PARTISIPASI MAHASANTRI DALAM ORGANISASI

64 yang memang masih belum siap saya kira, anggota perempuan juga belum ada yang cukup pantas dicalonkan untuk saat ini. Terdapat faktor eksternal yang sifatnya sangat erat kaitannya dengan pesantren. Sejauh ini diakui atau tidak pesantren Banyuanyar itu masih menganut faham patriaki yang secara tidak langsung kurang memberi ruang kepada perempuan menjadi pemimpin Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 maret 2015 Hal ini juga secara tidak langsung diamini oleh informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis aliran timur tengah, bahwa sejatinya kurang setuju atas keterlibatan perempuan dalam struktural kepengurusan: Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah perempuan. Ia kalau masih ada laki- laki yaa… ngapain harus perempuan..? yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. Wawacara pribadi dengan HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30. Namun terlepas dari alasan yang dituturkan oleh informan laki-laki dan sebagian informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis itu, ternyata masih ada dua informan perempuan yang berpendapat bahwa perempuan pada dasarnya juga bisa menjadi pemimpin dan terlibat aktif secara demokratis dalam struktur organisasi ini. Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua dan terlibat dalam struktural, karena memang di AD-ART cukup jelas kalau perempuan juga punya hak yang sama dengan anggota yang lain. Wawancara pribadi dengan IM, Jakarta, 21 Maret 2015 19:00 Kenapa tidak,,,? Perempuan juga punya hak, dan saya rasa perempuan juga banyak yang punya kapasiatas dalam mempimpin Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30 Penuturan dua informan ini sekaligus membuka pandangan bahwa dalam organisasi ini masih ada sebagian kecil anggota perempuan yang menginginkan menjadi ketua, dan tentunya sedikit banyak mengerti bagaimana seharusnya menjadi ketua, karena pada dasarnya menurut Richard I Lester : 1991 menjadi ketua atau pemimpin adalah sebuah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dengan cara kepatuhan, kepercayaan dan rasa hormat. Dan dari beberapa unsur tersebut bukanlah hal yang sulit bagi mahasantri atau sosok perempuan untuk tidak memilikinya juga. 65 Namun yang menjadi dasar alasan dan faktor kurangnya partisipasi perempuan dalam struktural, dalam hal ini sebenarnya tak terkecuali beberapa perbedaan pandangan terhadap setuju tidaknya perempuan terlibat dalam struktur organisasi yang lebih demokratis dalam konteks AD-ART. Untuk lebih jelasnya berikut penulis sertakan perbedaan pandangan tersebut dari semua informan yang dirangkum ke dalam bentuk tabel dibawah ini: Tabel.III.B.II.Keterlibatan Mahasantri Dalam Struktur Organisasi No Nama Informan Jenis Kelamin Latar Belakang Pendidikan Menjadi Ketua Menjadi Sekretaris Menjadi Bendahara Boleh Tidak Boleh Boleh Tidak Boleh Boleh Tidak Boleh 1 IM Pe r empu a n UIN √ - √ - √ - 2 HO Lipia - √ √ - √ - 3 MZ UMJ √ - √ - √ - 4 HZ Al-hikmah √ - √ - √ - 5 JU Al-hikmah √ - √ - √ - 6 EV Lipia - √ √ - √ - 7 BS Al-hikmah - √ √ - √ -

