adalah:

1. Kerapatan Jenis 

2. Frekuensi Jenis

3. Dominansi Jenis

 

 

4. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pohon dan tiang


(42)

5. Indeks Nilai Penting untuk tingkat pancang dan semai

6. Luas Bidang Dasar (LBDS)

3.6 Diagram Alur Pembuatan Peta Sebaran Ular

Langkah-langkah pembuatan peta sebaran ular berdasarkan tipe habitat di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alur pembuatan peta sebaran ular.

PETA PENUTUPAN LAHAN TANJUNG

PUTING

PETA SEBARAN ULAR

PENANDAAN KOORDINAT ULAR INVENTARISASI


(43)

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Kawasan

Taman Nasional Tanjung Puting termasuk salah satu kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai Cagar Biosfer sejak tahun 1977. Penetapan kawasan ini bertujuan untuk perlindungan terhadap dua jenis satwa langka dan dilindungi, yaitu orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) dan bekantan (Nasalis larvatus).

TN Tanjung Puting awalnya merupakan kawasan konservasi seluas 305.000 Ha, terdiri dari CA Kotawaringin (100.000 Ha) dan SM Sampit (205.000 Ha). Sesuai dengan penetapan batas kawasan yang dilakukan mulai tahun 1969/1970 hingga 1973/1974, kawasan Tanjung Puting mengalami perubahan luasan menjadi 270.040 Ha. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 698/Kpts/UM/11/1978 pada tanggal 13 November 1978, Tanjung Puting diperluas menjadi 300.040 Ha.

Kawasan Tanjung Puting ditetapkan sebagai Unit Pelaksana Teknis Dirjen PHPA dengan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts/111984 tanggal 12 Mei 1984, kemudian ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun yang sama dengan luas 305.040 Ha berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 46/Kpts/VI-Sel/1984. Kawasan TN Tanjung Puting mendapat tambahan areal dari eks HPH PT. Hezubasah seluas 90.000 Ha dan kawasan perairan disekitarnya seluas 25.000 Ha berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-11/1996 tanggal 25 Oktober 1996, sehingga luas total kawasan TN Tanjung Puting menjadi 415.040 Ha (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.2 Letak Kawasan

Secara administratif, TN Tanjung Puting termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat dan Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah. Secara geografis, kawasan ini terletak diantara 2°35’-3°35’ LS dan 111°50’-112°15’ BT. Sebagian besar wilayahnya merupakan semenanjung alluvial yang berawa-rawa dan dibatasi Sungai Sekonyer di bagian utara, Laut Jawa dibagian Barat dan Selatan, serta batas buatan yang berjarak 10-15 Km dari Sungai Seruyan dibagian Timur (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).


(44)

4.3 Fisik Kawasan 4.3.1 Topografi

Secara umum, topografi TN Tanjung Puting adalah datar sampai bergelombang dengan ketinggian kurang dari 50 meter diatas permukaan laut. Di bagian Utara, terdapat beberapa punggung pegunungan yang rendah dan bergelombang serta umumnya mengarah ke Selatan, akan tetapi di sebelah Selatan dari Sungai Sekonyer tidak terdapat pegunungan atau bukit. Anak-anak sungai telah terbentuk karena terjadinya luapan air sungai pada waktu musim hujan.

Natai atau tanah tinggi banyak dijumpai di bagian tengah kawasan taman nasional. Natai ini terisolasi oleh rawa atau danau yang besar dimana jarang dijumpai pepohonan. Keadaan ini akan lebih tampak terutama pada musim hujan, yaitu antara bulan Oktober sampai dengan Februari. Daerah pantai sebagian berpasir (antara sungai Arut Tebal sampai Teluk Ranggau di bagian Barat dan Pantai Selatan) dan sebagian berlumpur (mulai dari muara Sungai Sekonyer ke selatan sampai Sungai Arut Tebal) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.3.2 Iklim

Kawasan TN Tanjung Puting mempunyai curah hujan rata-rata mencapai 2.400 mm/tahun. Suhu maksimum bervariasi dari 31-33° C dan suhu minimum bervariasi dari 18-21° C. Menurut Schmidt & Fergusson, tipe iklim seperti ini termasuk dalam iklim selalu basah tipe A (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.3.3 Hidrologi

Terdapat 7 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub DAS di dalam kawasan TN Tanjung Puting, yaitu DAS Sekonyer, Buluh Kecil, Buluh Besar, Cabang, Perlu, Segintung dan DAS Pembuang. DAS dan Sub Das tersebut mempunyai air yang berwarna hitam, serta mengalir dari bagian utara dan tengah kawasan taman nasional. Aliran sungai-sungai ini pelan dan di beberapa tempat terpengaruh oleh adanya pasang surut.


(45)

Banjir sering terjadi dan beberapa danau sering terbentuk di daerah hulu pada musim hujan, mulai bulan Oktober sampai dengan April. Air tanah menjadi bagian penting dari semua habitat di TN Tanjung Puting dan lebih dari 60% kawasan tergenang air paling tidak selama 4 bulan setiap tahunnya.

