Pergeseran nilai tradisional Suku Bajo dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut Taman Nasional Wakatobi

(1)

PERGESERAN NILAI TRADISIONAL SUKU BAJO DALAM

PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT

TAMAN NASIONAL WAKATOBI

SURATMAN BAHARUDIN

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

PERGESERAN NILAI TRADISIONAL SUKU BAJO DALAM

PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA LAUT

TAMAN NASIONAL WAKATOBI

SURATMAN BAHARUDIN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(3)

RINGKASAN

SURATMAN BAHARUDIN. Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi. Di bawah bimbingan RINEKSO SOEKMADI dan ARZYANA SUNKAR.

Taman Nasional Wakatobi berada pada kawasan segi tiga karang dunia

(coral triangle) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia. Sehingga laut Wakatobi merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat suku pelaut seperti Bajo, suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Suku Bajo sangat tergantung pada laut, mulai dari mata pencaharian sampai membangun pemukiman yang berada di atas pesisir laut dengan memanfaatkan batu karang. Mereka sangat menghargai laut, karena diyakini sebagai tempat nenek moyang mereka yang dipercaya sebagai penguasa laut. Namun saat ini, tempat tinggal Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan tidak lagi berada di atas laut, bahkan kehidupan mereka tidak mencerminkan budaya hidup yang selalu menghargai laut. Telah terjadi pemanfaatan sumberdaya laut pada lokasi-lokasi yang sebenarnya merupakan lokasi perlindungan sumberdaya laut. Penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis pergeseran nilai-nilai tradisional pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam kawasan.

Subyek penelitian adalah komunitas Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, yang difokuskan pada dua desa, yaitu Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Waktu penelitian adalah dua bulan, yaitu pertengahan bulan Juni sampai pertengahan bulan Agustus 2010. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan, tape recorder, panduan wawancara, camera digital, buku catatan harian, kalkulator, penggaris dan peralatan tulis lainnya. Pengumpulan data dilakukan menggunakan tiga metode yaitu wawancara, observasi dan studi pustaka. Hasil observasi dan wawancara menemukan bahwa perkampungan Suku Bajo telah menyatu dengan daratan, bahkan sebagian besar rumah masyarakat di bangun di atas tanah hasil reklamasi dengan menggunakan terumbu karang. Pola pemanfaatan sumberdaya laut yang ditunjukkan tidak lagi mencerminkan budaya hidup mereka, telah terjadi eksploitasi sumberdaya laut dan pemanfaatan sumberdaya yang dilindungi. Terdapat tiga lokasi perlindungan sumberdaya laut dengan pola pemanfaatan dengan sistem buka tutup kawasan dan meminta ijin pada penguasa laut. Namun saat ini upacara buka tutup kawasan tidak berlaku lagi, bahkan terjadi pemanfaatan pada lokasi-lokasi perlindungan tanpa melakukan upacara membuka laut.

Lunturnya nilai-nilai tradisional sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Ditemukan penduduk Suku Bajodi dominasi usia 0-24 tahun (51.89%), pada Suku Bajo yang berati laju pertumbuhan penduduk kedepannya akan tergolong tinggi. Selain itu keberadaan tengkulak ikan yang menawarkan keuntungan besar tanpa memperhatikan konsep keberlanjutan menyebabkan masyarakat melakukan pemanfaatan yang bersifat eksploitatif.

Perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo telah mengalami pergeseran yang diindikasikan dengan tidak berlakunya lagi sistim buka tutup kawasan dan pemanfaatan dilakukan tanpa melakukan upacara membuka laut,


(4)

serta pembangunan perumahan yang menggunakan karang sebagai fondasi dasar rumah permanen. Perilaku pemanfaatan yang bersifat eksploitatif dan hilangnya pola perlindungan sumberdaya laut oleh Suku Bajodipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya, bentuk pemukiman permanen dianggap lebih nyaman, banyaknya jumlah penduduk dan permintaan pasar akan jenis-jenis yang dilindungi relatif tinggi


(5)

SUMMARY

SURATMAN BAHARUDIN. Shifts in Traditional Values of Bajo Ethnic Group in Marine Resources Protection and Utilization of Wakatobi National Park. Under the Supervision of RINEKSO SOEKMADI and ARZYANA SUNKAR

Wakatobi National Park is situated geographically at the world’s coral reef triangle centre which has the highest diversity of coral reefs and other marine biodiversity on earth. These has made Wakatobi Sea as the source of livelihood for the Bajo people, a well known sailor ethnic group in Indonesia which has developed a marine culture for centuries. People of Bajo were highly dependent upon sea, as means of livelihood and settlements. They believed that sea is their ancestor’s home, the ruler of the sea. Nevertheless, currently, Bajo’s settlement in Wakatobi National Park in the Sub-District of South Wangi- wangi is experiencing a shift with regard to their housings, which were built on the mainland, not above water. Furthermore, their way of living did not reflect a cultural life that appreciates the sea, where marine resources utilizations were conducted in places which were actually preservation areas. This research was conducted to analyze the shifts in traditional values of utilization and protection of marine resources by Bajo ethnic group in Wakatobi National Park.

The subject of this research was the Bajo people inhabiting Wangi-Wangi Island, focusing on two villages, North Mola and Mola Nelayan Bakti Villages, of South Wangi- wangi Sub-district, in the province of Southeast Sulawesi. The research was conducted in June through to August 2010. Equipments and materials used in this research include map of the area, tape recorder, interview guides, digital camera, diary, calculator, ruler and other stationary. Data were collected using triangulation method, which is the use of three methods including interview, observation, and literature study as means of cross referencing.

Results of the observations and interviews indicated that the Bajo’s settlements have been united with the mainland, where the majority of the housings were built on reclamation land using coral reefs. The patterns of such resource utilization were no longer reflected their cultural life, in such that protected marine resources were also being exploited, as well as utilization practices which did not considered traditional ceremony prior to resource utilization.

Much of the erosion of the Bajo’s traditional values was influenced by social and economical conditions. Bajo people of aged 0-24 years dominated the area with 51.89%, implying that future population growth rate would be quite high. In addition, the presence of fish middlemen that offered great benefits without considering the concept of sustainability, have caused over-exploitation of marine resources in Wakatobi National Park.

Protection and utilization of marine resources by the Bajo people has experienced a shift, indicated by the lost of traditional ceremonies with regard to resource utilization, as well as residential development involving the use of coral reefs as the basic foundation of a permanent house. Utilization behavior that is exploitative and the lost of marine resource protection activities by the Bajo people were influenced by several factors, including, the beliefs that permanent housings


(6)

were more convenient and have higher social status as well as the large number of population and the relatively high market demands for corals, sands and protected species .

Keywords: People of Bajo Communities, Traditional Values, Wakatobi National Park.


(7)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul“Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Januari 2011

Suratman Baharudin


(8)

Judul Skripsi : Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional Wakatobi Nama : Suratman Baharudin

NIM : E34060360

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M. Sc.F Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M. Sc NIP. 196406221988031002 NIP. 197102151995122001

Mengetahui, Ketua Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 195809151984031003


(9)

RIWAYAT HIDUP

Suratman Baharudin dilahirkan di Desa Gela, Kecamatan Taliabu Utara, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara tanggal 16 Juli 1987. Penulis merupakan putra ke-2 dari tiga bersaudara pasangan Bapak Baharudin dan Ibu Masiana. Pendidikan formal ditempuh di SDN II Kecamatan Taliabu Barat, SMP PGRI Gela Mintun dan SMA Negeri 1 Taliabu Barat. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) perwakilan Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa “Volly Ball” (UKM Volly). Penulis juga tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan menjabat sebagai ketua Divisi Adventure Kelompok Pemerhati Goa periode 2008-2009.

Pada tahun 2008 penulis tergabung dalam tim Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat. Tahun 2008 penulis melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di CA Kamojang, TWA Kawah Kamojang dan CA Leuweung Sancang. Tahun 2009 penulis menjadi ketua tim Eksplorasi Fauna Flora dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Selanjutnya tahun 2009 penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan KPH Cianjur. Tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pergeseran Nilai Tradisional Suku

Bajo dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman

Nasional Wakatobi” di bawah bimbingan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F dan


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam, karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini dapat diselesaikan. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

1. Orang tua, kakak dan segenap keluarga atas segala doa, motivasi dan dukungannya yang tiada henti hingga studi ini dapat terselesaikan.

2. Keluarga Ir. Syaifuddin Mohalisi dan Amita Nucifera Nida Silmi, S.Pi selaku orang tua wali selama di Bogor, atas dukungan moril maupun materi hingga studi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F selaku pembimbing pertama dan ibu Dr. Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc selaku pembimbing kedua atas kesabaran dan keikhlasan dalam meberikan ilmu, bimbingan dan nasehat kepada penulis.

4. Bapak Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F.Trop dosen penguji perwakilan Departemen Manajemen Hutan, ibu Arinana, S.Hut, M. Si dosen penguji perwakilan Departemen Hasil Hutan dan bapak Ir. Andi Sukendro, M. Si dosen penguji perwakilan Departemen Silvikultur, atas saran dan kritakannya.

5. Seluruh staf pengajar Fakultas Kehutanan IPB yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan

6. Kepala Balai Taman Nasional Wakatobi Bpk Wahju Rudianto, S.Pi yang telah memberikan izin tempat penelitian, serta kepada seluruh staf Balai TNW yang sudah banyak membantu demi kelancaran penelitian ini.

7. Rekan-rekan mahasiswa “CENDRAWASIH 43” dan keluarga besar Himakova khususnya keluarga besar KPG “HIRA” atas kebersamaan kita selama ini.

8. Semua pihak yang telah membantu demi kelancaran penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, penguasa seluruh alam, karena berkat izin-Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul “Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo

dalam Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut Taman Nasional

Wakatobi” ini diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana

Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Selama penyusunan skripsi ini, tidak dapat dipungkiri banyak sekali hambatan yang dihadapi. Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak yang berkepentingan dengan karya ini. Akhirnya dengan kemampuan yang terbatas dan segala kekurangan, penulis masih memiliki harapan semoga karya kecil ini bermanfaat bagi penulis, pembaca serta dunia pendidikan yang tak pernah lekang ditelan waktu.

Bogor, Januari 2011 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ... 6

2.2 Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam ... 7

2.3 Interaksi Masyarakat Dengan Kawasan Taman Nasional ... 9

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah ... 12

BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN 3.1 Letak, Luas dan Batas Administrasi ... 13

3.2 Sejarah Kawasan ... 14

3.3 Kondisi Fisik... 14

3.4 Kondisi Biologi... 15

3.5 Sosial Budaya Masyarakat ... 17

3.5.1 Masyarakat Adat ... 17

3.5.2 Masyarakat Pendatang ... 18

3.6 Potensi Wisata ... 19

3.7 Aksesibilitas ... 20

BAB IV METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 21

4.2 Alat dan Bahan ... 22


(13)

4.4 Pengumpulan Data ... 23

4.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan ... 26

5.2 Karakteristik Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan... 30

5.2.1 Kondisi Penduduk ... 30

5.2.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat ... 34

5.2.3 Pekerjaan dan Pendapatan Masyarakat ... 35

5.3 Perkampungan Masyarakat ... 37

5.3.2 Lokasi Perkampungan ... 37

5.3.2 Bentuk Perumahan ... 38

5.3.3 Bentuk Perkampungan ... 40

5.4 Lokasi Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut ... 42

5.4.1 Pengelolaan Zonasi Taman Nasional Wakatobi ... 42

5.4.2 Lokasi Perlindungan Sumberdaya Laut Suku Bajo ... 43

5.4.3 Lokasi Pemanfaatan Sumberdaya Laut Suku Bajo... 45

5.5 Pola Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut... 46

5.5.1 Pola Perlindungan Sumberdaya Laut ... 46

5.5.2 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut ... 48

5.6 Kebutuhan Terumbu Karang dan Implikasinya ... 61

5.6.1 Kerusakan Terumbu Karang Akibat Perkampungan ... 61

5.6.2 Implikasi Kerusakan Terumbu ... 60

5.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pergeseran Nilai Tradisional Suku Bajo ... 63

5.7.1 Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya ... 63

5.7.2 Pemerintah Daerah ... 65

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 67

6.2 Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(14)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Peta Kawasan Taman Nasional Wakatobi ... 13

2. Peta lokasi penelitian... 22

3. Diagram daerah asal Suku Bajo Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti ... 30

4. Penduduk komunitas masyarakat Kecamatan Wangi-wangi Selatan ... 31

5. Perkampungan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan ... 38

6. Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Utara ... 39

7. Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Nelayan Bakti ... 39

8. Pola bentuk perumahan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan ... 41

9. Peta lokasi pemanfaatan sumberdaya alam Taman Nasional Wakatobi ... 43

10. Lokasi perlindungan sumberdaya laut Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan ... 44

11. Lokasi pemanfaatan sumberdaya laut Suku BajoKecamatan Wangi-wangi Selatan ... 45

12. Ikan kerapu salah satu jenis ikan karang hidup target pemanfaatan ... 49

13. Ikan tuna gelondongan ... 50

14. Kegiatan pemanenan rumput laut... 51

15. Daging kima basah di salah satu pasar tradisional ... 52

16. Posisi kima yang melekat pada terumbu karang. ... 52

17. Penyu yang dipelihara pada kolam sekitar rumah masyarakat ... 53

18. Kegiatan pengangkutan karang ... 54

19. Kegiatan pengangkutan pasir ... 55

20. Bubu ikan dasar ... 56

21. Alat pancing tonda ... 57

22. Jaring sebagai salah satu alat tangkap masyarakat ... 58

23. Kegiatan nelayan menggunakan panah ... 58

24. Nelayan menyemprotkan bahan kimia di karang ... 60


(15)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010... 17

2. Rekapitulasi pengumpulan data ... 24

3. Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Wakatobi oleh Suku Bajo ... 29

4. Penduduk Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan Tahun 2010 ... 31

5. Kepadatan Penduduk Menurut Desa/Kelurahan Kecamatan Wangi- wangi Selatan Tahun 2008-2009 ... 32

6. Penduduk Desa Mola Utara dan Desa Nelayan Bakti Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010 ... 33

7. Pendidikan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti ... 34

8. Kalender Musim Pemanfaatan Sumberdaya Laut Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan ... 36

9. Pendapatan masyarakat berdasarkan jenis pemanfaatan sumberdaya laut ... 37


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Peta Zonasi Kawasan Taman Nasional Wakatobi ... 73 2. Rekap extra vonis kasus Taman Nasional Wakatobi Tahun

2003 s/d 2008 ... 74 2. Struktur Organisasi Balai TNW ... 80 3. Foto-foto hasil temuan di lapang... 81


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Wakatobi (TNW) merupakan kawasan konservasi perairan laut (Marine Conservation Area), yang tersusun dari empat pulau besar yakni Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko yang disingkat dengan nama Wakatobi (Balai TNW 2008). Letak Kepulauan Wakatobi berada pada kawasan segi tiga karang dunia (coral triangle) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati laut lainnya tertinggi di dunia (Supriatna 2008). Sehingga Kepulauan Wakatobi merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat suku pelaut yang salah satunya adalah Suku Bajo.

Sesuai dengan mata pencahariannya sebagai nelayan, Suku Bajo sangat mengenal dunianya. Mereka merupakan nelayan tradisional yang memiliki kearifan dalam pemanfaatan sumberdaya laut yang berada dilingkungannya, baik mengenai jenis-jenis sumberdaya laut, memanfaatkan dan melestarikannya (Nagib dan Purwaningsih 2002). Sayangnya saat ini terjadi pergeseran nilai pandang dalam pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam memenuhi kehidupan mereka. Meskipun Suku Bajo menganggap penting kelestarian sumberdaya laut seperti batu karang, hutan bakau dan jenis ikan tertentu, mereka juga memanfaatkannya dengan cara-cara eksploitatif. Kondisi ini semakin diperparah dengan kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan, seperti penggunaan bom, pembiusan, atau penggunaan bahan kimia (potasium cyanide) yang merupakan penyebab utama kerusakan terumbu karang yang terdapat di kawasan (Balai TNW 2007). Hilang atau bergesernya kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat salah satunya disebabkan oleh pandangan masyarakat bahwa alam tidak lagi bernilai sakral namun memiliki potensi yang dapat dieksploitasi demi memenuhi kehidupan mereka (Keraf 2002).

Taman Nasional Wakatobi merupakan salah satu kawasan taman nasional yang luas administrasif kawasannya sama persis dengan luas Kabupaten Wakatobi. Sehingga selain menjadi taman nasional, pengelolaan kawasan Wakatobi juga dikelola oleh pemerintah daerah dengan wilayah otonom yang sama dengan taman nasional. Oleh karena itu, pemerintah daerah dapat melakukan perubahan kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan


(18)

karakteristik ekologis, sosial dan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan oleh Balai TNW harus mendukung pembangunan daerah yang lebih mengutamakan peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar biasa baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Sehingga dalam perkembangannya sangat berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan antara Balai TNW dan pemerintah daerah.

Berdasarkan perspektif pengelolaan TNW, keanekaragaman hayati Kepulauan Wakatobi perlu dilestarikan. Hal ini dikarenakan Kepulauan Wakatobi berada di pusat segi tiga karang dunia, yang merupakan perwakilan ekosistem wilayah ekologi laut Banda-Flores. Namun masih rendahnya partisipasi masyarakat Suku Bajo dan masih berlangsungnya kegiatan destructive fishing seperti yang dilakukan oleh Suku Bajo, menjadi permasalahan dalam pelestarian TNW. Selain itu, sistem formal pengelolaan taman nasional yang membatasi pemanfaatan sumberdaya laut pada zona-zona tertentu, belum sepenuhnya diterapkan oleh Suku Bajo. Suku Bajo masih beranggapan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk mencari ikan dan mengeksploitasi sumberdaya lainnya.

1.2 Rumusan Masalah

Suku Bajo dikenal sangat menghargai laut, sebagaimana disampaikan oleh Saleh (2004) bahwa Suku Bajo memandang laut sebagai landasan dalam kehidupan sehari-hari. Laut bagi Suku Bajo memiliki arti sebagai sahe (sahabat), tabar (obat),

anudintha’ (makanan), lalang (sarana transportasi), pamunang ala’ baka raha’

(sumber kebaikan dan keburukan), patambanang (rumah/tempat tinggal) dan

patambanang umbo ma’dilao (tempat tinggal nenek moyang Orang Bajo). Filosofi hidup ini juga diterapkan oleh Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi yang menganggap laut sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka, sehingga bila musim melaut tiba dilakukan kegiatan ritual membuka laut. Ritual membuka laut merupakan upacara adat yang dilakukan untuk memohon ijin pada penguasa laut, yang oleh orang Bajo dikenal dengan nama umbo ma’dilao.

