75
lebih dominan dalam pekerjaan yang bersifat domestik. Budaya patriarkhi ini juga mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada ahirnnya
memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan menunjukkan dominasi anggota laki-laki dalam setiap lini.
Dari data tersebut tampak dominasi anggota laki-laki sebagai sosok yang mempunyai kontrol yang akan selalu memberikan perlakuan kurang adil sehingga
perempuan sebagai kelompok minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas, dan hubungan antara
keduanyapun sering menimbulkan konflik yang ditandai oleh sikap subyektif seperti prasangka dan tingkah laku yang tak bersahabat Schwingenschlogl, 2007: 32
Sebagai data yang masih bisa digali lebih dalam, kemudian penulis juga sempat menanyakan ke beberapa informan sehubungan dengan instruksi Neng yang
menganjurkan penggunaan tabir dan selalu menyarankan perempuan untuk selalu menjaga diri dan membatasi interaksi dengan laki-laki dalam relasi organisasi dalam
kegiatan FKMSB. Hal ini tergambar jelas bahwa hampir semua informan tidak setuju dengan instruksi tersebut. Seperti pada tabel berikut :
Tabel III.C.II.Beberapa Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan
No Nama
Latar Belakang
Pendidikan Instruksi Penggunakan Tabir
dalam suatu acara Instruksi Membatasi Diri
Dengan Dalam Relasi Organisai .
Setuju Tidak
Setuju kondisional
Setuju Tidak
Setuju Biasa saja
Tidak tau 1
IM UIN
√ √
2 HO
Lipia
√ √
3 MZ
UMJ √
√
4 HZ
Al-Hikmah
√ √
5 JU
Al-Hikmah
√ √
6 BS
Al-Hikmah
√ √
7 AH
Unindra
√ √
8 AM
Hidayatullah
√ √
9 KR
Ganesha
√ √
10 AR
UIN √
√
11 ME
UIN √
√
12 EV
Lipia
√ √
Jumlah 4
7 1
4 7
1 12
12
76
Dari data ini menyatakan sebagian besar informan tidak setuju dengan instruksi Neng. sebanyak 7 dari 12 Informan menyatakan tidak setuju dengan instruksi
penggunaan tabir dalam beberapa acara, dan hanya empat informan saja yang setuju. Disisi lain instruksi kepada perempuan untuk membatasi diri dengan laki-laki dalam
relasi organisai juga tidak jauh berbeda dengan konteks sebelumnya yakni 7 dari 12 Informan menyatakan tidak setuju, Namun 4 diantaranya menyatakan setuju dengan
beberapa alasan yang berbeda. Hal ini menggambarkan bahwa ternyata tidak semua instruksi dari Neng disetujui oleh anggota, Namun yang menjadi kemungkinan besar
adalah tingginya nilai-nilai pengetahuan keagamaan yang kemudian anggota FKMSB selalu menghargai status yang disandangnya sehingga instruksi tersebut seringkali
dipenuhi walaupun terasa berat untuk dijalani.
D.MANFAAT YANG DIDAPATKAN DALAM ORGANISASI
Manfaat dalam Gender Analysis Pathway GAP adalah: Apakah perempuan dan laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan? Dalam konteks ini
penulis ingin melihat pada beberapa program yang sudah dijalankan, dalam konteks organisasi FKMSB ini perempuan dan laki-laki idealnya bisa mendapatkan manfaat yang
sama dan setara. Dan untuk terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka
memiliki akses, berpartisipasi, dan kontrol atas organisasi serta memperoleh manfaat yang setara dan adil antara laki-laki dan perempuan Faqih : 1997- 13
1. Manfaat Keterlibatan Mahasantri Dalam Program FKMSB
Aspek pengambilan manfaat yang sama ini menjadi salah satu aspek yang paling nyata dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, kurangnya akses dan
minimnya kesempatan perempuan dalam konteks partisipasi akan berpengaruh terhadap
77
pengambilan manfaat yang rendah dan tidak setara, begitu juga melemahnya kontrol dari perempuan itu sendiri menyebabkan proses pengambilan manfaat yang tidak sama
dengan laki-laki. Dengan demikian anggota perempuan akan sangat dirugikan. Dalam konteks yang lebih konkrit ini misalnya anggota perempuan memang tidak banyak
terlibat dalam diskusi mingguan, kepenulisan modul dan beberapa pengembangan skill dan knowledge sehingga hal itu sangat berdampak pada aspek manfaat yang sampai
saat ini perempuan kurang bisa merasakan mendapatkan manfaat yang sama. Kuranglah... mungkin kedepannya bisa ditingkatkan lagi, dan perempuan lebih
banyak terlibat Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 MARET 2015 19:00
Informan laki-lakipun juga menuturkan Memang Kurang sih..., mungkin masih proses aja menuju kesetaraan. Ini
perjuangan dan saya rasa ini tidak gampang Wawancara pribadi dengan ME, Jakarta 30 Maret 2015
Dari beberapa data sebelumnya sudah menunjukkan bahwa dalam beberapa program kegiatan, anggota perempuan mengalami subordinasi dan selalu
mendapatkan perlakuan kurang profesional, bahkan dalam struktur kepengurusan juga mengalami stereotype bahwa perempuan lemah dan kurang pantas menjadi leader.
