Kajian bioprospeksi spons laut asal taman nasional kepulauan Wakatobi dan implikasi pengelolaannya

(1)

ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI

DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

ENDAR MARRASKURANTO

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Bioprospeksi Spons Laut Asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dan Implikasi Pengelolaannya adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2010

Endar Marraskuranto NRP. C252070444


(3)

direction of YUSLI WARDIATNO, ZAIRION, and SINGGIH WIBOWO.

Most of eastern region of Indonesian waters are located in biodiversity center of coral triangle ecoregion and Wakatobi Archipelago Marine Park is one of them. Marine sponge is one of prominent benthic marine organism in coral reef. It is one of the prolific sources of pharmacological bioactive substances that are useful for drug development. About 30% of potentially natural products for drug lead had been isolated from marine sponges. Their bioactive substance has varied potential such as anticancer, antivirus, antimicrobe, anti-inflamation, and antimalaria. Based on preliminary cytotoxic assay on sponge crude extracts in 2008, marine sponge extracts (code W-19-08 and W-36-08) were among marine sponges collected from Wakatobi Archipelago National Park that had the potential of its cytotoxic activity. The purpose of this research were to examine sponge crude extract Lethal Concentration (LC50) and to describe human breast cancer

cell line T47D morphology after treating with crude extract. The in vitro

cytotoxicity assay was conducted using MTT method. In vitro cytotoxicity assay showed that marine sponge extracts W-19-08 and W-36-08 bioactivity were considered to medium with the LC50 value of 156.14 and 97.04 ppm, respectively.

The cell line T47D morphology showed that these extracts were considered of having cytostatic properties.

Key words: sponge, cytotoxic assay, cancer cell line T47D, Wakatobi Archipelago National Park


(4)

YUSLI WARDIATNO, ZAIRION, dan SINGGIH WIBOWO.

Salah satu proses penemuan dan pengembangan obat yang bersumber dari produk alami laut adalah bioprospeksi. Kajian bioprospeksi mengungkapkan potensi farmakologi yang dimiliki produk alami laut yang dihasilkan avertebrata laut. Spons laut yang diklasifikasikan ke dalam Filum Porifera dan bersama karang batu serta karang lunak termasuk hewan bentos yang menonjol di terumbu karang. Potensi farmakologi metabolit sekunder yang dihasilkan spons beragam mulai dari sitotoksik, antikanker, antivirus, antiinflamasi, antimikroba, dan lain-lain. Penelitian potensi farmakologi dari spons laut terus dilakukan sejak hampir tiga dekade sebelumnya penelitian potensi farmakologi spons laut asal Indonesia pertama kali dilakukan.

Pada tahun 2008, dua sampel spons asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi diketahui memiliki potensi sitotoksik terhadap sel lestari kanker payudara T47D. Kedua sampel dengan kode W-19-08 dan W-36-08 diperoleh dari perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga. Persentase kematian sel uji akibat perlakuan dengan ekstrak kasar kedua sampel menunjukkan potensi sitotoksik yang tinggi dimiliki kedua sampel. Sejak saat itu, kedua sampel dalam bentuk biota utuh tersimpan di dalam pendingin beku -20oC selama 16 bulan.

Taman Nasional Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu taman nasional yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi karena posisi geografisnya yang terletak berdekatan dengan pusat segitiga terumbu karang. Perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNK Wakatobi) terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Pulau Buton dan Laut Banda. Di sebelah selatan dibatasi oleh Laut Flores, di sebelah timur dibatasi oleh Laut Banda, dan sebelah barat dibatasi Pulau Buton dan Laut Flores.

Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menjajaki potensi sumberdaya spons yang diperoleh di Taman Nasional Wakatobi dibandingkan dengan potensi sumberdaya spons di perairan kawasan Indonesia Timur yang lain; (2) Menghitung konsentrasi ekstrak kasar yang mengakibatkan kematian 50% sel lestari kanker payudara T47D (Lethal Concentration/LC50) dan menerangkan

respon sel uji tersebut terhadap ekstrak kasar sampel spons W-19-08 dan W-36-08; (3) Menerangkan respon sel lestari kanker payudara T47D terhadap ekstrak kasar sampel spons W-19-08 dan W-36-08 berdasarkan perubahan morfologi sel uji sebelum dan sesudah perlakuan dengan ekstrak kasar spons.

Penelitian dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta yang dilaksanakan dari Agustus 2009 hingga Juni 2010. Sampel spons yang digunakan dalam penelitian ini merupakan sampel dikoleksi dari perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi pada bulan April 2008 dengan melakukan penyelaman pada kedalaman 3-10 meter. Sampel dipreservasi dengan pelarut alkohol teknis (96%) dalam plastik tahan pelarut organik dan disimpan dalam kotak pendingin hingga pelaksanaan analisis di laboratorium.


(5)

absorbansi sumuran sel uji ditambah ekstrak spons, dan absorbansi sumuran kontrol media. Lethal Concentration (LC50) ekstrak kasar spons dihitung dengan

analisis probit. Persentase kematian sel uji dikonversi menjadi angka probit berdasarkan tabel probit (Lampiran 1). Plot log konsentrasi versus angka probit masing-masing sebagai sumbu x dan sumbu y digunakan untuk mencari nilai LC50

dari persamaan regresi yang diperoleh. Pengamatan perubahan morfologi sel uji dilakukan di bawah mikroskop inverted dengan pembesaran 100x.

Hasil perhitungan Lethal concentration (LC50) ekstrak kasar diperoleh spons

W-19-08 memiliki LC50 sebesar 156,14 ppm dan spons W-36-08 sebesar 97,04

ppm. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak kedua spons memiliki bioaktivitas dengan kategori menengah. Pengamatan mikroskopis sel uji T47D menunjukkan telah terjadi perubahan morfologi sel uji akibat perlakuan dengan ekstrak kedua sampel spons dan berdasarkan hasil bioaktivitasnya, ekstrak kedua sampel spons dikategorikan bersifat sitostatik.

Keanekaragaman spons laut di kawasan timur perairan Indonesia sangat tinggi. Data sekunder menunjukkan terdapat 100 spesies spons teridentifikasi di dua lokasi terumbu di Sampela dan Pulau Hoga perairan Kepulauan Wakatobi. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya spons yang terdapat di perairan Kepulauan Wakatobi sangat tinggi.

Tingginya potensi sumberdaya spons di perairan Kepulauan Wakatobi dan kandungan metabolit sekundernya yang memiliki nilai ekonomis tinggi sebagai bahan baku obat, pengelolaan sumberdaya spons yang tepat sangat diperlukan agar ketersediaan sumberdayanya tidak punah dan pemanfaatannya tetap dapat meningkatkan perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, kemajuan yang telah dicapai bidang bioteknologi laut sangat perlu dikembangkan di Indonesia melalui kolaborasi dengan ilmuwan-ilmuwan terkait di luar negeri.

Kata kunci: spons, uji sitotoksik, sel lestari kanker payudara T47D, Taman Nasional Kepulauan Wakatobi


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(7)

ASAL TAMAN NASIONAL KEPULAUAN WAKATOBI

DAN IMPLIKASI PENGELOLAANNYA

ENDAR MARRASKURANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

(10)

segala karunia dan rahmat-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Kajian Bioprospeksi Spons Laut Asal Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dan Implikasi Pengelolaannya”.

Penelitian dan proses penulisan tesis ini dapat berlangsung dengan baik atas prakarsa berbagai pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc., Ir. Zairion, M.Sc, dan Dr. Ir. Singgih Wibowo, MS selaku komisi pembimbing yang telah membantu dan memberikan perhatian, arahan, tenaga, waktu, dan saran dalam penyusunan tesis ini.

2. Dr. Ir. Etty Riani, M.Sc selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Lautan beserta staf pengajar yang telah memberikan pengetahuan dan pengalaman terkait pengelolaan pesisir dan lautan.

4. Staf sekretariat SPL (Pak Zainal, Mbak Ola, Dindin dan Aji) yang banyak membantu selama masa perkuliahan di SPL-IPB.

5. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku Ketua Departemen MSP dan penanggung jawab Program SPL Sandwich COREMAP II-ADB.

6. COREMAP II – ADB, Kementerian Kelautan dan Perikanan atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang diberikan.

7. Prof. Dr. H. Hari Eko Irianto selaku Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2B-KP) serta Dr. Ekowati Chasanah, M.Sc selaku Kepala Kelompok Peneliti Bioteknologi atas ijinnya untuk mengikuti program beasiswa ini.

8. Bapak H. Sutarno, Ibu Hj. Sri Supeni, SH dan adik yang telah memberikan doa dan bantuan moril.

9. Istriku tercinta dr. Santi Sinarwati, anak-anakku tersayang Daffa dan Radhit yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan doa dalam mengikuti pendidikan ini.

10. Rekan-rekan SPL-Sandwich COREMAP II-ADB atas kebersamaannya selama mengikuti masa studi.

11. Rekan-rekan peneliti dan teknisi di laboratorium Instrumen dan Bioteknologi BBRP2B-KP Jakarta atas kerjasama dan dukungan yang diberikan selama penelitian.

Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan atas pembiayaan penelitian dalam rangka penyusunan tesis ini melalui APBN TA 2009.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, masukan berupa kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, Oktober 2010 Endar Marraskuranto


(11)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Nopember 1976. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan ayah H. Sutarno dan ibu Hj. Sri Supeni, SH. Pada tahun 1989 penulis lulus dari SD Negeri Kemang Raya, tahun 1992 lulus dari SMP Negeri 252 Jakarta Timur, dan tahun 1995 lulus dari SMA Negeri 81 Jakarta Timur. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia lulus tahun 2000. Pada tahun 2007, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan jenjang pendidikan Program Magister Sains (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana-IPB yang merupakan program pendidikan Sandwich kerjasama IPB dan Xiamen University, Xiamen, Republik Rakyat Cina (RRC), melalui pendanaan dari COREMAP-DKP-ADB. Penulis bekerja sebagai peneliti pertama pada Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Badan Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan, sejak tahun 2005 sampai sekarang.


