Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Organisasi Fkmsb (Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar) Di Jabodetabek

(1)

KETIMPANGAN RELASI GENDER MAHASANTRI DALAM

ORGANISASI FKMSB (FORUM KOMUNIKASI MAHASISWA

SANTRI BANYUANYAR) DI JABODETABEK

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)

Oleh:

ACHMAD FARUK 109032200021

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

iv

ABSTRAKSI

Organisasi merupakan wadah berkreasi dan bersilaturahmi yang kemudian juga memberikan kesempatan bagi semua anggotanya untuk mengembangkan potensi dalam proses aktualisasi diri. Namun akan menjadi persoalan yang kurang elok ketika dalam pola relasi organisasi terdapat kelompok yang terlalu mendominasi baik dalam strukural maupun dalam konteks yang lain. Pada prosesnya, dominasi juga akan melahirkan sebuah ketimpangan dalam beberapa aspek bagi para anggotanya. Dan akan menjadi sesuatu yang menarik ketika ketimpangan itu terjadi pada organisasi mahasiswa santri (mahasantri) sebagai kaum intelektual yang sudah tercerahkan oleh ilmu pengetahuan. Bagaimanakah dengan mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek? Persoalan inilah yang diteliti penulis sebagai objek penelitian. Secara purposif diambil 12 mahasantri sebagai informan, dan difokuskan pada mahasantri FKMSB yang pernah menjadi pengurus maupun aktif sebagai anggota dari kampus yang berbeda-beda. Dari beberapa kampus yang berbeda tersebut kemudian dikelompokan kedalam dua kategori kampus yang mempunyai pola pendidikan kampus modernis dan yang berorientasi fundamentalis. Metode analisis yang digunakan adalah Teori Analysis Pathway (GAP) dengan menggunakan empat aspek: Akses, partisipasi, kontrol dan pemanfaatan, yang semua aspek tersebut digunakan untuk melihat adanya ketimpangan relasi gender dan beberapa faktor terjadinya ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek

Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan kurangnya akses dan kurangnya partisipasi anggota perempuan dalam beberapa program pengembangan skill dan

knowledge. Sebagai organisasi modern yang sudah mempunyai AD-ART dalam hal ini tidak ada aturan yang membatasi perempuan dalam berorganisasi, namun realitanya anggota perempuan belum sekalipun mendapatkan posisi strategis seperti menjadi ketua maupun wakil. Bahkan sebagian besar anggota perempuan merasa kurang dilibatkan dan kurang diberdayakan dalam beberapa kegiatan, sehingga dalam organisasi FKMSB Jabodetabek ini tampak lebih dominan anggota laki-laki baik dalam posisi struktural maupun partisipasi dalam beberapa kegiatan. Hal ini juga dapat menunjukkan bahwa anggota laki-laki lebih mempunyai kontrol (Power) dan lebih banyak mendapatkan manfaat dari proses berorganisasi. Beberapa faktor yang menjadi penyebab adalah, faktor pemahaman agama yang masih kental akan pemahan tekstual yang kemudian sebagian besar informan mempunyai pemahaman tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin. Kemudian budaya patriarkhi yang masih dianut dari tanah kelahirannya yakni pulau madura, bahwa dalam relasi sehari-hari selalu mengedepankan sosok laki-laki dan sebaliknya perempuan dijadikan sebagai the second class, dan budaya ini berlanjut dalam organisasi ini. Kemudian, relasi organisasi yang masih lemah, bahwa pola relasi dalam organisasi FKMSB ini masih kurang ada keterbukaan satu sama lain, seperti masih adanya intruksi dari salah satu keluarga pesantren (Neng) yang kemudian membatasi kaum perempuan terlibat secara maksimal dalam proses berorganinsasi. Dan faktor lainnya adalah, banyaknya mahasantri yang memilih perguruan tinggi aliran timur tengah dengan menggunakan pola pendidikan yang berorientasi fundamentalis.


(7)

v

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim.

Assalamualaikum, Wr. Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa harapan kesempatan dan kekuatan kepada penulis dalam menyelesaikan proses penulisan skripsi ini, dengan judul “KETIMPANGAN RELASI GENDER

MAHASANTRI DALAM ORGANISASI FORUM KOMUNIKASI

MAHASISWA SANTRI BANYUANYAR (FKMSB) DI JABODETABEK”, dari

awal hingga akhir dalam keadaan sehat walafiat. Semoga penulis selalu diberikan kesemangatan dan senantiasa dijadikan insan akademis yang selalu dapat menaburkan kebaikan kepada seluruh alam dan berguna bagi insan sesama sebagaimana

khoirunnas anfauhum linnas.

Penulis menyadari bahwa dalam kepenulisan skripsi ini tidak akan pernah tercipta tanpa dorongan dan motivasi dari berbagai pihak yang telah rela memberikan segala bantuan baik itu bantuan moral maupun materil. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dede Rosyada sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Zulkifly, MA., selaku dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si,selaku Ketua Program Studi (Prodi) dan Bapak

Husnul Khitam, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah.

4. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku dosen penasehat akademik penulis selama masih menjalani aktifitas perkuliahan dan sebagai pengajar pada program studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

vi

5. Ibu Ida Rosyidah, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan segala kesiapan dan waktu luangnya, tenaga, perhatian dan kesabarannya dalam memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas ilmunya bunda, semoga tuhan membalasnya dengan kebaikan yang tak terhingga.

6. Segenap kawan-kawan yang tergabung dalam keluarga besar Ikatan Mahasiswa Alumni Bata-bata (IMABA) dan Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) tempat dimana penulis bersilaturrahmi, berjuang dan berbagi bersama sebagai sesama santri yang berjuang di ibu kota Jakarta. 7. Segenap kawan-kawan yang tergabung dalam keluarga besar Forum

Mahasiswa Madura (FORMAD) Jabodetabek, tempat dimana penulis menjalin silaturrahmi dan melestarikan identitas primordial-etnis Madura di kota rantau. 8. Kawan-kawan sosiologi angkatan 2009, Ulumudin, Ichsan Fajri, Daniel, Nur

Azizah, Resty, Ahsya, Rian reza, Fahmi, Abdillah, dan kawan-kawan yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.

9. Teman-teman yang selalu ada buat penulis dan sudah bersedia menjadi sahabat di dalam suka maupun duka, Achmad Asy’ari, Salim Assegaf, Surahman, Azis fais, Bung maman, Ainur Rofiq, Badri Amin, Zain panick, Jauharil Wafi, Hasbul dan Syafie salim. MatorSakalangkong Serajeh.

10.Sosok yang selalu memberikan harapan baru dan semangat untuk lebih baik lagi dan segera wisuda. Desy Nurlita terima kasih atas doanya.

11.Semua adek-adek yang selalu mendoakan penulis dan berharap segera memakai toga, A Rofiq, Taufik, Melqy, Kosim R, Jamal, Imam, Syaiful, Rian A, Faisol, Hasyin, Fauzi, Ainiatul qoriah, Azizah, Wardah, Hida, Atien dan


(9)

(10)

viii

DAFTAR ISI

COVER ... ii

LEMBAR PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ... v

ABSTRAKSI ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 9

E. Kerangka Teori ... 14

1. Gender Analisis Pathway ... 14

2. Definisi Konseptual ... 16

a. Gender ... 16

b. Ketimpangan Gender ... 17

c. Mahasantri ... 21

d. Organisasi ... 22

F. Metodologi Penelitian ... 24

1. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 24

2. Subyek Penelitian ... 25

3. Lokasi Penelitian ... 28


(11)

ix

5. Jenis Data ... 29

a. Data Primer ... 29

b. Data Sekunder ... 29

6. Teknik Pengumpulan Data ... 29

a. Wawancara ... 31

b. Dokumentasi ... 31

7. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 30

a. Reduksi Data ... 30

b. Display Data ... 31

c. Penarikan Kesimpulan ... 31

G. Sistematika Penelitian ... 31

BAB II GAMBARAN UMUM A. Madura, Masyarakat, Santri dan FKMSB ... 32

B. Sejarah Berdirinya Organisasi Mahasantri FKMSB ... 34

C. FKMSB Wilayah Jabodetabek ... 40

D. Latar Belakang Pendidikan ... 44

BAB III TEMUAN DAN ANALISIS A. Akses Mahasantri Dalam Mendapatkan Sumber daya Di Organisasi ... 46

1. Akses Mahasantri Dalam Jabatan di Struktural ... 48

2. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill ... 52

3. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge ... 55

B. Partisipasi Mahasantri Dalam Organisasi ... 58

1. Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial ... 59


(12)

x

3. Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge 66

C. Kontrol dalam Organisasi ... 69

1. Keterlibatan Mahasantri Dalam Keanggotaan dan Posisi Struktural ... 69

2. Kontrol Mahasantri Dalam Relasi Organisasi ... 71

D. Manfaat Yang Didapatkan Dalam Organisasi ... 75

1. Manfaat Keterlibatan Mahasantri Dalam Kegiatan FKMSB ... 75

2. Manfaat Keberadaan Basecamp FKMSB Jabodetabek .... 77

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN B. Kesimpulan ... 79

C. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... xiv


(13)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel I.G.2 : Profil Informan FKMSB Jabodetabek 26

Tabel I.G.3 : Waktu Penelitian 27

Tabel II.C.1 : Data Anggota FKMSB Jabodetabek Selama Tiga Tahun Terahir 43 Tabel II.D.1 : Latar belakang Mahasantri FKMSB Jabodetabek 44 Tabel III.A.1 : Akses Mahasantri Dalam Menjabat di Struktur Organisasi FKMSB48 Tabel III.A. 1 : Penafsiran Mahasantri Terhadap Kepemimpinan Perempuan 50 Tabel III.A. 2 :Akses Mahasantri dalam Pengembangan Skill 54 Tabel III.B.1 : Partisipasi Mahasantri Dalam SkillManagerial 59 Tabel III.B.2 : Partisipasi Mahasantri Dalam Struktur Organisasi 62 Tabel III.B.2 : Partisipasi Anggota Perempuan Dalam Struktur Organisasi 64 Tabel III.B.3 : Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge 66 Tabel III.C.1 : Data Jumlah Keanggotaan dan Keterlibatan Mahasantri 69 Tabel III.C.2 : Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan 74 Tabel III.D.1 : Manfaat Pelaksanaan Acara FKMSB Terhadap Mahasantr i 76 Tabel III.D.2 : Manfaat Pengadaan Basecamp Terhadap Mahasantri 78


(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana masih terjadinya ketimpaangan relasi gender dalam organisasi mahasantri, serta menelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa ketimpangan relasi gender masih saja terjadi dalam organisasi mahasantri yang notabeninya mempunyai basis pemahaman agama yang kuat. Organisasi mahasantri yang akan menjadi objek penelitian ini adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek. Hal ini berangkat dari temuan awal berupa catatan-catatan, studi dokumentasi serta wawancara dengan para pendiri, alumni dan anggota, bahwa di dalam organisasi mahasantri tersebut, masih banyak terdapat temuan ketimpangan relasi gender dalam praktiknya.

