Pemanfaatan arang aktif sebagai carrier unsur hara mikro dalam pembuatan pupuk lambat tersedia

(1)

PEMANFAATAN ARANG AKTIF

SEBAGAI

CARRIER

UNSUR HARA MIKRO DALAM

PEMBUATAN PUPUK LAMBAT TERSEDIA

DINA ALVA PRASTIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan Arang Aktif sebagai Carrier Unsur Hara Mikro dalam Pembuatan Pupuk Lambat Tersedia

adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2013

Dina Alva Prastiwi NRP A152090051


(3)

ABSTRACT

DINA ALVA PRASTIWI. The Utilization of Activated Carbon as Micro Nutrients Carrier in Slow Release Fertilizer Formulation. Under the direction of Basuki Sumawinata, Iskandar, and Gustan Pari.

In many plantations, fertilizers were often added in high dosage and applied several times in order to get maximum productivity. Actually, some processes in soil caused not all nutrients in fertilizer could be uptaken by plants. Besides, high dosage can be toxic to plants. The use of slow release fertilizer can overcome this case. Slow release fertilizers (SRF) were fertilizers coated within a substance that enables a slow release time and had higher efficiency rate than soluble fertilizers. This research was aimed to: 1) identify the characteristics of bamboo and coconut shell activated charcoal that were activated in 600oC or 700oC temperature and steamed for 90 minutes, 2) obtain the data of adsorptive capacity of activated charcoal to the nutrients mixed, 3) gathering the information about nutrients release rate of fertilizer produced, and 4) determine the influence of slow release fertilizer addition to nutrient uptake in Acacia crassicarpa. The

study was conducted by converting materials into charcoal. The charcoal was then activated in 600oC and 700oC temperature and steamed for 90 minutes. The activated charcoal was ground and analyzed based on SNI 06-3730-1995. SRF was formulated by soaking fine activated charcoal in 1N or 2N of CuSO4, FeSO4 or ZnSO4 solution for 24 hours. Analysis conducted were observation of surface topography by SEM, qualitative analysis using EDX, calculation of chrystallinity, width, length and number of aromatic layer, and determination of total Cu, Fe and Zn in SRF. The optimal treatment was chosen to determine its release rate by extracting fertilizer with distilled water and 2% citric acid during 0, 15, 30, 45, and 60 minutes. The influence of SRF addition to nutrients uptake was determined by observing nutrients content in root. The results showed that the activated charcoal produced met SNI 06-3730-1995 except for its adsorptive capacity to iodine and blue methylene. Nevertheless, the activated charcoal could be used to adsorb nutrients mixed as shown by SEM and EDX results. The adsorption of Cu, Fe and Zn increased the activated charcoal chrystallinity and influence its width and length of aromatic layer. The highest nutrients concentration obtained were 11,443 ppm Cu, 5,476 ppm Fe, and 6,603 ppm Zn for bamboo activated charcoal and 10,775 ppm Cu, 7,611 ppm Fe, and 6,343 ppm Zn for coconut shell activated charcoal. Nutrients in the charcoal could be released slowly and could not be easily leached out.


(4)

RINGKASAN

DINA ALVA PRASTIWI. Pemanfaatan Arang Aktif sebagai Carrier Unsur Hara

Mikro dalam Pembuatan Pupuk Lambat Tersedia. Dibimbing oleh Basuki Sumawinata, Iskandar, dan Gustan Pari.

Pemupukan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Adakalanya pupuk ditambahkan dalam dosis tinggi dan dilakukan beberapa kali untuk memperoleh produksi setinggi mungkin. Akan tetapi, berbagai proses di dalam tanah menyebabkan tidak seluruh kandungan hara dalam pupuk terserap oleh tanaman. Selain itu, pemupukan pada dosis tinggi dapat bersifat toksik bagi bibit di awal masa pertumbuhannya. Hal-hal tersebut dapat diatasi dengan penggunaan pupuk lambat tersedia.