(12)

xxi

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxii

DAFTAR GAMBAR ... xxiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvi

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Bioprospeksi ... 7

2.2 Biologi Spons ... 10

2.3 Produk Alami Laut dari Spons ... 13

2.4 Taman Nasional Kepulauan Wakatobi ... 17

3. METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.2 Bahan dan Alat ... 20

3.2.1 Ekstraksi ... 20

3.2.2 Uji Sitotoksik in vitro ... 20

3.3 Prosedur Penelitian ... 21

3.3.1 Pengambilan Sampel ... 21

3.3.2 Ekstraksi Spons ... 21

3.3.3 Uji Sitotoksik in vitro ... 22

3.4 Analisa Data ... 23

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Kelimpahan Spons di Lokasi Sampling ... 25

4.2 Ekstraksi dan Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar Spons ... 29

4.3 Morfologi Sel T47D Hasil Uji Sitotoksik ... 33

4.4 Kajian Bioprospeksi dalam Kaitannya dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan ... 36

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(13)

xxiii

Halaman 1 Posisi geografis, jumlah, kode, dan prediksi taksonomi spons

yang dikoleksi di stasiun 1 dan stasiun 4 ... 27 2 Nilai berat sampel basah (gram) dan rendemen ekstrak kasar (%)

sampel spons W-19-08 dan W-36-08 ... 30 3 Nilai LC50 ekstrak kasar sponge W-19-08 dan W-36-08


(14)

xxv

Halaman 1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal ... 8 2 Lokasi penelitian di Kepulauan Wakatobi ... 20 3 Jumlah sampel spons dikoleksi di stasiun 1 (barat Pulau Wangi-

wangi) dan stasiun 4 (selatan Pulau Hoga) ... 25 4 Spons W-19-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B) ... 28 5 Spons W-36-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B) ... 28 6 Persentase kematian sel lestari tumor T47D setelah perlakuan

dengan ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 (Keterangan:

(---) batas persentase kematian 50%) ... 31 7 Sel uji T47D tanpa perlakuan ekstrak kasar (sel normal T47D

ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 34 8 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-19-08 pada

konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm (morfologi sel uji T47D yang

berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 35 9 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-36-08 pada

konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm (morfologi sel uji T47D yang

berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 35 10 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi

MTT pada perlakuan ekstrak W-19-08 konsentrasi 30 ppm

(ditunjukkan dalam lingkaran merah) ... 36 11 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi

MTT pada perlakuan ekstrak W-36-08 konsentrasi 30 ppm


(15)

xxvii

Halaman 1 Spesies-spesies spons dan metabolit sekunder yang dihasilkan ... 49 2 Spesies-spesies spons dan metabolit sekundernya yang memasuki

tahap uji pra-klinis dan klinis ... 51 3 Tabel probit ... 52 4 Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar spons W-19-08

dan W-36-08 ... 53 5 Contoh perhitungan persentase kematian dan penentuan LC50 ... 54


(16)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sebagian besar perairan kawasan timur Indonesia terletak di pusat keanekaragaman hayati ekosistem segitiga terumbu karang atau coral triangle. Batas coral triangle meliputi enam negara antara lain Filipina, Malaysia, Indonesia, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan juga didukung kenyataan bahwa laut Indonesia memiliki hamparan terumbu karang terluas di dunia, yaitu 51.020 km2 atau sekitar 17,95% dari luas seluruh terumbu karang di dunia dan kedudukannya merupakan pusat segitiga terumbu karang dunia (coral triangle). Salah satu wilayah di kawasan Indonesia Timur yang termasuk ke dalam segitiga terumbu karang adalah perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi.

Terumbu karang mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mendukung keberadaan biota yang berasosiasi, baik ikan maupun biota lainnya. Ekosistem terumbu karang secara ekologis mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan dan organisme pendukung yang ada di ekosistem tersebut. Terumbu karang yang sehat tidak hanya menyediakan manfaat bagi ikan dan biota laut lainnya yang berasosiasi dengannya tetapi terumbu karang juga menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kesejahteraan manusia, antara lain perikanan, pariwisata, nilai-nilai keindahan dan budaya. Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran (Dahuri 2003). Diperkirakan lebih dari 35.000 spesies biota laut memiliki potensi sebagai penghasil bahan obat-obatan, sementara yang dimanfaatkan baru sekitar 5.000 spesies (Dahuri 2000).

Secara ekologis, substansi bioaktif adalah metabolit sekunder yang dikeluarkan oleh biota laut dan berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan hidup suatu organisme dan dapat pula berfungsi sebagai senjata kimia untuk melawan bakteri, jamur, dan hewan yang kecil maupun besar. Metabolit sekunder


(17)

merupakan produk alami laut yang memiliki aktivitas biologis dan berpotensi untuk dapat diaplikasikan dalam bidang farmasi dan kedokteran terutama sebagai obat, bahan baku obat (drug leads), dan kosmetika.

Beberapa biota laut yang menghasilkan metabolit sekunder sebagian besar didominasi oleh avertebrata laut antara lain spons, karang lunak, bryozoa, tunikata, dan lain-lain (Hunt & Vincent 2006). Munro et al. (1999) mengungkapkan filum Porifera merupakan filum yang paling banyak diteliti potensi metabolit sekundernya, kemudian diikuti Cnidaria, Moluska, Chordata (subfilum Urochordata) dan Ekinodermata. Spons laut merupakan hewan yang paling dominan dalam filum Porifera, bersama karang batu dan karang lunak, spons laut termasuk bentos yang menonjol di terumbu karang.

Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, poliketida dan lain-lain (Thakur & Müller 2004). Potensi biologis yang dimilikinya pun sangat beragam antara lain bersifat sitotoksik, antitumor/antikanker, antivirus, antimikroba, antiinflamasi, antimalaria, dan lain-lain (Guyot 2000). Penelitian potensi metabolit sekunder yang dimiliki spons asal perairan di Indonesia sudah dimulai sejak hampir tiga dekade yang lalu saat Corley et al. (1988) mengisolasi laulimalida dan isolaulimalida dari spons Hyatella sp. yang memiliki sifat sitotoksik. Senyawa antioksidan berhasil diidentifikasi dari spons Callyspongia

sp. asal Kepulauan Seribu (Hanani et al. 2005). Handayani et al. (2006) melaporkan spons laut Axinella carteri Dendy asal Pulau Babi, Sumatera Barat memiliki potensi sebagai larvasida. Gabungan tujuh senyawa toksik berhasil diidentifikasi dari ekstrak spons laut yang berasal dari perairan Gili Sulat, Lombok (Swantara et al. 2007). Setyowati et al. (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa bersifat sitotoksik terhadap sel lestari tumor myeloma dari ekstrak spons

Kaliapsis sp. asal Pulau Menjangan, Bali Barat. Senyawa antibakteri pun telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari ekstrak spons Petrosia nigrans asal Pulau Babi, Sumatera Selatan (Handayani et al. 2008). Dan yang terkini adalah aktivitas antibakteri dan toksisitas ekstrak metanol spons Geodia sp. asal Pantai Wediombo, Yogyakarta (Isnansetyo et al. 2009).


(18)

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2B-KP) melaksanakan Riset Isolasi dan Uji Farmakologi Senyawa Bioaktif dari Biota Laut pada tahun 2008. Salah satu judul sub kegiatan risetnya yaitu Uji Hayati (in vitro) Bioaktivitas Bahan Aktif dari Makroinvertebrata Laut dan Isolasi Simbionnya dengan penekanan pada Karakterisasi Kimia dan Bioaktivitas Senyawa Bioaktif dari Makroinvertebrata Laut. Salah satu lokasi dalam kegiatan ini adalah Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dan dilaksanakan pada bulan April 2008 dan mengambil lokasi di 4 (empat) pulau, yaitu pulau Wangi-wangi, pulau Kapota, pulau Kaledupa, dan pulau Hoga. Kegiatan tersebut berhasil mengumpulkan 73 sampel avertebrata laut yang tersebar di keempat stasiun (BRKP 2009).

Hasil Monitoring Kesehatan Terumbu Karang Kabupaten Wakatobi tahun 2007 mengungkapkan bahwa persentase tutupan rata-rata karang hidup di perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Kaledupa masing-masing sebesar 55,42% dan 44,63%, sehingga kondisi terumbu karang di perairan tersebut masing-masing termasuk kedalam kategori baik dan sedang (CRITC COREMAP II-LIPI 2007).

Berdasarkan uraian di atas, kajian ini masih memiliki peluang yang terbuka lebar mengingat tingginya keanekaragaman hayati laut yang dimiliki Taman Nasional Kepulauan Wakatobi, keanekaragaman kandungan metabolit sekunder dari spons laut dan potensi terumbu karang di wilayah segitiga terumbu karang dunia (coral triangle).

1.2 Perumusan Masalah

Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2B-KP) melaksanakan Riset Isolasi dan Uji Farmakologi Senyawa Bioaktif dari Biota Laut pada tahun 2008. Tim peneliti bioteknologi melakukan sampling sebanyak 73 sampel avertebrata laut di 4 (empat) stasiun di dalam kawasan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi. Keempat stasiun tersebut antara lain pesisir Pulau Kapota, Tanjung Sombano Kaledupa, pesisir Pulau Hoga, dan pesisir desa Waha Pulau Wangi-wangi. Identifikasi awal biota laut


(19)

menunjukkan terdapat 20 sampel karang lunak, satu sampel ascidian, 51 sampel spons, dan satu biota tak teridentifikasi (BRKP 2009).

Tahap awal kajian bioprospeksi bertujuan memperoleh sejumlah kecil sampel yang memiliki aktivitas biologis dan disebut sebagai hit. Sejumlah 51 sampel ekstrak kasar spons diuji aktivitas biologis sitotoksik dan hasilnya menunjukkan 2 sampel spons kode W-19-08 dan W-36-08, yang masing-masing diperoleh dari Pulau Wangi-wangi (stasiun 1) dan Pulau Hoga (stasiun 4), memiliki aktivitas yang toksik terhadap 2 sel lestari tumor leher rahim (HeLa) dan payudara (T47D) dengan persentase kematian sel uji masing-masing ekstrak kasar spons 87,52% dan 100% serta 58,45% dan 100% pada konsentrasi ekstrak 30 ppm (BRKP 2009).

Kedua sampel spons disimpan dalam keadaan utuh (spesimen biota laut) di dalam pendingin beku -20oC selama 16 bulan. Upaya untuk menelusuri kembali aktivitas biologis kedua sampel dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan setelah masa penyimpanan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian difokuskan pada dua sampel spons W-19-08 dan W-36-08 yang masing-masing diperoleh di Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga dan memiliki tujuan:

1. Menjajaki potensi sumberdaya spons yang diperoleh di Taman Nasional Wakatobi dibandingkan dengan potensi sumberdaya spons di perairan kawasan Indonesia Timur yang lain.

2. Menghitung konsentrasi ekstrak kasar yang mengakibatkan kematian 50% sel lestari kanker payudara T47D (Lethal Concentration/LC50) dan menerangkan

respon sel uji tersebut terhadap ekstrak kasar sampel spons 19-08 dan W-36-08.

3. Menerangkan respon sel lestari kanker payudara T47D terhadap ekstrak kasar sampel spons W-19-08 dan W-36-08 berdasarkan perubahan morfologi sel uji sebelum dan sesudah perlakuan dengan ekstrak kasar spons.