Selama musim kemarau yang panjang, air payau dapat masuk ke daerah hulu sejauh ± 10 km, sepanjang Sungai Sekonyer. Fluktuasi harian dari permukaan air Sungai Sekonyer yang terkait dengan adanya pasang surut dapat diukur sampai ± 15 km dari muara. Fluktuasi musiman permukaan air di daerah rawa-rawa memiliki variasi rata-rata antara 1,5 sampai 2 meter dan di beberapa tempat bisa mencapai 3 meter (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.3.4 Geologi dan Tanah

TN Tanjung Puting relatif berumur geologi muda dan daerah berawa-rawa datar yang meluas ke pedalaman sekitar 5-20 km dari pantai mungkin hanya berumur beberapa ratus sampai beberapa ribu tahun saja. Sebagian besar sedimen tanah/lumpur adalah alluvial muda. Bagian utara kawasan yang mencuat beberapa meter diatas permukaan laut mungkin merupakan bagian dari deposisi "sandstone" tertiary.

Pada umumnya, tanah di kawasan TN Tanjung Puting adalah miskin hara (kurang subur), tercuci berat serta kurang berkembang. Semua tanah bersifat sangat asam dengan kisaran pH antara 3,8-5,0. Tanah-tanah di sekitar anak-anak sungai dicirikan oleh suatu lapisan top soil yang berwarna abu-abu kecoklatan serta suatu lapisan sub soil yang lengket yang juga berwarna abu-abu kecoklatan.

Tanah di rawa-rawa daerah pedalaman (daerah hulu), memiliki kandungan unsur organik yang lebih tinggi dan formasi gambut tersebar luas di banyak tempat dengan ketebalan sampai 2 meter. Jalur-jalur tanah tinggi yang mendukung tumbuhnya hutan tanah kering (dry land forest) atau hutan kerangas, memiliki kandungan pasir yang lebih tinggi bahkan kadang-kadang pasir kuarsa putih, namun telah tercuci habis-habisan sebagai akibat perubahan besi ke senyawa-senyawa besi serta terus terlarutnya unsur-unsur ini. Semua tanah di Taman Nasional Tanjung Puting, seperti halnya sebagian besar tanah di Kalimantan


(46)

adalah sangat tidak subur dan secara umum hanya mampu mendukung usaha pertanian secara temporer (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

4.4 Biotik 4.4.1 Flora

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (2004), TN Tanjung Puting memiliki beberapa tipe ekosistem, yaitu: hutan dataran rendah, hutan tanah kering (hutan kerangas), hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan sekunder. Jenis-jenis tumbuhan yang dapat ditemui di dalam kawasan adalah Gonystylus bancanus, Shorea sp., Dyera costulata, Aquilaria sp., Dipterocarpus sp., Eusideroxylon zwageri, Dacrydium sp., Lithocarpus sp., Castanopsis sp., Hopea sp., Schima sp., Melaleuca sp., Diospyros sp., Vatica sp., Tetramerista sp., Palaquium sp., Campnosperma sp., Casuarina sp., Alstonia sp., Durio sp., Calophyllum sp., Pandanus sp., Sonneratia sp., Rhizophora sp., Barringtonia sp., Nypa fruticans, Podocarpus sp., Calamus sp., dan Imperata cylindrica.

Pada bagian Utara kawasan terdapat hutan kerangas dan di lantai hutannya terdapat jenis tumbuhan pemakan serangga seperti Nepenthes sp. Hutan rawa gambut yang tumbuhannya memiliki akar lutut, dan akar nafas yang mencuat dari permukaan air, ditemukan di bagian Tengah kawasan dan di tepi beberapa sungai. Di sepanjang tepi sungai di kawasan ini terdapat hutan rawa air tawar dengan jenis tumbuhan yang kompleks, termasuk jenis tumbuhan merambat berkayu yang besar dan kecil, epifit, dan paku-pakuan dalam jumlah besar. Di daerah Utara menuju Selatan kawasan, terdapat belukar yang luas yang merupakan areal bekas tebangan dan kebakaran.

Tumbuhan di daerah hulu Sungai Sekonyer terdiri atas hutan rawa yang didominasi oleh Pandanus sp. dan bentangan (bakung) yang mengapung, seperti Crinum sp. Selain itu, terdapat nipah yang merupakan tumbuhan asli setempat dan tumbuh meluas sampai ke pedalaman sepanjang sungai. Di daerah pesisir pada pantai-pantai berpasir, banyak ditumbuhi tumbuhan dari genus Casuarina, Pandanus, Podocarpus, Scaevola dan Barringtonia.