Sayangnya saat ini terjadi pergeseran nilai pandang dalam pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo. Saat ini sulit menyebut Suku Bajo di Mola sebagai


(19)

suku pelaut yang hidup secara tradisional di laut. Mereka sudah tinggal di daratan hasil reklamasi yang terjadi bertahun-tahun dengan menggunakan batu karang, bentuk rumah berdinding batu bata dan beratap seng. Bahkan hampir semua memiliki alat hiburan elektronik, seperti televisi dan pemutar kaset (Dewanto 2010).

Mulanya Suku Bajo hidup secara tradisional dengan rumah-rumah pancang di atas laut, yang beratap rumbia dan berdinding papan ataupun belahan bambu (Saad 2009). Pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo sudah tidak lagi mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian, sebagai contoh pengambilan batu karang untuk pondasi rumah, berpotensi merusak terumbu karang. Meskipun menurut pengakuan masyarakat pengambilan karang hanya yang sudah mati, namun penambangan yang dilakukan terus menerus berpotensi merusak ekosistem laut dan menimbulkan erosi pantai (Stanley 2005).

Selanjutnya Stanley (2005) dalam penelitiannya pada komunitas Bajo di Kepulauan Wakatobi menyimpulkan bahwa Suku Bajo sebenarnya mengetahui bahwa terumbu karang adalah tempat tinggal, bertelur dan tempat makan ikan, yang jika dirusak akan mengurangi jumlah ikan di daerah tersebut. Begitupula mereka mengetahui fungsi hutan bakau sebagai penahan antara laut dengan pantai. Namun ketergantungan terhadap sumberdaya laut yang tinggi serta kebutuhan ekonomi yang mendesak, mendorong Suku Bajo berperilaku eksploitatif, sebuah perilaku yang tidak mencerminkan pandangan hidup mereka terhadap sumberdaya laut Wakatobi.

Keraf (2002) menyatakan ada tiga aspek penting yang menentukan keberlanjutan ekologi, yaitu aspek ekonomi, aspek sosoial budaya dan aspek lingkungan hidup. Sehingga bila ketiga aspek itu bisa diintegrasikan secara baik, pradigma pembangunanpun tidak akan menjadi masalah. Sedangkan yang ditunjukan diberbagai daerah alasan ekonomi dan faktor sosial budaya yang umumnya menjadi penyebab terjadinya eksploitasi sumberdaya alam (Soemarwoto 1994). Meningkatnya kepadatan penduduk, kebutuhan ekonomi akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan sumberdaya alam.

Berdasarkan hasil Rapid Ecological Assesetment (REA) tahun 2003 yang dilakukan oleh Balai TNW, di perairan Wakatobi ditemukan sebanyak 30 daerah pemijahan ikan, namun hasil monitoring joint program TNC, WWF dan Balai TNW pada tahun 2007 hanya menemukan 4 lokasi pemijahan yang masih dalam kondisi


(20)

baik (Balai TNW 2008). Degradasi sumberdaya laut ini disinyalir sebagai akibat kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang merusak seperti pemboman, pembiusan dan penambangan karang. Di sisi lain, dalam perspektif TNW, keanekaragaman hayati perairan Wakatobi penting untuk dilestarikan karena merupakan sumber layanan ekologi pelestarian perwakilan ekosistem wilayah ekologi, laut Banda-Flores dan keberlangsungan sumber pangan masyarakat dalam kawasan.

Permasalahan lainnya, terdapat dua kepentingan dalam pengelolaan, yakni pemerintah daerah dan Balai TNW. Hal ini dikarenakan luas taman nasional sama persis dengan luas Kabupaten Wakatobi. Semangat pengelolaan taman nasional yang lebih membutuhkan dukungan finansial daripada menghasilkan keuntungan yang bersifat money oriented agaknya kontradiktif dengan semangat daerah yang lebih berorientasi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (Soekmadi 2000).

Beberapa hal menarik dapat dikaji dan dipelajari dari penjelasan di atas tentang pergeseran nilai tradisional Suku Bajo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Beberapa permasalahan yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

1. Dimana sebaran lokasi perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo di setiap zona TNW?

2. Bagaimana pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang diterapkan oleh Suku Bajo?

3. Faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi apa saja yang menyebabkan pergeseran pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan utama yaitu untuk menganalisis pergeseran nilai-nilai tradisional perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo dalam kawasan TNW. Untuk mencapai tujuan utama tersebut terdapat tujuan-tujuan khusus yang harus di capai yaitu :

1. Mengidentifikasi lokasi-lokasi perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo di setiap zona TNW.


(21)

2. Mendeskripsikan dan menganalisis pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo.

3. Mendeskripsikan faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi yang mempengaruhi pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya informasi mengenai pola-pola pemanfaatan sumberdaya laut Suku Bajo dalam pengelolaan sumberdaya alam laut di kawasan TNW, sehingga dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengelolaan kawasan oleh pihak taman nasional dan sebagai bahan pembinaan oleh pemerintah daerah.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taman Nasional Wakatobi

Taman nasional merupakan satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Hal ini telah dituangkan dalam Undang-undang Republik Indonesia No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budaya, pariwisata dan rekreasi.

Berdasarkan undang-undang tersebut, sangat jelas bahwa suatu kawasan yang menjadi taman nasional di kelola dengan mnggunakan zonasi. Zonasi kawasan taman nasional tidak dimaksudkan untuk memberikan gambaran di mana hutan, gunung, habitat, atau jenis-jenis tertentu ditemukan, tetapi pengelolaan harus dilakukan dengan intensitas pengelolaan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu dari pengelolaan taman nasional pada kendala ekologi yang ada. Secara lebih operasional dapat dikatakan bahwa zona-zona yang ada dalam taman nasional adalah unit-unit produksi yang akan menghasilkan satu paket manfaat yang berkaitan dengan tujuan pengelolaan taman nasional yang telah digariskan (Basuni 1987).

Taman Nasional Wakatobi (TNW) memiliki luas 1.390.000 ha yang di bagi kedalam beberapa zona dengan tujuan pengelolaan yang berbeda. Zona Inti (ZI) dengan luas 1.300 ha yang diperuntukan untuk perlindungan keanekaragaman hayati asli dan khas. Zona Perlindungan Bahari (ZPB) dengan luas 36.450 ha merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung ZI dan ZPL. Zona Pariwisata (ZPr) dengan luas 6.180 ha merupakan bagian taman nasional yang dimanfaatkan untuk pariwisata alam dan jasa lingkungan lainnya. Zona Pemanfaatan Lokal (ZPL) dengan luas 804.000 ha merupakan zona yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan secara tradisional oleh masyrakat sekitarnya atau hanya untuk masyarakat lokal. Zona Pemanfaatan Umum (ZPU) dengan luas 495.700 ha merupakan zona yang diperuntukan untuk perikanan laut dalam dan


(23)

dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara umum. Selain membentuk zonasi perairan laut, seluruh wilayah daratan dinyatakan sebagai Zona Khusus (ZK) dengan luas 46.370 ha (Balai TNW 2008).

Walaupun telah diberlakukan sistem pengelolaan dengan zonasi yang membatasi pemanfaatan pada daerah-daerah tertentu, masih banyak terjadi pemanfaatan pada zona larang ambil. Selain itu, sumberdaya laut mendapat tekanan yang sangat berat karena hampir semua penduduk Wakatobi bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut. Isu-isu seperti eksploitasi ikan dan penangkapan hewan dilindungi yang mengancam keberlangsungan sumberdaya tersebut sering terdengar. Selain itu, kurangnya kesadaran nelayan sebagai pihak yang dianggap paling banyak berinteraksi dengan pesisir dan laut terlihat pada aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berakibat merusak ekosistem misalnya metode penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan bius mempercepat laju kerusakan terumbu karang Wakatobi (Operation Wallacea 2006).

Selanjutnya Soekmadi (2000) menyatakan taman nasional merupakan satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap, yang meliputi fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal. Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya hutan produksi, pengelolaan sumberdaya alam di taman nasional lebih ditunjukan untuk kepentingan nir-laba (non profit), walaupun dimungkinkan untuk menggali potensi taman nasional guna menambah pendapatan pengelolaan juga pada para

stakeholders dalam ambang batas kapasitas sangga (carryng capasity) nya.

2.2 Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Nopandry (2007) menyatakan bahwa satu hal yang selalu muncul di benak masyarakat berkenaan dengan kawasan konservasi adalah bahwa keberadaan hutan tersebut tidak memberikan manfaatan bagi mereka. Larangan memasuki kawasan, mengambil sumberdaya pada daerah tertentu, penguasaan lahan yang sering disosialisasikan pemerintah, menimbulkan anggapan dikalangan masyarakat bahwa pemerintah lebih mengutamakan kehidupan liar daripada kesejahteraan mereka. Padahal banyak cara memanfaatkan keberadaan hutan konservasi secara lestari yang tanpa merubah fungsinyaatau mengganggu keberadaannya.


(24)

Masyarakat sebenarnya bagian yang tidak terpisahkan atau merupakan

stakeholder utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Suatu kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi tidak akan terlepas dari keberadaan masyarakat yang secara turun temurun menempati dari nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut. Komunitas masyarakat tersebut biasanya di kenal dengan masyarakat adat. Terdapat banyak pendepat mengenai identitas masyarakat adat di beberapa kalangan, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat adat adalah mereka yang secara turun-temurun menempati suatu wilayah tertentu dan masih memiliki kelembagaan adat yang jelas.

Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat (JAPHAMA) yang dirumuskan di Tana Toraja tahun 1993 menjelaskan masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, sosial, dan budaya sendiri (Basko 2002).

Selanjutnya Thompson (2003) menyatakan dalam konvensi ILO No.169 tahun 1986 menyimpulkan bahwa masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan, yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari komunitas tersebut. Mereka bertekad untuk memelihara, mengembangkan dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya, sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.

Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan social yang khas. Selanjutnya juga dijelaskan batasan msyarakat lokal atau asli adalah komunitas yang menempati suatu wilayah tertentu secara turn temurun dan memiliki seperangkat aturan yang tercipta dari interaksi sesama mereka. Sedangkan masyarakat pendatang adalah orang yang datang dan menempati wilayah asing yang bukan wilayah leluhurnya (Sirait at al. 2001).


(25)

Selanjutnya Keraf (2002) menyatakan bahwa setiap komunitas masyarakat adat memiliki kearifan lokal sebagai pengetahuan mereka dalam berhubungan dengan alam. Dalam penjelasannya kearifan lokal didefinisikan sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia didalam kehidupan dalam komunitas ekologis.

Selanjutnya di dalam kehidupannya setiap komunitas masyarakat memiliki tatanan nilai dan norma yang merupakan tuntunan berperilaku. Schwartz (1994) menyimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.

Penelitian Schwartz (1994) mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai (value type). Salah satu tipe nilai yang dijelaskan adalah nilai tradisional yang diartikan sebagai nilai yang menggambarkan simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama, yang sebagian besar diambil dari keyakinan dan norma bertingkah laku.

Sulitnya memberi batasan mengenai nilai tradisional, maka dalam penelitian ini yang dimaksud nilai tradisionala adalah segala bentuk tingkah laku atau kearifan lokal Suku Bajo yang didasarkan pada keyakinan mereka dalam pengelolaan sumberdaya laut.

2.3 Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Taman Nasional

Manusia dengan lingkungan hidupnya mewujudkan satu kesatuan dan memiliki interaksi yang sirkuler dan kompleks. Hasil interaksi tersebut sedikit banyak mengubah lingkungan, perubahan yang terjadipun akan berpengaruh pada unsur-unsur lainnya dan cepat atau lambat akan berpengaruh terhadap manusia (Soemarwoto 1994).

MacKinon (1982) menilai interaksi tersebut dapat diarahkan kepada suatu tingkatan integrasi di mana kebutuhan masyarakat akan sumberdaya dapat terpenuhi tanpa menganggu atau merusak potensi kawasan hutan lindung. Salah satu alternatif adalah membentuk daerah penyangga. Daerah penyangga dapat berupa kawasan


(26)

hutan fisik (misalnya hutan serba guna) ataupun berupa suatu penyangga sosial yang dapat mengalihkan perhatian masyarakat sehingga tidak merugikan hutan tersebut.

Pada umumnya suatu kawasan perlindungan seperti taman nasional dikelilingi ataupun berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk, lahan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kegiatan perindustrian atau kerajinan rakyat maupun sektor lainnya. Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya interaksi antara potensi sumberdaya alam yang ada dalam kawasan dengan masyarakat. Interaksi yang terjadi umumnya menguntungkan disatu pihak tetapi merugikan pihak lainnya (Alikodra 1987). Untuk mengatasi tekanan terhadap sumberdaya hutan sebenarnya yang diperlukan adalah suatu sistem terprogram pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat yang dapat memadukan potensi kearifan masyarakat lokal dengan potensi sumberdaya alam yang ada sehingga dapat terwujud pola-pola partisipatif pengelolaan sumberdaya alam (Nopandry 2007). Sehingga dapat dibuktikan bahwa kawasan konservasi benar-benar dapat memberikan manfaat tanpa harus dieksploitasi sumberdaya alamnya. Namun Setyadi (2006) menyatakan bahwa secara umum masyarakat menganggap kawasan taman nasional merupakan sumberdaya umum (common property) yang memiliki akses terbuka (open access).

Implikasi dari barang publik ini menimbulkan kerusakan yang dipicu oleh hadirnya banyak cukong yang menggerakkan masyarakat yang pada dasarnya tidak memiliki banyak pilihan.

Keraf (2002) menyatakan hal yang mempengaruhi hilangnya kearifan lokal yang di kenal seluruh dunia adalah:

1. Alam yang dipahami sebagai sakral oleh masyarakat adat dan menyimpan sejuta misteri yang sulit dijelaskan dengan akal budi, kehilangan sakralitas dan misterinya dalam terang ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

2. Alam tidak lagi bernilai sakral tetapi bernilai ekonomi yang sangat tinggi, ada harta melimpah dalam alam yang harus dieksploitasi demi mengubah kehidupan manusia.

3. Dominasi filsafat dari etika barat telah menguburkan dalam-dalam etika masyarakat adat. Dengan melihat manusia sebagai mahluk sosial dan dengan membatasi etika hanya berlaku bagi komunitas manusia, etika masyarakat adat telah dilupakan sama sekali oleh masyarakat modern.


(27)

4. Hilangnya hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk hidup dan bertahan sesuai dengan identitas dan keunikan tradisi budaya serta hak untuk menentukan diri sendiri.

Setyadi (2006) menyatakan akomodasi kepentingan masyarakat sering berakar pada konflik penguasaan lahan dan akses atas sumberdaya alam, karenanya kesepakatan penataan hak masyarakat harus diikuti secara tegas oleh penegakan fungsi taman nasional oleh negara, diikuti dengan pemberian intensif yang adil sebagai kompetensi atas hilangnya hak dan akses masyarakat akibat penetapan fungsi tersebut.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah

Konservasi dan pembangunan seharusnya berjalan harmonis, sehingga yang menjadi fokus adalah melaksanakan pembangunan yang ikut mendukung peningkatan kualitas lingkungan (Soemarwoto 1994). Secara konsepsional, antara Balai TNW dan Pemda Wakatobi menyadari hal tersebut, sehingga kesepakatan revisi zonasi dan revisi perencanaan jangka panjang TNW maupun RPJP Kabupaten Wakatobi meletakkan pembangunan daerah dan konservasi yang saling menunjang (Balai TNW 2008).

Masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek dalam pembangunan sehingga pembangunan seharusnya melibatkan masyarakat dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat juga. Kerusakan pada sumberdaya alam di wilayah pesisir antara lain terumbu karang, penurunan mangrove akibat perubahan penggunaan lahan, kenaikan jumlah nutrisi dan sedimentasi akibat ulah manusia sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan membangun infrastruktur (Dahuri 2003).

Tradisi pengambilan karang sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Bajo menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah, terutama pengelola TNW. Apalagi kegiatan pembangunan perumahan dengan cara yaang demikian sampai saat ini masih terus berjalan. Padahal menurut Dahuri et al.

(1996) ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sehingga kerusakan terumbu karang akan menimbulkan efek yang besar. Selanjutnya Mitchell at el (2000) menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masyarakat dan


(28)

pemerintah yang sengaja menghambat kelestarian lingkungan mereka, tapi dengan terus berlangsungnya masalah lingkungan yang disebabkan oleh dampak negatif kegiatan manusia merupakan tanda bahwa keberlanjutan masih diragukan.

Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan paralel dengan tekanan terhadap lingkungan, terutama di wilayah pesisir. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, karena ekosistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan (Dahuri et. al 1996).


(29)

BAB III

GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN

3.2 Letak, Luas dan Batas Administrasi

Taman Nasional Wakatobi (TNW) secara geografis terletak di antara 5°12' - 6°10' LS dan 123°20' -124°39' BT. Total luas wilayah daratan seluas ± 823 km² dan wilayah perairan laut diperkirakan seluas ± 18.377,31 km2 (Balai TNW 2008).

Sumber : Balai TNW (2008)

Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi.

Secara administratif, awalnya Kepulauan Wakatobi termasuk dalam Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004, terbentuk Kabupaten Wakatobi yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Batas-batas Kepulauan Wakatobi secara geografis adalah

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton, b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda,

c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan


(30)

3.2 Sejarah Kawasan

Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ±1.390.000 ha ditunjuk sebagai taman nasional berdasarkan SK Menhut No.393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002, yang terbagi menjadi 8 kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Taman Nasional Wakatobi (TNW) dikelola dengan sistem zonasi, yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No.198/Kpts/DJVI/1997 tanggal 31 Desember 1997, terdiri atas: zona inti, zona pelindung bahari, zona pariwisata, zona pemanfaatan lokal dan zona pemanfaatan umum. Namun karena proses penetapannya dianggap belum melalui tahapan proses konsultasi diberbagai tingkatan serta pembagian ruangnya belum sesuai dengan fungsi peruntukkan serta kebutuhan yang berkembang, maka penetapan zonasi lama banyak menimbulkan konflik dilapangan.

Pemberlakuan Undang Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.32 tahun 2004, telah meningkatkan kesadaran pemerintah daerah dan masyarakat untuk melakukan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Semangat penerapan undang-undang tersebut juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini dirasakan kurang memperhatikan kepentingan daerah dan masyarakat. Dalam perkembangannya, pada tahun 2003 melalui Undang-undang No.29 tahun 2003, Kabupaten Wakatobi dibentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Letak dan luas kabupaten baru ini sama persis dengan letak dan luas TNW.