(20)

Selain dapat bermanfaat sebagai pengetahuan dan pendukung bagi para pengelola pesisir dan lautan pentingnya sumberdaya spons yang terdapat di terumbu karang, penelitian ini diharapkan juga dapat menghasilkan dan menambah informasi mengenai:

1. Aktivitas ekstrak spons yang telah melalui masa simpan selama 1 tahun; 2. Pengelolaan penyimpanan sampel spons.


(21)

(22)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bioprospeksi

Bioprospeksi didefinisikan sebagai pengambilan biota laut yang akan digunakan untuk proses penemuan, pengembangan dan jika memungkinkan, penyediaan bahan obat secara komersial (Hunt & Vincent 2006). Kajian bioprospeksi merupakan bagian dari penelitian penemuan dan pengembangan obat dari bahan alami laut dan bioprospeksi merupakan tahap awal dalam proses penemuan tersebut (Dewi et al. 2008).

Bioprospeksi melibatkan pengambilan ribuan biota laut telah dikoleksi dari habitatnya untuk memenuhi harapan dapat menemukan substansi bioaktif baru dan mengembangkannya menjadi obat. Pengambilan awal biasanya bersifat luas dan spekulatif untuk memaksimalkan kemungkinan ditemukannya substansi bioaktif atau metabolit sekunder. Proses selanjutnya melibatkan proses ekstraksi dan maserasi untuk memperoleh ekstrak. Kemudian ekstrak yang diperoleh dari sekian banyak sampel bahkan ribuan diuji aktivitas biologisnya terhadap berbagai target penyakit menular atau kanker melalui uji in vitro untuk memperoleh sejumlah kecil sampel yang memiliki aktivitas biologis dan disebut sebagai hit. Untuk mengembangkan hit menjadi kandidat untuk uji pra-klinis atau disebut sebagai lead, ekstrak dianalisis lebih lanjut melalui proses fraksinasi, isolasi, dan kromatografi untuk penentuan struktur senyawa aktif. Proses ini dapat saja membutuhkan sekitar 50.000 – 100.000 senyawa aktif untuk memperoleh satu

lead (Hunt & Vincent 2006). Kunci utama bioprospeksi adalah menyediakan ribuan senyawa yang memiliki keunikan struktur kimia dan bioaktivitas (Kursar et al. 2007 in Dewi et al. 2008). Secara umum, proses ini dapat terlihat pada Gambar 1.

Hingga saat ini, sebagian besar sumber substansi bioaktif adalah metabolit sekunder yang berasal dari avertebrata laut yang bertubuh lunak dan menempel pada substrat (sessile), seperti Porifera (spons), Cnidaria (ubur-ubur, karang batu, karang lunak, anemone laut), dan Urochordata (ascidian). Hal ini disebabkan karena biota-biota tersebut relatif lebih mudah dikoleksi hanya dengan


(23)

menggunakan tangan pada saat penyelaman dari habitat dengan keanekaragaman yang tinggi, dangkal dan perairan yang hangat seperti terumbu karang (Hunt & Vincent 2006).

Gambar 1 Gambaran umum tahap bioprospeksi yang ideal.

Proses di atas disebut juga sebagai bioassay-guided fractionation atau fraksinasi dipandu uji bioaktivitas menggunakan sel lestari kanker atau pun biota lain seperti Artemia salina (brine shrimp lethality test atau BSLT). Proses utama

Aktif

Tidak aktif Tidak aktif

Senyawa Murni Sampel-sampel Spons

Analisis Kromatografi Subfraksi Fraksinasi Ekstrak kasar

Uji Aktivitas Sitotoksik Analisa tidak

diteruskan

Uji Aktivitas Sitotoksik Analisa tidak

diteruskan

Ekstraksi


(24)

yang terlibat dalam proses ini adalah ekstraksi, fraksinasi dan kromatografi. Ekstraksi dilakukan dengan melakukan perendaman atau maserasi sampel biota laut di dalam larutan kimia seperti alkohol untuk memperoleh ekstrak kasar. Ekstraksi didefinisikan sebagai suatu metode pemisahan atau pengambilan secara selektif zat terlarut dari campuran yang didasarkan pada distribusi zat terlarut dengan perbandingan tertentu antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan (Triyulianti 2009). Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode fase organik karena dalam prosesnya digunakan pelarut organik yaitu berupa alkohol teknis (96%) atau etanol.

Fraksinasi adalah suatu teknik untuk memisahkan komponen organik dan ionik (larut dalam air) dalam suatu senyawa campuran menjadi dua fraksi berbeda (Parenrengi 1999 in Triyulianti 2009). Fraksinasi merupakan kegiatan awal pemurnian dalam tahapan isolasi dan melibatkan uji bioaktivitas untuk menentukan apakah ekstrak memiliki aktivitas atau tidak.

Kromatografi adalah teknik analisis kimia bagi pemisahan komponen senyawa yang masih bercampur. Kromatografi analitik digunakan untuk menentukan identitas dan konsentrasi molekul pada suatu senyawa campuran, dimana pemisahan kromatografi dapat memurnikan sejumlah besar sampel molekul. Teknik kromatografi untuk pemisahan suatu campuran dipengaruhi oleh sifat kelarutan dari komponen yang bersangkutan didalam eluennya, sifat interaksi komponen dengan bahan yang terdapat dalam fase diam dan interaksi pelarut dengan fase gerak (Harborne 1987; Gritter et al. 1991).

Tahap pengembangan, senyawa aktif lead memasuki standar uji pra-klinis dan klinis. Untuk menyiapkan uji ini, biasanya akan dibutuhkan bahan baku tambahan yaitu sampel biota laut. Proses pengambilan kembali (re-collection) sampel spesies yang merupakan kandidat atau lead (Hunt & Vincent 2006). Pada tahap kedua ini kuantitas sampel (per spesies) yang diambil akan lebih banyak daripada kuantitas sampel pada tahap pertama. Hal ini disebabkan:

1. sangat rendahnya konsentrasi alami senyawa aktif yang terkandung sehingga memungkinkan dilakukannya pengambilan sampel basah secara besar-besaran


(25)

untuk menjamin jumlah ekstrak pada proses pengembangan obat lanjutan (uji klinis) (Mendola 2003);

2. kompleksnya struktur kimia metabolit sekunder sehingga mempersulit industri farmasi dalam usahanya melakukan sintesis dan berpotensial tidak ekonomis (Faulkner 2000).

Memasuki uji pra-klinis, senyawa aktif lead akan diuji melalui uji in vivo

dengan menggunakan hewan dalam serangkaian tesnya. Sedangkan dalam uji klinis, senyawa aktif lead langsung diuji coba pada manusia. Biasanya satu dari 50 lead akan menghasilkan obat yang dapat dipasarkan (Hunt & Vincent 2006).

Kedua proses baik penemuan maupun pengembangan membutuhkan waktu 15 tahun, diantaranya fase penelitian dan klinis membutuhkan waktu hingga 13 tahun ditambah fase akhir yang sifatnya administratif selama dua sampai tiga tahun (UNU-IAS Report 2005 in Dewi et al. 2008). Proses pengembangan obat baru sangat mahal dan membutuhkan dana sebesar 900 juta US dollar atau melebihi 1 miliar US dollar untuk menghasilkan suatu produk mulai dari konsep hingga ke pasar (Hunt & Vincent 2006; Lindberg 2006 in Dewi et al. 2008). 3.2 Biologi Spons

Menurut Pechenik (2005), spons diklasifikasikan ke dalam kingdom Animalia atau hewan, subkingdom Metazoa, dan filum Porifera. Spons dimasukkan ke dalam filum Porifera dikarenakan seluruh tubuhnya yang berpori dimana dalam bahasa Latin “Porifera” berarti memiliki pori. Spons memiliki 3 pembagian dasar struktur tubuh, yaitu asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar spesies spons memiliki struktur tubuh leuconoid. Berdasarkan komposisi kimia dan morfologinya filum Porifera terbagi atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida. Namun saat ini telah diketahui kelas ke-4 dari filum ini, yaitu: Sclerospongia terdiri atas 16 spesies yang memiliki struktur leuconoid dan hanya terdapat di bagian gua-gua dan celah-celah terumbu karang yang gelap (Pechenik 2005).

Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara Porifera masa kini. Jenis ini tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun


(26)

organismenya sangat banyak. Umumnya berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar yang mengandung cambuk kecil yang berbentuk bundar. Spikulanya ada yang terdiri dari silikat dan ada beberapa spikulanya hanya terdiri dari serat spongin, serat kolagen atau tanpa spikula yaitu terdapat dalam famili Dictyoceratida, Dendroceratida, dan Verongida.

Spons pada umumnya berwarna putih atau abu-abu, dan ada pula yang berwarna kuning, jingga, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut sebagai zoochlorellae yang terdapat didalamnya (Romimohtarto & Juwana 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesis mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons pada umumnya adalah cyanophyta (sianobakteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthellae). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun termasuk dalam jenis yang sama. Beberapa spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson 1980).

Walaupun terlihat tidak memiliki pertahanan, spesies-spesies ini jarang dimakan oleh beberapa jenis ikan dan kepiting. Kenyataan inilah yang dijadikan acuan bahwa spesies-spesies tersebut memiliki semacam mekanisme pertahanan diri (Castro & Huber 2007). Sebagian besar spons laut yang bersifat sessile

mengandung sistem imun yang primitif dan menghasilkan senyawa kimia yang bersifat toksik sebagai bentuk pertahanan dirinya. Beberapa senyawa ini memiliki aktivitas farmakologi karena interaksi mereka dengan reseptor dan enzim yang spesifik (Amador et al. 2003).

Spons termasuk hewan filter feeder yang menyaring air yang memasuki tubuhnya melalui pori-pori kecil yang disebut sebagai ostia sebagai tempat masuknya air laut untuk bersirkulasi melalui sejumlah saluran atau kanal dimana partikel-partikel plankton dan organik akan dimakan dan disaring keluar kembali. Pori-pori tersebut dan sistem kanal tersebut berfungsi untuk menyaring air setiap 5 detik. Kanal-kanal tersebut adalah choanocytes yang merupakan lapisan sel


(27)

yang terdapat pada bagian dalam mesohyl, sejajar dengan spongocoel. Sel ini memiliki struktur yang menyerupai protozoa choanoflagelata. Choanocyte berbentuk bulat, dengan satu ujungnya terhubung ke mesohyl. Partikel-partikel plankton dan organik tersebut di pompa masuk menuju ruang makan yang lebih besar yang disebut sebagai spongocoel. Sel choanocyte berperan dalam pergerakan air dalam tubuh spons dan untuk menyediakan makanan (Rupert & Barnes 1994). Pada bagian atas tubuhnya terdapat kanal yang berfungsi sebagai tempat keluarnya air yang disebut osculum dengan jumlah yang lebih sedikit daripada ostia.

