52
akhirnya setiap manusia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada Allah SWT, maka tak ada alasan bagi pelarangan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Dari pernyataan tersebut menjadi menarik karena pada umumnya seorang yang mempunyai latar pendidikan Islam mempunyai pandangan yang lebih progresif terhadap
kepemimpinan perempuan. Namun, dalam temuan ini ternyata justru informan yang mempunyai latar belakang pendidikan modernis yang membolehkan perempuan menjadi
pemimpin atau ketua dalam organisasi FKMSB. Seperti salah satu informan berikut ini Suatu hal yang baru dan suatu hal yang sangat membanggakan bila FKMSB bisa
melahirkan pemimpin perempuan. Saya sangat setuju itu. Ini akan menjadi suatu langkah lebih maju dari apa yang saya bayangkan. Apalagi dalam AD-ART tidak
ada larangan perempuan menjadi katua. Wawancara pribadi dengan AK, Condet, 17 April 2015
Sejalan dengan pernyataan informan, bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB sekalipun ternyata memang tidak ditemukan larangan ataupun batasan terhadap
keterlibatan perempuan dalam struktur kepengurusan, jadi dapat disimpulkan berdasarkan data ini akses perempuan dalam struktur organisasi dan menurut AD-ART
pada dasarnya tidak ada larangan, namun pada realitanya dalam struktur organisasi ini tetap laki-laki yang selalu menjadi ketua, dan sebaliknya perempuan selalu mendapatkan
posisi perlengkapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa, akses anggota perempuan terhadap jabatan dalam struktural masih belum maksimal, walaupun dalam AD-ART
tidak ada larangan namun dalam realitanya masih belum bisa dirasakan secara proporsional, dan terjadi ketimpangan.
2. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill
Skill merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian mulai dikembangkan dan diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali dalam
hal ini penulis ingin menjelaskan akses perempuan dan laki-laki dalam pengembangan
53
skill di organisasi FKMSB. Pengembangan skill yang dimaksud penulis disini adalah akses untuk menjadi MC dan Moderator dalam beberapa acara yang dihelat oleh
organisasi FKMSB. Dan dari beberapa data dan hasil wawancara ini ditemukan beberapa pengakuan bahwa dalam hal ini anggota perempuan juga hampir tidak pernah
mendapatkan akses dalam pengembangan skill tersebut. Kalau MC dan Moderator gak pernah tuh,,, paling kalau di konsumsi atau
perlengkapan iya..yah.... mungkin panitianya lebih percaya kalau laki-laki lebih bisa dan lebih pas dibandingin perempuan, tapi bukan berarti perempuan juga gak
bisa kan... ? ini sih... lebih ke siapa yang dipercaya dan siapa yang rekomendasiin. Tapi biasanya asal nunjuk aja tapi perempuan gag pernah ada
yang nunjuk Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 21 april 2015
Gak pernah... iya ikuti aja keputusan rapat, masa’ perempuan mau ngajuin
sendiri. saya bisa jadi MC saya mau... kan gak enak juga. Seharusnya anggota laki-laki ada yang lebih peka lah... nawarin aja itu udah menghargai banget
daripada gak sama sekali.Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang,23 Maret 2015.
Dari pengakuan dua informan perempuan tersebut mencerminkan bahwa laki-laki tidak memberikan akses kepada perempuan untuk menjadi MC atau Moderator. Bahkan
laki-laki dianggap kurang peka dan tidak menghargai perempuan karena tidak pernah memberikan akses berupa kesempatan terhadap perempuan dalam pengembangan skill.
Dan yang lebih mirisnya lagi ada salah satu informan yang mengaku sangat kecewa dengan keputusan panitia. Bahwa pernah dalam suatu acara menawarkan menjadi MC
pada perempuan, tapi kemudian pas acara dimulai, tanpa ada konfirmasi atau informasi sebelumnya tawaran menjadi MC atau Moderator itu digagalkan seketika.