8 AH

L a k i- la k i Hidayatullah √ - √ - √ - 9 AK Unindra √ - √ - √ - 10 AR UIN √ - √ - √ - 11 ME UIN √ - √ - √ - 12 KR Ganesha √ - √ - √ - JUMLAH 9 3 12 12 Dari data tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB, sebagian besar informan membolehkan perempuan menjabat dalam struktur organisasi, baik menjadi ketua, seksretaris ataupun bendahara. Namun dari 12 informan terdapat tiga informan yang masih berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi ketua. Ia tetap gag boleh lah... sudah jelas juga kan ayatnya, Arrijalu qowwamuna alannisa’. iya... walaupun FKMSB gag ngelarang itu juga. Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 Maret 2015 19:00 Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah perempuan.Ia kalau masih ada laki- laki yaa… ngapain harus perempuan..?” yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. Wawacara pribadi dengan HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30. Bukan berarti saya tidak setuju kalau perempuan terlibat, Cuma kalau untuk menjadi ketua menurut saya itu langkah yang terlalu berani, menjaga itu akan 66 lebih baik saya rasa. Wawancara pribadi dengan EV, Mampang, 29 April 2015 13:15 Dari pengakuan tiga informan perempuan tersebut menunjukkan bahwa perempuan memang tidak ingin terlibat dalam struktural hususnya menjadi ketua. Hal ini semakin menguatkan bahwa latar belakang pendidikan aliran timur tengah menjadi satu alasan yang juga berpengaruh kuat terhadap tegaknya demokratisasi organisasi dimana perempuan selalu menjadi sosok The second class. Namun disisi lain menurut Nasaruddin Umar 2000 : 49 Seorang cendekiawan kontemporer yang menyatakan bahwa tidak ada satupun dalil, baik dari al- qur’an maupun hadist yang melarang kaum perempuan untuk terjun ke dalam bidang politik baik sebagai pejabat maupun pemimpin negara. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan di sekitar Nabi terlihat aktif dalam dunia politik. Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa kata Khalifah pada surat al-baqarah ayat 30 tidak merujuk hanya kepada satu jenis kelamin tertentu, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai Khalifah di muka bumi yang akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT. Faktor pemahaman agama tersebut sangat menarik walaupun disisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa ada banyak perempuan yang sangat ingin terlibat ke dalam struktur organisasi bahkan menjadi ketua sekalipun. Namun, kembali pada konteks partisipasi dalam kepengurusan ternyata dapat disimpulkan bahwa memang terjadi ketimpangan dalam struktural. Walaupun faktornya adalah perempuannya sendiri yang menyatakan kurang setuju jika perempuan menjadi ketua, namun sebagaimana organisasi modern dan tertuang dalam AD-ART, bahwa semua anggota FKMSB memiliki kesempatan yang sama dalam struktural. Mengingat sebagian perempuan juga mempunyai keinginan yang kuat terlibat dalam posisi yang lebih strategis. Seharusnya 67 anggota perempuan tidak selalu mendapatkan posisi yang bias gender yang selalu diposisikan diseksi konsumsi dan perlengkapan saja.

3. Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge

Diskusi mingguan merupakan salah satu wadah pengembangan knowledge dan program ini sudah rutin diagendakan dan disepakati dalam rapat kerja Raker yang dihelat di Mampang Jakarta Selatan pada 12 Januari 2015. Pengembangan knowledge atau keilmuan ini sangat sejalan sebagaimana tujuan dasar berdirinya FKMSB itu adalah reaktualisasi kaum santri dan meningkatkan nilai ukhwah di kalangan mahasantri Banyuanyar. Dan yang menjadi harapan adalah semua anggota dapat mengikuti dan mendapatkan hak yang sama untuk mengembangkan knowledge dalam forum diskusi tersebut tak terkecuali anggota perempuan dalam hal ini. Tapi yang sangat mencengangkan ternyata dalam forum ini, tak satupun anggota perempuan terlibat dalam program pengembangan knowledge baik dalam segi kehadiran sebagai audiens maupun keterlibatan sebagai pemateri. Berikut data partisipasi perempuan dalam pegembangan knowledge dalam forum diskusi mingguan: Tabel.III.B.III. Partisipasi Perempuan Dalam Pengembangan Knowledge di Forum Diskusi FKMSB Jabodetabek 20142015 No Bln Minggu Tema Diskusi Pemateri Audience Jumlah Pr Lk 1 A p ril I Kajian Tokoh timur tengah Mukit - 30 30 II Ekonomi Konfensional Kosim Rahman - 25 25 III Libur Kosong - - - IV Sejarah Nusantara Hotibul Umam - 29 29 2 Me i I Pelatihan Jurnalistik Moh Toha - 20 20 II Survival Jurnalisme Musyfiq - 21 21 III Kode etik Jurnalis Moh Melqy - 19 19 IV Tafsir Hermantika Mursidi - 23 23 3 Ju ni I Tokoh AliSyariaty Moh Melqy - 24 24 II Tokoh Sosiologi Haviz al asad - 27 27 III Ulumul Qur’an Ust Mukit - 27 27 VI Kajian Tokoh Tirto Adhi Soerjo Sulaiman - 24 24 Sumber data : Ketua bidang kajian mingguan FKMSB wilayah Jabodetabek 68 Dari data tersebut tidak ada satupun perempuan yang mendapat kesempatan menjadi moderator dan hadir sebagai audiens. Hal ini sepintas terlihat jelas bahwa tidak adanya partisipasi dalam pengembangan knowledge ini mencerminkan adanya ketimpangan yang sangat mencolok. Namun setelah ditanya mengapa partisipasi perempuan dalam pengembangan knowledge ini tidak pernah ada satupun yang terlibat. Dua informan perempuan berikut ini menjawab. Sebenarnya bukan gak mau terlibat atau gak dilibatkan, Cuma waktu dan jaraknyaitu yang jadi kendala, diskusinya kan malem.. jadinya gak mungkin kalo malem-malem perempuan hadir kan,,,? Apalagi jauh-jauh ke ciputat Wawancara pribadi denganBS, Mampang, 28 maret 2015 19:00 Dilibatkan juga sih..,smsnya juga dapet, Cuma kurang diberdayakan menurut saya. kadang pengin hadir juga, cuma perempuannya sedikit yang hadir jadinya males gitu, yah.... kadang perempuan juga jadi partisipasi pasif sih... Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30. Namun sebaliknya dari semua informan laki-laki hanya ada satu informan saja yang mengaku tidak bisa mengikuti dalam forum diskusi mingguan itu. Sebenarnya pengin hadir cuma jauh banget ke ciputat, kan tinggalnya di depok…? Wawancara pribadi dengan AH, Depok, 21 Maret 2015 09:00 Data ini menjelaskan bahwa kurangnya keterlibatan anggota dalam forum diskusi mingguan ini jelas karena faktor jarak dan waktu, namun beberapa alasan lain yang juga menjadi penyebab adalah kehadiran anggota perempuan yang terkadang hanya menjadi partisipasi pasif, sehingga membuat anggota perempuan semakin tidak bisa berpartisiapsi dalam forum tersebut. Namun alasan yang paling umum adalah faktor jarak dan waktu yang kurang pas. Hal ini juga sependapat dengan ketua bidang diskusi mingguan sebagai faktor kurangnya partisipasi anggota perempuan khususnya dalam mengikuti forum diskusi ini. Kami sebagai panitia sebenarnya sudah menginformasikan kesemua anggota, Cuma mungkin yang jadi kendala memang jarak yang jauh ya.. jadi tidak memungkinkan semua anggota terlibat secara maksimal. Wawancara pribadi dengan SY, Jakarta, 30 Maret 2015 69 Secara keseluruhan informan perempuan memberikan jawaban yang serupa atas alasan ketidakhadiran dan kurang terlibatnya dalam forum diskusi mingguan tersebut. Bahwa Selain karena faktor jarak dan waktu, perempuan juga merasa malas dan tidak nyaman sehingga merasa kurang percaya diri ketika lebih banyak laki-laki yang hadir mengikuti forum diskusi tersebut. Dalam konteks ini kurangnya keterlibatan anggota perempuan murni bukan karena dari perempuannya sendiri yang kurang berupaya mengikuti forum tersebut, namun lebih karena faktor jarak dan waktu. dan dalam pengembangan knowledge ini sangat tampak karena kebijakan pengurus dalam hal ini anggota laki-laki yang kurang mempertimbangkan perempuan dalam memutuskan waktu dan tempat acara diskusi tersebut yang kemudian sangat tidak menguntungkan perempuan. Sehingga acara tersebut menjadi acara yang tidak berkesetaraan gender dan hanya bisa dirasakan oleh anggota laki-laki saja. Seharusnya dalam perhelatan acara ini, pihak pengurus ada yang memfasilitasi anggota perempuan untuk alat transportasi misalnya antar jemput. Pertimbangannya adalah kalau malam-malam perempuan tidak aman dan rawan kejahatan. Dan selebihnya yang menjadi faktor penyebab adalah karena anggota perempuan merupakan kelompok minoritas dan kurang dilibatkan dalam forum-forum tertentu. Bahkan walaupun terlibat sekalipun terkadang hanya menjadi pelengkap dan menjadi partisipasi pasif. Dari data penelitiaan awal juga menunjukkan bahwa dalam Rapat Koordinasi Nasional RAKORNAS yang terakhir di Jakarta pada 15 Januari 2015 yang lalu, tampak perempuan tidak dilibatkan atau bahkan tidak melibatkan diri, bahkan ada, namun hanya menjadi penonton dan pendengar semata, Sehingga seluruh keputusan RAKORNAS itu adalah murni keputusan laki-laki. 70