Proses interaksi antara spons dan mikroba simbionnya belum sepenuhnya diketahui. Beberapa teori mengemukakan bahwa proses rekrutmen mikroba simbion dilakukan spons pada saat proses filter feeder. Dikatakan bahwa spons mengandung komunitas mikroba yang beragam dan kompleks, yang secara genetik berbeda dengan mikroba yang ditemukan di plankton dan sedimen laut (Fieseler et al. 2004 in Sjögren 2006).Spons juga bersimbiosis dengan beberapa mikroorganisme, seperti bakteri. Menurut Friedrich et al. (2001) in Thakur & Müller (2004), diperkirakan sekitar 40% biomassa beberapa spons disusun oleh komunitas bakteri. Bakteri-bakteri tersebut merupakan simbion dalam tubuh spons. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa simbion-simbion tersebut memiliki peranan dalam produksi senyawa bioaktif yang berfungsi dalam adaptasi ekologi spons (Proksch et al. 2003; Thakur & Müller 2004; Ismet 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa selain mikroba episimbion yang melekat pada bagian permukaan spons selama masa pertumbuhan, beberapa bakteri dan fungi diturunkan secara genetis dalam tubuh spons (Ismet 2007). Telah diketahui bahwa mikroba simbion spons memiliki peran menjaga kestabilan pertumbuhan dan kesehatan spons. Simbion-simbion tersebut memiliki peran penting dalam penyediaan energi dan nutrisi (Ismet 2007), beberapa spons hidup secara simbiosis dengan sianobakteria, yang berfungsi sebagai penyuplai nutrien melalui proses fotosintesis (Hoffmann et al. 2005 in Sjögren 2006), menghambat mikroba patogen, serta sebagai pelindung terhadap radiasi sinar UV dan penghasil enzim antioksidan (Ismet 2007). Dugaan lain juga muncul bahwa mikroba yang


(28)

berasosiasi dengan spons inilah yang menjadi penghasil senyawa metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologis (Proksch 2003).

Secara ekologis, spons yang mengalami tekanan evolusi yang intensif dari kompetitor, yang mengancam dengan mengungguli pertumbuhannya, meracuni, menginfeksi atau memangsa telah mempersenjatai dengan senjata kimia yang potensial. Kajian pada kimia ekologi spons berhasil mengungkap bahwa metabolit sekunder yang dikandung spons tidak hanya berperan pada beragam peran metabolisme tetapi juga dalam menghadapi lingkungan hidupnya (Thakur & Müller 2004).

Spons bereproduksi secara aseksual dan seksual. Secara aseksual, spons bereproduksi melalui proses fragmentasi atau dengan menghasilkan gemmules

atau budding. Secara seksual, spons bereproduksi dengan menghasilkan sel telur dan sel sperma. Sebagian besar spesies spons bersifat hermafrodit dimana satu individu menghasilkan 2 jenis gamet (sel telur dan sel sperma) sekaligus.

Proses pembuahan dan perkembangan awal embrio biasanya terjadi secara internal. Sebagian besar spons menahan embrionya yang sedang berkembang secara internal selama beberapa waktu, kemudian melepaskannya keluar melalui oscula sebagai larva yang berenang. Sedangkan sebagian kecil spons bersifat

oviparous dimana sel telur yang baru dibuahi dilepaskan ke kolom air laut dan embrio akan berkembang secara eksternal.

Larva spons biasanya tidak mampu untuk mencari makan dan berenang selama kurang dari 24 jam sebelum mengalami metamorfosis. Sebelum kehilangan kemampuannya untuk berenang, larva menempel pada suatu substrat. Selama proses metamorfosis lanjutan, sel-sel dari berbagai bagian embrio mengalami perpindahan dan perubahan menjadi spons dewasa secara besar-besaran (Pechenik 2005).

3.3 Produk Alami Laut dari Spons

Pengertian produk alami laut merupakan salah satu cabang ilmu kimia yang membahas tentang senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam laut baik dari tanaman atau hewan laut. Sebenarnya senyawa kimia yang biasa kita


(29)

jumpai seperti karbohidrat, lipid, vitamin dan asam nukleat termasuk bahan alam, namun ahli kimia memberikan arti yang lebih sempit tentang istilah bahan alam yakni senyawa kimia yang berkaitan dengan metabolit sekunder saja seperti alkaloid, terpenoid, golongan fenol, feromon dan sebagainya. Produk alami laut dikelompokkan atas: (1) sumber biokimia yang mudah diperoleh dalam jumlah yang besar dan barangkali dapat diubah menjadi bahan-bahan yang lebih berharga; (2) substansi bioaktif yang termasuk (a) senyawa antimikroba, (b) senyawa aktif secara fisiologis (sinyal kimia), (c) senyawa aktif secara farmakologi dan (d) senyawa sitotoksik dan antitumor; dan (3) racun laut (Ismet 2007).

Metabolit terbagi atas dua tipe yaitu primer dan sekunder. Metabolit primer memiliki peranan penting dalam pertumbuhan dan kehidupan bagi semua makhluk hidup dan terbentuk melalui serangkaian reaksi metabolit yang terbatas. Metabolit primer berperan sebagai bahan penyusun dalam pembuatan makromolekul seperti protein, asam nukleat, karbohidrat dan lipid. Sedangkan metabolit sekunder tidak memiliki peran penting dalam kehidupan makhluk hidup dan terbentuk dari metabolit primer (Gudbjarnason 1999). Definisi metabolit sekunder yang berlaku secara luas yaitu senyawa yang terbentuk di dalam tubuh makhluk hidup tetapi tidak ikut berperan dalam proses metabolisme yang diperlukan dalam kehidupan dan perkembangan makhluk hidup (Hedner 2007). Kebanyakan metabolit sekunder berfungsi meningkatkan kemampuan bertahan hidup suatu organisme dan dapat berfungsi, contohnya, sebagai senjata kimia untuk melawan bakteri, jamur, serangga dan hewan yang besar. Fungsi metabolit sekunder inilah yang dikatakan memiliki aktivitas biologis atau disebut juga sebagai substansi bioaktif. Sebagian besar produk alami yang menjadi perhatian industri farmasi adalah metabolit sekunder tetapi ada pula yang tertarik pada produk metabolit primer seperti beragam lipid laut, enzim dan heteropolisakarida yang kompleks (Gudbjarnason 1999).

Karakteristik senyawa metabolit sekunder adalah (Ismet 2007):

a. Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa organisme tertentu saja;


(30)

b. Metabolit sekunder bukanlah merupakan senyawa yang esensial bagi pertumbuhan dan reproduksi;

c. Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme;

d. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur);

e. Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit sekundernya;

f. Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit primer;

g. Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi metabolit primer;

h. Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk metabolit primer, atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang terakumulasi selama metabolisme primer.

Spons merupakan salah satu avertebrata laut yang memiliki kekayaan kandungan metabolit sekunder yang bersifat bioaktif. Dalam tinjauannya, Lee et al. (2001) menyajikan 89 spesies spons yang menghasilkan metabolit sekunder yang beragam. Spesies yang sama menghasilkan beberapa metabolit sekunder dan aktivitas biologis yang berbeda. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons laut memiliki golongan senyawa kimia antara lain alkaloid, terpenoid, fenol, peptida, poliketida dan lain-lain (Thakur & Müller 2004). Potensi biologis yang dimilikinya pun sangat beragam antara lain inhibitor enzim, inhibitor pembelahan sel, anti-virus, antifungi, antiparasit, insektisida, antimikroba, anti-inflamasi, antitumor, sitotoksik atau kardiovaskular. Spons yang kandungan metabolit sekundernya memiliki aktivitas biologis sitotoksik berjumlah 27 spesies, diantaranya berasal dari genus yang sama yaitu Haliclona, Jaspis, Petrosia,

Spongia, dan Verongia. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Hingga tahun 2004 tercatat 16 senyawa metabolit sekunder yang bersumber dari spons layak memasuki tahap uji pra-klinis dan klinis. Senyawa-senyawa tersebut berhasil diisolasi dari 23 spesies spons dan diantaranya terdapat satu


(31)

metabolit sekunder yang diisolasi dari beberapa spons. Tahap uji yang dilakukan bervariasi dari uji sebagai obat anti asma, anti osteoarthritis, antikanker, anti-inflamasi, anti malaria, anti TB (tuberculosis), dan lain-lain. Bahkan beberapa metabolit sekunder telah memperoleh ijin untuk dijadikan bahan pengembangan obat oleh beberapa perusahaan farmasi. Salah satu metabolit sekunder, yaitu Manzamin A, diperoleh dari spons Haliclona sp. yang diperoleh di perairan Indonesia. Selengkapnya daftar tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2. Metabolit sekunder yang paling menonjol diisolasi dari spons adalah halichondrin B. Halichondrin B adalah senyawa polieter dan merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder paling aktif diantara senyawa halichondrin B yang lain. Senyawa halichondrin B yang lain adalah isohomohalichondrin B dan homohalichondrin B. Isolasi halichondrin B pertama kali dilaporkan di Jepang pada tahun 1986 dari spons Halichondria okadai. Metabolit ini juga pernah diisolasi dari beberapa spons yang hidup di wilayah Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, spesies spons tersebut antara lain Axinella sp. di Pasifik Barat,

Phakellia carteri di Samudera Hindia bagian timur dan Lissodendoryx sp. di lautan dalam lepas Pantai Timur di South Island, Selandia Baru (Newman & Cragg 2004).

Beberapa peneliti Indonesia juga telah melakukan isolasi dan identifikasi struktur senyawa metabolit sekunder dari spons di perairan Indonesia. Senyawa antioksidan berhasil diidentifikasi dari spons Callyspongia sp. asal Kepulauan Seribu (Hanani et al. 2005). Handayani et al. (2006) melaporkan spons laut

Axinella carteri Dendy asal Pulau Babi, Sumatera Barat memiliki potensi sebagai larvasida. Gabungan 7 (tujuh) senyawa toksik berhasil diidentifikasi dari ekstrak spons laut yang berasal dari perairan Gili Sulat, Lombok (Swantara et al. 2007). Setyowati et al. (2007) telah berhasil mengisolasi senyawa bersifat sitotoksik terhadap sel lestari tumor myeloma dari ekstrak spons Kaliapsis sp. asal Pulau Menjangan, Bali Barat. Senyawa antibakteri pun telah berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari ekstrak spons Petrosia nigrans asal Pulau Babi, Sumatera Selatan (Handayani et al. 2008). Dan yang terkini adalah aktivitas antibakteri dan


(32)

toksisitas ekstrak metanol spons Geodia sp. asal Pantai Wediombo, Yogyakarta (Isnansetyo et al. 2009).

2.4 Taman Nasional Kepulauan Wakatobi

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Kawasan Kepulauan Wakatobi dan perairan disekitarnya seluas ± 1.390.000 Ha ditunjuk sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Menhut No. 393/Kpts-VI/1996, tanggal 30 Juli 1996 dan telah ditetapkan berdasarkan SK Menhut No. 7651/Kpts-II/2002, tanggal 19 Agustus 2002, terdiri dari 4 (empat) pulau besar (P. Wangi-Wangi, P. Kaledupa, P. Tomia dan P. Binongko) yang terbagi menjadi 5 (lima) kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas masing-masing pulau tersebut adalah Pulau Wangi-wangi (156,5 km2), Pulau Kaledupa (64,8 km2), Pulau Tomia (52,4 km2), dan Pulau Binongko (98,7 km2) (Dirjen PHKA Dephut2007).