(47)

4.4.2 Fauna

Kawasan TN Tanjung Puting dihuni oleh sekitar 38 jenis mamalia. Jenis-jenis tersebut, diantaranya tupai (Tupaia spp.), tangkasi (Tarsius bancanus), kukang (Nyctycebus coucang), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), kelasi (Presbytis rubicunda), lutung (Presbytis cristata), bekantan (Nasalis larvatus), owa Kalimantan (Hylobates agilis), orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), trenggiling (Manis javanica), bajing (Ratufa affinis), landak (Hystrix brachyura), beruang madu (Helarctos malayanus), berang-berang (Lutra sp.), kucing batu (Felis bengalensis), macan dahan (Neofelis nebulosa), babi hutan (Sus barbatus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), dan duyung (Dugong dugon) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

Daftar awal (preliminary list) mencatat 200 jenis burung hidup di kawasan ini. Beberapa jenis yang telah tercatat misalnya "the bornean Bristlehead" atau "bald headed wood shrike" (Pityariasis gymnocephala), dinyatakan jarang ditemukan di tempat lain di Kalimantan. Jenis burung yang paling penting di TN Tanjung Puting adalah sindanglawe (“storm's stork”, Ciconia stormii), yang termasuk dalam 20 jenis burung bangau paling langka di dunia serta dimasukkan ke dalam kategori terancam punah oleh IUCN (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004).

Beberapa jenis ikan juga telah teridentifikasi, mulai dari ikan yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti lais, toman, seluang, bakut, serta jenis ikan yang penting artinya dalam upaya konservasi, yaitu ikan siluk/arwana (Scleropages formosus). Beberapa jenis reptil yang telah terdata, yaitu buaya sinyong supit (Tomistoma schlegelii), buaya muara (Crocodilus porosus), bidawang (Amyda cartilaginea), ular sanca (Python reticulatus), ular sendok (Naja sumatrana), kura-kura (Manouria emys) dan biawak (Varanus salvator) (Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, 2004). Terdapat sedikitnya 12 jenis amfibi yang ditemukan, antara lain Pseudobufo subasper, Rana baramica, Rana erythraea, Polypedates colletti, Polypedates macrotis, Rhacophorus appendiculatus, dll (Furlong et al., 2005).


(48)

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Kondisi Habitat di Lokasi Penelitian

Habitat semak/belukar yang dijadikan lokasi penelitian merupakan areal tak berhutan yang didominasi oleh tumbuhan herba berupa alang-alang (Imperata cylindrica) dan bruta (Dicranopteris curranii), serta beberapa jenis tumbuhan berkayu, seperti jamai (Rhodamnia cinerea), karamunting kodok (Melastoma polyanthum), karamunting padang (Melastoma malabathricum), lowari (Schima wallichii), dan halaban (Vitex pubescens). Selain itu, terdapat pula beberapa pohon mati akibat kebakaran hutan dan hanya menyisakan batang pohon yang hangus. Jenis herpetofauna yang dijumpai, yaitu Eutropis multifasciata.

Gambar 4 Kondisi lokasi pengamatan di habitat semak/belukar.

Areal ini mengalami kebakaran yang besar pada tahun 2006, sehingga sebagian besar tumbuhan yang terdapat di tempat ini mengalami kematian. Pada areal ini tidak terdapat sumber air, menyebabkan areal ini sangat kering. Permukaan lahan berupa pasir putih. Areal ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian sekitar 20 mdpl. Suhu udara pada saat pengamatan berkisar antara 25,5 – 31,5 ° C (pagi) dan 24 - 26 ° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 61 – 81 % (pagi) dan 74 – 91 % (malam). Saat ini, areal semak/belukar yang dijadikan lokasi penelitian telah menjadi kawasan rehabilitasi lahan dan dikelola oleh salah satu mitra TNTP, yaitu Friends of the National Park Foundation (FNPF).

Habitat hutan rawa sekunder yang dijadikan lokasi penelitian terdapat pada dua lokasi, yaitu di Beguruh dan di sepanjang aliran Sungai Sekonyer Kanan.


(49)

Meskipun memiliki tipe penutupan lahan yang sama, namun lokasi ini dijadikan tempat pengambilan data karena memiliki perbedan yang diduga mempengaruhi keragaman jenis ular yang ada.

Hutan rawa sekunder yang terdapat di Beguruh merupakan hutan rawa yang tidak selalu tergenang air. Sumber air yang terdapat di habitat tersebut berasal dari air hujan. Jika turun hujan, terdapat aliran air yang menyerupai sungai kecil. Namun setelah beberapa hari tidak turun hujan, aliran air tersebut akan kering dan hanya menyisakan genangan air di antara akar-akar pohon. Lantai hutan berupa timbunan serasah yang berasal dari lapukan daun dan akar pohon yang telah mati. Tutupan tajuk tidak terlalu rapat, sehingga sinar matahari masih dapat menembus hingga lantai hutan.

Gambar 5 Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder di Beguruh.