3.6 Kondisi Fisik

Bentuk topografi daerah Kepulauan Wakatobi umumnya datar dan terdapat beberapa mikro atol seperti Karang Kapota, Karang Kaledupa dan Karang Tomia. Konfigurasi terumbu karang pada umumnya datar, kadang-kadang muncul di permukaan dengan beberapa daerah yang bertubir-tubir karang yang tajam. Perairan lautnya mempunyai konfigurasi perairan mulai dari datar hingga melandai ke arah laut, dan beberapa daerah perairan bertubir curam. Kedalaman airnya bervariasi,


(31)

dengan bagian terdalam terletak di sebelah Barat dan Timur Pulau Kaledupa yaitu sedalam 1.044 m.

Kepulauan Wakatobi terletak berdekatan dengan garis khatulistiwa, sehingga beriklim tropis. Kepulauan Wakatobi memiliki dua musim yaitu, musim kemarau (musim timur) pada bulan April – Agustus dan musim hujan (musim barat) pada bulan September – April. Suhu harian berkisar antara 19 – 34 C.

Kepulauan Wakatobi juga mengenal adanya musim angin barat berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret yang ditandai dengan sering terjadi hujan, sementara itu musim angin timur berlangsung bulan Juni sampai dengan September yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh, gelombang tenang dan jarang terjadi hujan. Peralihan musim yang biasa disebut musim pancaroba bulan Oktober-November dan bulan April-Mei. Kondisi gelombang laut tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Data sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di Kepulauan Wakatobi tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan September (2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat mencapai 229,5 mm.

3.4 Kondisi Biologi

Kepulauan Wakatobi termasuk dalam kawasan segi tiga karang dunia (coral triangle centre) yaitu wilayah yang memiliki keanekaragaman terumbu karang dan keanekaragaman hayati lainnya (termasuk ikan) tertinggi di dunia, yang meliputi Philipina, Indonesia sampai Kepulauan Solomon (Supriatna 2008). Sementara itu kekayaan sumberdaya laut TNW di kelompokkan menjadi 8 sumberdaya penting, yaitu terumbu karang, mangrove, padang lamun, tempat pemijahan ikan, tempat bertelur burung pantai, pantai peneluruan penyu dan cetacean.

Sampai saat ini di dalam ekosistem terumbu karang tercatat 396 jenis karang keras, 28 marga karang lunak dan 31 jenis karang jamur. Jenis terumbu karang di kepulauan ini terdiri dari terumbu karang cincin (atol reef), terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan karang gosong (patch reef). Berdasarkan hasil citra satelit, diketahui bahwa luas terumbu karang di Kepulauan Wakatobi adalah 88.161,69 ha. Adapun komponen utama yang menyusun terumbu karang di Kepulauan Wakatobi yaitu karang hidup (terdiri dari


(32)

hard coral dan soft coral) dan karang mati (dead coral), serta organism lain yang bersimbiosis dengan karang (Balai TNW 2008).

Letak Kepulauan Wakatobi yang berada di kawasan segitiga karang dunia menjadikan kawasan ini memiliki jenis ikan yang beragam. Berdasarkan indeks keragaman ikan karang menunjukkan ditemukan sekitar 942 spesies ikan karang di wilayah perairan Wakatobi (Balai TNW 2008). Peringkat ini menempatkan Wakatobi pada kategori keanekaragaman hayati sama dengan Teluk Milne di Papua Nugini dan di Komodo. Famili paling beragam spesiesnya adalah wrasse (Labridae),

damsel (Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon

(Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae),

squirrel (Holocentridae) dan angel (Pomacanthidae). Selain itu berdasarkan monitoring BTNW-WWF-TNC tahun 2006 tercatat 2 jenis penyu dijumpai di Kepulauan Wakatobi, yaitu penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau

(Chelonia mydas) (Balai TNW 2008). Tercatat 9 jenis lamun di Perairan Wakatobi diantaranya Enhalus acororides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Thalassodenron ciliatum, Halodule uninervis, Cymodocea serullata.

Selain ekosistem karang dan biota laut lainnya Kepulauan Wakatobi juga memiliki ekosistem non karang seperti mangrove. Tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis (Balai TNW 2008). Mangrove di P. Wangi-Wangi, Kaledupa dan Tomia kondisinya sudah mengalami kerusakan akibat tekanan masyarakat lokal.

Diantara berbagai keanekaragaman sumberdaya TNW, terdapat beberapa jenis satwa langka dan dilindungi oleh pemerintah. Beberapa spesies yang termasuk jenis langka dan terancam adalah penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), kepiting kenari (Birgus latro), kima (Tridacna sp.), lola (Trochus niloticus) dan cumi-cumi berbintik hitam. Sementara itu jenis burung laut yang terdapat di TN Wakatobi seperti angsa batu coklat (Sula leucogaster plotus), cerek melayu (Charadrius peronii), raja udang erasia (Alcedo anthis). Adapun dari family Cetaceans tercatat beberapa jenis yang


(33)

tergolong terancam punah seperti paus sperma (physeter macrocephalus), paus pemandu sirip pendek (Globicephala macrorhyncus), paus pembunuh (Orcinus orca), paus pembunuh kerdil (Feresa attenuata), lumba-lumba totol (Stenella attenuata), lumba-lumba gigi kasar (Steno bredenensis), lumba-lumba abu-abu (Grampus griseus), lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) dan paus kepala semangka (Peponocephala electra).

3.5 Sosial Budaya Masyarakat 3.5.1 Masyarakat adat

Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut survey penduduk antar sensus (SUPAS) pada tahun 2010 berjumlah 103.432jiwa (Tabel 1).

Tabel 1 Penduduk Kabupaten Wakatobi menurut kecamatan tahun 2010

No Kecamatan Jumlah Penduduk Persentase

1 Wangi-wangi 25.974 25.11%

2 Wangi-wangi Selatan 27.257 26.35%

3 Biningko 9.339 9.03%

4 Togo Binongko 5.289 5.11%

5 Tomia 7.687 7.43%

6 Tomia Timur 9.385 9.07%

7 Kaledupa 11.119 10.75%

8 Kaledupa Selatan 7.378 7.13%

Jumlah 103.432 100%

Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010

Masyarakat Wakatobi terdiri dari 9 (sembilan) masyarakat adat, yaitu masyarakat Adat Wanci, Mandati, Liya dan Kapota yang terdapat di Pulau Wangi-wangi dan Kapota; masyarakat Adat Kaledupa di P. Kaledupa; masyarakat Adat Waha, Tongano dan Timu di P. Tomia; serta masyarakat Adat Mbedabeda di P. Binongko.

Penduduk Wakatobi memiliki bahasa daerah dalam berkomunikasi. Masyarakat desa masih menggunakan bahasa daerah dengan fasih dan lancar sedangkan masyarakat di kota menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Bahasa daerah yang digunakan masyarakat Wakatobi merupakan rumpun bahasa suai yang pemakaiannya meliputi dialek Wanci, dialek Kaledupa, dialek Tomia dan dialek Binongko. Keempat dialek di Wakatobi disebut wilayah


(34)

bahasa atau region. Region di Wakatobi memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal penyebutan atau penamaan benda-benda tertentu. Di Wangi-wangi misalnya, terdapat area Wanci, Mandati, Liya, Kapota dan Mola, di Kaledupa terdapat area Ambeua dan Lenteea, di Tomia terdapat area Usuku, Kahiyanga dan Onemai, serta terdapat area Taipabuu dan Rukuwa di Binongko.

Penduduk Wakatobi sebagian besar beragama islam. Kepercayaan terhadap hal-hal mistik masih dipercaya dan dilakukan dalam kehidupan masyarakat Wakatobi. Masyarakat masih melakukan ritual doa-doa dan permintaan dilokasi tertentu yang dianggap mistis. Pelaksanaan ritual masyarakat dilakukan dengan membawa daun sirih, buah pala dan koin lama sebagai suatu syarat. Kehidupan damai dan saling menghargai antara sesama manusia merupakan penerapan dalam kehidupan bermasyarakat di Wakatobi.

3.5.2 Masyarakat Pendatang

Penduduk Wakatobi terdiri dari berbagai etnis, selain 9 (sembilan) masyarakat adat yang secara turun-temurun dari nenek moyang mereka telah menempati pulau ini, terdapat juga masyarakat pendatang. Terdapat 2 (dua) komunitas pendatang yaitu suku Bajo dan suku Cia-cia yang berasal dari etnis Buton (Balai TNW 2007). Suku Bajo merupakan komunitas masyarakat yang tinggal di pinggir-pinggir pantai, bahkan laut di sekitar Kepulauan Wakatobi dengan arsitektur bangunan rumah dan budaya yang khas. Terdapat beberapa perkampungan suku Bajo di Wakatobi diantaranya komunitas suku Bajo Mola di Pulau Wangi-wangi, suku Bajo Sama Bahari di perairan sekitar Pulau Kaledupa dan suku Bajo Lamanggau di perairan sekitar Pulau Tomia. Namun di antara semua komunitas suku Bajo tersebut komunitas suku Bajo Mola yang terbanyak.

Desa Mola merupakan desa pantai yang penduduknya mayoritas suku Bajo. Perkampungan suku Bajo di Mola saat ini terbagi dalam lima desa administratif dengan panjang garis pantai sekitar 32 km. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Mandati dan sebelah selatan dan timur berbatasan dengan kelurahan Mandati I, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Laut. Desa Mola merupakan salah satu desa dalam wilayah Kecamatan Wangi – wangi Selatan.