Sehingga tak pernah sekalipun anggota perempuan menjadi ketua, wakil maupun sekretaris dalam suatu program FKMSB, seperti terlihat jelas pada tabel III,B,I
Partisipasi Perempuan Dalam Skill Managerial Dan dapat disimpulkan bahwa dalam konteks manfaat ini perempuan sangat tidak mendapatkan manfaat yang sama dengan
anggota laki-laki.
78
Tabel.III.D.I. Manfaat Mahasantri Dalam Pelaksanaan Program FKMSB
PROGRAM KEGIATAN FKMSB
No Kegiatan 20142015
Menjadi ketua panitia Menjadi Sekretaris
Menjadi Bendahara Laki-laki
Perempuan Laki-laki
Perempuan Laki-laki
Perempuan 1
Musyawarah Besar
√ -
√ -
√ -
2 Pengkaderan Anggota Baru
√ -
√ -
√ -
3 Milad 50 Tahun FKMSB
√ -
√ -
- √
3 Rakornas
√ -
√ -
√ -
4 Musywil
√ -
√ -
√ -
5 Perayaan Maulid Nabi
√ -
√ -
√ -
6 Seribu waqaf Al-
qur’an √
- √
- √
-
Jumlah 5
5 4
1
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan, ternyata tak sekalipun anggota perempuan terlibat di dalamnya.
Hal ini menunjukkan bahwa, ternyata dalam setiap acara FKMSB anggota perempuan tidak mendapatkan manfaat yang sama dalam proses merealisasikan beberapa acara
tersebut. Baik pemanfaatan dalam struktural maupun dalam relasi keduanya dalam suatu agenda yang melahirkan ilmu pngetahuan dan wawasan.
2. Manfaat Keberadaan Basecamp FKMSB Jabodetabek
Dan yang paling menarik lagi, dalam konteks manfaat ini anggota perempuan juga tidak mendapatkan tempat atau Basecamp khusus seperti yang sudah didapatkan
oleh anggota laki-laki beberapa tahun yang lalu.Sampai saat ini FKMSB Jabodetabek hanya memfasilitasi anggota laki-laki saja. Dan sebagai informasi bahwa pengadaan
basecamp ini juga sedikit banyak dibantu secara finansial oleh beberapa senior untuk pembayaran sewa tempatnya. Tentu hal ini akan sangat membantu secara finansial.
Namun tidak demikian dengan anggota perempuan yang kemudian memilih untuk bertempat tinggal di Kos-kosan.
Iya …. kita ngekos. Kebetulan cewek-ceweknya kan sedikit yang di ciputat,
gag, paling kalau ada acara aja ke Basecamp. basecamp itu kan cuma buat laki-laki saja. Wawancara pribadi dengan MZ,Jakarta, 23 Maret 2015.
79
Iya kan perempuannya kebetulan juga sedikit, paling yang tinggal berdekatan 5 orangan aja, yaudah kita ngekos aja. pengennya sih punya Basecamp juga,,
Cuma mau gimana lagi. Kan udah ada cowok-cowoknya. Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 Maret 2015 19:00
Hal senada juga disampaikan informan yang lain bahwa Basecamp FKMSB ini hanya ditempati oleh anggota laki-laki saja.