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari lokasi pengambilan di perairan Pulau Wangi-wangi dan Pulau Hoga. Berdasarkan Permenhut Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tanggal 29 Agustus 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, kedua lokasi pengambilan sampel termasuk kedalam zona pemanfaatan (Dirjen PHKA Dephut2007).

Gambaran umum pulau-pulau tempat diambilnya dua sampel spons yang digunakan dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut (CRITC COREMAP II-LIPI 2007; Rudianto & Santoso 2008):

1. P. Wangi-wangi, bagian selatan bertopografi datar hingga curam. Pulau ini memiliki luas 156,5 km2, berbentuk memanjang kearah barat laut dengan lebar sekitar 14,36 km dan panjang 16,09 km. pada rataan pulau ini sendiri terdiri dari beberapa pulau antara lain Pulau Kapota, Pulau Oroho, dan Pulau Sumanga. Rataan terumbu cenderung melebar ke arah timur dan selatan


(33)

dengan panjang sekitar 250 m – 1,5 km. Pulau Wangi-wangi mempunyai profil yang hampir sama dengan pulau-pulau di sekitarnya yaitu rataan terumbu umumnya sebagian besar landai dengan rataan terumbu lebar dengan dasar perairan karang mati dan pasir lumpuran. Kedalaman perairannya berkisar 5 – 1.884 m. Lereng terumbu mempunyai kemiringan antara 60-70o dengan pertumbuhan karang hidup yang tidak begitu rapat sampai kedalaman 40 meter. Kecepatan arus perairan P. Wangi-Wangi 0,09 – 0,6 m/detik. Musim timur gelombang sangat kuat dipengaruhi angin Laut Banda, sedang musim barat tidak terlalu besar karena terhalang P. Buton.

2. P. Hoga, pulau ini merupakan salah satu pulau yang termasuk kedalam gugusan pulau dalam rataan terumbu Pulau Kaledupa dan berada di sebelah timur Pulau Kaledupa. Perairan Pulau Hoga bagian selatan telah ditetapkan sebagai daerah perlindungan (no fishing zone) oleh masyarakat. Secara geografis, Pulau Hoga memiliki kemiripan dengan Pulau Wangi-wangi, perairan bagian timurnya dipengaruhi langsung oleh Laut Banda dan sebelah baratnya terlindungi oleh Pulau Kaledupa.


(34)

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian meliputi kegiatan penapisan substansi bioaktif dari beberapa spons laut. Kegiatan ekplorasi penapisan substansi bioaktif terdiri atas kegiatan pengambilan sampel spons, lalu ekstraksi, dan maserasi. Kegiatan pengambilan sampel spons telah dilakukan pada tanggal 25-26 April 2008 oleh tim peneliti dari Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan di perairan Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara (Gambar 2). Analisa laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Penelitian ini dilaksanakan dari awal bulan Agustus 2009 hingga akhir bulan Juni 2010.

Pengambilan sampel spons dilakukan di 4 (empat) stasiun berbeda perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Wakatobi pada bulan April 2008. Namun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel-sampel yang berasal dari Pulau Wangi-wangi (stasiun 1) dan Pulau Hoga (stasiun 4). Hasil Studi Baseline Ekologi Wakatobi dengan metode Line Intercept Transect (LIT) oleh CRITC COREMAP-LIPI (2006) menunjukkan tutupan rata-rata spons sebesar 3,71% dan 3,48% masing-masing di pulau Wangi-wangi dan Kaledupa.

Pengambilan sampel dilakukan dengan melakukan penyelaman pada kedalaman antara 3-10 m di tiap stasiun tersebut. Berat spons yang diambil adalah antara 50 – 550 gram bergantung pada kelimpahan spons di habitatnya. Spons didokumentasikan di habitatnya dan di atas permukaan air serta dilakukan pengamatan makroskopis setiap spons dengan menggunakan literatur yang ada (Colin & Arneson 1995).

Sampel tersebut kemudian langsung dibersihkan, dipotong kecil dan dipreservasi dengan menggunakan pelarut alkohol teknis dalam wadah plastik tahan pelarut organik dan disimpan di dalam kotak pendingin. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium instrumen Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan untuk diekstraksi lebih lanjut.


(35)

Gambar 2 Lokasi penelitian di Kepulauan Wakatobi. (Sumber: http://pssdal.bakosurtanal.go.id/)

3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu teknik untuk memisahkan dan mengisolasi suatu senyawa dari suatu larutan campuran atau padatan. Ekstraksi padatan dapat dilakukan untuk mengambil produk alami dari jaringan makhluk hidup, dengan perendaman jaringan di dalam suatu pelarut yang memiliki kesamaan tingkat polaritas dengan senyawa yang diinginkan. Bahan dan alat yang digunakan untuk ekstraksi adalah sampel spons W-19-08 dan W-36-08 yang tersimpan di dalam pendingin beku -20oC selama 16 bulan, pelarut alkohol teknis (96%), erlenmeyer, corong Buchner, rotary evaporator, freeze dryer, kertas saring Whatman no 41, timbangan digital OHAUS Adventurer (0,0001 g), dan tabung sampel.

3.2.2 Uji Sitotoksik in vitro

Uji sitotoksik bertujuan untuk mengetahui potensi bioaktif yang terkandung dalam ekstrak spons W-19-08 dan W-36-08 dengan menggunakan metode MTT yang merupakan kependekan dari pereaksi (3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-difenil tetrazolium bromida) sesuai Zachary (2003). Bahan dan alat yang digunakan

1

Legenda: Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1

2

3


(36)

dalam uji ini antara lain microplate 96-well, mikropipet, inkubator CO2, vial, biosafety cabinet Level 2 FASTER, tabung reaksi, erlenmeyer, t-flask 25 cm3, mikroskop inverted OLYMPUS, dan mikroplate spektrofotometr reader DYNEX. 3.3 Prosedur Penelitian

3.3.1 Pengambilan Sampel

Tahapan pengambilan sampel:

1. Sampel dengan berat 50 - 550 gram diambil dengan melakukan penyelaman pada kedalaman 3 – 10 m.

2. Beberapa bagian jaringan spons tersebut diambil atau dipotong dengan menggunakan scalpel dan pinset, lalu dimasukkan kedalam plastik, kemudian dibawa ke permukaan air secara perlahan.

3. Sampel tersebut kemudian langsung dibersihkan, dipotong kecil dan dimaserasi dengan menggunakan pelarut alkohol teknis dalam wadah plastik tahan pelarut organik dan disimpan di dalam kotak pendingin.

4. Spons didokumentasikan di habitatnya dan di atas permukaan air.

Identifikasi awal sampel dilakukan dengan membandingkan foto tiap spesies dengan pustaka yang telah ada (Colin & Arneson 1995).

3.3.2 Ekstraksi Spons

Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi (modifikasi Satari 1994,1995

in Triyulianti 2009) dengan sedikit modifikasi dengan tahapan sebagai berikut: 1. Spons yang telah disimpan dalam freezer ditimbang sebanyak 200 gram untuk

kemudian dipotong menjadi beberapa bagian kecil dan ditempatkan pada erlenmeyer 250 ml.

2. Ke dalam erlenmeyer tersebut ditambahkan larutan etanol teknis hingga sampel terendam sepenuhnya dalam larutan lalu diaduk hingga etanol meresap ke dalam sampel.

3. Erlenmeyer ditutup dengan plastik dan simpan selama 24 jam pada suhu kamar, lakukan kembali kegiatan tersebut hingga larutan bening.


(37)

4. Setelah 24 jam, larutan disaring dengan menggunakan kertas saring untuk memisahkan suspensi padat dengan cairannya.

5. Cairannya ditampung di dalam labu takar 50 ml (ekstrak) kemudian filtrat hasil ekstraksi dievaporasi dengan menggunakan rotary evaporator

selanjutnya dikeringkan dengan cara pengeringan beku menggunakan alat

freeze dryer.

6. Ekstrak kasar dipindahkan ke dalam botol-botol kecil dan tutup rapat, kemudian ditimbang untuk mengetahui rendemennya.

7. Selanjutnya ekstrak disimpan di dalam lemari pendingin untuk dilakukan uji bioaktivitasnya.

Ekstrak kasar spons ditimbang untuk mengetahui rendemen yang didapatkan dengan rumus:

Rendemen (b/b) =

spons basah Berat

ing ker ekstrak Berat

x 100% ………...(1)

3.3.3 Uji Sitotoksik in vitro

Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT (3-[4,5-dimetilthiazol-2yl]-2,5-difenil tetrazolium bromida) menurut Zachary (2003). Sel T47D dikultur dalam media DMEM lengkap yang mengandung Fetal Bovine Serum (FBS) 10% dan penisilin streptomisin 2%.

Masing-masing ekstrak spons selanjutnya diuji pada konsentrasi 30 ppm sebanyak 3 ulangan. Dibuat pula 4 macam kontrol, yaitu : kontrol sel (100 L sel + 100 L media), kontrol media (200 L media), kontrol sampel (100 L ekstrak spons + 100 L media) dan kontrol DMSO (100 L sel + 100 L konsentrasi DMSO uji). Untuk memastikan kondisi sel dalam keadaan baik dan siap untuk digunakan dalam uji, dibuat pula kontrol sel hari ke 0 (day zero). Sebanyak 100 L larutan ekstrak spons dimasukkan ke dalam sumuran mikroplat yang telah berisi sel tumor sebanyak 105 sel (100 L). Kemudian mikroplat diinkubasikan selama 24 jam dalam inkubator CO2. Setelah diinkubasikan selama 24 jam,


(38)

dan diinkubasikan kembali selama 4 jam dalam inkubator CO2. Reaksi MTT

dihentikan dengan penambahan 100 L larutan sodium dodesil sulfat (SDS) 10%, selanjutnya mikroplat kembali diinkubasikan selama 12 jam dalam ruang gelap pada suhu kamar. Setelah inkubasi tersebut, absorbansi tiap sumuran diukur dengan DYNEX spektrofotometer microplate reader pada panjang gelombang 570 nm.