Habitat ini memiliki topografi yang datar dengan ketinggian 27 mdpl. Suhu udara pada saat pengamatan berkisar antara 26 – 31,5° C (pagi) dan 24,5 - 27° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 66 - 97 % (pagi) dan 91 - 97 % (malam). Jenis pohon yang mendominasi antara lain, tingkat semai didominasi oleh ubar (Syzygium sp.) dengan INP sebesar 37,96 %, tingkat pancang dan tiang didominasi oleh sampa dengan INP sebesar 20,04 % dan 29,87 %, dan tingkat pohon didominasi oleh katikal (Ochanostachys amentacea) dengan INP sebesar 41,34 %. Jenis tumbuhan lain yang terdapat di habitat tersebut, antara lain rotan (Calamus sp.), paku-pakuan, serta beberapa jenis liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai, antara lain Eutropis rudis, Varanus salvator, Draco sp., Rana


(50)

glandulosa, Limnonectes malesianus, Rhacophorus pardalis, serta Polypedates macrotis.

Berbeda dengan hutan rawa sekunder yang terdapat di Beguruh, hutan rawa sekunder di sepanjang aliran Sungai Sekonyer Kanan merupakan hutan rawa riparian yang tergenang oleh air dari sungai secara berkala. Pada saat musim hujan, aliran air sungai akan meluap atau melebar masuk ke dalam hutan hingga mencapai 100 – 200 meter dari aliran sungai saat normal. Hal ini disebabkan karena tepian sungai memiliki ketinggian yang hampir sama dengan aliran sungai.

Sungai Sekonyer Kanan memiliki aliran air yang tenang dengan air yang berwarna seperti air teh sebagai akibat dari dekomposisi bahan-bahan organik dari lapukan daun atau tumbuhan yang telah mati. Lebar badan sungai sekitar 5 – 15 meter dan kedalaman sungai sekitar 4 – 8 meter. Air sungai memiliki nilai pH sebesar 5.

Gambar 6 Kondisi lokasi pengamatan pada habitat hutan rawa sekunder riparian di Sungai Sekonyer Kanan.

Habitat hutan rawa sekunder riparian ini apabila musim kemarau tidak tergenang air sungai sehingga lantai hutannya kering, namun tetap terdapat genangan air pada beberapa tempat. Pada saat musim hujan atau saat air sungai meluap, lantai hutan akan tergenang air hingga mencapai kedalaman 2 meter. Panjang hutan rawa yang menjadi lokasi pengamatan sekitar 4 km mengikuti aliran sungai.

Penutupan tajuk pada habitat ini tidak terlalu rapat. Topografi relatif datar dengan ketinggian 23 mdpl. Suhu udara pada saat pengamatan berkisar antara 24 - 31° C (pagi) dan 23 - 25° C (malam), serta suhu air berkisar antara 25,5 - 26° C


(51)

(pagi dan malam). Kelembaban udara berkisar antara 66 - 91 % (pagi) dan 84 - 91 % (malam). Jenis pohon yang mendominasi antara lain, tingkat semai didominasi oleh kayu malam dengan INP sebesar 62,50 %, tingkat pancang didominasi oleh pansulan (Pternandra caerulescens) dengan INP sebesar 21,22%, tingkat tiang dan pohon didominasi oleh ketiau (Ganua motleyana) dengan INP sebesar 46,43 % dan 58,63 %. Jenis tumbuhan lain yang terdapat di lokasi ini, antara lain bruta (Dicranopteris curranii), kantong semar (Nepenthes sp.), serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai, antara lain Eutropis rudis, Eutropis multifasciata, Varanus salvator, Draco sp., Cyrtodactylus sp., Tomistoma schlegelii, Pseudobufo subasper, Rana glandulosa, serta Rana chalconota.

Habitat hutan rawa primer yang dijadikan lokasi penelitian terdapat pada study area di Camp Leakey. Pengamatan dilakukan melewati jalur study area hingga menembus beberapa jalur study area lainnya. Areal pengamatan terletak di sekitar Jalan Anang Deni, Jalan X, Jalan 12, Jalan 19, Jalan Suharto, Jalan 14, Jalan Tepi Rawa, Jalan RR2, dan Jalan Haribut Utara.

Habitat hutan rawa primer ini terletak pada ketinggian sekitar 40 mdpl dengan topografi datar. Meskipun memiliki topografi yang datar, pengamatan pada lokasi ini merupakan pengambilan data tersulit dibandingkan lokasi lainnya karena permukaan lantai hutannya akan masuk hingga kedalaman tertentu bila diinjak sehingga agak sulit untuk melangkah. Selain itu, terdapat akar-akar pohon yang muncul ke permukaan dengan membentuk celah-celah diantara akar tersebut, sehingga dilakukan pengecekan setiap celah tersebut karena diduga dapat menjadi tempat berlindung ular.