Iya memang... karna yang tinggal diciputat itu lebih banyak laki-laki jadi ditampung di Basecamp. Gag lah... ntar yang ada timbul fitnah kalau di
basecamp perempuan sama laki-laki. Wawancara pribadi denganKR, Jakarta, 27 maret 2015
Dari beberapa data tersebut menunjukkan bahwa pengadaan Basecamp ini hanya ditempati oleh anggota laki-laki saja, tapi tidak dengan anggota perempuan
yang sebenarnya juga menginginkan pengadaan Basecamp tersebut yang dianggap akan sedikit lebih membantu secara finansial dan tentunya akan lebih fokus dalam
berorganisasi. Namun hal ini tidak pernah terfikirkan oleh pengurus FKMSB.
Tabel.III.D.II. Manfaat Pengadaan Basecamp FKMSB
No Nama
Jenis Kelamin
MANFAAT Pengadaan Basecamp
Ada Tidak Ada
1. IMO
P er
emp u
an √
2. HOL
√ 3.
MUZ √
4. HZA
√ 5.
JUW √
6. SHO
√
7. EVI
√ 8.
AHM La
k i-
la k
i √
9. KRA
√ 10.
ABR √
11. MEL
√ 12.
ABH √
Jumlah 5
7 12
Dalam konteks pengambilan manfaat, Beberapa temuan lebih banyak disebabkan oleh karena dua hal, pertama, selain karena dominasi laki-laki yang sangat
kuat, juga disebabkan oleh anggota laki-laki yang kurang sensitif dan kurang peka untuk melibatkan anggota perempuan dalam setiap proses organisasi yang mereka
80
jalani. Akibatnya perempuan tidak dapat mengakses, mengontrol dan mengambil manfaat secara langsung dalam setiap kebijakan dan dari setiap program yang mereka
agendakan. Tentu logika sederhananya adalah, tanpa terlibat tidak mungkin dapat mengambil maafaat yang maksimal pada sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan.
Kedua, adalah keengganan perempuan untuk terlibat, hal ini besar kemungkinan disebabkan adanya instruksi Neng yang kemudian berdampak pada pengambilan
manfaat yang belum terpenuhi secara maksimal dan tak sesuai harapan. Bahkan dalam pengadaan Basecamp sekalipun, tergambar jelas bahwa tidak satupun anggota
perempuan yang bisa menempatinya dan hal itu hanya dikhususkan untuk anggota laki-laki saja . Hal ini menunjukkan bahwa sampai persoalan fasilitas sekalipun,
ternyata anggota perempuan belum mampu mendapatkan manfaat yang sama, dan masih sangat jauh dari kata-kata proporsional. Dan disisi lain pengurus FKMSB yang
lebih banyak diisi oleh anggota laki-laki kurang begitu memahami dan tidak punya inisiatif untuk membentuk Basecamp khusus untuk anggota perempuan. Dalam
konteks ini jelas-jelas kurangnya akses, partisipasi dan kontrol yang lemah yang dirasakan anggota perempuan, secara otomatis selanjutnya juga akan melahirkan
kurangnya manfaat yang seharusnya bisa dapatkan. Dan dari beberapa hasil penelitian ini sudah menujukan bahwa dalam relasi mahasantri dalam organisasi FKMSB sejauh
ini masih tampak ada ketimpangan dalam setiap aspek.
81
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Orgaisasi FKMSB
Ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB ini, banyak ditemukan dalam beberapa aspek. Dalam konteks akses ternyata anggota perempuan kurang
mendapatkan akses dan peluang untuk mencalonkan diri dalam posisi struktural organisasi. Bahkan Dalam pengembangan Skill dan knowledge, ternyata ditemukan bahwa anggota
perempuan tak sekalipun mendapatkan akses menjadi MC ataupun Moderator, sehingga anggota laki-laki dalam konteks akses ini lebih dominan dalam segala aspek. Terlebih dalam
kepenulisan modul FKMSB, ternyata anggota perempuan tak satupun mendapatkan informasi dalam penyusunan da kepenulisan tersebut. Semakin mencolok adanya ketimpangan yang
dalam organisasi FKMSB ini ketika anggota perempuan seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dan mengalami tindakan subordinat dan stereotype bahwa perempuan dianggap
lemah dan tidak punya kapasitas menjadi leader. Disisi lain dalam konteks partisipasi mahasantri dalam pengembangan skill
Managerial, keterlibatan perempuan juga sangat minim. Hal ini berdasarkan temuan bahwa dalam beberapa program yang dihelat FKMSB tak satupun anggota perempuan yang
mendapatkan kesempatan menduduki posisi yang strategis sehingga kesempatan dalam mendapatkan pengetahuan memimpin skill managerial tidak ada. Partisipasi dalam
pengembangan Knowledge juga tampak tidak maksimal, hal ini terlihat bahwa dalam program
82
diskusi mingguan tak sekalipun anggota perempuan dilibatkan menjadi moderator, pemateri bahkan dalam tiga bulan selama peneitian ini berlangsung tak satupun anggota perempuan
yang hadir menjadi audiens. Sehingga dalam konteks partisipasi ini anggota laki-laki lebih banyak berpartisipasi dalam proses berorganisasi.