Ketika bicara mahasiswa, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari perbincangan kaum intelektual. Dalam beberapa literature sering disinggung bahwa mahasiswa tergolong dalam barisan kaum intelektual atau cendikiawan. Memang mereka adalah golongan yang terdidik dan secara keilmuan, mereka adalah orang-orang yang sedang menjalani proses pematangan intelektual. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila sering muncul dari golongan ini suara yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan, demokrasi, dan solidaritas kepada kaum tertindas. (Zainuddin, 2004: 72-73).

Dalam hal ini gambaran objektif tentang perbedaan pendidikan di satu sisi, dan ketimpangan gender di sisi lain, tak pelak menjadi isu penting. Dan


(15)

2

tatanan sosial budaya merupakan dasar bagi berlangsungnya struktur yang diskriminatif. Hal ini pula yang menjadi penyebab timbulnya ketidakadilan gender dan ketimpangan pendidikan yang terasa patut untuk diperjuangkan oleh para cendikiawan. Kalau boleh menilik dari data-data kesenjangan gender di Jakarta, Sejauh ini hasil yang dicapai upaya pembangunan kualitas hidup di Jakarta masih tampak kentara cenderung menguntungkan kepada penduduk laki-laki. Fenomena ini tercermin dari indikator komposit yang digunakan untuk menilai kesenjangan gender, yaitu IPG menunjukkan angka yang lebih rendah dibanding IPM. Pada perkembangannya, selama kurun waktu 2009-2011 IPG DKI Jakarta selalu menunjukkan posisi lebih rendah dibandingkan IPM. Besaran rasio yang diperoleh berdasarkan perbandingan antara IPG terhadap IPM pada kisaran 94 - 95 persen. Hal ini dapat dimaknai, meski IPG memperlihatkan perkembangan yang selalu meningkat selama periode 2009-2011, tetapi ketimpangan gender masih terjadi. (BPS Provinsi DKI Jakarta 2013).

Ketimpangan relasi gender yang masih terjadi dalam konstrusksi sosial masyarakat, mengisyaratkan adanya akses dan pembagian peran serta kekuasaan yang masih mejadi persoalan. Akses dan peran ini adalah persoalan yang menjadi kajian penting dalam studi gender akhir-akhir ini. Karena dalam konteks peran dan kekuasaan ini, ketidaksetaraan dan ketimpangan relasi masih dirasakan menjadi konstruksi masif dan akut dalam relasi sosial yang berkeadilan. Semakin kentara ketika ketimpangan relasi dan peran gender terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik yang


(16)

3

menentukan feminitas dan maskulinitas, (Azyurmardi Azra, 2003: VII) yang menyebabkan relasi itu tidak berjalan dalam ruang yang berkeadilan. Hal ini semakin menjadi persoalan mendasar ketika relasi yang demikian dipandang sebagai sesuatu yang seharusnya benar dan sah, karena mendapatkan legitimasi dari budaya dan konstruksi pemahaman keagamaan.

Kenyataan sebagaimana diatas, semakin menjadi persoalan dan unik ketika semua itu masih terjadi dalam kalangan komunitas atau organisasi yang anggotanya terdiri dari kaum terdidik di perguruan tinggi (Mahasiswa). Padahal sebagaimana disebut Blumberger bahwa suatu komunitas dalam hal ini sebenarnya dapat diharapkan menjadi jawaban bagaimana perempuan mendapat kesempatan yang sama untuk berkiprah di ruang publik (Blumberger 1987:123).

Namun harapan ini masih belum menemukan konteks dan ruangnya dalam sebagian komunitas dan organisasi. Termasuk dalam konteks ini organisasi mahasantri yang menjadi objek penelitian ini yaitu Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanayar (FKMSB) yang telah lama berdiri dan berkiprah dalam ruang-ruang perkotaan seperti di Jabodetabek.

Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (selanjutnya disebut FKMSB) sudah memulai kiprahnya sejak tahun 1999 di Yogyakarta, yang kemudian memperluas sayap anak cabangnya hingga Jabodetabek yang berdiri pada tahun 2008 silam. Organisasi ini tentu adalah organisasi yang anggotanya adalah mahasiswa santri atau mahasiswa yang dahulunya adalah seorang santri (selanjutnya di sebut mahasantri) dari sebuah pondok pesantren semi modern di


(17)

4

Madura, lebih tepatnya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura.

Pada perkembangannya, organisasi ini bisa disebut organisasi modern. Asumsi ini paling tidak berdasarkan beberapa hal; pertama, dari konteks kelahirnnya, bahwa ia lahir berdasarkan semangat dan pemikiran modern yang telah bercokol dan menjadi arus utama kalangan santri yang telah menjadi mahasiswa saat itu. Kedua, berdasarkan tempat kelahirannya yaitu kota Yogyakarta di mana arus pemikiran modern berlangsung massif. Ketiga, berdasarkan ruang perkembangan dan tumbuh kembangnya, yaitu di perkotaan di mana pusat modernisme ditempa sedemikian rupa. Dalam konteks ini bisa dipahami karena mahasantri ini eksodus dari desa ke kota-kota besar untuk melanjutkan studi mereka keperguruan tinggi yang memang berada di pusat-pusat kota seperti di Jabodetabek. Keempat, berdasarkan struktur organisasinya. Selain sudah mempunyai AD/ART, sistem pemilihan ketua, proses kerja dan penyusunan kepengurusan sudah dilakukan secara demokratis sebagaimana organisasi modern pada umumnya.

Dalam konteks kemoderenan sebagaimana disebut di atas, penelitian terhadap mahasantri FKMSB ini menemukan relevansi dan keunikannya. Hal ini bisa ditelaah dalam beberapa hal; Pertama, dalam organisasi modern dengan anggota yang terdiri dari kaum terdidik, serta mempunyai AD/ART yang jelas ternyata organisasi ini dalam sejarahnya belum sekalipun dipimpin bahkan mencalonkan atau dicalonkan pimpinannya dari kalangan perempuan.


(18)

5

Kedua, dalam temuan awal penelitian ini, tampak bahwa dalam relasi keorganisasian antara laki-laki dan perempuan masih sangat terpisah dan berjarak sedemikian rupa. Hal ini tampak misalnya dalam ruang-ruang kajian, rapat-rapat, serta dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian yang masih menggunakan tabir dari kain atau pemisah antara laki-laki dan perempuan.

Ketiga, dalam konteks tertentu justru kalangan perempuan sendiri menolak secara tegas jika ruang pertemuan dengan laki-laki dan perempuan tidak diberikan pembatas berupa tabir. Dalam temuan awal penelitian ini terdapat pula ada kasus-kasus bahwa kalangan perempuan mengancam akan keluar dan mendirikan organisasi sendiri khusus kalangan perempuan karena dalam satu kali pertemuannya tidak diberikan tabir.

Keempat, pelibatan atau bahkan keterlibatan dalam pengambilan keputusan organisasi sangat minim (untuk tidak mengatakan tidak ada). Bahkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) yang terakhir di Jakarta pada 15 Januari 2015 yang lalu, tampak perempuan tidak dilibatkan atau bahkan tidak melibatkan diri, bahkan ada, namun hanya menjadi penonton dan pendengar semata. Sehingga seluruh keputusan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) itu adalah murni keputusan laki-laki.

Penelitian ini semakin relevan, kala ketimpangan relasi sebagaimana di atas masih eksis ditengah organisasi yang hidup dan berkembang di tengah kemoderenan kota Jabodetabek yang metropolitan dimana pemikiran modern dipupuk untuk maju dan berkembang. Di sisi yang lain, organisasi yang sudah modern, dengan anggotanya yang terdiri dari mahasiswa terdidik di perguruan


(19)

6

tinggi dengan arus informasi akademik maupun informasi non akademik masuk setiap hari, namun ketimpangan gender itu masih ditemukan. Melihat dari perkembangan dan beberapa kasus yang terjadi, tampaknya belum memungkinkan perempuan untuk sekedar dicalonkan menjadi pimpinan di organisasi ini karena dominasi laki-laki yang begitu kuat.

Ketimpangan relasi dan peran gender dikalangan mahasiswa santri seperti FKMSB ini menjadi menarik dan patut untuk diteliti lebih mendalam. Menarik selain karena organisasi ini lahir dari tangan atau kelompok mahasiswa, sekelompok elit akademisi yang sudah akrab dengan dunia pemikiran di kampus, namun dalam praktiksnya masih terjadi dominasi laki-laki dan ketimpangan relasi dalam berorganisasi. Meskipun tidak dapat dipungkiri pula kenyataan bahwa mereka (pendiri dan seterusnya anggota-anggotanya) juga berlatar belakang santri, yakni telah tercerahkan dengan pendidikan dan kehidupan ala pesantren, tetapi kehidupan sebagai mahasiswa dan interaksinya dengan semangat dan dialektika di kampus telah sedikit banyak mempengaruhi pemikiran mereka, namun demikian ketimpangan relasi itu masih sangat terasa hingga kini.

B. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek? 2. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya ketimpangan relasi gender

dalamorganisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar?


(20)

7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan pertanyaan penelitian sebagaimana di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan adanya ketimpangan relasi gender mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek.

