Kajian bioprospeksi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
37
maka ekstrak ini dianggap tidak aktif dan proses analisis fraksinasi tidak dilanjutkan. Hasil rendemen yang diperoleh memberikan gambaran bahwa
konsentrasi metabolit sekunder yang terkandung dalam spons sangat kecil. Jika tahapan analisis terus dilakukan hingga memperoleh senyawa murni dengan
bioaktivitas yang sangat potensial atau disebut sebagai senyawa aktif, maka dimungkinkan akan diperoleh senyawa murni dengan kuantitas yang sangat kecil.
Pada tahapan pengembangan akan dibutuhkan lebih banyak lagi senyawa murni tersebut untuk memasuki tahapan uji pra-klinis dan klinis dan hal ini berarti
dibutuhkan lebih banyak spons untuk diekstrak senyawa aktifnya. Pengambilan sebanyak-banyaknya biota laut dari habitatnya tentu saja akan menyebabkan
ketidakseimbangan ekosistem dalam suatu wilayah ekosistem. Dalam tinjauannya, Proksch et al. 2002 mengungkapkan konsentrasi senyawa aktif yang dihasilkan
avertebrata laut sangat kecil, bahkan terhitung lebih kecil dari 10
-6
per berat basah. Sebagai contoh, untuk memperoleh sekitar 1 gram metabolit sekunder
potensial ET-743 diperlukan hampir 1 ton berat basah tunikata Ecteinascidia turbinata untuk dipanen dan diekstrak Mendola 2000.
Sedangkan pada tahun 1992, kerjasama antara University of Canterbury sebagai penemu halinchondrin B dalam spons Lissodendoryx sp. dengan
konsentrasi 1 mgkg berat basah biomassa, Selandia Baru dan National Institute for Water and Atmospheric Research NIWA berhasil meyakinkan National
Cancer Institute NCI Amerika Serikat dan pemerintah Selandia Baru untuk membiayai dan menyetujui program isolasi halichondrin B dan pemulihan spons
Lissodendoryx sp. dalam skala besar yaitu dengan melakukan pengambilan spons tersebut secara besar-besaran 1 ton biomassa dari Semenanjung Kaikoura pada
kedalaman 100 m menggunakan alat tangkap trawl. Program ini berhasil memperoleh 300 mg halichondrin B dari 1 ton berat basah biomassa. Selain itu,
mereka juga berhasil mengadakan percobaan budidaya laut spons Lissodendoryx sp. di kedalaman 10 m dan ternyata mengandung metabolit sekunder yang sama
Munro et al. 1999, Newman Cragg 2004. Pada saat yang sama, kerjasama antara Harvard University dan perusahaan farmasi Jepang, Eisai berhasil
memperoleh senyawa halichondrin B melalui sintesis kimiawi yang diberi kode
38
sebagai E7389. Pada tahun 2003, senyawa sintetik E7389 telah memasuki uji klinis fase I untuk dijadikan obat antikanker Newman Cragg 2004. Jadi
masalah penyediaan bahan baku avertebrata laut merupakan masalah utama dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian penemuan dan pengembangan obat membutuhkan waktu yang lama, rumit, dan mahal. Oleh
karena itu, mekanisme pembagian manfaat yang adil membutuhkan negosiasi yang tepat antara perusahaan farmasi sebagai pengembang, institusi penelitian
yang terlibat, dan lembaga pemerintah pengawas keanekaragaman sebagai wakil masyarakat lokal Dewi et al. 2008.