C. KONTROL MAHASANTRI DALAM ORGANISASI

Dalam Gender Analysis Pathway GAP kontrol diartikan sebagai penguasaan, wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan yang menunjukkan akan peran seseorang dalam sebuah kelompok sosial baik itu kelompok ekonomi, sosial, dan politik. Ahli gender yang lain juga mendefinisikan bahwa kontrol sering bisa dipahami dari sebuah pertanyaan berikut ini, ”Who has what? Siapa punya apa? Dalam konteks ini penulis ingin memfokuskan pada dua sub bab: Jumlah keterlibatan mahasantri dalam beberapa posisi struktural, serta kontrol terhadap mahasantri dalam relasi organisasi. 1. Keterlibatan Mahasantri Dalam Keanggotaan dan Posisi Struktural Dalam konteks ketimpangan relasi gender dalam aspek kontrol ini, penulis ingin melihat keseluruhan mahasantri FKMSB dari beberapa tahun terahir ini, baik dalam jumlah keterlibatan keanggotaan maupun dalam posisi strategis distruktur kepengurusan. Tentunya dominasi diantara keduanya akan sangat berdampak pada pengambilan keputusan dan berpengaruh juga pada siapa yang paling punya power dalam menentukan kebijakan. Berikut data keanggotaan dan beberapa posisi dalam struktur kepengurusan dalam tiga tahun terahir. Tabel.III.C.I. Keanggotaan dan Keterlibatan Mahasantri Dalam Posisi Struktural NO TAHUN Jumlah Keanggotaan Keterlibatan Dalam Struktural Keterlibatan Dalam Posisi Ketua Keterlibatan Dalam Posisi Wakil Keterlibatan Dalam Posisi Sekretaris Keterlibatan Dalam Posisi Bendahara La k i- la k i P er emp u an La k i- la k i P er emp u an La k i- la k i P er ep u an La k i- la k i P er emp u an La k i- la k i P er ep u an La k i- la k i P er emp u an 1. 20142015 83 31 20 7 1 1 1 1 2. 20132014 74 29 18 7 1 1 1 1 3. 20122013 65 24 15 6 1 1 1 1 4. 20112012 1 1 1 1 Sumber data: Sekretaris Umum FKMSB Jabodetabek 71 Dari tabel ini bisa terlihat bahwa anggota laki-laki lebih dominan pada jumlah keanggotaan maupun dalam posisi struktural. Namun berdasarkan presentase jumlah keanggotaan dari tahun 2012-2013 sampai 2014-2015 dapat dikatakan keterlibatan perempuan dalam struktural mengalami peningkatan. Dan pada tahun 20142015 ternyata dari 83 anggota laki-laki hampir 40 terlibat dalam struktural, Sedangkan dari 31 anggota perempuan hampir 25 terlibat dalam struktur, presantase ini sudah cukup dikatakan seimbang dan proporsinal mengingat jumlah keanggotaan laki-laki jauh lebih banyak daripada anggota perempuan yang kemudian menyebabkan anggota perempuan lebih sedikit mendapatkan posisi dalam struktural. Namun yang tetap menarik disisi lain adalah keterlibatan perempuan dalam mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam struktur. Hal ini masih sejalan dengan data-data sebelumnya bahwa anggota perempuan lebih sedikit mendapatkan posisi strategis di struktural. Berdasarkan hasil temuan data diatas menunjukkan bahwa, tak ada satupun perempuan yang pernah mengisi posisi ketua ataupun wakil, dan pada posisi sekretaris dan bendahara hanya sekali dan itupun pada periode 2011-2012 tiga tahun yang lalu. Pada konteks ini secara jelas anggota perempuan selalu mendapatkan posisi yang tidak strategis, sedangkan sebaliknya anggota laki-laki mendapatkan posisi yang strategis. Dalam struktur organisasi tentunya posisi yang lebih strategis ini sangat berpengaruh pada siapa yang mempunyai kontrol dan power, semua kebijakan akan lahir dari elit organisasi ini. Dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam konteks ini akan sangat merugikan. Terlebih dalam menentukan suatu kebijakan terkadang perempuan kurang dihiraukan, kurang mendapatkan informasi, bahkan dalam program- program tertentu seringkali tidak dilibatkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian awal bahwa dalam program sosialisasi ke pondok pesantren Banyuanyar. Dalam 72 perhelatannya tak pernah sekalipun anggota perempuan diikutkan. Dan masih banyak lagi dalam beberapa kegiatan yang lain anggota perempuan kurang dilibatkan. Dan kebenaran ini diakui oleh beberapa informan perempuan Jarang dilibatkan,,, kadang ngadain acara aja kita tidak tau, dan parahnya lagi taunya dari orang lain bukan dari kelompok kita maksudnya, ini kan aneh masak organisasi kita yang tau programnya malah orang lain. Ia mungkin ada benarnya juga karena dominasi laki-laki, Saya sih sampe beranggapan organisasi ini emang mau diurus oleh laki-laki saja ya... Wawancara pribadi dengan IM, Jakarta, 21 Maret 2015 19:00 Dilibatkan sih iya... kan biasanya dibicarakan dalam forum atau rapat gitu... Cuma kurang diberdayakan menurut saya, dalam forum itu kan lebih banyak laki-laki... wajarlah kalau hampir semua kebijakan itu lahir dari laki-laki. Ahirnya Perempuan ikut-ikut aja. kan biar kompak? Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30. Salah satu informan mengatakan bahwa, ketika suatu kebijakan selalu menegedepankan laki-laki saja hal itu tentunnya sudah sangat merugikan perempuan. Yang jelas ketika dalam suatu kebijakan cuma lebih mengedepankan laki-laki itu sudah merugikan perempuan. Biasanaya kalau ngadain sosialisasi ke pesantren di madura belum pernah FKMSB itu mengutus perempuan, setiap tahun selalu anggota laki-laki Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30 Hal ini semakin menegaskan bahwa dominasi laki-laki dalam aspek kontrol ini sangat kental bahwa laki-laki lebih punya otoritas dan sebagai anggota yang lebih dominan serta sebagai elit organisasi, tentunya dengan posisi tersebut anggota laki-laki lebih mempuyai otoritas terlebih dalam menentukan suatu kebijakan yang pada akhirnya akan sangat menguntungkan kelompok mayoritas saja, Menurut Kamla Bashim 1996: 1 Dominasi laki-laki dalam sebuah kelompok akan sangat mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan dimana selama ini laki-laki selalu menempati di garis terdepan dan selalu menduduki posisi superior. Sedangkan disisi lain perempuan senantiasa menjadi sosok yang tersubordinasidan inferior sehingga selalu menjadi sosok yang tertindas dan sangat tidak diuntungkan. 73