Pupuk lambat tersedia (PLT) merupakan pupuk yang kandungan hara di dalamnya berada sebagai senyawa kimia atau memiliki sifat fisik tertentu sehingga ketersediaannya tertunda beberapa saat setelah diaplikasikan. PLT dapat dibuat dengan beberapa cara. Pada penelitian ini, pupuk dibuat dengan “memasukkan” unsur hara mikro ke dalam arang aktif yang berperan sebagai “rumah” bagi unsur hara tersebut. Bahan baku arang aktif yang digunakan yaitu bambu dan tempurung kelapa, sedangkan unsur yang dimasukkan ke dalam arang aktif yaitu Cu, Fe dan Zn.

Penelitian dilakukan dengan mengkonversi bahan baku menjadi arang. Arang yang dihasilkan kemudian diaktivasi pada suhu 600oC dan 700oC dan dialiri uap air selama 90 menit. Arang aktif kemudian dihaluskan hingga berukuran 100 mesh, dan dianalisis berdasarkan SNI 06-3730-1995. Pembuatan pupuk lambat tersedia dilakukan dengan merendam arang aktif halus dalam larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4 1N atau 2N dengan perbandingan 1 : 3, 1 : 5, atau 1 : 7 selama 24 jam, kemudian dicuci dan dikeringkan. Pupuk yang dihasilkan diamati topografi permukaannya dengan SEM, dianalisis secara kualitatif dengan EDX, dihitung derajat kristalinitas, lebar, tinggi dan jumlah lapisan aromatik, dan dilakukan analisis total dengan metode pengabuan basah (aqua regia). Perlakuan yang optimal selanjutnya diuji daya pelepasan unsur haranya dengan mengekstrak pupuk menggunakan aquades dan asam sitrat dengan waktu pengocokkan 0, 15, 30, 45 dan 60 menit. Pengujian juga dilakukan dengan mencuci pupuk sebanyak 25x, kemudian diamati dengan EDX.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa arang aktif yang digunakan memenuhi SNI 06-3730-1995 kecuali untuk daya adsorb arang aktif terhadap iodium dan metilena biru. Akan tetapi, arang aktif dapat mengadsorb hara yang dicampurkan seperti yang ditunjukkan oleh hasil pengamatan dengan SEM dan EDX. Adsorbsi Cu, Fe, dan Zn meningkatkan derajat kristalinitas arang aktif. Perubahan lebar dan tinggi lapisan aromatik pada arang aktif yang telah diberi perlakuan menunjukkan bahwa Cu, Fe dan Zn berada di dalam struktur. Kadar hara tertinggi yang diperoleh yaitu 11.443 ppm Cu, 5.476 ppm Fe, dan 6.603 ppm Zn untuk arang aktif bambu dan 10.775 ppm Cu, 7.611 ppm Fe, dan 6.343 ppm Zn untuk arang aktif tempurung kelapa. Unsur hara di dalam arang aktif dilepaskan secara perlahan dan tidak mudah tercuci.


(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.


(6)

PEMANFAATAN ARANG AKTIF SEBAGAI CARRIER UNSUR HARA MIKRO DALAM PEMBUATAN PUPUK LAMBAT TERSEDIA

DINA ALVA PRASTIWI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Agroteknologi Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(7)

(8)

Judul Tesis : Pemanfaatan Arang Aktif sebagai Carrier Unsur Hara

Mikro dalam Pembuatan Pupuk Lambat Tersedia Nama Mahasiswa : Dina Alva Prastiwi

NRP : A152090051

Disetujui : Komisi Pembimbing

Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr Ketua

Dr Ir Iskandar Prof(R) Dr Gustan Pari, MS

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Agroteknologi Tanah

Dr Ir Suwardi, M.Agr Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(9)