Di Indonesia, penelitian pemanfaatan metabolit sekunder dari avertebrata laut sebagai bahan baku obat masih sebatas penelitian dasar. Sarana dan prasarana
yang menunjang penelitian di bidang ini masih menjadi kendala dalam percepatan isolasi metabolit sekunder. Disamping itu, mengingat tingginya keanekaragaman
hayati sumberdaya laut di perairan Indonesia, bidang ini sangat potensial untuk dikembangkan. Dalam rangka menerapkan prinsip pengelolaan sumberdaya
pesisir dan lautan, pemanfaatan sumberdaya ini diharapkan tetap memegang prinsip lestari dan berkelanjutan. Oleh karena itu, kajian pendahuluan distribusi
dan kelimpahan suatu biota laut, atau dalam hal ini spons, yang telah diketahui potensi bioaktifnya perlu dikaji lebih lanjut untuk mengetahui potensi sumberdaya
yang ada. Program penemuan dan pengembangan obat berbasis pemanfaatan
keanekaragaman hayati laut yang berkelanjutan telah banyak menarik perhatian, karena banyak peneliti percaya menyatukan program ini dengan kemajuan ilmu
bioteknologi akhir-akhir ini tidak hanya menjanjikan manfaat ekonomi tetapi juga meningkatkan perlindungan dan konservasi keanekaragaman hayati laut Dewi et
al. 2008. Hal ini berarti bahwa kemajuan ilmu bioteknologi secara tidak langsung menunjang pemanfaatan spons laut yang mengarah pada pengelolaan sumberdaya.
Dalam rangka pemanfaatan spons laut sebagai sumber metabolit sekunder yang berpotensi bioaktif, pengelolaan sumberdaya yang dapat dilakukan antara
lain:
39
1. Penetapan kuota berat basah avertebrata laut, khususnya spons, yang
diperbolehkan diambil dari habitatnya dalam tahap awal. Studi pendahuluan yang mendalam mengenai distribusi dan kelimpahan spons laut di habitatnya
perlu dilakukan mengingat terbatasnya sumberdaya spons di alam dan bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan. Tahapan pengambilan
kembali sampel pun harus dipertimbangkan hanya untuk tujuan skrining awal Amador et al. 2003. Apalagi hasil Studi Baseline Ekologi Wakatobi oleh
CRITC COREMAP-LIPI 2006 menunjukkan bahwa tutupan rata-rata spons di pulau Wangi-wangi dan Kaledupa masing-masing sebesar 3,71 dan
3,48; 2.
Sintesis kimia, pilihan ini dapat dilakukan jika senyawa murni yang diperoleh memiliki struktur kimia yang sederhana. Sintesis kimia merupakan salah satu
cara langsung untuk memperoleh metabolit sekunder dalam jumlah yang banyak. Dalam tinjauannya, Amador et al. 2003 dan Thakur Muller
2004 mengungkapkan pendekatan sintesis kimia seharusnya dijadikan tujuan akhir dalam rangka komersialisasi metabolit sekunder yang potensial
namun langkah ini tidak mudah dan juga memiliki kelemahan yaitu sebagian besar metabolit sekunder baru dari avertebrata laut memiliki struktur yang
kompleks dan membutuhkan langkah sintesis yang panjang dan hal ini tentunya akan membutuhkan biaya produksi yang mahal;
3. Budidaya lautmariculture, bioreaktor, budidaya sel dan jaringan avertebrata
laut yang telah diketahui potensi biologisnya. Metabolit sekunder yang terkandung dalam spons laut dihasilkan dalam jumlah yang sangat kecil
sehingga tidak mungkin dilakukan pengambilan sebanyak-banyaknya biomassa spons dari laut setiap waktu seperti yang telah diuraikan diatas
mengenai metabolit sekunder potensial ET-743 dan halichondrin B. Salah satu metode untuk mengatasi masalah sediaan metabolit ini adalah budidaya
laut. Untuk budidaya laut, kemajuan besar telah diperoleh dengan dilakukannya budidaya bryozoan Bugula neritina sumber metabolit sekunder
bryostatin dan tunikata Ecteinascidia turbinata sumber metabolit sekunder ecteinascidin 743 atau ET-743. Penyediaan biomassa yang diperlukan untuk
40
memenuhi permintaan pasar memang belum cukup namun pendekatan ini paling tidak dapat dijadikan acuan untuk avertebrata laut yang lain di masa