(52)

Penutupan tajuk pada lokasi ini rapat, sehingga sinar matahari hanya sedikit menembus hingga lantai hutan. Lantai hutan berupa timbunan bahan organik dari tumbuhan yang telah mati. Tergenang air pada beberapa tempat, terutama di sekitar perakaran pohon. Sumber air berasal dari air hujan. Jika diinjak, permukaan lantai hutan akan masuk 5 – 10 cm. Bahkan pada beberapa tempat yang tergenang, permukaan hutan dapat masuk hingga kedalaman 1 m. Perakaran pohon bertipe akar lutut dan akar tunjang. Tipe perakaran seperti ini diduga merupakan adaptasi dari pohon-pohon di hutan rawa untuk memperoleh udara, karena lantai hutan di sekitar perakaran pohon selalu tergenang air, dan kondisi air pada lantai hutan bersifat oligotrofik (tidak subur).

Suhu udara pada saat pengamatan di habitat hutan rawa primer berkisar antara 23,5 – 30° C (pagi) dan 23,5 - 26° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 72 - 87 % (pagi) dan 72 - 95 % (malam). Jenis pohon yang mendominasi antara lain, tingkat semai didominasi oleh ubar merah (Syzygium leucoxylon) dengan INP sebesar 23,87 %, tingkat pancang didominasi oleh kumpang (Knema cinerea) dengan INP sebesar 16,12 %, tingkat tiang didominasi oleh bekapas (Vatica oblongifolia) dengan INP sebesar 86,23 %, dan tingkat pohon didominasi oleh lanan (Shorea ovalis) dengan INP sebesar 47,02 %. Jenis tumbuhan lain yang terdapat di lokasi ini, antara lain anggrek, kantong semar (Nepenthes sp.), paku-pakuan, epifit, serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai, antara lain Eutropis rudis, Gonocephalus borneensis, Broncochela jubata, Rana glandulosa, Polypedates macrotis, serta polypedates colletii.

Habitat lainnya yang menjadi lokasi penelitian, yaitu hutan campuran di sekitar Camp Tanjung Harapan dan hutan campuran di sekitar Camp Leakey. Kedua lokasi ini merupakan areal rehabilitasi orangutan yang menjadi objek wisata utama TNTP melalui pemberian pakan (feeding) orangutan. Intensitas manusia yang berada di lokasi ini sangat tinggi, sehingga diduga dapat menjadi salah satu ancaman terhadap ular.

Kedua lokasi ini memiliki tipe penutupan lahan yang hampir sama. Pada lokasi hutan campuran di Camp Leakey terdiri atas hutan rawa primer, hutan rawa sekunder, rawa, dan semak/belukar rawa. Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan terdiri atas hutan rawa sekunder, semak/belukar, dan semak/belukar


(53)

rawa. Meskipun memiliki tipe penutupan lahan yang hampir sama, namun kedua lokasi ini terletak pada dua sub DAS yang berbeda dan memiliki tingkat ancaman yang berbeda.

Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan terletak di tepi Sungai Sekonyer yang merupakan batas kawasan Taman Nasional. Selain itu, terdapat beberapa desa yang terletak di sekitar aliran sungai. Di hulu sungai ini terdapat aktivitas pertambangan pasir dan emas secara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Limbah pertambangan tersebut dibuang ke sungai yang mengakibatkan pencemaran air sungai dan merubah warna sungai menjadi cokelat keruh. Terdapat beberapa bangunan yang digunakan menjadi pos jaga dan pusat informasi.

Gambar 8 Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Tanjung Harapan.

Hutan campuran di Camp Leakey terletak di tepi Sungai Sekonyer Kanan. Kondisi air sungai relatif masih baik dan tidak mengalami pencemaran seperti pada Sungai Sekonyer. Pada lokasi ini, terdapat banyak petugas lapangan dari Orangutan Foundation Internasional (OFI) yang sangat protektif terhadap kelestarian ekosistem di areal Camp. Lokasi ini menjadi pusat rehabilitasi orangutan di TNTP.

Jumlah bangunan yang terdapat di lokasi ini lebih banyak daripada hutan campuran di Camp Tanjung Harapan. Kondisi tumbuhan di sekitar hutan campuran di Camp Leakey relatif terjaga namun banyak pohon yang tajuknya terbuka dan cabangnya patah karena digunakan orangutan untuk membuat sarang.


(54)

Lokasi pengamatan di hutan campuran di Camp Tanjung Harapan terletak pada ketinggian 12 mdpl, sedangkan lokasi pengamatan di hutan campuran di Camp Leakey terletak pada ketinggian 30 mdpl. Topografi kedua lokasi tersebut relatif datar dengan penutupan tajuk sedang. Hutan campuran di Camp Tanjung Harapan memiliki permukaan lahan berupa pasir putih, sedangkan hutan campuran di Camp Leakey memiliki permukaan lahan berupa tanah berwarna hitam dengan lapisan serasah tipis.

Gambar 9 Kondisi lokasi pengamatan pada hutan campuran di Camp Leakey.