PRAKATA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pemanfaatan Arang Aktif sebagai Carrier Unsur Hara Mikro dalam Pembuatan Pupuk Lambat Tersedia”. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan selama kurang lebih tujuh bulan di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada Dr Ir Basuki Sumawinata, M.Agr, Dr Ir Iskandar dan Prof (R) Dr Gustan Pari, MS sebagai Komisi Pembimbing atas segala bimbingan,

saran, motivasi, dan bantuannya selama penelitian dan penyusunan tesis ini. Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Sri Djuniwati selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan sehingga membantu tesis ini menjadi lebih baik. Besar rasa terima kasih penulis juga sampaikan kepada Dr Ir Darmawan, M.Sc atas apresiasi yang diberikan terhadap hasil penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan terima kasih kepada peneliti dan teknisi di Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor atas bimbingan dan bantuan selama proses penelitian hingga penyusunan tesis

ini. Ungkapan terima kasih juga penulis haturkan kepada kedua orangtua, mertua, suami, serta kedua buah hati tercinta atas segala doa, kasih sayang,

pengorbanan, bimbingan, kepercayaan, kesabaran, serta perjuangan yang tulus dan tiada hentinya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang S2. Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bogor, April 2013


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Majalengka pada tanggal 25 Februari 1986, dari Ayahanda Prof (R) Dr Drs Adi Santoso, M.Si dan Ibunda Nina Wiyantina, S.Si, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.

Pada Tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo) dan pada bulan Agustus 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor, lulus tahun 2009. Kemudian penulis bekerja sebagai pembimbing praktikum Kimia Dasar dan Kimia Analitik Dasar di Direktorat Program Diploma IPB Program Keahlian Analisis Kimia pada Semester Genap Tahun Ajaran 2008/2009. Penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Agroteknologi Tanah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Tahun Ajaran 2009/2010.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN... 1

1. 1 Latar Belakang... 1

1. 2 Tujuan Penelitian... 3

II TINJAUAN PUSTAKA... 5

2. 1 Arang Aktif... 5

2. 2 Bambu sebagai Bahan Baku Arang Aktif... 11

2. 3 Tempurung Kelapa sebagai Bahan Baku Arang Aktif... 13

2. 4 Pupuk Mikro... 14

2. 5 Pupuk Cu... 16

2. 6 Pupuk Fe... 17

2. 7 Pupuk Zn... 18

2. 8 Pupuk Lambat Tersedia... 19

2. 9 Tanaman Akasia (Acacia crassicarpa)... 22

III. METODE PENELITIAN... 25

3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian... 25

3. 2 Bahan dan Alat... 25

3. 3 Prosedur Penelitian... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

4. 1 Hasil Analisis Karakteristik Arang Aktif... 31

4. 2 Hasil Analisis Pupuk Lambat Tersedia... 33

4. 3 Hasil Pengujian Daya Pelepasan Hara dalam Pupuk Lambat Tersedia... 49

4. 4 Hasil Pengujian Pengaruh Penambahan Pupuk Lambat Tersedia terhadap Serapan Hara Tanaman... 51

V. KESIMPULAN... 55

5. 1 Kesimpulan... 55

5. 2 Saran... 56

DAFTAR PUSTAKA... 57


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Daya Adsorb Arang Aktif yang Terbuat dari Kayu dan Tempurung

Kelapa... 10

2. Pengaruh Jenis Bahan Baku terhadap Kualitas Arang Aktif dengan Bahan Pengaktif H3PO4 20%... 10

3. Komponen Kimia (%) Lima Jenis Bambu... 12

4. Pengaruh Jenis Bahan Kimia Pengaktif terhadap Kualitas Arang Aktif dari Tempurung Kelapa... 14

5. Contoh Pupuk Cu... 17

6. Contoh Pupuk Fe... 18

7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif... 31

8. Derajat Kristalinitas (X), Sudut Difraksi (θ), Jarak Antar Lapisan (d), Lebar (La), Tinggi (Lc), dan Jumlah (N) Lapisan Aromatik pada Bahan Baku, Arang, Arang Aktif dan Arang Aktif yang Telah Diberi Perlakuan Perendaman... 42

9. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam Larutan CuSO4... 44

10. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam Larutan FeSO4... 47

11. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam Larutan ZnSO4... 48

12. Hasil Ekstraksi Pupuk Cu dengan Aquades... 49

13. Hasil Ekstraksi Pupuk Fe dengan Aquades... 49

14. Hasil Ekstraksi Pupuk Cu dengan Aquades... 49

15. Hasil Ekstraksi Pupuk Cu dengan Asam Sitrat 2%... 50

16. Hasil Ekstraksi Pupuk Fe dengan Asam Sitrat 2%... 50


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Tanur untuk Membuat Arang Aktif yang Terbuat dari Baja Tahan

Karat yang Dilengkapi dengan Termokopel... 8 2. Topografi Permukaan Arang Bambu (a), Arang Aktif Bambu (b),

Arang Aktif Bambu+Cu (c), Arang Aktif Bambu+Fe (d), dan Arang Aktif Bambu+Zn (e) dengan pembesaran 1000x... 33 3. Topografi Permukaan Arang Tempurung Kelapa (a), Arang Aktif

Tempurung Kelapa (b), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (c), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Fe (d) dan Arang Aktif Tempurung Kelapa+Zn (e) dengan pembesaran 1000x... 34 4. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Bambu (a), Arang Aktif

Bambu yang Telah Direndam dengan CuSO4 (b) Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan FeSO4 (c), dan Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan ZnSO4 (d)... 35 5. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa (a),

Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan CuSO4 (b) Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan FeSO4 (c), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan ZnSO4 (d)... 36 6. Hasil Pengamatan Distribusi Cu pada Arang Aktif Bambu yang

Telah Direndam Larutan CuSO4... 37 7. Hasil Pengamatan Distribusi Fe pada Arang Aktif Bambu yang Telah

Direndam Larutan FeSO4... 37 8. Hasil Pengamatan Distribusi Zn pada Arang Aktif Bambu yang Telah

Direndam Larutan ZnSO4... 37 9. Hasil Pengamatan Distribusi Cu pada Arang Aktif Tempurung

Kelapa yang Telah Direndam Larutan CuSO4... 38 10. Hasil Pengamatan Distribusi Fe pada Arang Aktif Tempurung

Kelapa yang Telah Direndam Larutan FeSO4... 38 11. Hasil Pengamatan Distribusi Zn pada Arang Aktif Tempurung

Kelapa yang Telah Direndam Larutan ZnSO4... 38 12. Difraktogram XRD pada Bambu (merah), Arang Bambu (biru),

Arang Aktif Bambu (ungu)... 39 13. Difraktogram XRD pada Tempurung Kelapa (merah), Arang

Tempurung Kelapa (biru), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa (ungu)... 40 14. Difraktogram XRD pada Arang Aktif Bambu (merah), Arang Aktif

Bambu+Cu (biru), Arang Aktif Bambu+Fe (ungu), dan Arang Aktif Bambu+Zn (hijau)... 41


(14)

15. Difraktogram XRD pada Arang Aktif Tempurung Kelapa (merah), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (biru), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Fe (ungu), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa+Zn (hijau)... 41 16. Hasil Pengamatan EDX pada C2 yang dicuci 25x... 51

17. Hasil Pengamatan EDX pada Akar Bibit Acacia crassicarpa Tanpa

Penambahan Pupuk... 52 18. Hasil Pengamatan EDX pada Akar Bibit Acacia crassicarpa dengan

Penambahan Pupuk C1, F1, dan Z1... 53 19. Hasil Pengamatan EDX pada Akar Bibit Acacia crassicarpa dengan


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Difraktogram XRD Bambu... 61

2. Difraktogram XRD Tempurung Kelapa... 61

3. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Bambu... 62

4. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Tempurung Kelapa... 63

5. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 5x... 64

6. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 10x... 65

7. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 15x... 66

8. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 20x... 67


(16)

