49
Tabel.III.A.I. Akses Mahasantri Dalam Struktur Organisasi
No Nama
Jenis Kelamin
Latar Belakang
Pendidikan Akses ke Jabatan Struktural
Kesempatan Menjabat Dalam Struktur
Ada Tidak ada
Tidak tau 1.
IM
P er
emp u
an
UIN
√ 2.
HL
Lipia
√ 3.
MZ
UMJ
√ 4.
HZ
Al-hikmah
√ 5.
JU
Al-hikmah
√ 6.
BS
Al-hikmah
√
7. EV
Lipia
√ 8.
AH La
k i-
la k
i
Hidayatullah
√ 9.
KR
Ganesha
√ 10.
AB
UIN
√ 11.
ME
UIN
√ 12.
AK
Unindra
√
Jumlah 3
7 2
12
Dari data diatas menunjukkan bahwa semua informan perempuan menyatakan tidak mendapatkan akses dalam jabatan struktural. Dalam konteks akses ini menurut
informan perempuan disebabkan tidak adanya kesempatan terhadap perempuan serta adanya penunjukan langsung terhadap perempuan pada posisi-posisi yang mengarah
pada posisi yang bias gender, sehingga anggota perempuan hanya menduduki posisi- posisi seperti seksi konsumsi, perlengkapan dan beberapa posisi yang kurang
menguntungkan perempuan. Berbeda dengan informan laki-laki yang menuturkan bahwa akses dalam
struktural disebabkan karena kurangnya kemampuan atau kapasitas dari perempuannya sendiri, dan salah satu informan menyatakan bahwa laki-laki memang lebih baik
daripada perempuan, seperti yang dituturkan dua informan berikut ini: Sebenarnya ada... Cuma saya rasa perempuan memang kurang mempunyai
kapasitas berada dalam struktur, apalagi menjadi leader, ini kan organisasi pesantren,,, yang kita tau perempuan masih menjadi the second class. Dan
perempuan harus perjuangkan itu karena saya rasa disitulah problemnya. Wawancara pribadi dengan ME, Ciputat,25 Maret 2015 13:00.
50
Sama-sama punyalah... tapi inikan organisasi pesantren... jadi memang kurang pas kalau perempuan terlibat dalam struktur,
apalagi sampe’ jadi ketua, masih banyak laki-laki yang lebih layak lah.. Wawancara pribadi dengan AR, Jakarta,
23 Maret 2015. Salah satu faktor yang mencolok atas kurangnya akses dalam struktur ini adalah
adanya pengakuan bahwa organisasi pesantren ini kurang tepat kalau ketuanya adalah sosok perempuan. Walaupun disisi lain ternyata ada salah satu perempuan yang mengaku
sanggup bahkan siap menjadi ketua. Seperti pengakuan salah satu informan berikut ini: Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua, apalagi di AD-ART cukup jelas
kalau perempuan juga punya hak yang sama dengan anggota laki-laki, saya siap kok kalau ada kesempatan menjadi ketua. Cuma masalahnya sampe sekarang
perempuan gag pernah diberi kesemptan kan..? Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 MARET 2015 19:00
Saya pernah dipimpin oleh perempuan dalam sebuah organisasi, saya merasa nyaman-nyaman aja bahkan saya merasa lebih baik
disana”. kalau alasannya itu karena pesantren, saya rasa itu pembodohan buat perempuan. Wawancara
pribadi dengan MZ,Jakarta,
26 Maret 2015 17:30
Namun selain karena tidak adanya kesempatan perempuan menjabat dalam struktur, yang paling menarik disini adalah kuatnya stereotype yang dianut bahwa
anggota perempuan kurang layak dan kurang cukup mempunyai kapasitas berada dalam struktural. Dan selanjutnya kuatnya budaya patriarkhi yang selalu mengedepankan sosok
laki-laki dalam pucuk kepemimpinan, sehingga melahirkan pola relasi yang selalu
merugikan kaum perempuan dalam konteks struktural.