Penentuan persentase kematian sel dihitung berdasarkan rumus: Kematian (%) = x 100%

) B -A (

) C -A (

………..(2)

Keterangan: A = Absorbansi sumuran kontrol sel (tanpa perlakuan ekstrak) B = Absorbansi sumuran kontrol media

C = Absorbansi sumuran yang diberi ekstrak uji

3.4 Analisa Data

Dalam penelitian ini digunakan dua analisis, yaitu:

1. Penentuan nilai Lethal Concentration 50 (LC50) 24 jam dihitung dengan

menggunakan analisis probit dan persamaan regresi melalui uji probit menurut Fisher dan Yates in Triyulianti (2009). Persentase kematian sel uji dikonversi menjadi angka probit berdasarkan tabel probit (Lampiran 3). Plot log konsentrasi versus angka probit masing-masing sebagai sumbu x dan sumbu y digunakan untuk mencari nilai LC50 dari persamaan regresi yang

diperoleh.

2. Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan potensi bioaktif ekstrak kasar terhadap sel lestari tumor T47D berdasarkan hasil LC50 dan

mendeskripsikan morfologi sel lestari tumor T47D sebelum dan sesudah diberi perlakuan ekstrak.


(39)

(40)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kelimpahan Spons di Lokasi Sampling

Perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi (TNK Wakatobi) terletak di pertemuan Laut Banda dan Laut Flores. Di sebelah utara dibatasi dengan Pulau Buton dan Laut Banda. Di sebelah selatan dibatasi oleh Laut Flores, di sebelah timur dibatasi oleh Laut Banda, dan sebelah barat dibatasi Pulau Buton dan Laut Flores. Hal ini menunjukkan bahwa perairan ini berdekatan dengan pusat keanekaragaman hayati “coral triangle ecoregion”.

Sampel spons yang berhasil dikoleksi dari kedua lokasi (stasiun 1 dan stasiun 4) di perairan Taman Nasional Kepulauan Wakatobi berjumlah 29 sampel. Jumlah terbanyak, yaitu 16 buah, diperoleh di stasiun 1 desa Waha barat Pulau Wangi-wangi, sedangkan di stasiun 4 selatan Pulau Hoga diperoleh 13 sampel spons. Gambar 3 menampilkan jumlah spons yang diambil di masing-masing stasiun. 16 13 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

Sta siun 1 Sta siun 4

Ju m la h s a m p e l ( in d iv id u )

Gambar 3 Jumlah sampel spons dikoleksi di stasiun 1 (barat Pulau Wangi-wangi) dan stasiun 4 (selatan Pulau Hoga).


(41)

Secara kualitatif, hasil identifikasi menunjukkan jumlah jenis spons yang diperoleh di stasiun 1 adalah 16 jenis dan di stasiun 4 adalah 13 jenis. Dari hasil pengamatan makroskopis, jenis spons yang dapat diidentifikasi awal di stasiun 1 berjumlah enam jenis antara lain Higginsia sp., Ircinia sp., Euplacella sp., Aaptos

sp., Cymbastella sp., dan Hyrtios sp. Sedangkan jenis spons di stasiun 4 yang dapat diidentifikasi berjumlah lima jenis antara lain Kallypilidon sp., Ianthella sp.,

Cinachyra sp., Paratetilla sp., dan Axinella sp. Tabel 1 memperlihatkan hasil identifikasi awal jenis-jenis spons yang dikoleksi di stasiun 1 dan 4.

Jumlah sampel spons yang berhasil diperoleh di kedua stasiun terbilang cukup banyak hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman spons di perairan ini cukup tinggi secara kualitatif. Penelitian yang dilakukan oleh Bell & Smith (2004) di dua lokasi terumbu di Sampela dan Pulau Hoga perairan Wakatobi mengidentifikasi 100 spesies spons (58 spesies di Sampela dan 73 spesies di Hoga) dengan 41% diantaranya spesies yang sama terbagi atas 38 famili di kedua lokasi tersebut pada kedalaman hingga 15 m dengan total area sampling 52,5 m2.

Bell & Smith (2004) mengidentifikasi famili spons yang diperoleh di Sampela dan Pulau Hoga dan famili spons terbanyak di kedua lokasi tersebut adalah Famili Microcionidae dengan jumlah 10 spesies. Sedangkan ada lima famili spons yang masing-masing hanya ditemukan satu spesies antara lain Ciocalyptidae, Clionaidae, Geodiidae, Palcospongidae, dan Tetillidae.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kode W-19-08 dan W-36-08. Sampel W-19-08 diambil dari perairan sebelah barat Pulau Wangi-wangi sedangkan sampel W-36-08 diambil dari perairan di sebelah selatan Pulau Hoga. Berdasarkan hasil pemotretan di bawah air, sampel W-19-08 merupakan spons bercabang warna biru, bagian cabangnya tampak melilit pada biota lain, substrat dasarnya menempel pada terumbu, teksturnya kenyal, dan ostia merata di setiap bagian cabang. Sedangkan hasil pemotretan di atas permukaan air, warna biru spons W-19-08 memudar yang mungkin terjadi akibat kontak dengan udara. Berdasarkan identifikasi awal (Colin & Arneson 1995; de Voogd 2004), spons W-19-08 diduga adalah spons Callyspongia (Euplacella) sp.


(42)

Hasil pemotretan di bawah air sampel W-36-08, spons ini berbentuk masif, berwarna kuning-jingga, permukaan tubuh berpori, dan substrat dasar menempel pada terumbu. Sedangkan hasil pemotretan di atas permukaan air, spons W-36-08 memiliki tekstur tubuh yang keras dan agak sulit dipotong, dan warna tubuh bagian luar kuning-jingga dengan tubuh bagian dalam berwarna sama tetapi lebih muda. Gambar 4 memperlihatkan sampel W-19-08 di habitat dan di atas permukaan air sedangkan dan Gambar 5 memperlihatkan sampel W-36-08 di habitat dan di atas permukaan air.

Tabel 1 Posisi geografis, jumlah, kode, dan prediksi taksonomi spons yang dikoleksi di stasiun 1 dan stasiun 4.

1 Barat Pulau Wangi-wangi 5o'15.46.50"LS 16 W-04-08 Tak Teridentifikasi 123o31'01.60"BT W-06-08 Tak Teridentifikasi

W-07-08 Higginsia sp. W-08-08 Ircinia sp. W-09-08 Tak Teridentifikasi W-10-08 Euplacella sp. W-11-08 Tak Teridentifikasi W-12-08 Tak Teridentifikasi W-14-08 Tak Teridentifikasi W-15-08 Tak Teridentifikasi W-16-08 Aaptos sp. W-17-09 Cymbastella sp. W-18-08 Hyrtios sp. W-19-08 Euplacella sp. W-20-08 Tak Teridentifikasi W-21-08 Tak Teridentifikasi 2 Selatan Pulau Hoga 5o28'48.4"LS 13 W-34-08 Kallypilidon sp.

123o45'34.7"BT W-35-08 Tak Teridentifikasi W-36-08 Tak Teridentifikasi W-38-08 Ianthella sp. W-40-08 Tak Teridentifikasi W-42-08 Cinachyra sp. W-43-08 Tak Teridentifikasi W-44-08 Tak Teridentifikasi W-46-08 Tak Teridentifikasi W-71-08 Paratetilla sp. W-72-08 Tak Teridentifikasi W-73-08 Axinella sp. W-74-08 Tak Teridentifikasi

No Stasiun Posisi Geografis

Jumlah Sampel (buah)

Kode Sampel Prediksi taksonomi

Penelitian Rachmat (2007) menunjukkan bahwa perairan kawasan timur Indonesia memiliki keanekaragaman spons yang tinggi. Penelitian tersebut


(43)

berhasil mengumpulkan 441 jenis spons yang tersebar di 8 (delapan) wilayah perairan Indonesia Timur antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Biak dan Ternate. Jumlah jenis spons terbanyak diperoleh dari empat wilayah perairan Sulawesi yaitu 240 jenis.

Gambar 4 Spons W-19-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B).

Gambar 5 Spons W-36-08 di dalam air (A) dan di atas permukaan air (B).

Penelitian Suharyanto (2007) yang dilakukan di dua lokasi di perairan Pulau Barranglompo, Sulawesi Selatan dengan kondisi terumbu karang berbeda berhasil mengidentifikasi delapan jenis spons antara lain Auletta sp., Callyspongia pseudoreticulatta, Clatria basilana, Clatria reinwardti, Jaspis stellifera, Plakortis nigra, Spirastella vagabunda, dan Xestosponga exiqua di daerah terumbu karang dengan kondisi masih baik dan tujuh jenis spons antara lain Auletta sp.,

Callyspongia sp., Clatria basilana, Jaspis stellifera, Plakortis nigra, Theonella A.W-19-08 di dalam air B. W-19-08 di atas permukaan air


(44)

cylindrica, dan Xestosponga exiqua di daerah terumbu karang dengan kondisi terumbu karang kurang baik. Hal ini juga menunjukkan bahwa perairan Sulawesi memiliki kelimpahan jenis spons yang tinggi.

Sementara itu, jumlah jenis spons yang diperoleh di perairan TNK Wakatobi adalah 29 jenis, sehingga dapat dikatakan bahwa distribusi dan kelimpahan spons di wilayah perairan Sulawesi dikategorikan tinggi jika jumlah jenis spons yang diperoleh di TNK Wakatobi, hasil penelitian Rachmat (2007), dan Suharyanto (2007) digabungkan.

Kelimpahan jenis spons yang tinggi di perairan Sulawesi diduga dipengaruhi oleh kondisi perairan Sulawesi yang dilalui Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Arus ini menghubungkan Samudera Pasifik di timur laut Indonesia dengan Samudera Hindia di selatan Indonesia. Air laut yang mengalir dari Samudera Pasifik membawa air yang lebih hangat dan salinitas lebih rendah melalui kepulauan Indonesia dan menuju Samudera Hindia. Arus ini merupakan satu-satunya arus di daerah tropis yang terlibat dalam pencampuran massa air antar dua samudera (Lee et al. 2002).

4.2 Ekstraksi dan Uji Bioaktivitas Ekstrak Kasar Spons

Ekstraksi merupakan tahap awal penapisan komponen bioaktif dari sampel spons (W-19-08 dan W-36-08). Ekstraksi secara harfiah artinya adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang menjadi sumber komponennya. Proses penarikan komponen bioaktif dari spons diawali dengan proses penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut (maserasi), penyaringan dan tahap pemisahan. Sampel spons (W-19-08 dan W-36-08) diambil dari dalam pendingin beku dan dibiarkan sesaat di udara terbuka agar esnya mencair.

Sampel spons dimaserasi dalam alkohol teknis (96%) di dalam erlenmeyer dalam suhu kamar dan dilakukan hingga warna pelarutnya bening. Proses ini diharapkan semua senyawa kimia yang terkandung di dalam jaringan spons terekstrak atau tertarik dan terlarut dalam cairan pelarut. Senyawa-senyawa kimia


(45)

yang terlarut merupakan senyawa kimia yang memiliki kesamaan polaritas dengan pelarut.