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pemupukan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas dengan memenuhi kebutuhan hara tanaman. Hingga dosis tertentu, semakin banyak pupuk diberikan, maka produktivitas akan semakin tinggi. Di perkebunan, seringkali pupuk ditambahkan dalam dosis cukup tinggi dan dilakukan beberapa kali pada masa tanam untuk memperoleh produksi setinggi mungkin. Akan tetapi, berbagai proses yang berlangsung di dalam tanah menyebabkan tidak seluruh unsur yang berasal dari pupuk dimanfaatkan secara optimal oleh tanaman. Hara tersebut dapat tercuci, menguap, atau pun terfiksasi. Selain itu, aplikasi pupuk pada dosis tinggi dapat bersifat toksik bagi bibit di awal masa pertumbuhannya. Kegiatan pemupukan yang dilakukan beberapa kali selama masa tanam pun sebenarnya menyebabkan biaya produksi lebih tinggi karena harus membayar tenaga kerja pada saat pemupukan. Hal-hal ini dapat diatasi dengan penggunaan pupuk lambat tersedia.

Pupuk lambat tersedia merupakan pupuk yang kandungan hara di dalamnya berada sebagai senyawa kimia atau memiliki sifat fisik tertentu sehingga ketersediaannya tertunda beberapa saat setelah diaplikasikan sampai akhirnya digunakan oleh tanaman. Penundaan ini dapat dilakukan dengan mengendalikan kelarutan bahan di dalam air, hidrolisis lambat dan sebagainya. Pada penelitian ini, pupuk lambat tersedia dibuat dengan memasukkan unsur hara ke dalam bahan berpori, yaitu arang aktif yang mampu berperan sebagai sebagai “rumah” bagi unsur hara tersebut.

Arang aktif atau karbon aktif adalah arang yang konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain serta rongga atau porinya dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran, sehingga permukaan dan pusat aktifnya menjadi luas atau meningkatkan daya adsorbsi terhadap cairan dan gas. Penelitian Alfianto (2011) menunjukkan bahwa arang aktif berpotensi untuk digunakan sebagai carrier pupuk mikro, sehingga kemungkinan pupuk dapat

bersifat slow release. Secara morfologi, arang aktif memiliki pori yang sangat


(17)

Unsur hara ini kemudian dilepaskan secara perlahan sesuai dengan laju yang dikonsumsi oleh tanaman. Selain itu arang aktif bersifat higroskopis sehingga hara dalam tanah tidak mudah tercuci.

Menurut Sudrajat dan Soleh (1994), setiap bahan yang mengandung karbon serta memiliki struktur anatomi berpori dapat dibuat arang aktif. Indonesia memiliki potensi bahan baku arang aktif yang cukup besar, yaitu berupa kayu, arang, limbah industri perkayuan, limbah perkebunan, serta limbah pertanian yang belum termanfaatkan secara optimal. Bahan baku arang aktif menentukan karakter arang aktif termasuk kemampuannya dalam mengadsorb suatu bahan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan dua bahan baku yang berbeda untuk mengetahui bahan baku yang relatif lebih tepat untuk dijadikan sebagai carrrier. Bahan baku

yang digunakan yaitu bambu yang didominasi oleh makropori dan tempurung kelapa yang didominasi oleh mikropori.

Berdasarkan penelitian Nurhayati (2000), bambu merupakan salah satu bahan baku yang dapat digunakan untuk memproduksi arang aktif karena mempunyai hasil rendeman arang dan daya adsorbsi yang tinggi. Komponen kimia bambu, seperti kadar selulosa, lignin, dan hemiselulosa merupakan komponen yang berperan pada proses pembuatan arang aktif berkadar tinggi yang diinginkan. Akan tetapi, bambu memiliki kadar abu yang relatif tinggi padahal yang diinginkan adalah bahan baku dengan kadar abu rendah.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahan baku keras seperti tempurung kelapa dan batu bara menghasilkan arang aktif dengan berat jenis tinggi yang penggunaannya sesuai untuk penyerapan gas, sedangkan kayu atau limbah pertanian dengan kadar selulosa dan hemiselulosa tinggi serta struktur yang lunak lebih sesuai untuk penyerapan cairan (Sudrajat dan Pari, 2011). Selain itu, struktur anatomi bahan baku juga menentukan kualitas arang aktif yang dihasilkan. Bahan baku yang memiliki pori dengan diameter kecil dalam jumlah banyak serta bertekstur keras artinya memiliki permukaan aktif yang luas dan dapat dibuat arang aktif dengan daya adsorbsi tinggi. Salah satu bahan baku dengan sifat-sifat demikian adalah tempurung kelapa.