Kemaren pas acara Milad sebenarnya ditawari jadi MC dan Direjen gitu, saya juga udah mempersiapkan diri, tapi pas acara ternyata yang maju malah cowok,
itu saya kecema banget, gak menghargai banget deh...Wawancara pribadi dengan IM Jakarta, 21 Maret 2015
Dari data ini kemudian penulis mendapatkan kesempatan menanyakan ke ketua FKMSB periode 2014-2015 seputar perempuan yang sampai saat ini hampir tidak pernah
dilibatkan atau diberikan kesempatan menjadi MC atau Moderator.
54
Sebenarnya dulu pernah perempuan diplot menjadi MC pas acara pelantikan pengurus kalau gag salah, tapi sebelum acara selesai waktu itu ada yang komplain
dan ternyata yang komplain justru dari para akhwat sendiri, alasannya sih ... kalau masih ada laki-laki kenapa harus pakek perempuan bukannya suara perempuan
itu juga aurat dan gag boleh,
Mon sampe’ kataoan Neng kakdintoh kita se etukanih Madura: red-
“kalau sampai katahuan putri kiayi bakalan kita yang dimarahi” Mungkin atas dasar ini juga perempuan hingga sekarang kurang
terlibat walaupun mungkin perempuan yang lain juga banyak yang mengharapkan menjadi MC juga. Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 23
Maret 2015
Dari jawaban ini, sedikit memberikan penjelasan bahwa kurangnya akses terhadap anggota perempuan menjadi MC ataupun Moderator tidak hanya disebabkan
karena faktor kurangnya akses dari laki-laki saja, melainkan adanya pemahaman agama yang dianut oleh sebagian informan perempuan yang menyatakan bahwa suara
perempuan adalah aurat. Dan disisi lain juga memberikan alasan takut diketahui dan dimarahi oleh Neng. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab kurangnya akses
perempuan mendapatkan kesempatan dalam pengembangan skill ini. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa, disisi lain ada informan perempuan yang sebenarnya juga
menginginkan mendapat kesempatan menjadi MC atau Moderator dalam organisasi alumni pesantren itu.
Jadi MC, siapa yang gag pengin sih.... itukan ilmu pengetahuan juga, apalagi ini organisasi kita sendiri, kita bisa terlibat di dalamnya itu luar biasa. Kalau bagi
saya ini akan menjadi bentuk sumbangsih saya sebagai anggota dan sebagai alumni pesantren. Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang 23 Maret 2015
Namun data yang berhasil dihimpun oleh penulis menunjukkan bahwa dalam beberapa pertemuan terahir perempuan ternyata tidak sama sekali mendapatkan
kesempatan tersebut. terlepas hal itu sudah ditawarkan oleh anggota laki-laki atau perempuannya yang tidak mau, hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan data yang
terhimpun, anggota perempuan sampai detik ini masih belum mendapatan akses yang sama dalam pengembangan skill menjadi MC atau Moderator dalam seluruh perhelatan
program FKMSB. Berikut data autentik yang dapat penulis sajikan kedalam bentuk tabel:
55
Tabel.III.A.II. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill
No Beberapa Acara Pada
Pertemuan Terahir 2014- 2015
Menjadi Moderator Menjadi MC
Laki-laki Perempuan
Laki-laki Perempuan
1 Musyawarah Besar
√ -
√ -
2 Pengkaderan Anggota Baru
√ -
√ -
3 Milad 50 Tahun FKMSB
√ -
√ -
3 Rakornas
√ -
√ -
4 Musywil
√ -
√ -
5 Perayaan Isro’ mikroj
√ -
√ -
Jumlah 5
5
Dari data diatas ini, menunjukkan tak sekalipun perempuan mendapatkan akses menjadi MC atau Moderator. Dalam hal ini jelas suatu hal yang sangat merugikan kaum
perempuan dan sangat bisa disimpulkan bahwa dalam aspek akses pengembangan skill ini, kesempatan atau akses anggota perempuann tertutup. Sehingga semakin
menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan perlakuan tidak adil. Dan semakin menguatkan stereotype bahwa perempuan lemah dan tidak mempunyai kapasitas dalam
pengembangan skill. Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Masdar F. Mas’udi 2003: 37 bahwa ketidakadilan pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelabelan
sifat-sifat tertentu stereotype pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan. Misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak
tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah.
3. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill dan Knowledge
Modul FKMSB merupakan satu-satunya buku panduan organisasi yang di lounching beberapa waktu lalu, tepatnya di acara milad FKMSB yang ke 17 pada 10
Januari 2015 di Jakarta. Dalam penyusunan dan kepenulisan modul tersebut dibutuhan skill menulis yang baik serta punya wawasan keilmuan Knowledge yang mempuni, dan
56
hal ini sangat berhubungan skill dan knowledge anggota FKMSB. Tak terkecuali dengan anggota perempuan yang seharusnya juga mendapatkan kesempatan dalam penyusunan
dan kepenulisannya tersebut. Namun ternyata pada realitanya ditemukan bahwa tak ada satupun perwakilan anggota perempuan yang menjadi atau yang diikutsertakan dalam
tim penyusun terbitanya modul FKMSB tersebut. Saya gak tau, apalagi mau dilibatkan, taunya itu pas acara milad ternyata mau
lounching modul katanya. Wawancara pribadi dengan MZ,Ciputat, 26 Maret 2015 17:30
Apalagi dilibatkan, informasinya aja kita gak dapet... gak tau. Wawancara pribadi dengan SH, Mampang 28 Maret 2015 19:00
Informan perempuan yang ketiga juga mengaku tidak tau perihal modul tersebut Kurang tau kenapa gak dilibatkan yang jelas saya juga taunya pas di acara, dan
setelah baca emang dari laki-laki aja tim penyusunnya. Para akhwat Sebenarnya bukan gak bisa, dari dulu yang ngelola majalah Shibghah itu dari akhwat kok..
Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang 23 Maret 2015
Hampir semua informan perempuan yang diwawancarai, mempunyai jawaban yang serupa dan mengatakan tak mendapatkan informasi, serta membenarkan bahwa
perempuan tidak dilibatkan dalam kepenulisan tersebut, dan mengetahuinya sesaat sebelum mau dilaouncing bahwa ada modul FKMSB. Sedangkan informan laki-laki
yang menjadi pengurus menjawab bahwa tidak ada cukup waktu untuk menginformasikan hal itu kepada para anggota perempuan:
Kemaren kan emang buru-buru, jadi gak sempat ngabari juga, karna kita pengin cepat-cepat kelar juga nulisnya.. Wawancara pribadi dengan ME, Jakarta 30
Maret 2015
Iya kemaren kita tidak sempat kepikiran melibatkan perempuan, karena memang waktunya mepet dan akan segera diselesaikan, iya udah semuanya dihandle laki-
laki karena menginginkan gerak cepat waktu itu. Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 Maret 2015
Dari hasil wawancara ini hampir sama dengan dengan konteks akses, bahwa anggota laki-laki secara tidak langsung mempunyai stereotype terhadap perempuan
lemah dan tidak bisa gerak cepat, sehingga dalam kepenulisan modul FKMSB tersebut
57
tidak seorangpun perempuan yang dilibatkan dan salah satu alasannya adalah karna stereotipe terhadap perempuan tidak bisa gerak cepat.
Namun disisi lain, pada dasarnya kaum minoritas yakni anggota perempuan bukanlah anggota yang tidak mempunyai potensi ataupun kreativitas yang dapat
disumbangkan terhadap organisasi FKMSB Jabodetabek selama ini, terlebih dalam dunia kepenulisan. Bahkan dalam tiga tahun terahir ditemukan bahwa perempuanlah yang
mengusulkan dan mengelola penerbitan tabloid Shibghah FKMSB Jabodetabek sebagai media penunjang kreatifitas dan wadah penyampaian ide dan gagasan. Dan akhirnya
keberadaan tabloid tersebut cukup digandrungi bahkan menjadi Trending topic FKMSB wilayah yang lain.
Dari dulu perempuanlah yang menghandle penerbitan tabloid Shibghah, dan itu sudah cukup digandrungi dalam lingkup FKMSB Pusat Wawancara pribadi
dengan EV, Mampang, 29 April 2015 13:15.