2. Selanjutnya adalah untuk mengetahui dan dapat mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi penyebab masih terjadinya ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek?

Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan konstribusi yang positif bagi semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber referensi dan menambah pengetahuan serta dapat dijadikan bahan acuan bagi penelitian yang lain di masa mendatang.

2. Kemudian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan dan dapat meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan terutama disiplin ilmu sosiologi


(21)

8

Gender yang memang menemukan relevansinya di masa sekarang ini.

3. Disamping itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memperkaya ilmu pengetahuan sosial, terutama dibidang ilmu sosiologi.

b. Manfaat Praktis

1. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hasil dari penelitian ini dapat menjadi koleksi dan referensi yang bisa memberi wawasan atau pemahaman yang lebih luas tentang sosiologi terlebih lagi dalam konteks ini adalah sosiologi gender sebagaimana konsen dari penelitian ini.

2. Bagi Mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa yang mencari atau membutuhkan informasi, serta dapat memberikan wawasan atau pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dan tantangan sosial yang ada saat ini 3. Bagi Peneliti. Hasil penelitian ini menjadi bekal wawasan dan

pengalaman secara nyata sehingga dapat memberi pemahaman dan kontribusi nyata terhadap persoalan yang ada di masyarakat.

4. Bagi masyarakat umum. Hasil penelitian ini memberi pemahaman baru kepada masyarakat pada umumnya mengenai kesetaraan gender yang seharusnya dilakukan dan didapatkan perempuan sehingga


(22)

9

masyarakat mampu untuk memahami dan menelaah atas situasi dan kondisi tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini, peneliti menemukan beberapa penelitian yang cukup relevan mengenai relasi ketimpangan Gender Mahasantri dalam organisasi.

1. Pertama, hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftahuddin, Nur Hidayah, dan Supardi (2008) yang diberi judul : Sensitivitas Dan Aplikasi Kesetaraan Gender Di Organisasi Kemahasiswaan Universitas Negeri Yogyakarta. Dalam penelitian ini Miftahuddin lebih menekankan kepada sensitivitas perempuan terhadap isu-isu kesetaraan gender dalam organisasi dimana ia juga menitikberatkan kepada aktivitas atau peran-peran perempuan dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler.Namun dalam penelitian ini tidak disebutkan secara lebih jelas menggunakan teori apa dalam mengenalisis permasalahan tersebut.Dan dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa wacana gender sebagian besar sudah diakses oleh organisasi mahasiswa yang menjadi subyek penelitian. Hanya saja dalam hal sensitivitas dan aplikasi kesetaraan gender belum semuanya menunjukkan kondisi yang serupa. Kegiatan yang dilakukan pun belum menjamin bahwa dalam praktek keseharian organisasi mencerminkan hal senada, karena kenyataan menunjukkan bahwa dalam kegiatan praktis kepanitiaan perempuan masih sering ditempatkan untuk mengurusi hal-hal


(23)

10

yang bersifat domestik, sedangkan laki-laki sebaliknya. Persamaannya dengan penelitian ini sama-sama menggunakan metodologi kualitatif, dan sama-sama ruang lingkupnya adalah organisasi,Namun berbeda dengan yng akan penulis teliti yakni objek penelitiannya lebih ke organisasi berbasis pesantren yang mempunyai backround pendidikan yang berbeda-beda.

2. Tesis yang disusun oleh Lathifatul Hasanah (2007) dengan judul: Pendidikan Perspektif Gender. Studi Kebijakan tentang kesetaraan dan keadilan gender di Madrasah. Tesis ini menggunakan beberapa teori dasar tentang gender. Teori kodrat alam (Nature), teori Kebudayaan (Nurture), Teori Psikoanalisa dan Teori Fungsionalisme Struktural. Dan menggunakan dua metodologi kualitatif dan kuantitatif dalam metode penelitiannya.Dari tesis ini ditemukan ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidak setaraan atau kesenjangan gender dalam bidang pendidikan (Termasuk madrasah) yaitu faktor partisipasi, akses, kontrol dan faktor manfaat. Persamaannya dengan penelitian ini adalah menggunakan tema yang sama yaitu kesetaraan gender dan keadilan gender, serta menggunakan pisau analysis GAP (Gender Analysis Pathway). Namun yang sangat berbeda disini adalah metodologi dan objek penelitiannya yang akan dilakukan lebih menekankan ke mahasantri dalam organisasi, sedangkan hasil penelitian ini lebih kepada para santri di Madrasah.


(24)

11

3. Tesis yang disusun oleh Eneng Darol Affifah dengan judul” Analisis Gender dan Pengaruhnya terhadap gerakan perempuan Islam Indonesia: Studi kasus Pucuk pimpinan fatayat Nahdatul Ulama 2004. Dalam tesis ini menggunakan teori Interaksionalitas dan teori gerakan perempuan. Dengan menggunakan metodologi kualitatif dan pendekatan deskriptif, Eksplanatif

dan interpretatives”. Dalam tesis ini memusatkan perhatinnya untuk menjawab pengaruh perspektif gender terhadap ajaran agama islam dan gerakan organisasi perempuan islam serta faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi diadopsinya analisis gender ke dalam organisasi perempuan islam serta dalam bentuk apa pengaruhnya terhadap gerakan organisasi. Dalam temuanya pengaruh yang paling terlihat adalah pada organisasi fatayat Nahdaul Ulama dalam sepuluh tahun terahir ini. Yakni dengan direalisasikannya beberapa program yang hampir seluruhnya adalah program berbasis pada analisis gender. Hal ini mampu merubah cara pandang mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metodologi kualitatif dan objek penelitiaannya sama-sama dalam ruang lingkup organisasi. perbedaannya adalah teori yang digunakan adalah Interaksionalitas dan teori gerakan perempuan, sedangkan disisi lain penulis menggunakan pisau analysis GAP (Gender Analysis Pathway) 4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmi Fitrianti & Abdullah dengan

judul : Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Dari penelitian ini ditemukan bahwa ada banyak faktor terjadinya ketidaksetaraan gender


(25)

12

dalam pendidikan di daerah Majalaya Kabupaten Karawang. Disebabkan oleh pengaruh akses, partisipasi, kontrol, manfaat serta nilaipun, perempuan harus mendahulukan laki-laki dalam meraih kesempatan pendidikan semenjak dahulu sampai dengan saat ini. Pada masyarakat Majalaya hal ini diperkuat karena minimnya akses terhadap pendidikan, rendahnya pertisipasi serta kontrol yang tidak menguntungkan bagi perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuallitatif dengan jenis penelitian bersifat eksplanatif. Persamaan yang sangat mendasar adalah sama-sama meneliti dengan tema yang sama yaitu ketidaksetaraan gender dan mencari tau faktor ketidak setaraan dengan menggunakan GAP yaitu ; Faktor Akses, Partisipasi, Kontrol dan manfaat. Serta sama-sama menggunakan pendekatan metodologi kualitatif. Sedangkan yang membedakan dengan penelitian disini adalah objek penelitiannya lebih kepada pendidikan secara umum, sedangkan penulis disini lebih tertuju ke Mahasantri dalam konteks organisasi.

5. Tesis yang disusun oleh Susanto dengan judul : Sensitivitas Gender Di Dunia Pesantren, Studi Kasus Pndok Pesantren Dar al- Tauhid Cirebon Jawa barat. Tesis ini menggunakan metodelogi penelitian bersifat kualitatif dengan pendekatan geneologi dengan mengikuti studi-studi sejarah dan antropologi tradisional. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa perkembangan sensitivitas gender di Pesantren Dar-al Tauhid Cirebon semakin menguat. Hal ini ditandai oleh terjadinya pergeseran orientasi pesantren dari keilmuan klasik minded menuju adanya disvertikasi


(26)

13

keilmuan pesantren yang responsif gender. Upaya sensitivitas ini dilakukan melalui training, pengajian santri, penerbitan buku yang berisi ide-ide islam responsif gender, serta pelayanan dan pendampingan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang difasilitasi oleh Women’s

Crisis Center Balqis. Persamaanya dengan penelitian ini sama-sama menggunakan tema gender dan lingkup penelitiannya juga dalam konteks pesantren, metodologi penelitian yang sama-sama menggunakan metodologi kualitatif. Namun yang membedakan adalah yang satu lebih kepada sensitifitas gendernya namun penulis di sini lebih menekankan kepada faktor ketidak setaraan atau ketimpangan relasi gender. Yang objek penelitiannya lebih kepada mahasantri dalam organisasi sedangkan hasil penelitian ini lebih ke ruang lingkup para santri yang masih berada dalam pesantren.

Dari berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan relasi ketimpangan gender dalam organisasi, baik yang berdasarkan penelitian atau beberapa hasil refleksi lainnya, peneliti melihat bahwa penelitian yang secara khusus berkaitan dengan Menelaah ketimpangan Relasi Gender Dalam Organisasi, masih belum secara khusus melihat langsung pada proses ketimpangan gender sebagaimana fokus penelitian ini. Selain hal itu, jika di lihat pada objeknya belum pula di temukan penelitian yang meneliti pada organisasi Mahasantri, khususnya Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) terlebih penelitian secara khusus menggunakan studi kasus Organisasi FKMSB wilayah Jabodetabek masih belum ada.


(27)

14

Dengan demikian hasil penelitian ini mempunyai posisi yang berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil dari penelitian ini diharapakan selain menambah khasanah ilmu pengetahuan dan melengkapi referensi yang sudah ada, juga menjadi bahan kajian lebih baik serta menjadi bahan perbandingan yang lebih objektif dan terpercaya dalam kacamata akademik.

E. Kerangka Teori

1. Gender Analysis Pathway (GAP)

Dalam penelitian ini peneliti mencoba memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan sistem kultural yang disebabkan oleh konstruksi gender di kalangan mahasantri khusunya di FKMSB Jabodetabek. Untuk mengetahui hal itu, maka peneliti mencoba menggunakan pisau analisis, Gender Analysis Pathway (GAP) Alat untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat empat aspek: Akses, peran, kontrol dan manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam program-program pembangunan.