Tempurung kelapa merupakan salah satu bagian dari produk pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang dapat dijadikan sebagai basis usaha.


(18)

Tempurung kelapa termasuk golongan kayu keras dengan kadar air sekitar enam sampai sembilan persen, dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa. Pemilihan bambu dan tempurung kelapa sebagai bahan baku pembuatan arang aktif bertujuan untuk mengetahui perbedaan daya adsorbsi arang aktif yang dihasilkan dari kedua bahan tersebut.

Arang aktif memiliki kemampuan untuk mengadsorb berbagai jenis cairan, maupun gas dengan berbagai ukuran. Berbagai unsur yang diperlukan tanaman kemungkinan dapat ditambahkan ke dalam arang aktif, akan tetapi dalam penelitian ini unsur yang ditambahkan yaitu unsur Fe, Cu dan Zn yang merupakan unsur hara mikro. Unsur hara mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, penambahan unsur-unsur ini secara berlebih akan menyebabkan tanaman mengalami keracunan. Dengan “memasukkan” unsur hara mikro ke dalam arang aktif, diharapkan kebutuhan tanaman akan unsur-unsur tersebut dapat dipenuhi tanpa khawatir dosis yang ditambahkan akan berlebih karena hara akan dilepaskan perlahan sesuai dengan yang diambil oleh tanaman.

Pupuk yang dihasilkan pada penelitian ini selanjutnya diaplikasikan dalam pembibitan tanaman akasia (Acacia casicarpa) dengan menggunakan tanah

gambut sebagai media tanam. Tanah gambut merupakan tanah yang miskin hara, oleh karena itu, penggunaan tanah gambut dalam penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan hasil yang signifikan dengan adanya penambahan hara melalui pupuk lambat tersedia. Tanaman akasia yang digunakan merupakan tanaman yang biasa ditemukan tumbuh secara alami di lahan gambut.

1. 2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi karakteristik arang aktif dari bambu dan tempurung kelapa yang diaktivasi pada suhu 600oC dan 700oC dan dialiri uap air selama ± 90 menit.

2. Memperoleh data mengenai daya adsorb arang aktif terhadap unsur hara yang dicampurkan.

3. Mendapatkan informasi laju pelepasan unsur hara dari produk hasil pencampuran arang aktif dengan unsur hara.


(19)

4. Menguji pengaruh penambahan pupuk lambat tersedia terhadap serapan hara pada bibit Acacia crassicarpa.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Arang Aktif

Arang adalah suatu bahan padat berpori yang dihasilkan melalui proses pirolisis dari bahan-bahan yang mengandung karbon (Kinoshita, 2001 dalam

Lempang, 2009). Arang aktif atau karbon aktif adalah arang yang konfigurasi atom karbonnya dibebaskan dari ikatan dengan unsur lain serta rongga atau porinya dibersihkan dari senyawa lain atau kotoran, sehingga permukaan dan pusat aktifnya menjadi luas atau meningkatkan daya adsorbsi terhadap cairan dan gas (Sudrajat dan Soleh, 1994).

Pada prinsipnya, pengolahan arang menjadi arang aktif adalah proses untuk membuka pori-pori arang agar menjadi lebih luas, yaitu dari luas 2 m2/g pada arang menjadi 300 – 2000 m2/g pada arang aktif. Arang aktif dapat dibedakan dari arang berdasarkan sifat pada permukaannya. Permukaan pada arang masih ditutupi oleh deposit hidrokarbon yang menghambat keaktifannya, sedangkan pada arang aktif permukaannya relatif telah bebas dari deposit dan mampu mengadsorbsi karena permukaannya luas dan pori-porinya telah terbuka (Gomez-Serrano et al., 2003 dalam Lempang, 2009).