Dari temuan tersebut sedikit membuka penglihatan bahwa perempuan seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama serta hak yang sama dengan laki-laki, terlebih dalam
kepenulisan modul tersebut. Namun pada realitanya akses perempuan selalu mendapatkan penghalang dan hal yang justru merugikan. Dan pada puncaknya kaum
laki-laki masih saja melakukan dan justru menyia-nyiakan potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini tentunya kepenulisan modul FKMSB.
Hal ini juga sejalan degan apa yang dikemukakan oleh Griffiths 2006: 125 bahwa terkadang kelompok yang dominan secara sengaja cendrung mempertahankan
posisinya dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan ahirnya mendorong mereka untuk
melakukan penindasan dan menyia-nyiakan potensi produktif dari kaum minoritas.
58
Dalam konteks akses ini terlihat jelas bahwa anggota perempuan tidak mendapatkan akses yang sama dengan anggota laki-laki, baik dalam Pengembangkan
skill maupun knowledge, dan yang paling tampak dalam hal ini terjadi pada penerbitan modul FKMSB. Lebih miris lagi perempuan sampai tidak mendapatkan informasi dalam
penyusunan dan penerbitan modul tersebut. Dari konteks akses ini, faktor terjadinya ketimpangan dalam beberapa aspek tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
kuatnya sistem patriarki yang selalu mengedapankan laki-laki dibanding perempuan, sehingga melahirkan relasi antar keduanya kurang terbuka. Kedua, kultur agama dan
sistem pendidikan yang masih belum terbuka dalam konteks isu-isu gender sehingga melahirkan pemahaman-pemahaman yang bias gender, sehingga pada beberapa realitas
organisasi FKMSB terjadi ketidakadilan dalam peran dan hak terhadap perempuan. Ketiga, adanya stereotype bahwa perempuan dianggap lemah, tidak bisa gerak cepat
serta tidak cukup pantas menjadi pemimpin, sehingga membuat perempuan lebih inferior dan semakin tidak mempunyai kesempatan dalam mengembangkan potensi yang
dimilikinya. Ketimpangan dalam konteks akses ini faktor yang sangat mencolok adalah
kuatnya sistem patriarkhi serta Stereotype terhadap perempuan yang pada dasarnya disebabkan oleh konstruksi sosial yang sudah terbentuk sekian lama. Hal ini terbentuk
melalui proses sosial dan kultural yang selama diserap sehingga menjadi sesuatu yang tidak disadari dalam berperilaku. Hal ini juga sejalan dengan teori behavioral
differencesyang dikembangkan oleh Oakley 1972 dalam bukunya Sex, Gender,andSociety. Dalam buku tersebut terdapat asumsi dasar dari teori Oakley bahwa,
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan adalah perbedaan perilaku Behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Asumsi ini menunjukkan bahwa
59
ketimpangan relasi itu terdapat dalam konteks perilaku dan perlakukan yang sebenarnya sudah tertanam secara masif melalui proses sosial dan kultural yang selama ini mereka
serap, sehingga menjadi ruang ketidaksadaran mereka dalam berperilaku dan memperlakukan. Dan pada akhirnya tidak mengherakan jika dalam relasi keduanya
masih terjadi ketimpangan satu sama lain.
B. PARTISIPASI MAHASANTRI DALAM ORGANISASI
Berbeda dengan konteks akses dimana perempuan lebih menekankan pada bagaimana mendapatkan semua fasilitas atau sumberdaya organisasi secara adil dan sama-
sama menggunakan wadah reaktualisasi diri secara bersamaan tanpa ada yang membatasi ataupun larangan. Dalam konteks partisipasi ini Gender Analysis Pathway GAP lebih
menekankan bagaimana partisipasi disini sama-sama melibatkan laki-laki dan perempuan dan terlibat secara langsung dalam rencana-rencana strategis serta kebijakan organisasi
yang akan dijalankan secara kolektif, sehingga kaum perempuan pada hususnya dapat menyuarakan aspirasinya serta benar-benar merasa diberdayakan.
Dalam konteks partisipasi ini beberapa ahli gender juga mendefinisikan dengan
“Who does what?” Siapa melakukan apa? Bahwa laki-laki dan perempuan
berpartisipasi dan mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan sumberdaya organisasi secara demokratis, namun tidak berarti bebas berbuat
semaunya tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain Veitzal Rivai, 2003: 52
1. Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial
Dalam partisipasi ini penulis memfokuskan partisipasi perempuan dalam beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan, hal ini berhubungan dengan skill
managerial bagaimana perempuan juga seharusnya terlibat dan mendapatkan hak yang sama dalam kegiatan tersebut terlebih dalam struktur kepanitiaan bagaimana perempuan
60
seharusnya mendapatkan kemampuan memimpin dalam organisasi dan dapat terlibat secara langsung serta dapat menyuarakan aspirasinya dalam menentukan suatu
kebijakan.
Dari data yang penulis dapati terlihat jelas ada ketimpangan yang sangat mencolok dalam beberapa kegiatan tersebut. Berikut penulis rangkum ke dalam bentuk
tabel. Tabel.III.B.I.Partisipasi Mahasantri Dalam
Skill Managerial
PARTISIPASI DALAM PROGRAM KEGIATAN
No Kegiatan 20142015
Menjadi ketua panitia Menjadi Sekretaris
Menjadi Bendahara Laki-laki
Perempuan Laki-laki
Perempuan Laki-laki
Perempuan 1
Musyawarah Besar
√ -
√ -
√ -
2 Pengkaderan Anggota Baru
√ -
√ -
√ -
3 Milad 50 Tahun FKMSB
√ -
√ -
- √
3 Rakornas
√ -
√ -
√ -
4 Musywil
√ -
√ -
√ -
5 Perayaan Maulid Nabi
√ -
√ -
√ -
6 Seribu waqaf Al-
qur’an √
- √
- √
-
Jumlah 5
5 4
1
Dari data ini terlihat jelas bahwa dalam beberapa kegiatan yang dihelat oleh FKMSB Jabodetabek ini tak seorangpun perempuan terlibat sebagai seorang ketua,
sekretaris dan hanya sekali sebagai bendahara. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam perhelatan acara tersebut tentunya sangat merugikan perempuan. Skill Managerial
seperti merealisasikan suatu kegiatan dan kemampuan mesukseskan suatu kegiatan jelas hanya akan didapatkan oleh anggota laki-laki saja. Kurangnya keterlibatan anggota
perempuan dalam hal ini menurut beberapa informan perempuan: Kepanitiaan itu kan biasanya dipilih dengan musyawarah, kadang perempuannya
juga tidak mau dan kadang laki-laki juga gak ada yang mau mengusulkan perempuan jadi panitia, yah.... karena dari dulu memang seperti itu mau diapain
lagi.. Wawancara pribadi dengan AH, Depok, 21 maret 2015 09:00
Kurang tau ya,,, yang jelas dalam pembentukan kepanitiaan itu melibatkan perempuan, cuma memang selama ini kita gag pernah menggunakan perempuan
61
sebagai ketua panitia. Bukan percaya atau tidak percaya ya... Cuma belum terbiasa aja mungkin Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 Maret 2015
Sebagian informan laki-laki mengatakan kurangnya kesempatan perempuan dalam konteks ini tidak ada hubungannya dengan kapasitas perempuan
Gak... bukan masalah itu, perempuan juga punya kapasitas kok. Inikan ntar kerjanya bersama-sama, ketua itu kan cuma bertanggung jawab sepenuhnya. Jadi
tinggal intruksi aja ntar... Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta,27 Maret 2015
Dan dari informan perempuan yang lain juga menuturkan: Sejak saya ikut musyawarah pembentukan panitia kalau mau ngadain acara gitu,
gak pernah perempuan diusulkan jadi ketua. paling kalau pas giliran seksi konsumsi langsung ditunjuk aja gitu.... kamu jadi seksi kosumsinya. Yaudah ikut-
ikut aja... mau menolak gimana ini kan buat kita bersama. Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 Maret 2015 19:00
Dari data ini terlihat jelas bahwa ketika anggota laki-laki menjadi ketua secara tidak langsung hanya anggota laki-laki saja yang punya otoritas dan mengendalikan
organisasi ini, namun anggota perempuan yang tidak mendapatkan posisi yang kurang menguntungkan menjadi semakin inferior dan hanya bisa mengerjakan hal-hal yang
selalu berhubungan dengan dapur, seperti seksi kosumsi dan seksi perlengkapan sebagaimana posisi tersebut selalu diidentikkan dengan posisi ideal perempuan.