Namun faktor lain yang ditemukan dan tidak kalah menarik menyatakan bahwa hal ini dikarenakan seluruh anggota organisasi FKMSB adalah para mantan santri yang
masih punya pemahaman agama yang kuat dengan menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. hal ini atas dasar pemahaman nas al-
qur’an “Arrijaalu qowwaa
muna alannisa’ ”yang sebagian besar menafsirkan bahwa perempuan tidak boleh menjadi ketua atau pemimpin. berikut beberapa perbedaan pendapat informan terkait
51
wacana perempuan menjadi pemimpin yang penulis kelompokkan ke dalam bentuk tabel
berikut ini: TabelIII.A.II. Penafsiran Perempuan Menjadi Pemimpin
No Nama
Jenis Kelamin
Latar belakang pendidikan
Kategori Kampus
Wacana Perempuan menjadi pemimpin
dalam organisasi
Boleh Tidak
boleh 1.
AH
P er
emp u
an
Hidayatullah
F UN
DA M
E NT
A L
IS
√ 2.
HL
Lipia
√ 3.
EV
Lipia
√ 4.
HZ
Al-hikmah
√ 5.
JU
Al-hikmah
√ 6.
BS
Al-hikmah
√
7.
MZ
UMJ
P R
OG R
E S
IF
√ 8.
IM La
k i-
la k
i
Uin
√ 9.
KR
Ganesha
√ 10.
AB
UIN
√ 11.
ME
UIN
√ 12.
AK
Unindra
√
Jumlah 6
6 12
Dari data tersebut memperlihatkan bahwa informan yang setuju terhadap wacana perempuan menjadi pemimpin adalah mahasiswa yang mempunyai latar belakang
pendidikan Islamnegeri dan umum, seperti UMJ, UIN, Ganesha dan Unindra. Sedangkan sebaliknya informan yang tidak setuju berasal informan yang mempunyai pola
pendidikan timur tengan yang berorientasi fundamentalis Seperi Lipia, Al-hikmah dan Hidayatullah. Hal ini sedikit menunjuksn bahwa latar belakang pendidikan fundamentalis
juga berpengaruh terhadap pola pikir mahasantri. Sedangkan disisi lain, Syaikh Mahmud Syaltut yang merupakan mantan
pemimpin tertinggi Al Azhar seperti yang dikutip oleh Quraisy Shihab dalam Perempuan: Dari Cinta Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama
sampai Bias Baru, 2005:07 menyatakan, bahwa Allah telah menganugerahkan potensi yang cukup kepada laki-laki dan perempuan untuk mengemban tanggung jawab sosial
dan kemanusiaan. Potensi ini juga termasukdalam hal kepemimpinan. Karena pada
52
akhirnya setiap manusia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah SWT, maka tak ada alasan bagi pelarangan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Dari pernyataan tersebut menjadi menarik karena pada umumnya seorang yang mempunyai latar pendidikan Islam mempunyai pandangan yang lebih progresif terhadap
kepemimpinan perempuan. Namun, dalam temuan ini ternyata justru informan yang mempunyai latar belakang pendidikan modernis yang membolehkan perempuan menjadi
pemimpin atau ketua dalam organisasi FKMSB. Seperti salah satu informan berikut ini Suatu hal yang baru dan suatu hal yang sangat membanggakan bila FKMSB bisa
melahirkan pemimpin perempuan. Saya sangat setuju itu. Ini akan menjadi suatu langkah lebih maju dari apa yang saya bayangkan. Apalagi dalam AD-ART tidak
ada larangan perempuan menjadi katua. Wawancara pribadi dengan AK, Condet, 17 April 2015
Sejalan dengan pernyataan informan, bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB sekalipun ternyata memang tidak ditemukan larangan ataupun batasan terhadap
keterlibatan perempuan dalam struktur kepengurusan, jadi dapat disimpulkan berdasarkan data ini akses perempuan dalam struktur organisasi dan menurut AD-ART
pada dasarnya tidak ada larangan, namun pada realitanya dalam struktur organisasi ini tetap laki-laki yang selalu menjadi ketua, dan sebaliknya perempuan selalu mendapatkan
posisi perlengkapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa, akses anggota perempuan terhadap jabatan dalam struktural masih belum maksimal, walaupun dalam AD-ART
tidak ada larangan namun dalam realitanya masih belum bisa dirasakan secara proporsional, dan terjadi ketimpangan.
2. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill
Skill merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian mulai dikembangkan dan diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali dalam
hal ini penulis ingin menjelaskan akses perempuan dan laki-laki dalam pengembangan