(35)

Desa Sama Bahari merupakan salah satu desa terapung di Kecamatan Kaledupa yang terletak di perairan dangkal laut Banda. Semula Desa Sama Bahari menjadi bagian dari Desa Laulua, dan sejak tahun 1997 terpisah menjadi desa tersendiri dengan luas wilayah sekitar 60 km2. Secara kasat mata Desa Sama Bahari merupakan perkampungan yang benar-benar berada di atas laut.

Desa Lamanggau berada di sentral wilayah Kecamatan Tomia. Desa ini adalah satu-satunya kampung di Kecamatan Tomia yang mayoritas penduduknya adalah Suku Bajo. Kampung ini berada di Pulau Onemobaa, sebuah pulau di antara sembilan pulau lainnya yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Tomia. Desa Lamanggau berada di ujung barat pulau ini, terpisahkan oleh selat kecil dengan Pulau Tomia, perairannya berbatasan dan masuk pada perairan Desa Waiti Timur dan Waiti Barat. Keunikan dari Desa Lamanggau ini disamping panorama rumah suku Bajo yang terapung di saat air laut pasang namun juga sangat dekat dengan area Wakatobi Dive Resort, resort berkelas internasional yang merupakan investasi asing..

Kehidupan suku Bajo berbeda dengan masyarakat lainnya di Wakatobi. Mereka menempati daerah pesisir pantai sampai perairan dangkal, dengan membentuk rumah-rumah panggung. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional. Di semua perkampungan suku Bajo, sebagian besar masyarakatnya adalah nelayan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan kegiatan kemaritiman.

3.6 Potensi Wisata

Kabupaten Wakatobi memiliki beberapa potensi obyek wisata alam, mulai panorama bawah laut (ekosistem terumbu karang dan biota laut), pantai pasir putih, goa dan peninggalan sejarah. Gugusan terumbu karang beserta beragam ikan karang merupakan atraksi bawah laut yang menarik untuk dinikmati. Kabupaten Wakatobi merupakan lokasi yang menarik dikunjungi terutama untuk kegiatan diving, snorkeling, wisata bahari, berenang, memancing, berkemah dan wisata budaya.


(36)

3.7 Aksesibilitas

Kabupaten Wakatobi mempunyai rute perjalanan dari berbagai daerah yang sering dikunjungi wisatawan. Bali, Jakarta dan Makassar via kendari adalah bandara internasional yang sering disinggahi para wisatawan, sehingga pemerintah Kabupaten Wakatobi dan pengusaha wisata membuat akses di bandara tersebut menuju Kabupaten Wakatobi.

Kegiatan perjalanan yang dilakukan untuk menuju Wakatobi akan melewati beberapa pulau di Sulawesi Tenggara. Apabila perjalanan diawali dari Kota Kendari maka akan melewati Pulau Raha dan Pulau Buton. Sedangkan perjalanan dari Jakarta baik melalui laut dan udara akan melewati Kota Surabaya dan Kota Makassar.


(37)

BAB IV

METODOLOGI

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Subyek penelitian adalah komunitas Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi, yang difokuskan pada dua desa, yaitu Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Walaupun di Wakatobi terdapat beberap komunitas Suku Bajo, diantaranya Bajo Sampela di Pulau Kaledupa dan Bajo Lamanggau di Pulau Tomia, namun penelitian ini difokuskan pada Suku Bajo Mola di Pulau Wangi-wangi. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi merupakan komunitas Suku Bajo yang telah mengalami pergeseran dan sangat berbeda dengan Suku Bajo lainnya. Hal yang paling mendasar terlihat dari perkampungan masyarakat yang telah menyatu dengan daratan dan sebagian besar tidak lagi berada di atas laut, berbeda dengan Suku Bajo di Pulau Kaledupa dan Tomia yang masih berada di atas laut.

Terdapat dua desa sampel dalam penelitian ini. Pemilihan desa sebagai sampel didasarkan pada tujuan utama yaitu untuk melihat pergeseran nilai tradisional masyarakat di dua desa, Desa Mola Utara yang merupakan desa pertama di Mola dan telah menyatu dengan daratan Pulau Wangi-wangi. Sedangkan Desa Nelayan Bakti merupakan desa baru yang berada pada pesisir terluar, yang sebagian rumah masyarakat masih berbentuk rumah panggung di atas laut. Sedangkan penelitian ini berlangsung selama dua bulan, yaitu pertengahan bulan Juni- pertengahan bulan Agustus 2010.


(38)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

4.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta kawasan,

tape recorder, panduan wawancara, kamera, buku catatan harian, kalkulator, penggaris dan peralatan tulis lainnya.

4.3 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan atau merupakan data pokok yang harus didapatkan. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi pustaka, atau merupakan data penunjang. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

1. Karakteristik perkampungan masyarakat

2. Kondisi sosial ekonomi Suku Bajo terkait pemanfaatan sumberdaya laut 3. Budaya Suku Bajo dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya

laut

4. Pola pemanfaatan sumberdaya laut 5. Peraturan pengelolaan BTNW


(39)

4.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui tiga metode yaitu wawancara, observasi dan studi pustaka. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data mengenai karakteristik perkampungan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, budaya masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pola pemanfaatan sumberdaya laut. Untuk mendapatkan informasi tersebut, dilakukan wawancara dengan informan dan responden dari masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti. Informan dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh masyaraksat suku Bajo di Mola, tokoh Adat Mandati, tokoh Adat Liya dan pengelola TNW. Tokoh-tokoh masyarakat merupakan informan yang memberikan informasi mengenai budaya masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya laut, sejarah perkampungan, tradisi penggunaan alat tangkap dan kearifan tradisional masyarakat. Pengelola TNW merupakan informan yang memberikan informasi mengenai peraturan pengelolaan taman nasional terkait keberadaan Suku Bajo. Wawancara dengan informan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam (indepth interview)

atau tanya jawab secara langsung kepada informan. Sedangkan informasi mengenai keberadaan Suku Bajo saat ini di peroleh dengan melakukan wawancara pada responden penelitian.

Responden dalam penelitian adalah kepala rumah tangga dari masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti dengan ukuran contoh 10% dari jumlah kepala keluarga. Pemilihan responden atau contoh dilakukan secara purposive, yaitu penentuan responden berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Pertimbangan didasarkan pada pertimbangan bahwa kepala rumah tangga mengetahui seluk-beluk kehidupan keluarganya dan lingkungan tempat tinggalnya. Teknik wawancara pada informan maupun responden dilakukan dengan menggunakan wawancara secara terstruktur, yaitu suatu bentuk wawancara yang dilakukan dengan mempersiapkan terlebih dahulu bahan yang akan diajukan dalam kegiatan wawancara (Idrus 2009).

Observasi lapang dilakukan untuk melihat secara langsung objek yang diteliti baik kondisi fisik maupun kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Teknik pengamatan (observasi lapang) yang dilakukan adalah pengamatan yang hanya melakukan satu fungsi, yaitu mengadakan pengamatan tanpa menjadi anggota resmi dari kelompok


(40)

yang diamati (Idrus 2009). Pengamatan yang dilakukan bertujuan untuk mengamati secara langsung lokasi-lokasi penelitian sehingga dapat mendeskripsikan kondisi yang sebenarnya. Selain itu bertujuan untuk mengambil gambar/foto kondisi dilapangan yang terjadi pada saat ini. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan Suku Bajo yang sebenarnya. Secara keseluruhan rekapitulasi pengumpulan data disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi pengumpulan data

Jenis Data Parameter Cara Pengumpulan Sumber Data

Karakteristik perkampungan masyarakat Lokasi perkampungan Kondisi perkampungan Bentuk perumahan Wawancara dengan informan, wawancara dengan responden dan observasi lapang

Tokoh masyarakat, Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti

Kondisi sosial ekonomi suku Bajo

Jumlah penduduk, mobilitas penduduk dan komposisi penduduk

Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan

Wawancara dengan responden,

penelususran dokumen dan observasi lapang

Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, serta kantor desa dan kantor Badan Pusat Statistika (BPS) Budaya Suku Bajo

dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut

Pola-pola kearifan lokal masyarakat, larangan dan sanksi Sikap masyarakat saat ini

Wawancara dengan informan, wawancara dengan responden dan observasi lapang

Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti Pola pemanfaatan sumberdaya laut Jenis yang dimanfaatkan Intensitas pemanfaatan Lokasi pemanfaatan Alat yang digunakan

Wawancara dengan responden, wawancara dengan pengelola TNW dan observasi lapang

Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, serta Kepala Balai TNW Peraturan pengelolaan TNW Kegiatan yang diijinkan disetiap zonasi, Sumberdaya yang dilindungi Penerapan sanksi Wanwancara dengan pengelola taman nasional, wawancara dengan responden dan observasi lapang

Kepala Balai TNW dan Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data merupakan suatu proses dalam memperoleh data ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumusan-rumusan tertentu (Hasan 2002). Pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan editing data, pengkodean


(41)

data dan penyajian data. Kegiatan editing dilakukan untuk mengoreksi yang telah dikumpulkan. Dalam melakukan editing, data-data yang telah dikumpulkan dikoreksi, data yang kurang diperbaiki atau dilakukan pengumpulan ulang dan data yang dianggap tidak perlu dipisahkan. Kegiatan editing berjalan bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data, setiap kali selesai melakukan pengumpulan data dilapangan data langsung di edit. Selain melakukan editing data, dilakukan juga pengkodean data. Pengkodean data dilakukan untuk memberi kode pada data-data yang dianggap sama yang dilambangkan dengan angka-angka. Data yang telah diberi kode dimasukan dalam tabel-tabel. Data yang telah ditabulasikan langsung disajikan dan selanjutnya akan di analisis. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk tabel, grafik-grafik dan penyajian deskriptif.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengertian, mendeskripsikan pola kehidupan Suku Bajo masa lalu dan perilaku Suku Bajo saat ini dalam kaitannya dengan peraturan formal pengelolaan taman nasional.


(42)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan

Mola merupakan perkampungan Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dengan membentuk perkampungan pada pesisir pantai dan menjorok sampai pada perairan dangkal. Dulunya lokasi ini merupakan perkampungan yang merupakan ciri khas Suku Bajo, dengan menggunakan rumah-rumah panggung di atas laut. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional. Namun saat ini sebagian besar telah terbuat dari beton yang didirikan di atas lahan hasil reklamasi menggunakan batu karang.

Berdasarkan catatan sejarah, Suku Bajo yang tersebar di banyak tempat di Indonesia memiliki asal usul yang sama. Sejumlah antropolog menjelaskan bahwa kecintaan Suku Bajo terhadap laut bermula ketika mereka berusaha menghindari peperangan dan kericuhan di darat. Saad (2010) mencatat bahwa nenek moyang Suku Bajo memasuki Pulau Sulawesi sekitar tahun 1698. Penyebaran Suku Bajo yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas.

Filosofi hidup Suku Bajo sebagai manusia perahu yang diberikan pada Suku Bajo dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah. Diperkirakan pada tahun 1950an Suku Bajo mulai menempati Wakatobi (Stanley 2005). Hal ini didasarkan pada potensi keanekaragaman laut Wakatobi yang sangat melimpah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Suku Bajo di Wakatobi awalnya menempati Pulau Kaledupa.

Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat, Suku Bajo memasuki Pulau Wangi-wangi sekitar tahun 1955 dan menempati wilayah adat Mandati. Masyarakat adat Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di Pulau Wangi-wangi yang memiliki kelembagaan adat yang jelas. Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat Mandati, Suku Bajo yang diijinkan untuk menempati wilayah adat Mandati hanya 30 KK. Namun penduduk Suku Bajo terus bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1960an banyak Suku Bajo


(43)

dari tempat lain datang dan menetap di Pulau Wangi-wangi, karena potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi semakin bertambah, sehingga pada tahun 1977 perkampungan Suku Bajo telah menjadi dua desa pemerintahan, yaitu Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti. Jumlah penduduk Suku Bajo terus mengalami peningkatan dan perkampungan masyarakat terus bertambah luas. Hingga saat ini jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri dari 1.846 kepala keluarga (BPS Wakatobi 2010). Kondisi ini menyebabkan Desa Mola saat ini terbagi lima desa pemerintahan yaitu Desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti.

Awalnya Suku Bajo merupakan masyarakat yang hidup secara tradisional, mulai dari bentuk perumahan sampai penggunaan alat tangkap. Namun pada tahun 1960-1970 kebijakan modernisasi perikanan oleh pemerintah, yang dimulai dengan motorisasi perahu mulai mengenalkan peralatan-peralatan modern dalam dunia kelautan (Saad 2010). Tahun 1980-1990 masyarakat mulai membangun rumah-rumah permanen dari beton. Di mulai dengan menimbun kolong rumah-rumah dengan menggunakan terumbu karang. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah masyarakat mulai merasa nyaman menempati perkampungan ini. Selain itu, ternyata keberadaan tengkulak ikan juga mempengaruhi masyarakat untuk membangun rumah-rumah permanen. Berdasarkan hasil wawancara, Suku Bajo menyatakan mereka lebih dipercaya tengkulak ikan ketika mereka memiliki rumah yang bagus.

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin tinggi dan dilakukan dengan cara-cara eksploitatif menyebabkan ancaman keberlanjutan ekologi perairan Wakatobi akan terancam. Padahal ekosistem perairan Wakatobi merupakan layanan ekologi dan ekonomi yang sangat penting. Mengingat pentingnya perairan Wakatobi sebagai layanan ekologi dan ekonomi untuk masa mendatang maka pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional.

Keberadaan taman nasional diperuntukan untuk melindungi kondisi ekosisitem perairan Wakatobi yang kegiatan pemanfaatannya tidak lagi dilakukan dengan konsep keberlanjutan. Hal ini dibuktikan dengan kondisi dilapangan yang masih terjadi pemanfataan sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara yang eksploitatif. Lebih mengherankan lagi kegiatan-kegiatan seperti


(44)

pengambilan karang, pasir dan jenis satwa yang dilindungi dilakukan dengan sangat bebas dan terbuka.

Kegiatan penambangan karang dan pasir laut yang dilakukan oleh Suku Bajo sangat sulit untuk diberhentikan. Selain kegiatan tersebut merupakan sumber penghasilan, pemerintah daerahpun membutuhkannya sebagai bahan pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2003 Kabupaten Wakatobi di bentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Sehingga Kawasan Kepulauan Wakatobi merupakan satu wilayah otonom yang letak dan luasnya sama persis dengan letak dan luas TNW.

Otonomi daerah dengan pijakan hukum Undsng-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan momentum sangat berharga untuk melakukan perubahan-perubahan dalam segala aspek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah Daerah Wakatobi dapat melakukan perubahan kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan karakterisitik ekologis, sosial dan ekonomi.

Penetapan kawasan perairan Wakatobi menjadi taman nasional seharusnya memberi perlindungan terhadap sumberdaya laut yang esensial, salah satunya terumbu karang. Namun sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar biasa, baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Hasil penelitian yang dilakukan sampai saat ini pembangunan infrastruktur kabupaten masih menggunakan karang dari dalam kawasan taman nasional yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan.

Berdasarkan kasus tersebut terlihat perbedaan dua kepentingan wewenang yang berbeda. Taman nasional berhak melindungi degradasi sumberdaya laut yang dilindungi, namun Pemerintah Daerah membutuhkan sumberdaya tersebut untuk menjalankan pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat Wakatobi nantinya.

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pergeseran nilai tradisional yang diindikasikan dengan kegiatan eksploiatsi sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Bajo telah berlangsung sebelum TNW terbentuk. Namun hingga


(45)

saat ini kegiatan tersebut masih terus berjalan, bahkan terkesan mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah. Secara keseluruhan sejarah pemanfaatan sumberdaya laut Wakatobi oleh Suku Bajo disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Wakatobi oleh Suku Bajo

Tahun Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya

Laut Faktor Pendorong Sumber

1698 Nenek moyang Suku Bajo

memasuki Sulawesi, tepatnya ke Goa

Kebiasaan Suku Bajo menyeberangi lautan

Saad (2009)

1950an Suku Bajo memasuki Wakatobi

(Pulau Kaledupa)

Potensi perikanan

Wakatobi yang melimpah

Stanley (2005), Saad (2009)

1955 Suku Bajo mulai menempati wilayah

adat Mandati (Mola) sebanyak 30 KK

Mola dianggap memenuhi kriteria tempat tinggal mereka

Wawancara (2010)

1960an Suku Bajo mulai berdatangan ke

Mola

Potensi perikanan yang cukup dan lingkungan yang aman

Wawancara (2010)

1960an-1970an

Masyarakat mulai mengenal alat-alat moderen untuk melaut

Kebijakan moderenisasi perikanan oleh pemerintah, dimulai dengan motorisasi perahu

Saad (2009)

1977 Pemekaran perkampungan menjadi

dua desa pemerintahan

Peningkatan jumlah Suku Bajo di Mola

Wawancara (2010)

1980 Penggunaan karang sebagai fondasi

rumah

Tingkat kenyamanan dan status sosial yang lebih tinggi dengan rumah beton yang lebih tinggi

Wawancara (2010)

1990 Pemanfaatan masyarakat mulai

terkosentrasi pada jenis-jenis ikan tertentu Penggunaan potasium untuk meningkatkan jumlah tangkapan ikan

Masuknya tengkulak-tengkulak ikan dari Jawa dan Bali

Stanley (2005), Balai TNW (2008)

1997 Penetapan TNW, sehingga

pembatasan pemanfaatan sumberdaya laut

Meminimalisasi degradsi sumberdaya laut Wakatobi

Balai TNW (2008)

2003 Pemekaran Kabupaten Wakatobi Desentralisasi

pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Balai TNW (2008) 2000-2010

Masih terjadi pemanfaatan yang bertentangan dengan pengelolaan TNW

Sumberkehidupan masyarakat

Wawancara (2010)


(46)

5.2 Karakteristik Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan 5.2.1 Kondisi Penduduk

Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan merupakan masyarakat pendatang dari Kaledupa dan Nusa Tenggara Timur. Hasil survey menunjukan sebagian besar masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti berasal dari Pulau Kaledupa yaitu 64% responden, dari NTT 25% responden dan yang lahir di Mola sendiri hanya 11% responden (Gambar 3).

Gambar 3 Diagram daerah asal Suku Bajo Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti.

Penduduk merupakan salah satu modal dasar pembangunan dan merupakan aset pembangunan, sehingga tidak hanya menjadi sasaran pembangunan tetapi juga merupakan pelaku pembangunan. Penentuan arah pembangunan, secara langsung berhubungan dengan sumberdaya alam. Sehingga semakin besar jumlah penduduk maka semakin tinggi kebutuhan akan sumberdaya, oleh karena itu kualitas penduduk sangat menentukan keberadaan sumberdaya alam (Hermianto & Minarno 2009).

