Morfologi sel T47D hasil uji sitotoksik

34 diamati karena sel uji yang tersisa tidak terlihat lagi. Perubahan morfologi sel uji akibat perlakuan dengan ekstrak W-36-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm Gambar 7 Sel uji T47D tanpa perlakuan ekstrak kasar sel normal T47D ditunjukkan dalam lingkaran merah. juga terlihat Gambar 9, bahkan pada konsentrasi 60 ppm hampir tidak terlihat lagi sel ujinya. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin berkurang jumlah selnya yang terlihat. Ekstrak dari sampel spons terlihat menyebabkan berkurangnya jumlah sel uji dibandingkan kontrol sel Gambar 7 dan terjadinya kerusakan pada membran plasma sel shrunk, burst, grainy dan selain itu juga pada pengamatan terlihat adanya perubahan bentuk sel round, ballooned. Secara visual, dapat dikatakan bahwa ekstrak kasar kedua spons aktif karena mematikan hampir sebagian besar sel T47D pada konsentrasi diatas 60 ppm namun hasil perhitungan persentase kematian menunjukkan persentase kematian ekstrak kasar pada konsentrasi tersebut tidak melebihi 50 Gambar 6. Hal ini disebabkan persentase kematian dihitung berdasarkan hasil pengukuran absorbansi intensitas warna biru formazan yang terbentuk saat sel T47D bereaksi dengan ekstrak dan diberi pereaksi MTT Gambar 10 dan Gambar 11. Fenomena yang terjadi memperlihatkan masih ada sel T47D yang hidup pada konsentrasi ekstrak 120 ppm dan dapat dikatakan bahwa ekstrak kasar kedua spons memiliki sifat sitostatik yang berarti ekstrak berfungsi menghambat pertumbuhan sel T47D dan tidak mematikan sel tersebut atau sitotoksik. Kontrol sel 35 Gambar 8 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-19-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm morfologi sel uji T47D yang berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah. Gambar 9 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-36-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm morfologi sel uji T47D yang berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah. Morfologi sel T47D setelah perlakuan dengan ekstrak W-19-08 dan W-36- 08 dan diberi pereaksi MTT masing-masing terlihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Pada Gambar 10 dan Gambar 11 pembentukan kompleks biru formazan berupa garis-garis hitam berbentuk jarum yang mengelilingi sel uji masih tampak terlihat jelas masing-masing pada konsentrasi ekstrak 30 ppm dan merupakan hasil reaksi antara sel uji yang masih hidup dengan pereaksi MTT. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi reduksi seluler yang didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium MTT yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna biru keunguan. Enzim suksinat dehidrogenase pada mitokondria sel T47D hidup 30 ppm W-19-08 60 ppm W-19-08 30 ppm W-36-08 60 ppm W-36-08 36 mampu memecah MTT menjadi kristal formazan Zachary 2003. Jumlah formazan yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel yang hidup. Semakin banyak sel yang mati, semakin sedikit kristal formazan yang terbentuk. Gambar 10 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi MTT pada perlakuan ekstrak W-19-08 konsentrasi 30 ppm ditunjukkan dalam lingkaran merah. Gambar 11 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi MTT pada perlakuan ekstrak W-36-08 konsentrasi 30 ppm ditunjukkan dalam lingkaran merah.

4.4 Kajian bioprospeksi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

Tabel 2 memperlihatkan bahwa rendemen ekstrak kasar sampel W-19-08 dan W-36-08 sangat kecil yaitu dibawah 10. Berdasarkan Gambar 1 penyiapan ekstrak kasar merupakan tahap awal dalam bioprospeksi. Namun karena persentase kematian sel uji pada konsentrasi ekstrak 30 ppm tidak mencapai 50 30 ppm W-19-08 30 ppm W-36-08 37 maka ekstrak ini dianggap tidak aktif dan proses analisis fraksinasi tidak dilanjutkan. Hasil rendemen yang diperoleh memberikan gambaran bahwa konsentrasi metabolit sekunder yang terkandung dalam spons sangat kecil. Jika tahapan analisis terus dilakukan hingga memperoleh senyawa murni dengan bioaktivitas yang sangat potensial atau disebut sebagai senyawa aktif, maka dimungkinkan akan diperoleh senyawa murni dengan kuantitas yang sangat kecil. Pada tahapan pengembangan akan dibutuhkan lebih banyak lagi senyawa murni tersebut untuk memasuki tahapan uji pra-klinis dan klinis dan hal ini berarti dibutuhkan lebih banyak spons untuk diekstrak senyawa aktifnya. Pengambilan sebanyak-banyaknya biota laut dari habitatnya tentu saja akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem dalam suatu wilayah ekosistem. Dalam tinjauannya, Proksch et al. 2002 mengungkapkan konsentrasi senyawa aktif yang dihasilkan avertebrata laut sangat kecil, bahkan terhitung lebih kecil dari 10 -6 per berat basah. Sebagai contoh, untuk memperoleh sekitar 1 gram metabolit sekunder potensial ET-743 diperlukan hampir 1 ton berat basah tunikata Ecteinascidia turbinata untuk dipanen dan diekstrak Mendola 2000. Sedangkan pada tahun 1992, kerjasama antara University of Canterbury sebagai penemu halinchondrin B dalam spons Lissodendoryx sp. dengan konsentrasi 1 mgkg berat basah biomassa, Selandia Baru dan National Institute for Water and Atmospheric Research NIWA berhasil meyakinkan National Cancer Institute NCI Amerika Serikat dan pemerintah Selandia Baru untuk membiayai dan menyetujui program isolasi halichondrin B dan pemulihan spons Lissodendoryx sp. dalam skala besar yaitu dengan melakukan pengambilan spons tersebut secara besar-besaran 1 ton biomassa dari Semenanjung Kaikoura pada kedalaman 100 m menggunakan alat tangkap trawl. Program ini berhasil memperoleh 300 mg halichondrin B dari 1 ton berat basah biomassa. Selain itu, mereka juga berhasil mengadakan percobaan budidaya laut spons Lissodendoryx sp. di kedalaman 10 m dan ternyata mengandung metabolit sekunder yang sama Munro et al. 1999, Newman Cragg 2004. Pada saat yang sama, kerjasama antara Harvard University dan perusahaan farmasi Jepang, Eisai berhasil memperoleh senyawa halichondrin B melalui sintesis kimiawi yang diberi kode