Tujuan dan Manfaat Penelitian Tinjauan Pustaka

12 dalam pendidikan di daerah Majalaya Kabupaten Karawang. Disebabkan oleh pengaruh akses, partisipasi, kontrol, manfaat serta nilaipun, perempuan harus mendahulukan laki-laki dalam meraih kesempatan pendidikan semenjak dahulu sampai dengan saat ini. Pada masyarakat Majalaya hal ini diperkuat karena minimnya akses terhadap pendidikan, rendahnya pertisipasi serta kontrol yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuallitatif dengan jenis penelitian bersifat eksplanatif. Persamaan yang sangat mendasar adalah sama-sama meneliti dengan tema yang sama yaitu ketidaksetaraan gender dan mencari tau faktor ketidak setaraan dengan menggunakan GAP yaitu ; Faktor Akses, Partisipasi, Kontrol dan manfaat. Serta sama-sama menggunakan pendekatan metodologi kualitatif. Sedangkan yang membedakan dengan penelitian disini adalah objek penelitiannya lebih kepada pendidikan secara umum, sedangkan penulis disini lebih tertuju ke Mahasantri dalam konteks organisasi. 5. Tesis yang disusun oleh Susanto dengan judul : Sensitivitas Gender Di Dunia Pesantren, Studi Kasus Pndok Pesantren Dar al- Tauhid Cirebon Jawa barat. Tesis ini menggunakan metodelogi penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan geneologi dengan mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa perkembangan sensitivitas gender di Pesantren Dar-al Tauhid Cirebon semakin menguat. Hal ini ditandai oleh terjadinya pergeseran orientasi pesantren dari keilmuan klasik minded menuju adanya disvertikasi 13 keilmuan pesantren yang responsif gender. Upaya sensitivitas ini dilakukan melalui training, pengajian santri, penerbitan buku yang berisi ide-ide islam responsif gender, serta pelayanan dan pendampingan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT yang difasilitasi oleh Women’s Crisis Center Balqis. Persamaanya dengan penelitian ini sama-sama menggunakan tema gender dan lingkup penelitiannya juga dalam konteks pesantren, metodologi penelitian yang sama-sama menggunakan metodologi kualitatif. Namun yang membedakan adalah yang satu lebih kepada sensitifitas gendernya namun penulis di sini lebih menekankan kepada faktor ketidak setaraan atau ketimpangan relasi gender. Yang objek penelitiannya lebih kepada mahasantri dalam organisasi sedangkan hasil penelitian ini lebih ke ruang lingkup para santri yang masih berada dalam pesantren. Dari berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan relasi ketimpangan gender dalam organisasi, baik yang berdasarkan penelitian atau beberapa hasil refleksi lainnya, peneliti melihat bahwa penelitian yang secara khusus berkaitan dengan Menelaah ketimpangan Relasi Gender Dalam Organisasi, masih belum secara khusus melihat langsung pada proses ketimpangan gender sebagaimana fokus penelitian ini. Selain hal itu, jika di lihat pada objeknya belum pula di temukan penelitian yang meneliti pada organisasi Mahasantri, khususnya Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar FKMSB terlebih penelitian secara khusus menggunakan studi kasus Organisasi FKMSB wilayah Jabodetabek masih belum ada. 14 Dengan demikian hasil penelitian ini mempunyai posisi yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil dari penelitian ini diharapakan selain menambah khasanah ilmu pengetahuan dan melengkapi referensi yang sudah ada, juga menjadi bahan kajian lebih baik serta menjadi bahan perbandingan yang lebih objektif dan terpercaya dalam kacamata akademik.

E. Kerangka Teori 1.

Gender Analysis Pathway GAP Dalam penelitian ini peneliti mencoba memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem kultural yang disebabkan oleh konstruksi gender di kalangan mahasantri khusunya di FKMSB Jabodetabek. Untuk mengetahui hal itu, maka peneliti mencoba menggunakan pisau analisis, Gender Analysis Pathway GAP Alat untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat empat aspek: Akses, peran, kontrol dan manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program pembangunan. Dan untuk melihat ruang sosial dan kultural seperti apa ketimpangan itu terkonstruksi selama ini dan apa saja penyebab dan faktor- faktornya. Dalam hal ini menurut Moser 1993: disebabkan oleh empat faktor : akses, partisipasi, Kontrol dan pemanfaatan. Hal ini juga sejalan dengan Gender Analisys Pathway GAP bagaimana melihat potensi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki sebagai obyek maupun sebagai 15 subyek pembangunan. Lebih jelasnya hal ini juga disampaikan oleh Suryadi dan Idris 2004 : 158-164 yang mengkategorikan terjadinya ketimpangan gender ke dalam empat aspek tersebut. Yang kemudian dari empat aspek tersebut akan dijadikan alat analisis untuk menentukan keadilan gender mahasantri di Organisasi FKMSB Jabodetabek.

a. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau

menggunakan sumber daya tertentu. Dalam konteks organisasi peneliti memfokuskan pada akses perempuan dalam struktur dan akses mendapatkan hak yang sama dalam pengembagan skill.

b. Partisipasi. adalah keikutsertaan atau peran seseorangkelompok

dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, dan dalam konteks ini peneliti memfokuskan pada partisipasi perempuan dan laki-laki dalam dan struktural organisasi FKMSB.

c. Kontrol. Adalah penguasaan wewenang atau kekuatan untuk

mengambil keputusan. Dan hal ini ketimpangan gender dapat diukur dengan skala kuantitas dalam keanggotaan dan struktural.

d. Manfaat, adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara

optimal. Dalam hal ini peneliti ingin melihat manfaat yang diperoleh oleh laki-laki dan perempuan dalam beberapa kegiatan dan posisi strukural. Dari gambaran empat aspek diatas, memang agak sulit jika keadilan gender itu direalisasikan. Namun dalam batas-batas tertentu, bisa saja prospek keadilan gender dengan memberikan kesempatan yang sama 16 menempati posisi strategis serta memberikan kesempatan yang sama kaum perempuan dengan kaum laki-laki, dalam kontek tertentu saja, misalnya dalam hal ikut berpartisipasi aktif di organisasi baik secara struktural maupun prakteknya hal ini menjadi harapan perempuan yang mungkin akan semakin lebih baik.

2. Definisi Konseptual

a. Gender

Dalam Khasanah ilmu-ilmu sosial istilah gender digunakan dengan makna khusus yang secara fundamental berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis. Hal ini juga diperkuat oleh Moore bahwa Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis Moore, 1988. Orang pertama kali membedakan istilah gender dan jenis kelamin ialah Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris Saptari Halzner . . Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan Saptari, 1997. Karena itu dalam konteks ini gender adalah konstruksi masyarakat atau bentukan sosial tentang laki-laki dan perempuan baik itu sifat, status, peran dan kesempatan yang tidak bersifat permanen Inayah; 2003; 4. Gender disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat Musdah Mulia, 2004: 4. 17 Ia juga menyatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman Musdah Mulia dan Marzani 2001. 13 Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setiap unit sosial termasuk dalam konteks ini organisasi mahasantri mempunyai konsruksinya sendiri. Oleh karena itu konstruksi khas mahasiswa santri ini akan menjadi objek telaah dan kajian sosial gender peneliti dalam proses penelitian ini.

b. Ketimpangan Gender

Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya bertujuan untuk saling menolong antara keduanya bukan untuk saling menguasai atau untuk saling menindas satu sama lain. Cita-cita Al- Qur’an sesungguhnya adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal Husein Muhammad 2007: 37. Namun secara kompromis untuk melihat ketidaksetaraan gender terdapat teori keseimbangan equilibrium. Pendekatan teori ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Konsep ini tidak mempertentangkan jenis 18 kelamin karena mereka harus bekerjasama secara harmonis dalam suasana kemitraan baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara. Untuk mewujudkan gagasan itu maka dalam setiap kebijakan dan perencanaan program perlu diperhitungkan kepentingan dan peran laki-laki dan perempuan secara seimbang. Kedua jenis kelamin ini sama-sama memiliki tanggung jawab secara komplementer, saling mengisi dan melengkapi serta tidak bertentangan satu sama lain. R.H Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya pada hakekatnya adalah realitas kehidupan manusia Kemenag PP RI,II 2001: 50. Namun demikian, karena gender merupakan hasil dari konstruksi atau bentukan sosial, maka dalam realitas satu budaya tertentu konstruksi itu menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan berdasarkan gender gender inequality mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber- sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik Chafetz, 1991: 52. Ketimpangan dalam konstruksi gender tentang bagaimana harus menjadi laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender itu bisa dilihat dalam konstruksi sosial budaya dalam 19 masyarakat bahkan dalam kebijakan pemerintah. Sejarah perbedaan gender dimulai sejak manusia lahir, kemudian perbedaan tersebut dikonstruksi secara sosial, diobyektifikasi dan disosialisasikan dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Hal ini semakin menemukan tempatnya kala proses internalisasi terus menerus dilakukan, sehingga kemudian diyakini memiliki kebenaran sendiri dan tidak dianggap sebagai konstruksi Inayah, 2014; 22. Disisi lain ketimpangan gender semakin mengakar ketika masih kuatnya budaya patriarkhi yang dianut. Konsep patriarkhi sebagaimana disebutkan oleh Rueda yang mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan 2007: 120. Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat superior dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender 2002: 16.