Suhu udara pada saat pengamatan di hutan campuran di Camp Tanjung Harapan berkisar antara 25 – 31° C (pagi) dan 23,5 - 27° C (malam), serta suhu air berkisar antara 25,5 – 26,5° C (pagi) dan 25– 26° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 65 - 93 % (pagi) dan 84 - 99 % (malam). Jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi ini, antara lain rasau (Pandanus sp.), bakung (Crinum sp.), ketiau (Ganua motleyana), pempaning (Quercus bennettii), sungkai (Peronema canescens), pulai (Alstonia scholaris), nenasi, ubar (Syzygium sp.), beberapa jenis tumbuhan epifit, serta liana. Jenis herpetofauna yang dijumpai di habitat hutan campuran di Camp Tanjung Harapan, antara lain Lipinia vittigera, Cyclemis sp., Varanus salvator, Apterygodon vittatus, Orlitia borneensis, Rhacophorus appendiculatus, Polypedates macrotis, serta Polypedates colletii.

Suhu udara pada saat pengamatan di hutan campuran di Camp Leakey berkisar antara 26 - 31° C (pagi) dan 23,5 - 26° C (malam). Kelembaban udara berkisar antara 71 - 86 % (pagi) dan 76 - 86 % (malam). Jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi ini, antara lain pempaning (Quercus bennettii), lowari (Schima wallichii), purun, jamai (Rhodamnia cinerea), bruta (Dicranopteris curranii),


(1)

3. Chrysopelea paradisi Boie, 1827 (Paradise Tree Snake)

Deskripsi : Jenis ular yang ramping dengan panjang mencapai 1,5m. mata besar, berdiameter sama dengan jarak mata dan nostril. Dorsal 17 baris halus, berkurang menjadi 13 sebelum anal. Ventral dan subcaudal berlunas pada tepi luar sisik. Ventral 198-238 baris, subcaudal 106-139. Supralabial 8-9 dengan sisik ke 5-6 menyentuh mata. Dorsal berwarna hitam dengan bintik hijau terang di tengah setiap sisik dan terdapat corak garis merah atau merah muda diatas kepala. Ventral hijau terang. Memiliki kemampuan untuk melompat dari satu pohon ke pohon lain dan tampak seperti “terbang”. Termasuk jenis ular berbisa menengah, namun tidak berbahaya bagi manusia.

Mangsa pakan : Mamalia kecil, burung, dan berbagai jenis reptil.

Habitat : hutan primer, hutan sekunder, dan kebun pada dataran rendah hingga ketinggian 1500m dpl.

Penyebaran : India, Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (We, Nias, Mentawai, Sumatera, Riau, Natuna, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jawa, Bali).

Penyebaran di TNTP : Camp Leakey. Sumber foto : A. Purbatrapsila.

4. Dendrelaphis caudolineatus (Gray, 1834) (Striped Bronze-Back)

Deskripsi : Jenis ular berukuran sedang dengan panjang mencapai 1,5m. Dorsal 13 baris halus, berkurang menjadi 11 sebelum anal. Ventral dan subcaudal berlunas pada tepi luar sisik. Ventral 171-188 baris, subcaudal 100-170. Supralabial 9 baris dengan sisik ke 5-6 menyentuh mata. Dorsal cokelat tua, terdapat garis memanjang hingga ujung caudal. Ventral hijau terang. Termasuk jenis ular tidak berbisa. Mangsa pakan : Katak, berbagai jenis reptil terutama cicak dan kadal.

Habitat : Hutan primer, hutan sekunder, kebun, serta pemukiman.

Penyebaran : Myanmar, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (Nias, Mentawai, Sumatera, Riau, Natuna, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jawa, Kangean).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan. Sumber foto : www.learningcommunity202.org


(2)

5. Dendrelaphis pictus (Gmelin, 1789) (Painted Bronze-Back)

Deskripsi : Jenis ular berukuran sedang dengan panjang mencapai 1,5m. Dorsal 15 baris halus, berkurang menjadi 11 sebelum anal. Ventral dan subcaudal berlunas pada tepi luar sisik. Ventral 167-200 baris, subcaudal 127-164 baris. Supralabial 8 baris dengan sisik ke4-6 menyentuh mata. Dorsal berwarna cokelat tua. Pada bagian samping terdapat garis memanjang hingga anal. Ventral hijau terang. Termasuk jenis ular tidak berbisa.

Mangsa pakan : Katak dan berbagai jenis reptil.

Habitat : Hutan primer, hutan sekunder, kebun, serta pemukiman.

Penyebaran : India, Nepal, China, Bangladesh, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Filipina, Indonesia (Mentawai, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Natuna, Nusa Penida, Bali, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Buton, Sangihe, Halmahera, Ternate).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan dan hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan.

Sumber foto : A. Purbatrapsila.

6. Dryophiops rubescens (Gray, 1824) (Keel-Bellied Vine Snake) Deskripsi : Jenis ular yang ramping dengan panjang mencapai 1m. dorsal 15 baris halus. Ventral berlunas pada tepi luar sisik. Ventral 186-199 baris, subcaudal 111-136 baris. Supra labial 9 baris dengan sisik ke 4-6 menyentuh mata. Dorsal abu-abu kemerahan dengan corak bintik gelap. Labial putih dengan sedikit bintik gelap. Ventral cokelat kehijauan. Termasuk jenis ular tidak berbisa.

Mangsa pakan : Berbagai jenis reptil terutama cicak.

Habitat : hutan primer, hutan sekunder, dan kebun pada dataran rendah.

Penyebaran : Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia (Mentawai, Sumatera, Natuna, Kalimantan, Jawa).

Penyebaran di TNTP : Camp Leakey. Sumber foto : A. Purbatrapsila.


(3)

7. Enhydris enhydris (Schneider, 1801) (Strip-Bellied Mud Snake) Deskripsi : jenis ular akuatik dengan panjang mencapai 60cm. Dorsal 21 baris halus, ventral 150-177 baris, subcaudal 47-78 baris. Supralabial 8 baris dengan sisik ke 4 menyentuh mata. Dorsal abi-abu dengan garis cokelat memanjang pada sisi tubuh. Ventral putih atau kuning dengan garis gelap memanjang pada bagian tengah sisik. Termasuk jenis ular berbisa menengah, namun tidak berbahaya bagi manusia.

Mangsa pakan : Katak, berudu, dan ikan kecil.

Habitat : Perairan dekat sungai, rawa, dan daerah persawahan.

Penyebaran : Pakistan, India, Nepal, Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia (We, Sumatera, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jawa, Sulawesi).

Penyebaran di TNTP : Hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan. Sumber foto : A. Purbatrapsila.

8. Gonyosoma oxycpehalum (Boie, 1827) (Grey-Tailed Racer)

Deskripsi : Jenis ular berukuran relatif besar dengan panjang dapat mencapai lebih dari 2m. Dorsal 23-25 baris halus atau sedikit berlunas. Ventral membentuk sudut pada tepi luar sisik. Ventral 236-262 baris. Supralabial 7-10 baris dengan sisik ke 5-6 atau 6-7 menyentuh mata. Kepala hijau kekuningan, dorsal hijau terang, ventral kuning terang, dan ekor abu-abu. Termasuk jenis ular tidak berbisa.

Mangsa pakan : Mamalia kecil dan burung.

Habitat : Daerah peralihan/ekoton (edge), tegakan sekunder dan kebun pada dataran rendah hingga ketinggian 1000m dpl.

Penyebaran : India, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Indonesia (Nias, Mentawai, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Natuna, Karimata, Bali, Lombok, Sulawesi, Kalimantan, Jawa).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan dan hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan.


(4)

9. Psammodynastes pictus Günther, 1858 (Painted Mock Viper)

Deskripsi : Jenis ular kecil dengan bentuk kepala menyerupai ular viper. Panjang mencapai 65cm. Infralabial pertama menyatu dengan sisik tengah dagu. Dorsal 17 baris halus, ventral 152-172 baris, subcaudal 60-80 baris. Supralabial 8 baris dengan sisik ke 3-5 menyentuh mata. Dorsal cokelat atau abu-abu dengan corak gelap tidak beraturan. Terdapat corak garis cokelat atau hitam dari moncong hingga leher. Ventral cokelat atau abu-abu dengan bintik hitam dan putih. Termasuk jenis ular tidak berbisa.

Mangsa pakan : Katak dan ikan kecil.

Habitat : umum dijumpai pada dataran rendah hingga ketinggian 600m dpl di sepanjang tepi sungai dengan posisi menggantung pada ranting kecil diatas permukaan air.

Penyebaran : Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Simeulue, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan, Jawa).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan, hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan, Camp Leakey, dan hutan rawa primer.

Sumber foto : A. Purbatrapsila.

10. Xenochrophis maculata (Edeling, 1864) (Large-Eyed Water Snake) Deskripsi : jenis ular berukuran sedang dengan panjang mencapai 1m. Memiliki mata yang besar. Dorsal 19 baris berlunas, berkurang menjadi 17 baris sebelum anal. Ventral 140-156 baris, subcaudal 95-113 baris. Supralabial 9 baris dengan sisik ke4-6 menyentuh mata. Dorsal cokelat kemerahan atau abu-abu gelap dengan corak tak beraturan. Ventral kuning dengan tepi hitam.

Mangsa pakan : Katak dan kodok.

Habitat : Tepian sungai kecil di hutan dataran rendah.

Penyebaran : Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Sumatera, Belitung, Riau, Natuna, Kalimantan).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan. Sumber foto : A. Purbatrapsila.