Secara umum, ukuran pori arang aktif dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu

makropori, mesopori dan mikropori. Makropori memiliki diameter 1000 – 100.000 Ǻ, mesopori memiliki diameter 100 1000 Ǻ, sedangkan

mikropori memiliki diameter kurang dari 100 Ǻ (Roy, 1995).

Pada pembuatan arang aktif, mutu produk yang dihasilkan sangat tergantung dari bahan baku yang digunakan, bahan pengaktif, suhu dan cara pengaktifannya (Hartoyo et al., 1990). Arang aktif dapat dibuat dari bahan

tumbuhan seperti kayu, biji-bijian, lumut, dan tempurung buah-buahan, maupun bahan-bahan polimer sintetik seperti rayon, poliakrilonitril, dan polivinil klorida.

Sudrajat dan Soleh (1994) menjelaskan bahwa pembuatan arang aktif dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses karbonisasi atau destilasi kering yang dilanjutkan dengan tahap pengaktifan atau pengeluaran senyawa yang menutupi rongga dan pori-pori arang aktif dengan cara dehidrasi menggunakan garam jenuh seperti MgCl2, ZnCl2, CaCl2, NaOH, H3PO4, dan lain-lain. Selanjutnya, untuk


(21)

membebaskan unsur karbon dari ikatan dengan unsur lain, terutama hidrogen dan oksigen, dilakukan oksidasi lemah dengan uap air pada suhu tinggi (1000oC).

Pada prinsipnya, arang aktif dapat dibuat dengan dua cara, yaitu: 1. Aktivasi cara kimia

Pada proses ini fasa pengarangan dan fasa pengaktifan berlangsung dalam satu tahap. Bahan baku direndam dalam larutan pengaktif selama 12 - 24 jam setelah itu ditiriskan, lalu diarangkan. Dengan adanya pemanasan pada suhu tinggi diharapkan aktivator dapat masuk di antara pelat heksagonal dari kristalit arang yang menyebabkan terjadinya pengikisan permukaan kristalit dan membuka permukaan arang yang tertutup sehingga menjadi aktif. Hal ini dapat terjadi karena arang aktif dengan strukturnya yang mirip grafit mempunyai lapisan karbon heksagonal yang tidak terapatkan, karena tiap atom karbon mempunyai bilangan koordinasi tiga dan ikatan antar lapisan lemah, sehingga memungkinkan terjadinya interkalasi di antara lapisan karbon. Pemakaian bahan kimia sebagai bahan pengaktif sering mengakibatkan pengotoran pada arang aktif yang dihasilkan. Umumnya aktivator meninggalkan sisa-sisa berupa oksida yang tidak larut dalam air pada waktu pencucian. Oleh karena itu dalam beberapa proses sering dilakukan pelarutan dengan HCl untuk mengikat kembali sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan arang dan kandungan abu yang terdapat dalam arang aktif.

2. Aktivasi cara fisika

Pada proses ini terdapat dua tingkat operasi, yaitu fasa pembentukan pori dan fasa pengaktifan. Fasa pembentukan pori terjadi pada saat pengarangan bahan baku, pada suhu 400 - 600oC. Pengarangan di atas suhu 600oC akan menghasilkan arang dengan modifikasi sifat yang sukar diaktifkan, sedangkan arang yang dihasilkan pada suhu di bawah 600oC sangat efektif untuk diaktivasi tetapi arang ini masih dilapisi oleh senyawa hidrokarbon, sehingga menutupi pori arang aktif yang terbentuk. Untuk membersihkan permukaan arang dari senyawaan ini dapat dilakukan dengan jalan mengalirkan gas pada suhu 800 – 1000oC.