Dalam konteks kontrol, penelitian ini menemukan dominasi anggota laki-laki dalam jumlah keanggotaan dan dalam posisi struktural yang hampir semua posisi struktural diisi
oleh anggota laki-laki saja. Hal ini menunjukkan betapa dominanya anggota laki-laki yang secara tidak langsung menjadi sosok yang paling mempunyai power, pemegang kendali dan
kebijakan yang dapat mengontrol organisasi ini seperti apa yang mereka inginkan. Bahkan dalam beberapa temuan ini, tidak jarang anggota perempuan tidak dilibatkan dalam beberapa
pertemuan bahkan dalam kegiatan tertentu. Sehingga Dalam konteks kontrol ini jelas anggota perempuan sering mengalami penindasan dan dalam relasi organisasi antar keduanya terjadi
tidak balance. Dan dalam konteks pamanfaatan, menunjukkan bahwa anggota perempuan kurang
mendapatkan porsi yang sama seperti apa yang sudah didapatkan dan dirasakan oleh anggota laki-laki. manfaat dalam mendapatkan pengetahuan dan wawasan dalam struktur
kepengurusan dan dalam mensukseskan beberapa program. Hal ini hanya bisa dirasakan oleh sebagian besar anggota laki-laki saja, sedangkan anggota perempuan lebih banyak diberikan
posisi perlengkapan dan konsumsi sehingga manfaat yang didapatkan anggota perempuan sangat tidak sesuai dengan harapan dan tidak menujukkan adanya ketimpangan antar anggota.
Bahkan untuk sekedar menempati Basecamp saja perempuan tidak bisa. Hal ini tidak lepas karena kurangnya kepedulian pengurus FKMSB yang dihuni oleh sebagian banyak anggota
laki-laki.
83
2. Faktor Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Organisasi FKMSB
Beberapa faktor penyebab terjadinya ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek adalah
1. Budaya Patriarkhi
Budaya patriarkhi yang selalu mengedepankan laki-laki sebagai tokoh sentral dalam relasi kehidupan sehari-hari. Hal ini juga berlaku dalam organisasi FKMSB,
sehingga perempuan selalu menjadi the second class dan mendapat perlakuan yang kurang profesional dalam realitas organisasi. Kultur organisasi yang terkonstruksi
oleh budaya patriarkhi ini sudah sekian lama tertanam sejak dari asal mereka yaitu pulau Madura. Hal ini diperkuat dengan temuan data bahwa sampai detik ini pucuk
kepemimpinan tertinggi masih kokoh dipimpin oleh anggota laki-laki. Semakin komplek dalam konteks ini anggota perempuan selalu mendapat tantangan yang
sangat besar dari kelurga kyai terutama dari putri-putrinya, sehingga ruang gerak dan keterlibatan perempuan dalam organisasi FKMSB semakin terbatas.
2. Pemahaman Agama
Semua anggota FKMSB merupakan mantan santri, dimana mereka menempuh pendidikan di pesantren Darul Ulum Banyuanyar yang masih belum terbuka dalam
konteks isu-isu gender dan masih menerapkan metode salaf berupa mengaji kitab- kitab salaf seperti kitab yang dianggap benar dan harus diikuti, walaupun disisi
lain tidak sedikit yang dikritisi para aktivis gender karena mangandung konstruksi yang bias gender. seperti beberapa dalil al-
qur’an yang ditafsirkan bahwa hanya laki-laki yang bisa menjadi pemimpin, dan corak keagamaan yang fiqih centres ini
masih sangat kental mempengaruhi kultur kehidupan mereka sehari-hari, baik
84
dalam sosial budayanya dan keagamaannya sehingga dalam konteks ini tidak heran jika perempuan selalu mendapatkan perlakuan subordinat dan sering
mendapatkan stereotype bahwa perempuan lemah dan tidak punya kapasitas untuk menjadi pemimpin.