Dan untuk melihat ruang sosial dan kultural seperti apa ketimpangan itu terkonstruksi selama ini dan apa saja penyebab dan faktor-faktornya. Dalam hal ini menurut Moser (1993:) disebabkan oleh empat faktor : akses, partisipasi, Kontrol dan pemanfaatan. Hal ini juga sejalan dengan Gender Analisys Pathway (GAP) bagaimana melihat potensi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki sebagai obyek maupun sebagai


(28)

15

subyek pembangunan. Lebih jelasnya hal ini juga disampaikan oleh Suryadi dan Idris (2004 : 158-164) yang mengkategorikan terjadinya ketimpangan gender ke dalam empat aspek tersebut. Yang kemudian dari empat aspek tersebut akan dijadikan alat analisis untuk menentukan keadilan gender mahasantri di Organisasi FKMSB Jabodetabek.

a. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Dalam konteks organisasi peneliti memfokuskan pada akses perempuan dalam struktur dan akses mendapatkan hak yang sama dalam pengembagan skill.

b. Partisipasi. adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, dan dalam konteks ini peneliti memfokuskan pada partisipasi perempuan dan laki-laki dalam dan struktural organisasi FKMSB.

c. Kontrol. Adalah penguasaan wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dan hal ini ketimpangan gender dapat diukur dengan skala kuantitas dalam keanggotaan dan struktural.

d. Manfaat, adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara optimal. Dalam hal ini peneliti ingin melihat manfaat yang diperoleh oleh laki-laki dan perempuan dalam beberapa kegiatan dan posisi strukural.

Dari gambaran empat aspek diatas, memang agak sulit jika keadilan gender itu direalisasikan. Namun dalam batas-batas tertentu, bisa saja prospek keadilan gender dengan memberikan kesempatan yang sama


(29)

16

menempati posisi strategis serta memberikan kesempatan yang sama kaum perempuan dengan kaum laki-laki, dalam kontek tertentu saja, misalnya dalam hal ikut berpartisipasi aktif di organisasi baik secara struktural maupun prakteknya hal ini menjadi harapan perempuan yang mungkin akan semakin lebih baik.

2. Definisi Konseptual

a. Gender

Dalam Khasanah ilmu-ilmu sosial istilah gender digunakan dengan makna khusus yang secara fundamental berbeda dengan jenis kelamin yang bersifat biologis. Hal ini juga diperkuat oleh Moore bahwa Gender berbeda dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988). Orang pertama kali membedakan istilah gender dan jenis kelamin ialah Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris (Saptari & Halzner)..

Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Karena itu dalam konteks ini gender adalah konstruksi masyarakat atau bentukan sosial tentang laki-laki dan perempuan baik itu sifat, status, peran dan kesempatan yang tidak bersifat permanen (Inayah; 2003; 4).

Gender disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat ( Musdah Mulia, 2004: 4).


(30)

17

Ia juga menyatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman (Musdah Mulia dan Marzani 2001. 13)

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setiap unit sosial termasuk dalam konteks ini organisasi mahasantri mempunyai konsruksinya sendiri. Oleh karena itu konstruksi khas mahasiswa santri ini akan menjadi objek telaah dan kajian sosial gender peneliti dalam proses penelitian ini.

b. Ketimpangan Gender

Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya bertujuan untuk saling menolong antara keduanya bukan untuk saling menguasai atau untuk saling menindas satu sama lain. Cita-cita Al-Qur’an sesungguhnya adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal (Husein Muhammad 2007: 37).

Namun secara kompromis untuk melihat ketidaksetaraan gender terdapat teori keseimbangan (equilibrium). Pendekatan teori ini menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Konsep ini tidak mempertentangkan jenis


(31)

18

kelamin karena mereka harus bekerjasama secara harmonis dalam suasana kemitraan baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara. Untuk mewujudkan gagasan itu maka dalam setiap kebijakan dan perencanaan program perlu diperhitungkan kepentingan dan peran laki-laki dan perempuan secara seimbang. Kedua jenis kelamin ini sama-sama memiliki tanggung jawab secara komplementer, saling mengisi dan melengkapi serta tidak bertentangan satu sama lain. R.H Tawney menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan atau budaya pada hakekatnya adalah realitas kehidupan manusia (Kemenag PP RI,II 2001: 50).

Namun demikian, karena gender merupakan hasil dari konstruksi atau bentukan sosial, maka dalam realitas satu budaya tertentu konstruksi itu menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik (Chafetz, 1991: 52).

Ketimpangan dalam konstruksi gender tentang bagaimana harus menjadi laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender itu bisa dilihat dalam konstruksi sosial budaya dalam


(32)

19

masyarakat bahkan dalam kebijakan pemerintah. Sejarah perbedaan gender dimulai sejak manusia lahir, kemudian perbedaan tersebut dikonstruksi secara sosial, diobyektifikasi dan disosialisasikan dari generasi yang satu ke generasi yang lainnya. Hal ini semakin menemukan tempatnya kala proses internalisasi terus menerus dilakukan, sehingga kemudian diyakini memiliki kebenaran sendiri dan tidak dianggap sebagai konstruksi (Inayah, 2014; 22).

Disisi lain ketimpangan gender semakin mengakar ketika masih kuatnya budaya patriarkhi yang dianut. Konsep patriarkhi sebagaimana disebutkan oleh Rueda yang mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya

Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16).


(33)

20

Disisi lain hubungan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya tercipta bukanlah hubungan atas bawah bahwa laki-laki harus diatas dan perempuan menjadi the second class yang selalu tertindas. Dalam sejarah panjang, Muhammad sebagai sosok revolusiner dan orang yang paling berpengaruh sedunia mengajarkan bagaimana relasi antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial yang seharusnya masih sangat relevan untuk ditunjukkan. Sebagaiaman Siti Khadijah sebagai saudagar kaya yang menjadi pengusaha dan Muhammad menjadi orang yang paling dipercaya sebagai pegawainya, sebelum akhirnya setelah pernikahan keduanya itu, Muhammadlah yang seringkali bertugas sebagai manajer utama untuk pergi berdagang ke Syiria maupun ke Habasyah. (Djunaidi & Thobieb 2006 : 9). Hal ini masih terus berlanjut pada konteks rumah tangga Muhammad dan Siti Khadijah bagaimana mereka saling menghargai dan saling menjunjung tinggi satu sama lain, yang kemudian tak ada ketimpangan yang tercipta maupun diskrimansi dalam relasi keduanya.

Namun pada realitas sosial saat ini, masih banyak stereotype

terhadap perempuan yang menganggap lemah dan tidak punya kapasitas yang kemudian mengarah pada diskrimasi terhadap perempuan. Disinilah persoalannya, karena perempuan seringkali diposisikan bergantung pada suami dan berperan di sektor domestik, sehingga perempuan juga dianggap sangat mendahulukan emosionalitasnya. Untuk itulah kemudian gerakan feminisme liberal lebih menekankan pada upaya reformasi sistem hukum,


(34)

21

politik, dan pendidikan sebagai cara untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan. (Endang sumiarti, 2004 : 60-63 ).

Hal lain yang paling umum juga sangat mempengaruhi adanya ketimpangan maupun diskriminasi terhadap perempuan adalah karena konstruksi tersebut, ketimpangan gender masih lumrah ditemukan dalam kehidupan masyarakat akibat dari konstruksi yang terus menerus dilakukan, baik itu dari budaya masyarakat, pemahaman keagamaan, dan dari kebijakan negara-negara yang bias gender. Dalam konteks konstruksi yang melahirkan ketimpangan relasi bisa ditemukan dalam berbagai kebudayaan terutama dalam konteks ini dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) yang menjadi objek penelitian ini.

C. Mahasantri

Santri dalam KBBI 2013 didefinisikan sebagai orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh, dan saleh. Jika dilihat dari asal usulnya, menurut beberapa ilmuan, kata santri berasal dari kata india “shastri” yang mempunyai arti orang yang

memiliki pengetahuan kitab suci. Namun pendapat yang lain mengatakan

bahwa asal kata santri berasal dari bahasa sansekerta ”cantrik” yang

berarti orang yang selalu mengikuti guru. Versi yang lainnya menganggap


(35)

22

(suka menolong) sehingga pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Pada dasarnya, pemaknaan mahasiswa dinilai sebagai tatanan orang yang berintelektual. Sedangkan santri biasanya kerap dikenal sebagai manusia yang suci dan jauh dari dosa. Dengan menggabungkan keduanya maka akan muncul manusia sempurna yang berintelektual tinggi dan bertatakrama santun (Achmad Marzuki, 2012).

Namun, sejauh ini penulis masih belum menemukan definisi yang secara eksplisit mendefinisikan dari dua kata mahasiswa dan santri. Namun dari beberapa artikel yang penulis tangkap makna secara sederhananya adalah, individu yang lulus dan basis pendidikannya dari pondok pesantren kemudian melanjutkan kuliah di suatu perguruan tinggi, atau individu yang kuliah di suatu perguruan tinggi sekaligus secara bersamaan menempuh pendidikan di suatu pesantren. Namun dalam konteks mahasantri yang akan menjadi objek penelitian ini, adalah siswa atau santri yang pernah mengecap pendidikan di pesantren darul ulum Banyuanyar yang kemudian melanjutkan studinya ke berbagai perguruan tinggi di Jabodetabek.

D. Organisasi

Terdapat beberapa definisi organisasi dari beberapa tokoh, J. William Schulze (1886:31) Menurutnya, organisasi adalah suatu penggabungan dari orang orang, benda-benda, alat-alat perlengkapan,


(36)

23

ruang lingkup kerja dan segala hal yang berhubungan dengannya dan disatukan dalam sebuah hubungan yang teratur dan sangat efektif untuk mencapai segala tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut Chester I. Barnard (1886) organisasi dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The Function of The Executive, yang berarti suatu sistem mengenai usaha usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Tujuan umum organisasi menurut Barnard (1886: 34) adalah sebagai sebuah tujuan moral. Untuk menanamkan tujuan moral tersebut terhadap anggota organisasi, eksekutif harus memahaminya sebagai sebuah tugas yang mulia dan bermakna. Boulding menjelaskan pendapat Barnard dengan mengusulkan dalil bahwa bentuk hirarkis organisasi dapat secara luas diinterpretasikan sebagai suatu alat untuk menyelesaikan konflik pada setiap tingkatan hirarki, yang mengkhususkan diri dalam menyelesaikan konflik dari tingkatan yang lebih rendah.