Setelah tahap maserasi dan penyaringan (filtration) diperoleh ekstrak kasar dari sampel spons dengan berat setelah di evaporasi serta rendemen yang diperoleh adalah seperti yang terlihat pada Tabel 2. Rendemen merupakan nilai persentase perbandingan antara berat ekstrak kering spons dengan berat basah sampel spons. Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar W-19-08 dan W-36-08 dapat dilihat pada Lampiran 4.

Ekstrak W-19-08 yang diperoleh dari hasil evaporasi berupa ekstrak berwarna coklat muda sedangkan ekstrak W-36-08 berupa ekstrak kenyal berwarna kuning-jingga. Kedua ekstrak ini dikeringkan terlebih dahulu menggunakan freeze dryer hingga diperoleh ekstrak kering atau disebut sebagai ekstrak kasar.

Tabel 2 Nilai berat sampel basah (gram) dan rendemen ekstrak kasar (%) sampel spons W-19-08 dan W-36-08.

W-19-08 (1) 1,14

W-19-08 (2) 0,54

W-36-08 (1) 5,60

W-36-08 (2) 3,66

50 1,68 3,36

140 9,26 6,61

Sampel Berat basah

spons (gram)

Berat ekstrak (gram)

Berat ekstrak total (gram)

Rendemen ekstrak (%)

Terlihat dari Tabel 2, berat ekstrak kasar spons W-19-08 adalah 1,68 gram dan ekstrak kasar spons W-36-08 adalah 9,26 gram. Berat ekstrak dari spons selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai rendemen hasil ekstraksi dan maserasi dalam alkohol teknis. Nilai rendemen ekstrak spons W-19-08 dan W-36-08 masing-masing diperoleh 3,36% dan 6,61%.

Untuk selanjutnya pada ekstrak kasar dari spons dilakukan uji sitotoksik in vitro terhadap sel lestari kanker payudara T47D yang terlebih dahulu ditumbuhkan pada medianya. Uji ini dilakukan untuk menguji potensi senyawa yang terkandung dalam ekstrak kasar dari spons dalam menghambat pertumbuhan


(46)

atau mematikan sel uji T47D. Uji sitotoksik ekstrak kasar dari spons dilakukan dengan menggunakan metode MTT. Prinsipnya adalah sel uji T47D yang telah diberi ekstrak spons pada konsentrasi tertentu diberi pereaksi MTT, diamati perubahan warna yang terjadi, dan dilakukan pengukuran absorbansi intensitas warna yang terbentuk sebagai representasi kehidupan sel uji T47D. Kemampuan ekstrak kasar dari spons pada konsentrasi tertentu dalam menghambat pertumbuhan atau mematikan sel uji T47D memperlihatkan bahwa senyawa tersebut memiliki sifat sebagai senyawa antikanker. Hasil uji sitotoksisitas ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 terlihat pada Gambar 6.

8 48 49 25 40 44 0 10 20 30 40 50 60

30 60 120

P e rs e n ta se k e m a ti a n s e l ( % )

Konsentra si ekstra k ka sa r sponge (ppm)

Sponge W-19-08 Sponge W-36-08

Gambar 6 Persentase kematian sel lestari tumor T47D setelah perlakuan dengan ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 (Keterangan: (---) batas persentase kematian 50%).

Persentase kematian sel lestari tumor yang diberi perlakuan ekstrak kasar dihitung dengan rumus (2) berdasarkan hasil pengukuran dengan spektrofotometer dan contoh perhitungan persentase kematian dapat dilihat di Lampiran 5. Gambar 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar maka semakin tinggi persentase kematian sel tumor. Pada konsentrasi 30 ppm, persentase kematian sel T47D akibat perlakuan ekstrak W-19-08 lebih rendah daripada yang


(47)

diakibatkan perlakuan ekstrak W-36-08 namun persentase keduanya masih dibawah 50% sehingga kedua ekstrak dapat dikatakan memiliki aktivitas yang rendah. Menurut Andersen (1991) in Sismindari et al. (2002), suatu ekstrak dianggap aktif apabila mampu menyebabkan mortalitas 50% populasi sel tumor pada konsentrasi di bawah 30 ppm (LC50 < 30 ppm). Bahkan pada konsentrasi 120

ppm pun, persentase kematian sel uji tetap tidak melebihi 50%. Persentase kematian yang rendah tersebut diduga disebabkan karena senyawa yang terkandung di dalam ekstrak kasar masih merupakan campuran senyawa kimia. Senyawa-senyawa tersebut dapat bersifat antagonis atau saling meniadakan sehingga ekstrak ini memiliki persentase kematian yang rendah.

Jika dibandingkan dengan hasil uji sitotoksik pada tahun 2008, hasil uji sitotoksik diatas menunjukkan penurunan aktivitas biologis ekstrak kasar kedua spons yang diperoleh dari hasil ekstraksi sampel spons yang telah melalui masa penyimpanan. Sebenarnya kedua hasil tersebut tidak dapat dibandingkan karena beberapa dugaan berikut ini:

1. uji sitotoksik in vitro dilakukan oleh orang berbeda dan prosedur kerja yang baru sehingga kondisi pada saat uji sudah berbeda dan prosedur kerja yang baru perlu diverifikasi;

2. generasi sel uji T47D pada uji tahun 2008 berbeda dengan generasi pada saat uji tahun 2010. Generasi sel uji pada tahun 2008 merupakan hasil pembiakan yang lama dan diduga sudah resisten terhadap ekstrak uji; 3. masa penyimpanan dalam pelarut dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan senyawa yang terkandung di dalam spons mengalami perubahan struktur secara kimiawi karena dapat terjadi reaksi alkilasi atau esterifikasi (Ebada et al.2008);

4. metabolit sekunder yang terkandung dalam spons dihasilkan oleh simbionnya. Sejumlah publikasi mengungkapkan beberapa jenis mikroorganisme yang bersimbiosis dengan spons ternyata juga menghasilkan metabolit sekunder yang sama dengan metabolit sekunder yang diisolasi dari spons (Lee et al. 2001; Piel 2004; Piel et al. 2004; Radjasa 2008). Oleh karena itu, dapat diduga mikroorganisme yang hidup


(48)

dalam spons tersebut telah mati selama masa penyimpanan namun dugaan ini perlu dikaji dan dibuktikan lebih lanjut.

Perhitungan nilai Lethal Concentration (LC50) 24 jam ekstrak kasar sampel

spons dilakukan berdasarkan hasil persentase kematian sel T47D pada seri konsentrasi ekstrak (Gambar 6) dengan menggunakan analisis probit. Tabel 3 menunjukkan nilai LC50 ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08. Perhitungan

ini dilakukan untuk memperkirakan konsentrasi ekstrak kasar yang menyebabkan kematian sel T47D sebesar 50%. Contoh perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 5. Nilai LC50 menunjukkan bahwa ekstrak kasar W-19-08 akan

menyebabkan kematian sel T47D sebesar 50% pada konsentrasi 156,14 ppm, sedangkan ekstrak kasar W-36-08 akan menyebabkan kematian sel T47D sebesar 50% pada konsentrasi 97,04 ppm.

Tabel 3 Nilai LC50 ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 terhadap sel T47D.

No Sampel LC50 (ppm)

1 W-19-08 156,14

2 W-36-08 97,04

4.3 Morfologi sel T47D hasil uji sitotoksik

Gambar 7 memperlihatkan bentuk morfologi sel normal T47D sebelum perlakuan dengan ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08 atau disebut sebagai kontrol sel. Gambar 8 dan Gambar 9 memperlihatkan bentuk morfologi sel T47D sesudah perlakuan dengan ekstrak kasar spons W-19-08 dan W-36-08. Gambar-gambar tersebut diperoleh dari hasil pemotretan di bawah mikroskop inverted

dengan pembesaran 100x.

Dari hasil pengamatan secara morfologi terhadap sel uji setelah 24 jam, terlihat adanya bentuk daya hambat pertumbuhan sel dengan terjadinya kerusakan sel uji T47D. Gambar 8 memperlihatkan perubahan morfologi dan jumlah sel T47D yang mendapat perlakuan ekstrak W-19-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm sedangkan pada konsentrasi 120 ppm perubahan morfologi sel uji tidak dapat


(49)

diamati karena sel uji yang tersisa tidak terlihat lagi. Perubahan morfologi sel uji akibat perlakuan dengan ekstrak W-36-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm

Gambar 7 Sel uji T47D tanpa perlakuan ekstrak kasar (sel normal T47D ditunjukkan dalam lingkaran merah).

juga terlihat (Gambar 9), bahkan pada konsentrasi 60 ppm hampir tidak terlihat lagi sel ujinya. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin berkurang jumlah selnya yang terlihat. Ekstrak dari sampel spons terlihat menyebabkan berkurangnya jumlah sel uji dibandingkan kontrol sel (Gambar 7) dan terjadinya kerusakan pada membran plasma sel (shrunk, burst, grainy) dan selain itu juga pada pengamatan terlihat adanya perubahan bentuk sel (round, ballooned). Secara visual, dapat dikatakan bahwa ekstrak kasar kedua spons aktif karena mematikan hampir sebagian besar sel T47D pada konsentrasi diatas 60 ppm namun hasil perhitungan persentase kematian menunjukkan persentase kematian ekstrak kasar pada konsentrasi tersebut tidak melebihi 50% (Gambar 6). Hal ini disebabkan persentase kematian dihitung berdasarkan hasil pengukuran absorbansi intensitas warna biru formazan yang terbentuk saat sel T47D bereaksi dengan ekstrak dan diberi pereaksi MTT (Gambar 10 dan Gambar 11).

Fenomena yang terjadi memperlihatkan masih ada sel T47D yang hidup pada konsentrasi ekstrak 120 ppm dan dapat dikatakan bahwa ekstrak kasar kedua spons memiliki sifat sitostatik yang berarti ekstrak berfungsi menghambat pertumbuhan sel T47D dan tidak mematikan sel tersebut atau sitotoksik.


(50)

Gambar 8 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-19-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm (morfologi sel uji T47D yang berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah).

Gambar 9 Sel uji T47D setelah perlakuan ekstrak kasar W-36-08 pada konsentrasi 30 ppm dan 60 ppm (morfologi sel uji T47D yang berubah ditunjukkan dalam lingkaran merah).

Morfologi sel T47D setelah perlakuan dengan ekstrak W-19-08 dan W-36-08 dan diberi pereaksi MTT masing-masing terlihat pada Gambar 10 dan Gambar 11.

Pada Gambar 10 dan Gambar 11 pembentukan kompleks biru formazan berupa garis-garis hitam berbentuk jarum yang mengelilingi sel uji masih tampak terlihat jelas masing-masing pada konsentrasi ekstrak 30 ppm dan merupakan hasil reaksi antara sel uji yang masih hidup dengan pereaksi MTT. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi reduksi seluler yang didasarkan pada pemecahan garam tetrazolium MTT yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna biru keunguan. Enzim suksinat dehidrogenase pada mitokondria sel T47D hidup

30 ppm (W-19-08) 60 ppm (W-19-08)


(51)

mampu memecah MTT menjadi kristal formazan (Zachary 2003). Jumlah formazan yang terbentuk proporsional dengan jumlah sel yang hidup. Semakin banyak sel yang mati, semakin sedikit kristal formazan yang terbentuk.

