di unduh 4 Februari 2010. Sejak tingginya harga minyak bumi dan maraknya isu penekanan emisi karbon dari bahan bakar fosil fossilfuel maka pemanfaatan
minyak sawit sebagai bahan bakar nabati biofuels semakin meningkat. Perkebunan kelapa sawit sangat memberikan keuntungan secara ekonomi
bagi negara. Pada tahun 2005, devisa yang diperoleh dari ekspor produk kelapa sawit di Indonesia mencapai US 4.513 juta Ditjenbun, 2006.
2.3. Penyimpanan Karbon pada Lahan Gambut.
Lahan Gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-orologi dan fungsi ekologi lain yang penting bagi kehidupan seluruh
makhluk hidup. Umumnya gambut terbentuk di daerah basah, beraerasi yang buruk seperti di daerah danau-danau yang dangkal, kolam, rawa dan daerah
berlumpur dan hasil akhir dari eutrofikasi alamiah. Eutrofikasi adalah proses yang terjadi di daerah danau dangkal dan kolam yang terjadi pengkayaan unsur-unsur
hara kemudian terisi oleh tanaman dan sisa bahan tanaman. Sisa-sisa tanaman terakumulasi di dasar danau yang dangkal dan kolam yang beraerasi dan
berdrainase buruk sehingga perombakan yang terjadi tidak berjalan sempurna. Proses permulaan hingga terbentuknya gambut dinamakan paludisasi, yaitu proses
geogenik bukan pedogenik, yang dalam hal ini berupa akumulasi bahan organik mencapai ketebalan lebih dari 40 cm. Pada keadaan akumulasi bahan organik
tersebut dapat dianggap suatu proses pembentukan bahan induk tanah gambut. Pada proses pembentukan dan perkembangan tanah gambut selanjutnya, bahan
induk dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; kelembaban, susunan bahan organik, kemasaman, aktivitas jasad renik dan waktu Hardjowigeno, 1993.
Hidrologi pada lahan gambut sangat berperan penting. Awal terbentuknya gambut tropik karena berada pada daerah yang selalu tergenang. Kondisi hidrologi
pada lahan gambut merupakan fungsi dari : i keseimbangan antara air masuk dan air keluar, ii topografi tanah mineral yang menopang endapan gambut, dan iii
keadaan musim yang dapat berpengaruh terhadap fluktuasi permukaan air genangan Mitsch dan Gosselink, 1993. Apabila tidak terdapat kondisi anaerob
yang menyebabkan lambatnya dekomposisi bahan organik maka tidak akan terbentuk gambut Noor, 2001.
Ketebalan gambut dalam suatu bentang lahan tidak menunjukkan permukaan datar. Berdasarkan pengukuran H, terdapat perbedaan tinggi antara
permukaan bagian tengah dengan permukaan bagian tepinya sebesar 2,5 m Sabiham, 2006. Pada umumnya topografi lahan gambut membentuk kubah
dome. Peningkatan ketebalan menuju kubah kurang 1 m setiap jarak 1 m. Contohnya, penampang melintang antara sungai Sebangau dan Sungai Bulan di
Kalimantan Tengah sepanjang 24,5 km serta puncak kubah berjarak 16,5 m. Peningkatan ketebalan mencapai 4 m pada jarak 1
–3 km dari pinggir Sungai Sebangau dengan ketinggian mencapai 4 m di atas permukaan sungai. Wilayah
transisi dari hutan rawa campuran ke hutan tiang, pada jarak 3 –6 km mempunyai
ketebalan yang meningkat seiring peningkatan ketinggian permukaan dari sungai antara 6,25
–9 m. Pada jarak 6–11 km yang merupakan wilayah hutan maka ketebalan gambut meningkat mencapai 10 m
Noor, 2001 Luas areal gambut di Indonesia merupakan areal terluas di daerah tropik.
Bahan gambut tropika berasal dari akumulasi pepohonan dari hutan tropik sehingga sangat sulit untuk didekompisisi mengakibatkan gambut yang terbentuk
menjadi sangat tebal. Neuzil 1997 dalam Noor, 2001 menyatakan bahwa laju penimbunan gambut di kawasan tropik lebih cepat tiga hingga enam kali
dibandingkan dengan gambut di kawasan subtropik. Adapun unsur utama yang menjadi komposisi bahan organik yaitu C, H, dan O. Menurut Suhardjo dan
Widjaja, 1976 dalam Noor, 2001 melaporkan bahwa kandungan C organik gambut meningkat setiap peningkatan ketebalan. Pada gambut yang sangat dalam
3 m mengandung C organik sebesar 54,11 , sedangkan gambut dangkal 0,5 –
1 m mengandung C organik sebesar 49,80 . Gambut Kalimantan Tengah berkisar antara 53,1
–57,8 Salampak, 1999. Apabila terjadi dekomposisi bahan organik tersebut maka akan melepaskan CO
2
dan H
2
O. Selama ribuan tahun lahan gambut telah berperan penting untuk menjaga iklim global terutama pada era
holosin. Pada ekosistem lahan gambut tropika terjadi siklus karbon. Sekitar 50
total karbon akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam proses fotosintesis. Sisa tanaman yang mati akan terdekomposisi kembali ke
dalam sistem tanah menjadi sumber hara dan sebagian akan teremisi ke atmosfer
dalam bentuk CO
2
. Dalam kondisi normal siklus ini selalu membentuk keseimbangan karbon di biosfer. Kemampuan gambut yang besar dalam
pemendaman karbon akan sangat efektif untuk mengatasi laju emisi karbon. Gorham 1991 menunjukkan bahwa fraksi karbon di lahan gambut tropika
mencapai 528 000 Mt. Wojick 2005 menyatakan C-sequentration di lahan gambut dan lahan basah lainnya antara 0,1
–0,7 Gt. Simpanan karbon bisa mencapai 70 Gt sedangkan kapasitas simpanan C mencapai 240-480 Gt atau
sekitar 20 dari total secara global Rieley et al., 1997. Melling et al. 2008 dalam penelitiannya menunjukkan bahwa cadangan karbon yang dilakukan pada
gambut dalam di Malaysia yaitu sebesar 3.771 ton Cha. Besarnya karbon yang terkandung pada lahan gambut menjadikannya sebagai sumber source dan
penyimpan sink karbon teresterial terbesar.
III. METODOLOGI