Organisasi pada dasarnya merupakan tempat atau wadah di mana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terkendali, dengan memanfaatkan sumber daya (dana, material, lingkungan, metode, sarana, prasarana, data) dan lain sebagainya yang digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan bersama. Istilah organisasi dalam konteks penelitian ini digunakan untuk melihat dan menganalisis organisasi mahasantri yaitu forum mahasiswa santri banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek terutama dalam konteks kerjasama yang mereka lakukan kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan.


(37)

24

Diakui atau tidak dalam sebuah organisasi ada sistem dan budaya yang bekerja, dalam ruang demikian organisasi ini akan mejadi objek penelitian.

G. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Metode Penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi gender. Sebagaimana dipahami bahwa sudah sejak lama, kira-kira pada tahun 1970-an pertanyaan mendasar yang muncul di kalangan aktivis perempuan terutama dalam kerangka membangun teoritisnya, ditujukan pada suatu pertanyaan mendasar, bagaimana dapat menerangkan relasi laki-laki dan perempuan terutama dapat memperjelas ketertindasan perempuan? Pertanyaan ini menjadi titik tolak di mana kerangka teori keilmuan untuk menerangkan fenomena tersebut dibangun. Dari pertanyaan tersebut muncullah teori sosial feminis dimana teori-teori sosial pada awalnya menjadi motor penggerak utama (Aziz Faiz, 2015; 1). Dengan demikian, sosiologi gender telah menjadi penggerak utama untuk menjelaskan relasi dan konstruksi laki-laki dan perempuan. Karena itulah kemudian dalam konteks penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi gender dimana memang sudah sejak lama berkembang terutama di kalangan aktivis perempuan. Dan untuk mengenalisis adanya ketimpangan relasi gender dan faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan pada mahasantri dalam FKMSB Jabodetabek ini, penulis menggunakan Gender Analysis Pathway (GAP) sebagai pisau analisis.


(38)

25

Adapun metode dari penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Metode kualitatif dipilih bertujuan untuk melakukan penelitian secara mendalam mengenai permasalahan adanya ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri FKMSB Jabodetabek. Oleh karena itu, untuk mengetahui secara detail mengapa hal itu bisa terjadi serta faktor-faktor adanya ketimpangan tersebut, diperlukan wawancara mendalam kepada informan. Menurut Creswell (1998) penelitian kualitatif sebagai suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dan pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang dialami (Juliansyah, 2011:34). Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Lexy, 2004:3). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan format deskriptif, bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi. Kemudian mengangkat kepermukaan karakter atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun variabel tersebut (Bungin, 2003:36).


(39)

26

2. Subyek Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap semua anggota mahasantri yang tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek, serta masih aktif kuliah di beberapa kampus di wilayah Jabodetabek dan berasal dari semester IV ke atas, hal ini mengingat semester IV ke atas sudah banyak yang aktif di berbagai organisasi yang lain, dan tentunya sedikit banyak sudah mengetahui konsep gender.

Dalam mengelompokkan dua kategori modernis dan fundamentalis yang berbeda ini, penulis melihat atas dasar pola pendidikan yang dipakai, dan pola relasi mahasiswa dalam keseharian. Walaupun disisi lain tidak membenarkan secara umum identitas dari kampus tersebut, serta tidak membenarkan secara kolektif mahasiswanya mempunyai ideologi modernis maupun fundamentalis, dalam hal ini penulis bertujuan untuk lebih memudahkan menjadi kelompok yang lebih mudah dipetakan.

Kategori kampus yang masuk dalam kelompok modernis adalah UIN Ciputat, UMJ Cirendeu, Unindra Condet dan STT Ganesha Legoso, hal ini atas dasar pola pendidikan yang digunakan memadukan pendidikan umum dan agama secara proporsional, dan pola relasi mahasiswa laki-laki dan perempuan hampir memeberikan ruang yang sama dan sudah terbiasa berkumpul bersama dalam satu kelas maupun dalam beberapa aktivitas perkuliahan. Sedangkan disisi lain kelompok fundamentalis terdiri dari kampus Lipia, Al-Hikmah, An-Nuaimi dan STIE Hidayatullah, hal ini berdasarkan sistem dan pola pendidikannya masih sangat kental dengan


(40)

27

sistem pendidikan timur tengah yang lebih mengedepankan pendidikan keislaman tekstual, dan cenderung lebih sedikit memberikan porsi pendidikan umum. Serta dalam konteks relasi keseharianpun sangat jarang ditemukan mahasiswa laki-laki dan perempuan berkumpul dan bersama-sama dalam satu kelas dan hampir semuannya ada pembatas. Bahkan salah satau perguruan tinggi dalam kelompok ini hanya mengkhususkan untuk mahasiswa laki-laki saja. Hal ini sedikit dari sebagain besar yang penulis dapatkan untuk kemudian berani mengkategorikan ke dalam kelompok fundamentalis.

Berdasarkan data awal yang berhasil dikumpulkan, penting kiranya penulis menyertakan beberapa latar belakang informan menurut inisial, serta posisi atau jabatan dalam organisasi FKMSB, dan latar belakang kampus yang sudah dikategorikan ke dalam dua kelompok modernis dan fundamentalis. Berikut penulis sertakan kedalam bentuk tabel untuk lebih memudahkan.

Tabel I. G.II. Profil Informan Mahasantri FKMSB Jabodetabek

No Nama Kelamin Jenis Jabatan Kampus Daerah Kategori Semester

1. IM Pr Mantan Infokom UIN Ciputat Modernis 8

2. HO Pr Mantan Korwat LIPIA Pasar Minggu Fundamentalis 8

3. MZ Pr Anggota UMJ Cirenndeu Modernis 8

4. FZ Pr Anggota Al Hikmah Mampang Fundamentalis 8

5. KR Lk Anggota GANESHA Legoso Modernis 8

6. EV Pr Anggota LIPIA Pasar Minggu Fundamentalis 6

7. AK Lk Mantan Wakil UNINDRA Condet Modernis 6

8. AH Lk Infokom Hidayatulllah Depok Fundamentalis 6

9 JU Pr MantanInfokom Al-Hikmah Mampang Fundamentalis 4

10 AR Lk Mantan Ketua UIN Ciputat Modernis 6

11 ME Lk Mantan Sekretaris UNINDRA Condet Modernis 6

12 BS Pr Mantan Korwat Al-Hikmah Mampang Fundamentalis 8

(Sumber Data: Sekretaris Umum FKMSB 2013/ 2014)

Berdasarkan tabel diatas terdapat enam informan yang masuk dalam kategori kelompok modernis, IM, MZ, KR, AK, AR dan ME. Sedangkan


(41)

28

delapan informan lainnya masuk dalam kategori kelompok fundamentalis, HO, FZ, EV, AH, JU dan BS.

2. Lokasi Penelitian

Peneliti memilih tempat penelitian di daerah Jabodetabek, yakni di beberapa kampus Mahasiswa Santri Banyuanyar menuntut ilmu. Yaitu di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, UMJ Cirendeu, UNINDRA Condet, STT GANESHA Legoso, LIPIA Pasar Minggu, Al-Hikmah Mampang Prapatan, STIE Hidayatullah Depok dan An-Nuaimi Kebayoran Lama.

4. Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini penulis membutuhkan waktu kurang lebih 15 bulan terhitung dari bulan Januari 2015 hingga Maret 2016. Waktu tersebut digunakan peneliti untuk memperoleh data melalui wawancara, bahan bacaan, bahan pustaka, laporan-laporan penelitian serta mengolah dan menganalisis data. Hal ini dilakukan agar penelitian dapat menghasilkan data secara lengkap dan akurat.

Tabel I.G.III Waktu Penenlitian

No Kegiatan

Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Feb Maret Minggu ke Minggu

ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minggu ke Minngu ke

1 Penelitian Awal 1 2 Diskusi Proposal Bab I 4 3 Diskusi Metodologi &

Teori 3

4 Diskusi Bab II 2 5 Menentukan Matriks 1 6 Turun Lapangan 1 s/d 4 7 Penyusunan Data

Grafik 2

8 Pengumpulan Data 3 1

9 Analysis Temuan 2

10 Pengumpulan Bab III 1

11 Revisi Bab III 2

12 Diskusi IV Kesimpulan

& saran 1


(42)

29

5. Jenis Data

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Lexy J. Moleong 2009:157). Hasil didapatkan melalui dua sumber data, yaitu:

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan. Di dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah keterangan yang diperoleh dari 12 informan.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari literatur dan dokumen serta data yang diambil dari suatu organisasi dengan permasalahan di lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan, bahan pustaka, dan laporan-laporan penelitiandan laporan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang tercantum dalam tinjauan pustaka.

6. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:


(43)

30

Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara (Bungin, 2013:133). Pertanyaan dan jawaban diberikan secara verbal dan menghindari prasangka-prasangka sehingga dapat menemukan sesuatu yang dianggap penting untuk mendapat hasil yang sempurna (Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 1997; 12). Wawancara dilakukan secara mendalam terhadap 12Informan dengan tujuan memperoleh data dan informasi secara lengkap dengan bahasa Indonesia,

b. Dokumentasi

Tehnik dokumentasi adalah cara mengumpulkan yang dilakukan dengan katagori dan klasifikasi catatan peristiwa yang sudah berlalu. Metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah memanfaatkan dokumen-dokumen, seperti buku pengkaderan anggota baru FKMSB, AD/ART-nya termasuk dalam hal ini adalah buku-buku, dan literatur lainnya yang medukung terhadapa penelitian ini.

