Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena

6.2. Perhitungan Pengeluaran Biaya BBM Pengguna Jalan bila Terkena

Kemacetan Dibandingkan dengan Tidak Terkena Kemacetan Kemacetan yang sering terjadi tidak hanya berdampak pada sisi sosial pengguna jalan saja, namun tentunya pada kendaraan yang digunakan pengguna jalan. Kemacetan akan mempengaruhi setiap perjalanan, baik perjalanan untuk bekerja maupun perjalanan bukan untuk bekerja. Hal itu akan mempengaruhi pergerakan orang dan arus barang. Kendaraan yang melaju pada lalu lintas normal, tidak terjebak kemacetan, biasanya mengkonsumsi BBM sesuai dengan efisiensi mesin kendaraan dalam mengkonsumsi BBM. Kendaraan bermotor biasanya ditunjukkan dengan perbandingan per satu liter bensin dengan jarak yang dapat ditempuhnya, misalnya konsumsi satu liter bensin untuk delapan kilometer untuk jenis kendaraan mobil, tetapi efisiensi kendaraan ini juga dipengaruhi oleh jenis mobil, kapasitas cc mesin, dan merk mobil tersebut. Kendaraan roda dua seperti motor, penggunaan bahan bakarnya lebih efisien daripada mobil. Konsumsi untuk sepeda motor dengan kondisi mesin normal minimal dapat menempuh 20 km untuk penggunaan satu liter bensin. Sebanyak 70 responden pengguna kendaraan mobil dan motor responden penumpang angkutan umum tidak masuk dalam perhitungan dihitung pengeluaran biaya BBM mereka saat kendaraan melaju dengan normal dibandingkan dengan saat terjebak kemacetan, dengan menggunakan rumus nilai tengah contoh maka didapat rata-rata kerugian individu pengguna jalan seperti ysng terlihat seperti pada Tabel 8. Tabel 8. Perhitungan Pengeluaran Rata-Rata Responden untuk Pembelian BBM Pengeluaran Rata-Rata Mobil 33 unit Motor 37 unit Pengeluaran rata-rata normal per kendaraanhari Rp 40.500,00 Rp 12.277,03 Pengeluaran rata-rata macet per kendaraanhari Rp 52.159,09 Rp 19.182,43 Rata-rata kerugian per kendaraanhari Rp 11.659,09 Rp 6.905,41 Sumber : Data Primer, 2010 Hasil perhitungan pengeluaran pengguna kendaraan bermotor untuk pembelian BBM dengan rumus perhitungan rata-rata, dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 40.500,00 per mobil. Namun apabila terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 52.159,09 per mobil karena konsumsi BBM menjadi meningkat. Begitu pula pada kendaraan jenis sepeda motor dimana pengeluaran responden untuk pembelian BBM dalam kondisi lalu lintas normal didapat sebesar Rp 12.277,03 per motor. Namun apabila mereka terjebak kemacetan maka biaya tersebut meningkat menjadi Rp 19.182,43. Meningkatnya pengeluaran ini merupakan kerugian yang harus ditanggung oleh setiap pengguna kendaraan baik mobil maupun motor. Kerugian yang ditanggung pengguna jalan adalah selisih antara rata-rata pengeluaran kemacetan per kendaraan dengan rata-rata pengeluaran normal per kendaraan yaitu sebesar Rp 11.659,09 untuk setiap mobil sedangkan motor sebesar Rp 6.905,41, sehingga total kerugian BBM kendaraan bermotor akibat kemacetan adalah Rp 18.564,00. Jika nilai tersebut dikalikan dengan jumlah kendaraan bermotor yang terjebak kemacetan pada salah satu titik kemacetan yang ada di Kecamatan Bogor Barat, misalnya kemacetan di ruas jalan Gunung Batu pada peak hours pukul 07.00-12.00 dengan rata-rata volume kendaraan sebanyak 25 unit per menit, maka kerugian BBM akibat kemacetan adalah Rp 139.233.722,00 setiap peak hours. Jumlah kerugian tersebut hanya untuk satu titik kemacetan saja. Namun, bila dikalikan dengan seluruh titik kemacetan di Kecamatan Bogor Barat yang jumlahnya sekitar 3 titik kemacetan, dengan asumsi bahwa volume kendaraan pada setiap titik kendaraan sama dengan volume kendaraan di Gunung Batu, maka total kerugian BBM akibat kemacetan adalah sebesar Rp 417.701.167,00 per hari. Berarti potensi ekonomi yang hilang dari pengguna BBM akibat kemacetan di Kecamatan Bogor Barat mencapai Rp 152.460.925.983,00 per tahun. Potensi nilai ekonomi yang hilang ini merupakan nilai yang sangat besar untuk kota yang termasuk daerah sub-urban. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Sapta di dapat nilai potensi ekonomi yang hilang dari penggunaan BBM akibat kemacetan di Kota Bogor mencapai Rp 256.724.056.800,00 per tahun. Bila dibandingkan dengan nilai kerugian yang didapat penulis, nilai kerugian yang didapatkan pada penelitian Sapta tersebut lebih besar. Hal ini mungkin terjadi karena ruang lingkup yang dilakukan oleh Sapta dalam penelitiannya tersebut mencakup seluruh Kota Bogor, sedangkan penulis hanya meneliti salah satu bagian dari Kota Bogor yakni di Kecamatan Bogor Barat.

VII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT