Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan memetakan sebaran spasial ular yang dijumpai di Taman Nasional Tanjung Puting.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data awal mengenai keanekaragaman jenis ular beserta sebaran spasialnya berdasarkan tipe habitat. Selain itu, diharapkan juga dapat menjadi masukan yang berguna dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ular 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ular menurut Goin et al. 1978 dan Gow 1989 adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Reptilia Sub Class : Lepidosauria Order : Squamata Sub Order : Serpentes Infra Order : Scolecophidia Henophidia Caenophidia Ular tidak memiliki kaki, lubang telinga, dan kandung kemih urinary bladder . Kelopak mata pada ular tidak dapat digerakkan. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik transparan yang dapat berganti pada jangka waktu tertentu. Ular mendeteksi mangsa dengan menggunakan sensor kimia, disebut Jacobson organ, yang terletak pada bagian dalam rahang atas dengan memanfaatkan lidahnya yang bercabang untuk menangkap partikel-partikel kimia di udara dan getaran yang ditimbulkan oleh mangsa, kemudian dimasukkan ke dalam organ tersebut secara cepat dan berulang. Ular tidak memiliki larynx sehingga tidak dapat bersuara, namun ular dapat mengeluarkan bunyi mendesis. Terdapat organ internal yang berpasangan dan tersusun bersebelahan secara memanjang. Paru-paru berjumlah sepasang, namun hanya satu yang berkembang. Paru-paru kiri berukuran sangat kecil sedangkan paru-paru kanan berkembang dengan bentuk memanjang dan digunakan untuk pernapasan yang efektif Goin et al., 1978. Ular memiliki ruas tulang belakang lentur yang terdiri dari sekitar 400 vertebra. Setiap vertebra memiliki sepasang tulang rusuk, kecuali vertebra ekor. Bagian bawah tulang rusuk ular tidak menyambung sehingga dapat meregang ketika ular menelan mangsa yang besar Setford, 2005. Ular dapat digolongkan berdasarkan tipe taring bisa yang dimilikinya. Ada empat tipe taring bisa ular, yaitu Aglypha, Ophistoglypha, Proteroglypha, dan Solenoglypha Suhono, 1986; Zug, 1993; Supriatna, 1995; Shine, 1999; Setford, 2005. 1. Aglypha Merupakan jenis ular yang tidak memiliki taring bisa. Ular dengan tipe taring bisa ini tidak berbahaya jika menggigit. Namun beberapa jenis ular dengan tipe seperti ini memiliki ukuran tubuh yang sangat besar. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Python sp., Elaphe sp., dan Morelia sp. 2. Ophistoglypha Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian belakang rahang atas. Bisa yang yang terdapat pada jenis ular ini tergolong bisa menengah dan tidak berbahaya bagi manusia. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Ahaetulla sp., Boiga sp., dan Enhydris sp. 3. Proteroglypha Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa pada bagian depan rahang atas. Ular dengan tipe taring bisa ini termasuk ular yang sangat berbahaya. Bisa yang terkandung umumnya berjenis neurotoxin yang menyerang pusat syaraf pernafasan. Jika tidak segera dilakukan penanganan lebih lanjut setelah digigit ular ini, maka akan mengakibatkan kematian pada korban yang digigit. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Naja sp., Bungarus sp., Laticauda sp., dan Ophiophagus hannah . 4. Solenoglypha Merupakan jenis ular yang memiliki taring bisa berbentuk melengkung yang panjang pada bagian depan rahang atas dan dapat dilipat ke dalam sejajar dengan rahang. Ular ini termasuk jenis ular yang sangat berbahaya. Gigitannya dapat mengakibatkan kematian, seperti pada ular dengan tipe taring proteroglypha. Bisa yang terkandung berjenis haemotoxin yang menyerang jaringan darah. Umumnya kelompok ular dengan tipe taring seperti ini memiliki kepala berbentuk segitiga. Ular yang termasuk tipe ini, antara lain Trimeresurus sp., Calloselasma rhodostoma, dan Daboia rusellii.

2.1.2 Habitat dan Penyebaran

Menurut Odum 1971, habitat merupakan tempat suatu individu hidup, sedangkan menurut Alikodra 2002 habitat merupakan suatu kesatuan fisik maupun biotik yang digunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwaliar. Ular termasuk kedalam salah satu jenis herpetofauna yang memiliki habitat dan penyebaran sangat luas. Ular dapat ditemukan di seluruh dunia, kecuali di daerah kutub. Secara garis besar, ular dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok, antara lain ular terrestrial yang hidup di tanahdaratan, ular akuatik dan semi akuatik yang hidup di daerah perairan, ular fossorial yang hidup di dalam tanah, dan ular arboreal yang hidup di atas pohon Goin et al., 1978; Mattison, 1992; Halliday dan Adler, 2000. Umumnya ular dapat ditemukan pada daerah yang memiliki suhu, kelembaban, serta cahaya matahari yang stabil Mattison, 1992; Putegnat, 2006. Ular jarang ditemukan pada tempat-tempat yang dingin dan memiliki temperatur yang ekstrim, namun jenis Agkistrodon himalayanus pernah ditemukan pada ketinggian 4900 m dpl di daerah pegunungan yang merupakan habitat yang tidak ideal bagi ular dari jenis lain Mattison, 1992. Menurut Matthews et al. 2002, faktor penting lainnya yang mempengaruhi penyebaran ular pada suatu habitat adalah ketersediaan satwa amfibi sebagai mangsanya. Selain itu, ketinggian tempat juga mempengaruhi penyebaran ular, terutama dalam hal keanekaragaman jenis dan kelimpahannya Hofer et al., 2000; Endarwin, 2006 Penyebaran beberapa jenis ular akuatik umumnya dipengaruhi oleh adanya asosiasi yang sangat erat dengan habitatnya. Beberapa jenis ular laut berasosiasi sangat erat dengan habitat perairan dasar laut. Adapula yang berasosiasi dengan terumbu karang, seperti Aipysurus laevis dan Emydocephalus annulatus. Jenis lainnya hidup berasosiasi dengan habitat estuarin Lukoschek et al., 2007.

2.2 Penelitian Mengenai Ular yang Telah Dilakukan

Pada umumnya herpetofauna Indonesia termasuk ular tidak banyak dikenal, baik dari segi taksonomi, ciri-ciri biologi maupun ciri-ciri ekologinya. Daerah penyebaran suatu jenis sangat sedikit diketahui. Hal ini disebabkan karena lambatnya penelitian tentang herpetofauna di Indonesia, terutama ular, dibandingkan dengan negara lain Iskandar dan Erdelen, 2006. Beberapa laporan yang mengungkapkan hasil penelitian maupun kompilasi deskripsi jenis mengenai ular yang dilakukan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, antara lain dilakukan oleh Boeadi et al. 1998, Cox et al. 1998, Erdelen 1998, Sugardjito et al. 1998, Shine et al. 1999a, Shine et al. 1999b, Stuebing dan Inger 1999, Harvey et al. 2000, Iskandar dan Colijn 2001, Nugroho 2003, de Lang dan Vogel 2005 serta Husna 2006. Khusus untuk Pulau Kalimantan, penelitian mengenai ular yang telah di lakukan masih terbatas. Data ular yang tersedia saat ini sebagian besar merupakan hasil dari kompilasi deskripsi jenis yang berupa buku panduan lapangan maupun laporan umum, seperti Stuebing dan Inger 1999, Iskandar 2004, Meijaard et al. 2005, dan lainnya. Terbatasnya penelitian mengenai ular di Kalimantan menyebabkan sedikitnya pengetahuan masyarakat mengenai jenis-jenis ular yang terdapat di kawasan tersebut. Selama ini, jenis ular yang telah banyak diketahui oleh masyarakat adalah jenis Python reticulatus yang oleh sebagian masyarakat telah dimanfaatkan untuk diambil kulitnya atau untuk dikonsumsi Stuebing dan Inger, 1999. Kalimantan sebagai pulau terluas di Asia Tenggara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi Sheil dan Meijaard, 2005, berpotensi menjadi tempat ditemukannya jenis ular baru apabila dilakukan penelitian yang intensif. Beberapa publikasi ilmiah yang mengungkapkan penemuan jenis ular baru atau penemuan kembali jenis ular yang selama ini diduga sudah tidak terdapat lagi di Kaimantan, antara lain Stuebing 1994, Stuebing dan Inger 1998, Auliya 2002 serta Murphy et al. 2005.

2.3 Penginderaan Jauh