7. Metode Pengolahan dan Analisis Data

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh di lapangan ditulis/diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang terinci. Laporan-laporan tersebut direduksi, dirangkum serta dipilih hal-hal yang pokok untuk difokuskan pada hal


(44)

31

yang penting, yang kemudian dicocokkan dengan matriks agar dapat terusun lebih sistematis. Data yang direduksi memberi gambaran yang lebih tajam tentang hasil penelitian awal yang kemudian mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan.

b. Display Data (penyajian data)

Dari data yang dihasilkan melalui wawancara serta bahan bacaan maupun bahan pustaka maka menghasilkan data yang banyak. Kemudian dari data tersebut akan dipilih informasi yang penting dan diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hanya data yang bersifat penting saja yang disajikan baik dalam bentuk tulisan, tabel maupun grafik.

c. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan berisi inti dari hasil temuan penelitian di lapangan. Kesimpulan mengandung kalimat inti yang menjelaskan dan menjawab pertanyaan penelitian. Dari seluruh data yang telah di reduksi, setelah itu disajikan (display data) lalu kemudian diambil kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh. Sehingga dapat menjelaskan keseluruhan penelitian secara singkat dan jelas.


(45)

32

H. Sistematika Penelitian

Bab I Pendahuluan: Bagian ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan penelitian,tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teori metodologi penelitian dan juga sistematika penelitian. Bab II Gambaran Umum:Bagian ini memuat gambaran umum objek penelitian serta gambaran umum Madura, Masyarakat santri dan FKMSB. Dan dilengkapi data-data Organisasi FKMSB untuk menunjang dan melengkapi data penelitian. Bab III Analisis dan Temuan: Bagian ini berisi analisis dari hasil temuan penelitian di lapangan. Bab ini juga berisi hasil wawancara dan temuan awal yang merupakan data primer yang dipergunakan untuk bahan analisa. Bab IV Kesimpulan dan Saran: Bagian ini memuat kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran yang berguna untuk keperluan penelitian selanjutnya.


(46)

33

BAB II

GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Madura, Masyarakat Santri dan FKMSB

Masyarakat Madura dikenal dangan masyarakat yang beragama Islam dengan corak yang khas. Dikatakan khas karena identitas keberagamaan yang tidak bisa dipisah dari kehidupan mereka sehari harinya. Karena saking khasnya keberagamaan orang madura hingga muncul kata-kata yang sering dilekatkan pada mereka yaitu “sejelek-jeleknya orang madura pasti mereka tahu mengaji alqur’an”. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas muslim (+97-99%), Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya. Selain akar budaya lokal (asli Madura), syariat Islam juga begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura. Bahkan ada ungkapan budaya: Seburuk-buruknya orang Madura, jika ada yang menghina agama (Islam) maka mereka tetap akan marah. (Aziz 2014:12) Dengan demikian identitas keislaman khas itu tidak mudah lepas dari masyarakat madura dengan tingkat fanatisme yang tinggi.

Kekuatan utama keberagamaan masyarakat madura ditopang dengan berdirinya berbagai pondok pesantren yang tumbuh dan terus berkembang. Pendidikan khas pondok pesantren ini mendominasi dalam proses pemberdayaan masyarakat Madura. Hal ini dapat ditemui dengan ungkapan khas anak muda bahwa “ga’ mondok ga’ keren”. Kata-kata ini menjadi pemahaman umum dalam konteks madura bahwa kalau anak muda tidak mondok kesebuah pondok pesantren maka dia akan dianggap kurang keren.


(47)

34

Dalam konteks yang demikian tidak heran juga jika dikatakan bahwa masyarakat madura adalah masyarakat santri dengan tradisi kuat khas NU. Indikator masyarakat santri ini selain karena khas masyarakat madura yang bisa dipastikan mempunyai langgar sebagai tempat ibadah, juga karena tumbuh kembangnya pondok pesantren di Madura hampir disetiap desa. Hal ini karena banyak sekali putra-putra kyai yang kemudian mendirikan sebuah pondok pesantren baru sebagai langkah pembangunan masyarakat beragama di Madura.

Salah satu pondok pesantren yang sangat tua dalam konteks Madura adalah pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar yang terletak di Desa Potoan Daya Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan, Sekalipun belum ada data yang valid namun dari cerita-cerita santrinya diperkirakan pondok pesantren ini telah berdiri sekitar 250 tahun yang silam. Mengingat perkiraan umur pondok pesantren yang sudah dua setengah abad itu, tentu sudah banyak sekali melahirkan alumni-alumni yang banyak berkiprah dalam masyarakat. Alumni dari pondok pesantren ini terkumpul dalam PERADABAN (Persatuan Alumni Darul Ulum Banyuanayar), yang mewadahi alumni secara keseluaran. Namun ada wadah alumni lain yang khusus dan khas yaitu FKMSB (Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar). Organisasi khusus menangani alumni pondok pesatren banyuanyar yang terfokus pada alumni yang menyandang status mahasiswa.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, FKMSB atau Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanayar adalah wadah Alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar khusus bagi mahasiswa alumni dari pondok tersebut yang


(48)

35

menyebar di beberapa kota di Indonesia bahkan luar negeri. Karena pusat studi itu banyak tumbuh di perkotaan maka organisasi ini banyak berkembang di perkotaan pula mengingat mereka adalah alumni yang kemudian eksodus dan merantau untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi di berbagai kota di indonesia. Tentu saja dalam hal ini termasuk kota di Madura dan kota-kota besar seperti Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta.

Di kota-kota besar termasuk dalam konteks penelitian ini adalah FKMSB di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi), mereka menempuh pendidikan dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Tentu dalam konteks yang demikian, FKMSB telah tumbuh berkembang dan sudah memainkan peran dalam konteks pengembangan keberagaman dan keilmuaan masyarakat Madura terutama mereka yang alumni Pondok Pesantren Banyuanyar untuk terus diajak dan kemudian melanjutkan jejang studinya keperguruan tinggi. Bahkan dalam konteks-konteks tertentu organisasi ini terutama ogranisasi daerahnya seperti wilayah Jabodetabek, Surabaya dan lain sebagainya bersaing untuk kemudian semakin memperbanyak kader baik putri maupun putra setiap tahunnya agar mereka bisa melanjutkan studinya kesetiap daerah tersebut.

B. Sejarah Berdirinya Organisasi Mahasantri FKMSB

Terbentuknya sebuah komunitas bisa dilacak dalam berbagai literatur sosiologi. Dalam berbagai literatur itu dikatakan bahwa manusia saling tergantung satu sama lain yang tidak mungkin terpisah dengan hidup menyendiri. Hal ini menghadirkan pemahaman akan adanya keterikatan


(49)

36

dengan orang lain yang menunjukkan bahwa manusia hidup berkelompok. (Aziz 2015:23)

Independensi sebagai individu tidak mungkin ada tanpa dependensi dari masyarakat.(K.J. Veeger 1993:9) Karena itu, terbentuk apa yang disebut dengan proses sosial yang melahirkan struktur dengan hadirnya kelompok sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang. Sedangkan pada sisi mentalitasnya, akan melahirkan sistem nilai, pola dan cara berfikir, sikap, tingkah laku dan sistem norma-norma.( Soekanto 1993:45-46)

Sosiolog Jerman Max Weber, melihat bahwa tindakan sosial dapat menjelaskan hubungan sosial dalam masyarakat itu sendiri. Bagi Weber, ciri-ciri yang khas dari hubungan-hubungan sosial adalah hubungan itu bermakna bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya, dan hubungan sosial tersebut memiliki tiga bentuk, yaitu: konflik atau perjuangan, komunitas, dan kerjasama.( Doyle Paul Jhonson 199:23) Dalam ruang lingkup kajian sosial mengenai masyarakat dengan hadirnya kerjasama yang berbentuk masyarakat maka Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) bisa dilihat sebagai bagian proses tindakan sosial itu yang di dalamnya hadir kerjasama berdasarkan kesamaan tujuan, nilai dan identitas.

Jika dilihat dari proses terbentuknya Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) maka tempak mereka lahir karena kesamaan identitas mereka yang merasa sebagai masyarakat santri dan tentu karena berasal dari pondok pesantren yang sama yaitu Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Kesantuan asal usul dan latar belakang pendidikan ini yang


(50)

37

menyebabkan mereka kemudian saling berhubungan dan berinteraksi dengan membentuk perkumpulan khusus yang disebut dengan FKMSB. Jika ditelaah lebih jauh organisasi ini merupakan organisasi primordial yang berbasis santri dengan status sebagai mahasiswa di berbagai kampus dalam negeri maupun di luar negeri, FKMSB dibentuk pada tanggal 21 Januari di Aula MA Darul Ulum, FKMSB ini merupakan kelanjutan dari Ikatan Mahasiswa Darul Ulum (IMAD) yang diketuai Drs. Kholil Asy’ari (Sekarang wakil Bupati, Pamekasan). Beberapa alumni ponpes Banyuanyar yang menggerakkan IMAD antara lain; Drs. Moh. Mansyur, (Sekarang anggota KPU Bangkalan) Drs Johanni, Moh. Buhori S.Ag, Dr. H. Zainuddi Syarif, M.Ag, Kholil, S.Ag dan sejumlah nama lainnya. Namun seiring dengan perkembangan dan kebutuhan direncanakan IMAD berubah menjadi FKMSB.

Dalam rencana perubahan nama tersebut dari IMAD ke FKMSB di latari dengan keinginan untuk mengakomodasi semua kalangan bukan hanya lembaga darul ulum saja, namun juga pondok pesantren Al-Hamidy Banyuanyar. Maklum pondok pesantren darul ulum Banyuanyar berdampingan tak terpisah dengan pondok pesantren Al-Hamidy Banyuanyar yang memang pondok pesantren yang sama-sama didirikan oleh satu keluarga. Dalam ruang pemikiran kekeluargaan yang demikian, muncul inisiatif untuk alumninya bisa bersatu dalam forum dan wadah organisasi yang sama yaitu FKSMB.Walaupun pada kenyataan selanjutnya keinginan untuk menyatukan wadah alumni ini kurang mendapat respons oleh sebagaian besar alumni Alhamidy, walaupun tidak dapat dimungkiri bahwa di daerah seperti Malang dan Jabodetabek alumni Al-Hamidi bergabung dengan FKMSB. Selain karena belum banyak


(51)

38

alumninya yang menyebar dan keberadaan mereka yang sedikit, mahasiswa Alhamidy Banyuanyar bergabung dengan FKMSB karena kesamaan dalam konteks kultural yang memang lebih dekat.