Hasil sensus penduduk 2010 menunjukan penduduk Kabupaten Wakatobi berjumlah 103.432 jiwa (BPS Wakatobi 2010). Sedangkan Suku Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa (Tabel 4). Desa Mola Selatan dan Mola Utara merupakan dua desa pertama yang berada di Mola, yang akhirnya melakukan pemekaran lagi menjadi 5 desa. Desa Mola Selatan di bagi menjadi dua desa sedangkan Desa Mola Utara di bagi menjadi tiga desa. Berdasarkan tabulasi tersebut, jumlah penduduk terbanyak terdapat di Desa Mola Selatan yang berjumlah 2.160 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 223 KK. Sedangkan jumlah terendah terdapat pada Desa Mola Utara dengan jumlah penduduk sebanyak 883 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 254 KK. Sehingga jumlah penduduk Desa Mola Selatan

64% 25%

11%

Kaledupa NTT Mola


(47)

merupakan desa dengan jumlah penduduk terbanyak, namun menarik, karena ternyata jumlah kepala keluarganya paling sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah anggota keluarga Suku Bajo di Desa Mola Selatan tergolong banyak yang berarti tingkat kelahiran masyarakat akan tinggi.

Tabel 4 Penduduk Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan tahun 2010

No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Penduduk Jumlah KK

1 Mola Selatan 1.088 1.072 2.160 223

2 Mola Nelayan Bakti 796 886 1.682 432

3 Mola Bahari 612 591 1.203 487

4 Mola Samaturu 459 496 955 450

5 Mola Utara 433 450 883 254

Jumlah 3.388 3.495 6.883 1.846

Sumber : Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010

Jumlah penduduk Suku Bajo di Wangi-wangi tergolong tinggi bila dibandingkan dengan komunitas masyarakat Adat Liya, Wanci maupun Kapota yang terdapat di Kecamatan Wangi-wangi Selatan (Gambar 4). Padahal masyarakat Liya, Wanci dan Kapota merupakan masyarakat asli Wakatobi. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan penduduk Bajo yang merupakan pendatang lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat adat.

Sumber: Hasil Proyeksi SUPAS (BPS Kabupaten Wakatobi) dan registrasi penduduk 2010 Gambar 4 Penduduk komunitas masyarakat Kecamatan Wangi-wangi Selatan.

Tingkat kepadatan penduduk Suku Bajo lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Bahkan tingkat kepadatan setiap desa melebihi rata-rata tingkat kepadatan dalam kabupaten yang hanya 218,14 jiwa dan kecamatan yang hanya 545,26 jiwa/km2. Tingkat kepadatan penduduk Suku Bajo yang terendah adalah Desa Mola Selatan dengan tingkat kepadatan 584 jiwa/km2 dan tertingi adalah Desa Mola Bahari dengan tingkat kepadatan 1.505

40%

16% 11%

10%

23%

Masyarakat Adat Mandati Masyarakat Adat Liya Masyarakat Adat Kapota Masyarakat Adat Wanci Masyarakat Suku Bajo


(1)

12 3

September 2004

Penangkapan

terhadap nelayan ikan hias karena tidak memiliki dokumen/izin resmi

Nelayan berasal dari Bali sebanyak 18 orang

Pembinaan terhadap pelaku dan alat-alat yang digunakan diamankan sebagai bukti untuk proses lebih lanjut

Karang Kaledupa

13 4

September 2004 Penangkapan terhadap Lobsterhasil tangkapan, penangkapan

terhadap nelayan teripang saat mereka menggunakan kompresor dan tidak dilengkapi surat izin,

a.n Hj. Sabariah dengan menggunakan kapal Rika Saputra dengan Kapten Iskandar, asal Mantigola

Kaledupa, nelayan tersebut

menggunakan kapal Bintang Timur dan KM Kumala Sari asal Madura,

Tindakan yang diambil masih tahap pembinaan nelayan diarahkan untuk tidakmelakukan aktifitas yang tidak dilengkapi dengan izin yang jelas

lobster yang kecil di kembalikan ke alam kemudian dibuat berita acara pelepasan.

14 27

September 2004

Penangkapan ikan hias

Nelayan dari Bulelebg, Bali 21 orang dengan kapal Lautan Emas

Tindakan yang diambil adalah pembinaan terhadap nelayan

Lokasi di Karang Mari Mabuk Barang bukti dilepaskan oleh Camat dan Polsek Tomia

15 19 Januari 2005

Penangkapan ikan menggunakan bahan peledak

La Cong bin Macci Dik bin La Cong Kasus tersebut dilimpahkan ke Polsek Wangi-Wangi

Penahanan 10 (sepuluh) bulan pidana penjara dengan extract vonis 84/Ket.Pid/PN.BB tanggal 26 april 2005.

16 20 Juni 2005

Penangkapan ikan Dengan

menggunakan Potasium Cyanida

Tabutti, Kullu, Hakir Kasus dilimpahkan ke Polsek Tomia.

Berkas Perkara dinyatakan P 19 dan dikembalikan kepenyidik Polsek Tomia


(2)

17 29 September 2005 Penangkapan ikan Dengan menggunakan Potasium Cyanida

- Jumardin, Tahir, La Mane, La ili, Tono, Mbato, Jupeg, Hengki, Ahmad.

Kasus dilimpahkan ke Polres Wakatobi

2 Bulan 20 hari pidana penjara dan denda Rp.300.000,- Subs 1 bulan Kurungan Penjara ( Jumardin cs) 3 Bulan Penjara Subs 1 bulan kurungan ( La Mane)

4 Bulan Pidana penjara (Hengky cs) 18 24 April

2006

Menangkap dan memperjual belikan daging penyu

H.Asmawi, H. Kasim Kasus dilimpahkan ke Polres

Wakatobi

10 Bulan Pidana penjara, denda Rp.500.000,-

Berkas perkara dinyatakan P21, tahap ke 2 belum dilaksanakan

19 20 Mei 2006

Menangkap ikan Dengan

menggunakan bahan peledak.

Subardin, Darlin, Maslin, Supirman, Subir, Nurlang, Paul,

Uwing, Tamrin, Muliadi, Aska, La Salidi, Poo, Jasi, Ngawi.

Kasus dilimpahkan ke Polsek Tomia

Vonis Dsrlin Subir dan Aska, 1 tahun 2 bulan Pidana Penjara, Extract Vonis Darlin

Cs,218/Ket.Pud/B/2006/PN.BB Tanggal 16 Agustus 2006 20 24

Oktober 2006

Melakukan aktifitas di

zona inti Taman Nasional Wakatobi

Roni Pongo, Gleon

F.Tulunde,Bastom Parned,Herlin,Yusran

Dilakukan Pembinaan Vonis 1 tahun Pidana penjara, denda Rp.200.000,-

21 23 Januari 2007

Penangkapan ikan dengan

menggunakan Potasium Cyanida

Ambo bin Wahid, Amrin Bin La Sima

Kasus dilimpahkan Ke Polsek Tomia

Sidang I Tanggal 22 Mei 2007.

22 10 Maret 2008

Pasal 78 ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3 ) huruf h UU.No. 41

1. La gani bin La Tayip, Umur 71 Tahun, Janis Kelamin Laki-laki, Pekerjaan Nelayan, Agama

Masih dalam proses penyidikan oleh PPNS dengan Penyidik POLRI

Kayu Palapi dan Tahimanu (Bhs. Daerah) berukuran : 2x25x400=152 ptg.


(3)

Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pada Hari Senin tanggal 10 Maret 2008 sekitar jam 06.00 Wita. Tim Patroli (Polhut BTNW bersama beberapa anggota SPORC Brigade Anoa) menemukan 1 kapal

yang sedang menuju Desa Buranga dengan bermuatan kayu olahan 6,369 M3 yang tidak dilengkapi dengan dokumen sah.

Islam, Alamat Desa Limboto Kec.

Kaledupa Kab. Wakatobi 2. Lelaki Ismit Maruapey alias La

Imi bin La Tasiman, Umur 28 Tahun, Janis Kelamin Lakilaki, Pekerjaan Nelayan, Agama Islam, Alamat Kel. Ambeua, Kec. Kaledupa Kab. Wakatobi 3. Lelaki La Mbosi Bin La Nini, Umur 63 Tahun, Janis Kelamin Laki-laki, Balasuna, Kec. Kaledupa Kab. Wakatobi

setempat sebagai Korwas.

8x12x400=52 ptg. 3x25x400=35 ptg. 3x 5x400=2 ptg.

Satu buah kapal dengan nama KM. Cinta Damai


(4)

Lampiran 3. Struktur Organisasi Balai TNW

Kepala Balai

Sub Bagian TU

Seksi Pengelolaan

TN Wil. 1 Wanci

Seksi Pengelolaan

TN Wil. 11 Ambeua

Seksi Pengelolaan

TN Wil. 111 Waha

Kelompok Jabatan

Fungsional


(5)

Lampiran 4. Foto-foto hasil temuan di lapang

Kegiatan pengangkutan karang

disekitar perkampungan masyarakat

Bajo di Mola

Lokasi penngumpulan pasir

sementara, di sekitar perkampungan


(6)

Terdapat 5 ekor penyu dikolong

salah satu rumah masyarakat

Daging kima hasil tangkapan

masyarakat