Gambar 10 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi MTT pada perlakuan ekstrak W-19-08 konsentrasi 30 ppm (ditunjukkan dalam lingkaran merah).

Gambar 11 Pembentukan kompleks formazan sel uji T47D dengan pereaksi MTT pada perlakuan ekstrak W-36-08 konsentrasi 30 ppm (ditunjukkan dalam lingkaran merah).

4.4 Kajian bioprospeksi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan

Tabel 2 memperlihatkan bahwa rendemen ekstrak kasar sampel W-19-08 dan W-36-08 sangat kecil yaitu dibawah 10%. Berdasarkan Gambar 1 penyiapan ekstrak kasar merupakan tahap awal dalam bioprospeksi. Namun karena persentase kematian sel uji pada konsentrasi ekstrak 30 ppm tidak mencapai 50%

30 ppm (W-19-08)


(1)

50

Lampiran 1 (lanjutan)

Spesies spons Metabolit sekunder Aktivitas biologis

Latrunculia magnifica Latrunculin A Neurotoksin

Leucetta cf. chagosensis Isonaamidine D Antifungi

Neosiphonia superstes Sphinxolides Sitotoksik

Notodoris citrina-Leucetta chagosensis Naamidines & naamines Antiparasit

Pachastrissa sp. Bengamides Antifungi

Pachastrissa sp. Bengazoles Antifungi

Pandaros acanthifolium Acanthifolicin Antitumor

Petrosia sp. Petrocortynes Sitotoksik, inhibitor enzime

Petrosia sp. Petrotetrayndiols Sitotoksik

Petrosia sp. Petrosiacetylenes Inhibitor Na+/K+-ATPase

Plakinastrella sp. Elenic acid Inhibitor Topoisomerase II

Poecillastra wondoensis Wondosterols Antimikroba

Psammaplysilla crassa Purealin Antiparasit

Psammaplysilla purpurea Aeroplysinin I Antiparasit

Psammaplysilla purpurea Bastadin Antimikroba

Psammaplysilla purpurea Purealidin A Sitotoksik

Reidispongia coerulea Reidispongiolide Sitotoksik

Reniera cratera Dorimidazole A Antiparasit

Rhaphisia lacazei Topsentins Antiproliferation

Spongia sp. Spongianolide Sitotoksik

Spongionella gracilis Gracilin B Sitotoksik

Stronglyophora hartmani Puupehenone Sitotoksik

Stylinos n. sp. Mycalamides Sitotoksik

Suberea creba Aeroplysinin I Antibakteria

Suberea creba Dibromoverongiaquinol Antibakteria

Tedania digitata 1-methylisoguanosine Effektor kardiovascular

Tedania ignis Tedanolide Sitotoksik

Tethya crypta Spongouridine, Spongothymidine Antivirus, antitumor

Theonella sp. Koshikamide Sitotoksik

Theonella swinhoei Swinholide Antifungi

Theonella swinhoei Theopederins Antifungi, Sitotoksik

Verongia aerophoba Aeroplysinin I Antibakteria

Verongia aerophoba Dienone Sitotoksik

Verongia spengelii Aplysinopsin Sitotoksik

Xestospongia sp. Xestospongine B Somatostatin/VIP inhibitor

Xestospongia sp. Ageliferine Somatostatin/VIP inhibitor

Xestospongia sp. Sceptrin Somatostatin/VIP inhibitor

Xestospongia sp. Xestoaminol A Antiparasit

Zyzzya fuliginosa Veiutamine Sitotoksik


(2)

51

Jaspis cf. coriacea Bengamida dan turunannya Fase 1 sebagai inhibitor metionin aminopeptidase Senyawa sintetik analog LAF389 memasuki uji klinis fase 1 Uji klinis dihentikan pada pertengahan 2002

Petrosia contignata Contignasterol (IZP-94005) Fase 2 sebagai obat anti asma Senyawa turunan IPL-576,092 memasuki uji kinis fase 2 Ijin pengembangan dipegang oleh Aventis

Stylotella aurantium Debromohymenialdisine Fase 1 sebagai obat osteoartritis Ijin pengembangan dipegang oleh Genzyme Tissue Repair Berpotensi juga sebagai bahan anti-Alzheimer

Discodermia dissoluta Discodermolida Fase 1 berpotensi sebagai anti-kanker pankreas Ijin pengembangan dipegang oleh Novartis Pharma AG dan mengobati kanker lain yang sudah resisten Kombinasi discodermolide & Taxol berpotensi sebagai obat

kanker paru-paru

Pseudaxinyssa (=Cymbastela) cantharella Girolline (Girodazol) Fase 1 sebagai inhibitor sintesis protein Uji klinis dihentikan dengan efek samping hipertensi Cymbastella sp. Turunan hemiasterlin Fase 1 sebagai obat anti-kanker Senyawa analog sintetik HTI-286 memasuki fase 2 uji klinis

Auletta sp. Ijin pengembangan dipegang oleh Wyeth

Siphonochalina spp. Senyawa asli berasal dari Hemiasterella minor

Agelas mauritianus Agelasphins Fase 1 sebagai obat anti-kanker Senyawa analog sintetik KRN-700 digunakan dalam uji klinis Forcepia sp. Lasonolida Pra-uji klinis untuk anti-kanker Dalam tahap uji budidaya laut

Luffariella variabilis Manoalida Fase 2 sebagai obat anti-inflamasi Fase 2 uji klinis dihentikan

Ijin pengembangan dipegang oleh Allergan Pharmaceutical Topsentia genitrix Topsentin - Potensi sebagai obat anti-inflamasi, anti-kanker dan

Hexadella sp. Alzheimer

Spongoserites ruetzieri

Spongia sp. (family Corallistidae) Dictyostatin Pra-uji klinis untuk anti-kanker Penelitian memasuki tahap pembuatan senyawa sintetik Latrunculia magnifica Latrunculin Pra-uji klinis untuk bahan aktif actin

Cacospongia mycofijiensis Laulimalida - Berpotensi sebagai stabilisator mikrotubulin Hyatella sp.

Fasciospongia sp. Dactylospongia sp.

Haliclona sp. Manzamin A Pra-uji klinis untuk anti-malaria, anti-TB dan Beberapa sampel sponge diperoleh di perairan Indonesia penyakit infeksi lain

Mycale hentscheli Pelorusida A Pra-uji klinis untuk antikanker Ijin pengembangan dipegang oleh Reata Pharmaceutical Inc. Dalam tahap uji budidaya laut

Haliclona sp. Salicylihalamida - Berpotensi sebagai obat anti-tumor dan osteoporosis * Menurut Newman & Cragg (2004)


(3)

52

Lampiran 3 Tabel probit

Tabel Probit

Persentase Probit

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

0 - 2,67 2,95 3,12 3,25 3,36 3,45 3,52 3,59 3,66

10 3,72 3,77 3,82 3,87 3,92 3,96 4,01 4,05 4,08 4,12

20 4,16 4,19 4,23 4,26 4,29 4,33 4,36 4,39 4,42 4,45

30 4,48 4,5 4,53 4,56 4,59 4,61 4,64 4,67 4,69 4,72

40 4,75 4,77 4,8 4,82 4,85 4,87 4,9 4,92 4,95 4,97

50 5 5,03 5,05 5,08 5,1 5,13 5,15 5,18 5,2 5,23

60 5,25 5,28 5,31 5,33 5,36 5,39 5,41 5,44 5,47 5,5

70 5,52 5,55 5,58 5,61 5,64 5,67 5,71 5,74 5,77 5,81

80 5,84 5,88 5,92 5,95 5,99 6,04 6,08 6,13 6,18 6,23

90 6,28 6,23 6,41 6,48 6,55 6,64 6,75 6,88 7,05 7,33

99 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9


(4)

Lampiran 4

Contoh Perhitungan rendemen ekstrak kasar sponge

W-19-08 dan W-36-08

W-19-08 (1) 1,14

W-19-08 (2) 0,54

W-36-08 (1) 5,60

W-36-08 (2) 3,66

50 1,68 3,36

140 9,26 6,61

Sampel Berat basah

spons (gram)

Berat ekstrak (gram)

Berat ekstrak total (gram)

Rendemen ekstrak (%)

Berat ekstrak kering (gram)

Rendemen = x 100%

Berat basah sampel awal (gram)

1,68

Rendemen W-19-08 = x 100% = 3,36 %

50


(5)

54

Lampiran 5

Contoh perhitungan persentase kematian dan

penentuan LC

50

Rerata sampel Kontrol sel Kontrol media

30 0,340 0,331 0,335 0,339 0,336 0,408 0,120

W-19-08 60 0,295 0,294 0,297 0,289 0,294 0,415 0,125

120 0,280 0,279 0,280 0,284 0,281 0,409 0,112

30 0,366 0,384 0,399 0,388 0,384 0,404 0,116

W-36-08 60 0,266 0,268 0,266 0,276 0,269 0,408 0,125

120 0,267 0,261 0,263 0,271 0,266 0,411 0,118

0,409 0,119 Ekstrak Konsentrasi (ppm) Absorbansi Sampel Rerata

30 1,477 25,16 4,33

60 1,778 39,82 4,75

120 2,079 44,31 4,85

30 1,477 8,60 3,66

60 1,778 48,36 4,95

120 2,079 49,57 5,00

97,04 W-36-08 Konsentrasi (ppm) Log konsentrasi (x) Mortalitas

(%) Probit (y)

W-19-08

LC50 (ppm)

156,14 Ekstrak

Pada ekstrak W-19-08 konsentrasi 30 ppm

Persen kematian =

100

%

)

B

A

(

)

C

A

(

×

=

100

%

)

119

,

0

409

,

0

(

)

336

,

0

409

,

0

(

×

= 25,16 % (nilai probitnya sebesar 4,33 (Lampiran 3))

Keterangan: A = Absorbansi sumuran kontrol sel (tanpa perlakuan ekstrak)

B = Absorbansi sumuran kontrol media

C = Absorbansi sumuran yang diberi ekstrak uji

Dari grafik hubungan antara log konsentrasi (sumbu x) dengan nilai probit

sumbu y didapatkan persamaan y = 0,863 x + 3,107

Penentuan LC

50

(konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50%)

50% nilai probit (y) = 5 (dilihat dari tabel probit (Lampiran 3))

x = log konsentrasi

y = 0,863 x + 3,107

5 = 0,863 x + 3,107

x = (5 – 3,107)/0,863

anti log = 2,194


(6)

Lampiran 6 Gambar ekstraksi spons W-19-08 dan W-36-08

Ekstraksi spons W-19-08