FKMSB di awal kepengurusan berbetuk presidium dan pada Kongres I berhasil memilih Ach Fauzan (STAI AL-Khairat) sebagai sekjen. Pada Rakernas FKMSB akhir 2000, disepakati untuk membentuk kepengurusan di setiap wilayah. Dalam forum tersebut juga dirumuskan lambang FKMSB. Kemudian pada Kongres II tahun 2001 kepengurusan FKMSB disempurnakan dengan membentuk badan eksekutif yang dipimpin oleh ketua sedangkan presidium dialihfungsikan sebagai legislaif. Badan eksekutif dan legislatif tersebut juga dibentuk di setiap wilayah. Pada Kongres inilah AD/ART FKMSB disahkan. Kongres juga berhasil memilih Ach. Mukhlisin (Unijoyo) sebagai ketua yang selanjutnya diberi wewenang membentuk kepengurusan pusat. Sedangkan ketua presidium terpilih adalah H. Holil, S.Ag (Alumnus UII Yogyakarta).

Kemudian FKMSB menggelar Kongres III ahir 2003 di aula ponpes

Al-mujtama’. Dalam Kongres ini AD/ART FKMSB kembali disempurnakan dan

sistem organisasi dimantapkan. Kongres berhasil memilih Ach Baidowi Amirudin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) sebagai ketua. Dalam forum itu juga berhasil menetapkan Abd Hamid, SHI (IAIN Sunan Ampel Surabaya) sebagai ketua presidium. Dimasa kepengurusan ini terjadi perombakan secara signifikan dengan mengandalkan eksistensi. Bahkan, FKMSB mulai diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam level gerakan periode ini penyusunan pedoman administrasi FKMSB serta pengaktifan forum-forum


(52)

39

organisasi seperti sidang tahunan, Rakorwil, hingga Rakornas. berbagai bidang bisa dirambah FKMSB khususnya dunia tulis menulis. Kemudian FKMSB menggelar Kongres IV januari 2006 di Hotel Madinah yang kembali memilih Ach Baidowi Amirudin sebagai ketua Umum FKMSB kedua kalinya. Sedangkan ketua presedium terpilih adalah Mahrus Ali (UII Yogyakarta) dalam kepengurusan ini, distribusi kewenangan mulai diatur seperti pembentukan pembantu ketua.

FKMSB mempercepat Kongres V karena pertimbangan regenerasi dan pengoptimalan organisasi pada kongres V berhasil memilih Muhsin Salim (UIM Pamekasan) sebagi ketua umum. Sedangkan ketua presedium terpilih adalah Moh Ilyas (Unira Pamekasan). Mulai kepengurusan ini, Pembantu ketua umum dipangkas menjadi wakil ketua umum.

Dan pada tanggal 21 Januari 2009 FKMSB menggelar Kongres yang ke VI guna terciptanya organisasi yang runtun sesuai dengan AD/ART, Pada kongres ke VI Ini terpilihlah Hafiz al- Azad (UIN Syarif Hidayatullah) Sebagai perwakilan kandidat dari Jakarta dan terpilih menjadi ketua umum FKMSB periode 2009-2011, dan sebagai wakil ketuanya adalah Wawardi Asyari (Universitas Islam Madura) dengan ketua Badan legislatif terpilih Ach. Farwis ( IAIN Sunan Ampel Surabaya) Dalam kepengurusan ini terpilih Juga Jufriady ( Ma’had aly An-Nuaimy Jakarta ) sebagai skretaris umum dan Isma’il sebagai Bendahara umum (UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta).

Kemudian pada tanggal 24-26 Desember 2011, FKMSB menggelar Kongres yang ke VII bertempat di Singosari, Malang. Pada Kongres ini, AD/ART kembali di sempurnakan lagi dan di perbaiki, khususnya yang


(53)

40

mengatur mengenai kepengurusan wilayah. Kongres ini berhasil memilih Ahmad Zairi Syakur (Malang) sebagai ketua umum FKMSB periode 2011-2013. Sedangkan wakil ketua dipegang oleh Saiful Harir (Sumenep), sekretaris umum Edy Sugianto, tetapi kemudian di ganti oleh Agus Zainuddin (Pamekasan) karena alasan Edy Sugianto menikah, sementara Bendahara umum saudara Zainal Azhar (Jakarta). Dan baru kemudian kongres terkahir yaitu kongres di asrama haji sukolilo surabaya yang kemudian melahirkan sosok Syaiful Bahri (FKMSB Jabodetabek) sebagai ketua umum pada periode 2014/2015.

Jika dilihat dan ditelaah dalam sejarah FKMSB sebagaimana di atas, tampak tidak muncul nama-nama perempuan untuk memegang dan ikut mengatur jalannya organisasi ini. Sejarah organisasi FKMSB sebagaimana penulis jelaskan diatas tampak bahwa dalam kepengurusan harianpun nama-nama perempuan belum muncul dan dicantumkan karena mereka memang tampak belum banyak di perhitungkan padahal jumlah merekla sangat banyak. Baru kemudian pada kongres 2014 di asrama haji Surabaya para perempuan ini semakin vokal. Sehingga kemudian pada hasil rapat kerja di Surabaya muncul nama Rohmatun (FKMSB Malang) sebagai bendahara umum walaupun jabatanya tidak sampai selesai karena alasan menikah.

Kemunculan nama Rohmatun dalam Kongres Surabaya karena upaya yang sangat kuat dilakukan oleh kalangan perempuan FKMSB yang dimotori oleh Halimah Bukhori (FKMSB Jabodetabek) untuk mendapatkan posisi. Mereka berjuang untuk kemudian perempuan diperlakukan khusus dengan membentuk badan otonom yang yang diberi nama HIMAH (Himpunan


(54)

41

Muslimah) FKMSB. Tidak berhenti sampai disitu ternyata tuntutan mereka berlanjut dengan upaya merombak AD/ART dan menempatkan HIMAH sebagai badan otonom yang harus diakui secara legalitas di AD/ART itu sendiri. Dalam upaya berjuang akan hal ini mereka bahkan sempat melakukan aksi walk outatau keluar dari area kongres karena usulan mereka dianggap dihalang-halangi. Mereka kaum perempuan ini tidak mau hanya berdasarkan persetujuan kongres dan surat keputusan dari ketua umum semata, namun juga dilegalkan di AD/ART itu sendiri.

C. FKMSB Wilayah Jabodetabek

Perkembangan FKMSB memang sangat pesat seiring dengan semakin banyaknya alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Pondok pesantren tua di Pamekasan Madura ini rata-rata mengeluarkan lulusan seribu lima ratus (1500) santri putra dan putri setiap tahunnya. Namun demikian mereka yang sudah lulus dari pondok pesantren ini tidak bisa serta merta melanjutkan kuliah atau studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah lulus mereka diharuskan menjadi apa yang mereka sebut dengan guru tugas atau guru pengabdian. Mereka harus menjadi guru-guru atau ustadz-ustadz yang dikirim oleh pondok pesantren ke setiap daerah di Indonesia, dengan durasi pengabdian selama satu tahun. Mereka banyak tersebar di selain pulau madura dan jawa, mereka dikirim juga ke pedalaman Kalimantan, Papua dan Riau serta daerah-daerah lainnya di Indonesai untuk mengabdi mencerdaskan anak bangsa. Pengiriman santri yang demikian oleh pondok pesantren sudah berlansung sekitar 80 (delapan puluh) tahun yang silam.


(55)

42

Setelah mereka menyelesaikan tugas mengabdi dan kembali ke pondok pesantren, baru kemudian mereka merancang untuk melanjutkan studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke perguruan tinggi. Dalam momen mereka kembali ke pondok pesantren ini, mereka sudah mulai membangun komunikasi dengan kakak angkatan mereka yang telah terlebih dahulu berada dan melanjutkan kuliah diberbagai kota di Indonesia. Termasuk dalam hal ini di daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi). Mahasiswa santri Banyuanyar di daerah ini termasuk yang terbesar karena menyebar di berbagai kampus di empat kota sekaligus. Termasuk dalam konteks ini mahasiswa santri bagian putri yang memang lebih banyak melanjutkan kuliah ke Jabodetabek ketimbang ke kota-kota lainnya di Indonesia.

Tentu saja FKMSB dengan tujuan reaktualisasi kaum santri dan meningkatkan nilai ukhwah di kalangan santri Banyuanyar, diamini oleh beberapa mahasiswa yang sudah terlebih dahulu kuliah di daerah Jabodetabek. Tujuan mulia yang menginspirasi mereka untuk kemudian berencana membuat cabang FKMSB di Jobodetabek sebagaimana daerah lainnya di Indoensai seperti Malang, Surabaya dan Yogyakarta. Dengan segenap pertimbangan pada visi dan misi organisasi berupa: Menggali potensi dan mengembangkan pemikiran sebagai upaya penguatan wacana. Menampung, mengarahkan dan menyalurkan kepedulian santri terhadap masalah sosial. Membentuk pola pembinaan dan pemberdayaan santri yang terpadu untuk mendukung tujuan organisasi. Menginternalisasikan nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini ingin sekali diterapkan di Jabodetabek dengan kekuatan silaturahmi dengan mempertimbangkan potensi santri yang sudah kuliah di daerah ini.


(56)

43

Karena itu para mahasantri ini berinisiatif untuk segera mendirikan organisasi secepatnya.

Jika ditelusuri berdirinya FKMSB Jabodetabek ini dimulai sejak tahun 2008 kala itu di motori oleh Holisul Ibad dan Ahmad Jufri yang pada waktu itu kuliah di An-nuami Kebayoran lama Jakarta. Karena sesuai dengan AD/ART FKMSB bahwa suatu wilayah bisa membentuk cabang ketika sudah ada anggota menimal tujuh orang, mereka segera memprosesnya. Karena,kala itu di Jakarta sudah lebih dari ketentuan tersebut namun disisi yang lain mereka belum terbentuk cabang secara resmi. Oleh karena itu mereka berkonsultasi dengan ketua umum FKMSB Muhsin Salim yang berkantor di kota Pamekasan sekaligus menyerahkan surat rencana mendirikan cabang FKMSB Jabodetabek. Akhirnya usulan tersebut dibawa kerapat pengurus pusat dengan disetujui badan legislatif FKMSB maka disetujui terbentuknya pengurus cabang tersebut dan dibentuk pengurus sementara yang diketuai oleh Khulisul Ibad sendiri. Sebagaimana aturan AD/ART organisasi, cabang baru boleh dibentuk atas persetujuan ketua umun dan badan legislatif namun hanya sah dan secara resmi dikenakan kewajiban organisasi hanya setelah disahkan di Kongres. Oleh karena itu, FKMSB Jabodetabek disahkan pada Kongres tahun 2009.

Dengan terbentuknya organisasi FKMSB secara resmi di Jabodetabek maka mereka membuat rencana kerja yang salah satunya adalah sosialisasi mengenai kampus-kampus di Jabodetabek ke pondok pesantren Banyuanyar baik putra maupun putri untuk kemudian mereka bisa melanjutkan kuliah ke daerah Jabodetabek. Hasilnya hingga saat ini sangat fantastis dengan jumlah kader baru lebih dari seratus mahasiswa santri yang kuliah ke daerah ini.


(57)

44

Termasuk yang paling banyak dalam konteks ini adalah mahasiswa santri bagain putri.

Mahasiswa santri bagian putri ini semakin membeludak ke Jakarta tatkala salah satu putri kyai sendiri yaitu Neng, kuliah di Al-Hikmah Jakarta Selatan. Sehingga hadirnya seorang Neng ini di Jakarta maka santri-santri putri terdorong juga untuk kuliah ke Jakarta. Hal ini bisa dipahami karena Neng

dipandang sebagai contoh dan cukup berpengaruh di kalangan santri putri dan tingkat kepatuhan yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, tidak heran jika sampai saat ini santri putri yang kuliah paling banyak berada didaerah Jabodetabek. Ketika penelitian ini dilakukan, mereka para mahasiswa santri yang berasal dari Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura ini tersebar di beberapa kampus di Jabodetabek, Berikut data anggota FKMSB Jabodetabek dalam tiga tahun terahir.

Tabel II. C.1. Anggota FKMSB Jabodetabek Dalam Tiga Tahun Terahir

(Sumber Data: SekretarisUmum FKMSB 2014/2015)

Dari data tersebut terlihat peningkatan yang sangat tinggi oleh anggota laki-laki setiap tahunnya, Dan anggota perempuan juga mengalami peningkatan walaupun

NO Kampus 2012/2013 2013/2014 2014/2015

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

1 LIPIA 0 9 0 9 0 9

2 AL-HIKMAH 4 5 4 7 4 7

3 HIDAYATULLAH 18 0 25 0 25 0

4 AN-NUAIMI 3 0 3 0 3 0

5 STPD Bekasi 0 2 1 2 2 3

6 IbnuKholdunDepok 3 0 1 2 1 2

7 STT GANESHA 5 0 5 1 8 1

8 UIN JAKARTA 25 7 25 7 27 7

9 UNINDRA 5 0 5 0 8 0

10 UMJ 2 1 5 1 5 2

JUMLAH 65 24 74 29 83 31


(1)

85 B. Saran-saran

Berdasarkan hasil penelitian ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri FKMSB Jabodetabek ini, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan baik yang bersifat akademis maupun praktis yang akan ditujukan:

1. Untuk Organisasi FKMSB

Perlu diupayakan sebuah pendekatan dan pembelajaran untuk meningkatkan sensitivitas gender di kalangan anggota FKMSB berupa diskusi ataupun kajian tentang relasi gender agar terwujud pemahaman yang sadar gender sehingga semua anggota mendapatkan kesempatan dan hak-hak yang sama dalam relasi berorganisasi.

2. Untuk Pesantren Banyuanyar

Perlu adanya keterbukaan komunikasi yang kemudian meningkatkan sensetivitas gender bagi pengasuh, para ustadz dan ustadzah, sehingga dapat memberikan arahan bahkan kebijakan yang kemudian memberlakukan pembelajaran terkait gender yang seharusnya diberikan sejak dini kepada para santri di pesantren. Dan selebihnya mulai diberikan beberapa penjelasan dan arahan terkait pendidikan berspektif gender, yang kemudian diharapkan lulusan pesantren dapat memahami dan mempunyai persepsi yang baik dalam konteks realitas sosial saat ini.

Selanjutnya, juga perlu adanya keterbukaan komunikasi antara pengurus dan keluarga Pesantren terkait anggota FKMSB perempuan serta peran pengurus perempuan yang selama ini masih terlihat kaku dan terkesan kurang berani tampil kedepan karena stigma perempuan yang masih kental akan budaya patriarki dan selalu diposisikan sebagai the second class.


(2)

86

Peran pengurus pusat FKMSB, pengurus pesantren dan keluarga pesantren sangat tepat untuk membicarakan dan menentukan beberapa kebijakan dengan harapan terciptanya relasi organisasi FKMSB yang lebih baik terlebih bagi anggota perempuan kedepan.

3. Untuk Pemerintah dan Kementerian Agama

Perlu adanya kebijakan pemerintah yang memberikan porsi yang cukup terhadap lembaga pendidikan di pesantren berupa pengetahuan sosial berspektif gender yang kemudian memungkinkan lulusan pesantren lebih melek memahami konteks realitas sosial, serta lebih responsif terhadap isu-isu gender yang berkembang dan semakin mengantisipasi adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.

Dan perlu adanya buku kurikulum berbasis agama dan pengetahuan umum yang dikomparasikan dengan standar nasional yang kemudian diberikan dan diajarkan dalam lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren dapat melahirkan sosok pelajar yang mempuni baik dalam pengetahun agama maupun dalam pengetahuan sosial.


(3)

LXXXVI Daftar Pustaka

Affan dan Faiz azis. “Bara di Pulau Madura: Mengurai Konflik Syi’ah Sunni di Sampang Madura.” Yogyakarta. Suka press, 2014.

Bologh, Roslyn Walach, Feminist Social Theorizing and Moral Reasoning: on Difference and Dialectic, Dalam Perkumpulan sosiologi Amerika, Social Teory. San Francisco: Jose-Bass, 1984.

Faiz Aziz, Feminisme Marxis Dalam Ruang Sosial “Kita” Dewasa Ini. Tesis yang diperesentasikan dalam Forum Gerakan Mahasiswa Peduli Perempuan. Yogyakarta: UIN SUKA, 2015.

Faiz Aziz, Komunitas Hijabers: Komodifikasi, Elitisme dan Identitas Keberagaman Muslimah Perkotaan. Yogyakarta: Suka Press, 2015.

Fadilah, Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jabodetabek bekerjasama dengan McGill Project/IISEP, 2003. Jamhari. Citra Perempuan Dalam Islam. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2003.

Mulia, Siti Musdah. “Sosialisasi Keadilan dan Kesetaraan Jender,” Jakarta: Sekretariat Jenderal Departemen Agama, 2005.

Mulia, Siti Musdah. “Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam.” Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003.

Rohmaniyah, Inayah. “Konstruksi Patriarki dalam Tafsir Agama: Sebuah Perjalanan Panjang.” Yogyakarta: Dandra Pustaka Indonesia, 2014.

Soekanto. “Beberapa Teori Sosiologi Tentang Masyarakata.” Jakarta: Rajawali Press, 1993.

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar penelitian Kualitatif, terj. Djunaidi Ghony. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.

Sukri, Sri Suhandjati. “Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. “ Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Veeger, K.J. “Realitas Sosial: Refleksi Sosial atas Hubungan Individu Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi,” Jakarta: Gramedia, 1993.

Mulia, Siti Musdah. “Islam Menggugat Poligami.” Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.


(4)

LXXXVII

Megawangi, Ratna. “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender.”Bandung: Mizan, 1999.

Nasaruddin, H. Umar. “Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci.” Jakarta: PT Fikayati Aneska, 2000.

Nunuk, A, dan Murniati. “Getar Gender,” Magelang: Yayasan Indonesia Tera Anggota IKAPI, 2004.

Nurhaeni, Dwi Astuti. “Gender Analisys Pathway (GAP) Alat Analisis Gender untuk Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Bappenas Bekerjasama dengan Kemenerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2007.

Puspita, Hery. “Konsep, Teori dan Analisis Gender.” Sebuah makalah yang dipresentasikan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institute Pertenian Bogor, 2013.

Puspitawati, H. “Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia.” Bogor: PT. IPB Press, 2012.

Veithzal Rivai. “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.” Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.

Damin, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Muhammad, Husein. “Fiqh Perempuan.” Yogyakarta: LkiS, 2007.


(5)

MATRIKS Penelitian : Ketimpangan relasi gender Mahasantri dalam Organisasi FKMSB Jabodetabek.

NO INFORMAN INFO YANG DIGALI

1 Anggota dan

pengurus

Relasi perempuan dalam kegiatan dan kesempatan berpartisipasi dalam program. Ketidak seimbangan dalam konteks apa Kesempatan perempuan dalam struktur kepengurusan

Faktor yang menjadi kendala perempuan kurang terlibat dalam kegiatan dan pengembangan skill dan knowedge Faktor penghambat perempuan dalam menjabat di struktural

2 Pendiri dan ketua FKMSB

Sejarah dan perkembangan FKMSB Jabodetabek

Konfirmasi data yang dirasa membutuhkan penegasan dan penjelasan

Wawancara dengan Informan

1. Informan diminta bercerita tentang relasi antara aki-laki dan perempuan dalam organisasi FKMSB.

2. Informan diminta menceritakan pengalaman – pengalaman yang berkaitan dengan akses, partisipasi dan kontrol dalam organisasi FKMSB.

3. Informan iminta menceritakan kendala dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi gender dalam organisasi FKMSB Jabodetabek.


(6)

Dokumentasi beberapa acara yang menggunakan pembatas atau tabir antara laki-laki dan perempuann dalam acara FKMSB Jabodetabek. Foto bersama ketua FKMSB wilayah Jabodetabek.

Dan Basecamp FKMSB