(5)

11. Xenochrophis trianguligera (Boie, 1827) (Red-Sided/Triangle Keelback) Deskripsi : jenis ular berukuran relatif besar dengan panjang dapat mencapai lebih dari 1m. Dorsal 19 baris berlunas, berkurang menjadi 17 baris sebelum anal. Ventral 134-145 baris, subcaudal 86-96 baris. Supralabial 9 baris dengan sisik ke 4-6 menyentuh mata. Dorsal gelap, pada bagian samping tubuh terdapat corak segitiga merah. ventral kuning keputihan. Termasuk jenis ular tidak berbisa.

Mangsa pakan : Katak dan berudu.

Habitat : Hutan primer, hutan sekunder, rawa, daerah perairan sepanjang sungai pada dataran rendah hingga ketinggian 1350m dpl.

Penyebaran : India, Myanmar, Laos, Kamboja, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Nias, Mentawai, Sumatera, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Buton, Sangihe).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan, hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan, dan Camp Leakey.

Sumber foto : www.siamreptile.com B. Suku : Pythonidae

12. Python reticulatus (Schneider, 1801) (Reticulated Python)

Deskripsi : Jenis ular terpanjang di dunia dengan panjang dapat mencapai lebih dari 10m. Pupil vertikal, terdapat lubang sensor panas pada labial. Dorsal 70-80 baris halus berukuran kecil, ventral 297-332 baris, subcaudal 75-102 baris berpasangan. Supra labial 12-15 baris. Terdapat sepasang organ menyerupai cakar disamping anal. Kepala cokelat dengan garis hitam di tengah kepala dan di belakang mata. Dorsal cokelat dengan pola garis hitam tidak teratur dengan tepi kuning. Bagian samping terdapat pola segitiga gelap dengan warna putih ditengah. Termasuk jenis ular yang tidak berbisa. Namun, membunuh mangsa dengan cara membelit.

Mangsa pakan : Berbagai jenis vertebrata berdarah panas dan sering memangsa hewan ternak pada areal pemukiman.

Habitat : Umum dijumpai di dekat sungai dan dataran rendah hingga 1000m dpl. Penyebaran : India, Bangladesh, Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (We, Simeulue, Nias, Mentawai, Riau, Natuna, Sumatera, Enggano, Bangka, Belitung, Kalimantan, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Sulawesi, Buton, halmahera, Ternate, Seram, Ambon).

Penyebaran di TNTP : Hutan rawa sekunder riparian di S. Sekonyer Kanan. Sumber foto : Orangutan Foundation International (OFI).


(6)

C. Suku : Elapidae

13. Naja sumatrana Müller, 1887 (Sumatran Cobra)

Deskripsi : jenis ular berukuran relatif besar dengan panjng mencapai 1,5m. dorsal 15-17 baris halus, ventral 187-206 baris. Subcaudal 42-53 baris dengan enam sisik awal tunggal dan selanjutnya berpasangan. Supralabial 7 baris dengan sisik ke 3-4 baris menyentuh mata. Sisik ke 3 supralabial membesar dan menghubungkan mata dengan nasal. Dorsal dan ventral hitam polos, kepala cokelat kehitaman. Termasuk jenis ular berbisa tinggi dengan tipe bisa neurotoxin. Jenis ular ini sangat berbahaya bagi manusia.

Mangsa pakan : Berbagai jenis reptil dan mamalia terutama tikus. Habitat : Daerah berhutan, tegakan sekunder, kebun, dan pemukiman.

Penyebaran : Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Riau, Sumatera, Bangka, Belitung, Kalimantan).

Penyebaran di TNTP : Hutan rawa sekunder di Beguruh. Sumber foto : A. Purbatrapsila.

D. Suku : Crotalidae

14. Tropidolaemus wagleri Wagler, 1830 (Wagler’s Pit-Viper)

Deskripsi : Jenis ular berukuran sedang dengan tubuh pendek. Panjang tidak lebih dari 1m. kepala berbentuk segitiga. Terdapat organ sensor panas antara mata dan nasal. Dorsal 21-23 baris berlunas, berkurang menjadi 17-19 baris sebelum anal. Ventral 139-156 baris, subcaudal 45-54 baris. Supralabial 7-9 baris. Warna tubuh pada individu dewasa hitam dengan corak titik/garis vertikal hijau keputihan. Pada individu muda, warna tubuh hijau dengan bintik merah dan garis merah dari moncong hingga leher sejajar dengan mata. Termasuk jenis ular berbisa tinggi dengan tipe bisa haemotoxin. Jenis ini sangat berbahaya bagi manusia, meskipun gigitannya jarang berakibat fatal.

Mangsa pakan : burung, mamalia kecil, dan berbagai jenis reptil. Habitat : Hutan dataran rendah dan tegakan sekunder.

Penyebaran : India, Thailand, Filipina, Malaysia, Singapura, Brunei, Indonesia (Riau, Sumatera, Nias, Mentawai, Bangka, Belitung, Kalimantan, Natuna).

Penyebaran di TNTP : Camp Tanjung Harapan dan hutan rawa sekunder di Beguruh.