2. Kontrol Mahasantri Dalam Relasi Organisasi

Dalam suatu organisasi seharusnya relasi antara laki-laki dan perempuan tercipta suatu hubungan yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Dari berbagai ketimpangan yang kemudian menjelaskan adanya kontrol yang kuat dari laki- laki terlihat dominasi laki-laki dalam setiap lini. Sehingga membuat perempuan lebih inferior dari anggota laki-laki. Dalam konteks kontrol mahasantri dalam relasi organisasi ini, ternyata ditemukan beberapa arahan dan campur tangan keluarga pesantren Neng : Putri kiayi yang seringkali secara tidak langsung melarang anggota perempuan untuk tidak terlalu bergabung dengan para anggota laki-laki dalam organisasi. Bahkan dalam beberapa pertemuan, menurut salah satu informan yang tak ingin disebutkan identitasnya menyatakan bahwa, Neng seringkali menginstruksikan supaya menggunakan tabir dalam setiap acara FKMSB. Salah satu instruksi yang sering Neng tekankan adalah menghadirkan tabir dalam setiap rapat dan pada pertemuan-pertemuan FKMSB. yah... mungkin biar lebih terjaga aja hubungan antara Ikhwan dan Akhwat Wawancara pribadi dengan X, Jakarta 14, April 2015. Salah satu informan perempuan yang lain juga menuturkan Pernah suatu hari ada rapat yang melibatkan anggota perempuan dan laki-laki dan saat itu tidak menggunakan tabir, keesokan harinya mereka dilarang mengikuti kegiatan lagi, dan mengancam pula untuk membentuk organisasi khusus perempuan, yang terpisah secara struktur organisasi Wawancara pribadi dengan X, Mampang, 23 Maret 2015 Namun demikian, menurut beberapa informan anggota yang dekat dengan Neng seperti HB Mantan Kordinator Akhwat FKMSB Jabodeabek ahirnya mampu menegosiasikan hal ini dengan Neng sehingga ancaman itu ahirnya tidak terjadi. Dan akhirnya kontrol yang mereka punyai dan jalankan lebih banyak berperan dalam konteks domestik perempuan itu sendiri. Seperti memposisikan dirinya dalam seksi perlengkapan, konsumsi. Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai penghambat bagi 74 perempuan dalam mendapatkan akses dan partisipasi anggota perempuan dalam proses berorganisasi secara demokratis dan profesional. Sehingga dalam relasinyapun berdampak pada kontrol perempuan dalam relasi organisasi yang kurang harmonis karna disatu sisi ada yang mendukung arahan ataupun instruksi tersebut, dan disisi lain malah tidak meresponnya. sehingga tidak mengherankan jika anggota perempuan maupun anggota laki-laki sampai detik ini terkesan kurang harmonis dan kurang kompak dalam relasi organisasi. Padahal kalau mengkaji lebih dalam di Al- Qur’an sendiri sebagai pegangan umat Islam khususnya kaum santri, di samping Al-Hadits, menegaskan bahwa laki- laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual, maupun intelektual. Dalam penyampaian pesannya, Al- Qur’an seringkali menggunakan ungkapan “laki-laki dan perempuan beriman” sebagai bukti pengakuannya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban mereka. Dalam hal kewajiban agama, Al- Qur’an juga tidak menunjukkan beban yang berbeda kepada keduanya. Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan yang harmonis antara keduanya Ali Munhanif, 2002: xxvi. Dari data tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa melemahnya kontrol ini tidak hanya karena dominasi laki-laki dalam struktur ataupun dalam keanggotaan, melainkan juga adanya campur tangan dan instruksi keluarga pesantren yakni Neng, yang kemudian lebih banyak mengarahkan untuk tidak teralalu berinteraksi dalam proses berorganisasi, sehingga relasi antara keduanyapun kurang harmonis dan anggota perempuan tidak banyak ikut serta membangun dan mengambil kesempatan untuk terlibat lebih aktif dalam organisasi ini. Dan yang Kedua, budaya patriarkhi yang masih kental bahwa anggota laki-laki selalu menduduki posisi paling depan, sehingga kerapkali keterlibatan perempuan dalam beberapa kegiatan tidak maksimal dan selalu 75 lebih dominan dalam pekerjaan yang bersifat domestik. Budaya patriarkhi ini juga mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada ahirnnya memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan menunjukkan dominasi anggota laki-laki dalam setiap lini. Dari data tersebut tampak dominasi anggota laki-laki sebagai sosok yang mempunyai kontrol yang akan selalu memberikan perlakuan kurang adil sehingga perempuan sebagai kelompok minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas, dan hubungan antara keduanyapun sering menimbulkan konflik yang ditandai oleh sikap subyektif seperti prasangka dan tingkah laku yang tak bersahabat Schwingenschlogl, 2007: 32 Sebagai data yang masih bisa digali lebih dalam, kemudian penulis juga sempat menanyakan ke beberapa informan sehubungan dengan instruksi Neng yang menganjurkan penggunaan tabir dan selalu menyarankan perempuan untuk selalu menjaga diri dan membatasi interaksi dengan laki-laki dalam relasi organisasi dalam kegiatan FKMSB. Hal ini tergambar jelas bahwa hampir semua informan tidak setuju dengan instruksi tersebut. Seperti pada tabel berikut : Tabel III.C.II.Beberapa Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan No Nama Latar Belakang Pendidikan Instruksi Penggunakan Tabir dalam suatu acara Instruksi Membatasi Diri Dengan Dalam Relasi Organisai . Setuju Tidak Setuju kondisional Setuju Tidak Setuju Biasa saja Tidak tau 1 IM UIN √ √ 2 HO Lipia √ √

3 MZ

UMJ √ √ 4 HZ Al-Hikmah √ √ 5 JU Al-Hikmah √ √ 6 BS Al-Hikmah √ √ 7 AH Unindra √ √ 8 AM Hidayatullah √ √ 9 KR Ganesha √ √ 10 AR UIN √ √ 11 ME UIN √ √ 12 EV Lipia √ √ Jumlah 4 7 1 4 7 1 12 12