3. Lemahnya pola relasi dalam organisasi
Pola komunikasi dan relasi anggota baik laki-laki maupun perempuan disini terlihat masih kurang terbuka dalam konteks relasi keduanya, sehingga juga
mempengaruhi efektifitas organisasi. Hal ini juga didukung dengan temuan bahwa masih terjadi beberapa perlakuan yang kurang profesional dengan masih adanya
penunjukan langsung dalam menentukan posisi di struktur organisasi. 4.
Basis pendidikan yang berorientasi fundamentalis Semua Santri yang sudah lulus dari pondok pesantren Banyuanyar melanjutkan
kuliah ke beberapa kampus di Jabodetabek dan sangat jarang memilih perguruan tinggi berbasis umum apalagi ke UIN yang sempat mendapat klaim Liberal.
Terlebih anggota perempuan lebih banyak memilih perguruan tinggi yang tergolong Islam aliran timur tengah, seperti LIPIA, Al-Hikmah,An-Nuaimi dan
Hidayatullah yang semua itu merupakan pola pendidikan berbasis Fundamentalis. Hal ini sangat terlihat ketika mahasantri dari kampus tersebut memberikan
pendapat dan mengklaim suatu pendapat dan dalilnya harus dikuti dan harus dibenarkan. Hal ini juga dianggap menjadi faktor kurangnya keterlibaan anggota
perempuan dalam proses berorganisasi secara profesional.
85
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri FKMSB Jabodetabek ini, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan baik yang bersifat
akademis maupun praktis yang akan ditujukan: 1.
Untuk Organisasi FKMSB Perlu diupayakan sebuah pendekatan dan pembelajaran untuk meningkatkan sensitivitas
gender di kalangan anggota FKMSB berupa diskusi ataupun kajian tentang relasi gender agar terwujud pemahaman yang sadar gender sehingga semua anggota mendapatkan
kesempatan dan hak-hak yang sama dalam relasi berorganisasi. 2.
Untuk Pesantren Banyuanyar Perlu adanya keterbukaan komunikasi yang kemudian meningkatkan sensetivitas gender
bagi pengasuh, para ustadz dan ustadzah, sehingga dapat memberikan arahan bahkan kebijakan yang kemudian memberlakukan pembelajaran terkait gender yang seharusnya
diberikan sejak dini kepada para santri di pesantren. Dan selebihnya mulai diberikan beberapa penjelasan dan arahan terkait pendidikan berspektif gender, yang kemudian
diharapkan lulusan pesantren dapat memahami dan mempunyai persepsi yang baik dalam konteks realitas sosial saat ini.
Selanjutnya, juga perlu adanya keterbukaan komunikasi antara pengurus dan keluarga Pesantren terkait anggota FKMSB perempuan serta peran pengurus perempuan yang
selama ini masih terlihat kaku dan terkesan kurang berani tampil kedepan karena stigma perempuan yang masih kental akan budaya patriarki dan selalu diposisikan sebagai the
second class.
86
Peran pengurus pusat FKMSB, pengurus pesantren dan keluarga pesantren sangat tepat untuk membicarakan dan menentukan beberapa kebijakan dengan harapan terciptanya
relasi organisasi FKMSB yang lebih baik terlebih bagi anggota perempuan kedepan. 3.
Untuk Pemerintah dan Kementerian Agama Perlu adanya kebijakan pemerintah yang memberikan porsi yang cukup terhadap lembaga
pendidikan di pesantren berupa pengetahuan sosial berspektif gender yang kemudian memungkinkan lulusan pesantren lebih melek memahami konteks realitas sosial, serta
lebih responsif terhadap isu-isu gender yang berkembang dan semakin mengantisipasi adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Dan perlu adanya buku kurikulum berbasis agama dan pengetahuan umum yang dikomparasikan dengan standar nasional yang kemudian diberikan dan diajarkan dalam
lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren dapat melahirkan sosok pelajar yang mempuni baik dalam pengetahun agama maupun dalam pengetahuan sosial.