Dalam hal ini penyebabnya tidak jauh berbeda dengan konteks akses, yaitu adanya stereotype terhadap anggota perempuan yang masih kuat dari kalangan pengurus
laki-laki sehingga partisipasi dalam skill managerial tidak sepenuhnya bisa dirasakan. Dalam hal ini anggota perempuan seringkali mendapatkan posisi yang kurang
menguntungkan seperti seksi konsumsi dan perlengkapan. Dan yang lebih menarik disini, walaupun sudah jelas dalam AD-ART bahwa pemilihan dilakukan secara
demokratis, namun pada realitanya ternyata dalam pemilihan struktur kepanitiaan para anggota laki-laki masih sering menggunakan penunjukan langsung kepada anggota
perempuan, bahkan seringkali tanpa sedikitpun mempertimbangkan dan menawarkan
62
terlebih dahulu kesiapan perempuan dalam mengemban tugas tersebut. Pada akhirnya dalam konteks ini lagi-lagi anggota laki-laki saja yang diuntungkan dan sebaliknya
perempuan semakin inferior dan semakin pasif. Hal ini sejalan dengan Para peneliti feminis barat yang secara umum mempunyai
keyakinan bahwa sekali pria mendominasi sebuah kelompok masyarakat dalam bidang- bidang tertentu,perempuan akan menjadi kelompok yang tertindas dan pasif S. Duval
1998: 13
2. Partisipasi Mahasantri Dalam Struktural Oganisasi
Keterlibatan semua anggota baik laki-laki maupun perempuan dalam struktur organisasi merupakan cerminan ideal suatu organisasi. Dan dalam tegaknya organisasi
yang baik pula, seharusnya semua anggota laki-laki maupun perempuan dapat terlibat secara proporsional terlebih dalam menentukan suatu kebijakan yang diharapkan tidak
saling merugikan satu sama lain. Namun nyatanya dalam struktur organisasi ini masih terlihat bahwa keterlibatan anggota perempuan sangatlah minim dan sangat tidak
proporsional. Tercatat sejak berdirinya organisasi FKMSB ini pada tahun 2008 di Jabodetabek, tak pernah sekalipun perempuan mendapatkan posisi baik sebagai ketua
maupun wakil ketua. Hanya sekali menjadi sekretaris pada tahun 20112012 dan dua kali menjadi bendahara pada tahun 20102011 dan 20112012. Padahal sampai tahun 2014-
2015 organisasi ini terhitung sudah memasuki tujuh periode, dimana organisasi ini seharusnya sudah berkembang dan sosok perempuan seharusnnya sudah sangat
diperhitungkan. Namun realita yang ada tidak sesuai fakta dan harapan perempuan pada umumnya, bahwa perempuan masih saja kurang mendapatkan hak yang sama.
Berikut data pertisipasi mahasantri dalam struktur organisasi dalam beberapa periode yang dirangkum kedalam bentuk tabel:
63
Tabel.III.B.II.Partisipasi Mahasantri Dalam Sruktur Organisasi
Struktur Organisasi Selama Tujuh Periode
No Tahun
Ketua dan wakil Sekretaris
Bendahara Laki-laki
Perempuan Laki-laki
Perempuan Laki-laki
Perempuan 1
20082009 √
√ √
2 20092010
√ √
√ 3
20102011 √
√ √
4 20112012
√ √
√ 5
20122013 √
√ √
6 20132014
√ √
√ 7
20142015 √
√ √
Sumber Data: Sekretaris Umum FKMSB Jabodetabek 20142015 Dari data ini tergambar jelas dimana sosok perempuan tidak pernah sekalipun
menjadi ketua ataupun wakil dalam struktur FKMSB Jabodetabek. Dan tampak betapa dominannya anggota laki-laki dalam jabatan ketua sekretaris maupun bendahara.