mendatang. Namun perlu disadari juga budidaya laut secara masal tidak akan luput dari gangguan alam berupa bencana badai dan penyakit yang dapat
merusak fasilitas dan sediaan budidaya sehingga mempersulit prakiraan hasil masa panen per tahunnya Proksch et al. 2003. Pendekatan budidaya spons
dengan menggunakan sel spons secara in vitro atau primmorphs juga telah dilakukan pada spesies Suberites domuncula. Produksi pertama metabolit
sekunder spons dari dalam bioreaktor yang berhasil adalah budidaya spons secara in vitro atau primmorphs dari spesies Dysidea avara penghasil avara,
suatu metabolit sekunder berpotensi antivirus, anti-inflamasi, dan antitumor Thakur Muller 2004;
4. Pengembangbiakan mikroba, telah diketahui secara luas bahwa avertebrata
laut yang berpotensi bioaktif mengandung mikroorganisme dalam jumlah yang besar dengan jumlah tertinggi 60 porsi berat basahnya. Apalagi sudah
lama dicurigai mikroba yang bersimbiosis dengan avertebrata laut merupakan sumber penghasil senyawa bioaktif yang sebenarnya. Spons merupakan
hewan filter feeders, permukaan tubuhnya yang memiliki pori atau ostia dalam jumlah yang besar secara aktif membiarkan air laut masuk dan
bersirkulasi dalam tubuhnya. Semua jenis mikroorganisme dalam air laut yang tahan dengan proses pencernaan dan respon antibodi spons dapat masuk
dan tinggal di dalam jaringan spons Wilkinson 1987 in Lee et al. 2001. Jenis mikroorganisme yang tinggal dalam spons memiliki variasi jenis antara
lain archaea, bakteri heterotrofik, sianobakteri, alga hijau, alga merah, cryptophytes, dinoflagelata dan diatom Lee et al. 2001. Dalam tinjauannya,
Lee et al. 2001 mengungkapkan metabolit sekunder yang dihasilkan mikroorganisme simbion dalam spons. Radjasa Sabdono 2009
mengungkapkan beberapa metabolit sekunder potensial yang dihasilkan spons ternyata juga dihasilkan oleh mikroorganisme simbionnya yaitu senyawa
peptide palauamida yang sebelumnya diperoleh dari spons Theonella
41
swinhoei dihasilkan oleh simbionnya Candidatus Entotheonella palauensis Schmidt et al. 2000 in Radjasa Sabdono 2009 ;
5. Rekayasa genetika, kemampuan untuk memindahkan bahan genetik dari satu
konsorsium bakteri ke konsorsium lain telah membuka kemungkinan memindahkan bagian DNA yang bertanggung jawab dalam jalur biosintesis
metabolit sekunder dari mikroorganisme tunggal penghasil senyawa aktif ke induk semang berupa mikroba Escherichia coli atau induk semang mikroba
yang lain. Pendekatan baru yang akan dikembangkan dalam metode ini adalah metagenomik, pendekatan ini memungkinkan kita mampu menemukan
dengan cepat jalur biosintesis produksi metabolit dari suatu organism dari avertebrata laut dan mikroorganisme simbionnya. Pemindahan jalur
biosintetis pada suatu bakteri yang dapat dikembangbiakan akan diperoleh produksi metabolit sekunder yang diinginkan secara lestari dan berkelanjutan
Piel et al. 2004. Semua kemajuan-kemajuan bioteknologi yang diuraikan di atas merupakan
pendekatan-pendekatan yang telah dikembangkan oleh seluruh ilmuwan produk alami laut di dunia dalam rangka produksi metabolit sekunder secara lestari dan
berkelanjutan. Kemajuan-kemajuan tersebut pun akan mencegah ekplorasi dan eksploitasi avertebrata laut khususnya spons secara besar-besaran yang mengarah
kepada hilang dan punahnya spesies spons dari habitatnya. Dengan potensi keanekaragaman hayati yang kita miliki, kemajuan-
kemajuan tersebut dapat dikembangkan dan dikerjakan dengan mudah di Indonesia melalui kerjasama penelitian dengan ilmuwan-ilmuwan terkait di luar
negeri. Sehingga kita dapat mencegah terjadinya degradasi dan kepunahan atas kekayaan hayati laut yang kita miliki.
42
43