Kurangnya partisipasi perempuan dalam jabatan ketua maupun wakil, menurut mantan ketua wilayah FKMSB periode 20142015 disebabkan oleh perempuannya
sendiri: Belum ada memang selama ini perempuan yang mau menjabat jadi ketua.
Mungkin karena perempuannya yang memang belum siap mencalonkan, sebenarnya bisa-bisa aja mencalonkan... tapi itu tadi kendalanya di perempuannya
aja yang mungkin belum kepikiran kesana, kalaupun ada kendala yang lain saya kurang tau itu. Wawancara pribadi dengan AR, Jakarta, 26 Maret 2015.
Kalau untuk mencalonkan diri dari perempuannya tidak mungkin juga sih... kebetulan perempuannya juga sedikit, yah... tetap kalah jumlah sama laki-laki. Ya
udah ngikutin aja...Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 maret 2015 19:00
Alasan informan pertama menyatakan penyebabnya adalah dari perempuannya sendiri, bahwa perempuan dianggapap belum siap menjabat sebagai ketua maupun wakil,
namun alasan dari informan perempuan bukanlah faktor dari perempaunnya. Melainkan karena dominasi laki-laki dalam keanggotaan yang secara kuantitas lebih banyak
daripada perempuan, sehingga perempuan merasa akan sia-sia bila mencalonkan diri. Namun, lagi-lagi problem yang sama juga dikemukakan oleh informan laki-laki bahwa
bukan karena dominasi keanggotaan, melainkan karena perempuannya sendiri yang dipandang belum siap dan belum ada yang dinilai punya kapasitas
FKMSB Jabodetabek memang belum saatnya dipimpin oleh kaum perempuan, karena berbagai faktor internal dan eksternal juga. Selain karena perempuannya
64
yang memang masih belum siap saya kira, anggota perempuan juga belum ada yang cukup pantas dicalonkan untuk saat ini. Terdapat faktor eksternal yang
sifatnya sangat erat kaitannya dengan pesantren. Sejauh ini diakui atau tidak pesantren Banyuanyar itu masih menganut faham patriaki yang secara tidak
langsung kurang memberi ruang kepada perempuan menjadi pemimpin Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 maret 2015
Hal ini juga secara tidak langsung diamini oleh informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis aliran timur tengah, bahwa
sejatinya kurang setuju atas keterlibatan perempuan dalam struktural kepengurusan: Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah
perempuan. Ia kalau masih ada laki- laki yaa… ngapain harus perempuan..?
yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih
perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. Wawacara pribadi dengan HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30.
Namun terlepas dari alasan yang dituturkan oleh informan laki-laki dan sebagian informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis
itu, ternyata masih ada dua informan perempuan yang berpendapat bahwa perempuan pada dasarnya juga bisa menjadi pemimpin dan terlibat aktif secara demokratis dalam
struktur organisasi ini. Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua dan terlibat dalam struktural,
karena memang di AD-ART cukup jelas kalau perempuan juga punya hak yang sama dengan anggota yang lain. Wawancara pribadi dengan IM, Jakarta, 21
Maret 2015 19:00
Kenapa tidak,,,? Perempuan juga punya hak, dan saya rasa perempuan juga banyak yang punya kapasiatas dalam mempimpin Wawancara pribadi dengan
MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30
Penuturan dua informan ini sekaligus membuka pandangan bahwa dalam organisasi ini masih ada sebagian kecil anggota perempuan yang menginginkan menjadi
ketua, dan tentunya sedikit banyak mengerti bagaimana seharusnya menjadi ketua, karena pada dasarnya menurut Richard I Lester : 1991 menjadi ketua atau pemimpin
adalah sebuah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dengan cara kepatuhan, kepercayaan dan rasa hormat. Dan dari beberapa unsur tersebut bukanlah hal yang sulit
bagi mahasantri atau sosok perempuan untuk tidak memilikinya juga.