(22)

Reaksi pengaktifan dengan gas seperti H2O dan CO2 berjalan secara endotermis, sehingga proses aktivasinya kurang efektif. Hal ini dapat diatasi dengan memanaskan permukaan luar dari unit aktivasinya, sehingga distribusi panas merata. Beberapa penelitian terdahulu telah mempelajari reaksi antara arang dengan uap air pada suhu yang berbeda. Reaksi yang terjadi antara arang dengan uap air yaitu:

C + H2O → C(H2O)

C(H2O) → H2 + C(O)

C(O) → CO

C + H2 → C(H2)

2C + H2O → C(H) + C(OH)

C(H) + C(OH) → C(H2) + C(O)

CO + H2O → CO2 + H2

CO + C(O) → CO2 + C

Agar reaksi bergeser ke arah produk (mempertahankan tahap oksidasi), perlu ditambahkan atau dialirkan sejumlah gas sebagai bahan pengaktif.

Selama aktivasi dengan gas, pelat-pelat karbon kristalit atau celah menjadi tidak teratur dan mengalami pergeseran, sehingga permukaan kristalit atau celah-celah menjadi terbuka, karena gas pengaktif mendorong residu hidrokarbon seperti ter, fenol, metanol, dan senyawa lain yang menempel pada permukaan arang. Pergeseran pelat-pelat karbon kristalit selain membentuk pori baru, juga mengembangkan pori-pori yang sudah ada, sehingga dari mikropori menjadi makropori (Miura et al., 2000).

Pada penelitian ini, aktivasi arang dilakukan dengan mengalirkan uap air pada suhu 600oC dan 700oC selama 90 menit. Alat yang digunakan untuk pembuatan arang aktif ini adalah retort (tungku) yang terbuat dari baja tahan karat dengan ukuran panjang 1 m dan diameter 5 cm yang dililit dengan elemen (kawat nikelin) sebagai pemanas dan dilengkapi dengan dua buah termokopel untuk mengontrol suhu aktivasi serta dilengkapi dengan ketel yang juga terbuat dari baja tahan karat sebagai penghasil uap bahan pengaktif dan pendingin yang terbuat dari kaca. Bagan alat pembuatan arang aktif dapat dilihat pada Gambar 1.


(23)

Gambar 1. Tanur untuk Membuat Arang Aktif yang Terbuat dari Baja Tahan Karat yang Dilengkapi dengan Termokopel

Sumber: Pari, 2004.

Mekanisme proses aktivasi dengan uap panas dalam retort ini yaitu uap air dialirkan dengan pompa ke dalam reaktor yang berisi arang yang dipanaskan dengan mantel pemanas listrik. Uap akan bereaksi dengan arang menjadi CO2 dan H2 secara selektif dan hasil reaksi berupa gas kemudian didinginkan dalam kondensor dan selanjutnya gas yang terkondensasi ditampung dalam labu gelas, sisa gas dibuang lewat cerobong. Setelah aktivasi selesai, aliran uap air dan sumber panas dihentikan, kemudian reaktor yang telah berisi arang aktif dibiarkan dingin sampai suhu kamar. Selanjutnya arang aktif dipindahkan ke dalam kemasan untuk diproses lebih lanjut.

Kualitas arang aktif dievaluasi berdasarkan SNI 06-3730-1995 (BSN, 1995) yang meliputi:

1. Kadar rendemen

Kadar rendemen adalah bobot arang aktif setelah diaktivasi berbanding bobot arang sebelum diaktivasi. Penetapan kadar rendemen arang aktif bertujuan untuk mengetahui arang aktif yang dihasilkan setelah melalui proses aktivasi. Rendemen arang aktif dipengaruhi oleh temperatur dan waktu.


(24)

2. Kadar air

Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung di dalam bahan yang dinyatakan dalam persen. Penetapan kadar air arang aktif bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis dari arang aktif.

3. Kadar zat terbang

Zat terbang merupakan zat-zat mudah menguap yang terdapat di dalam arang aktif. Penetapan kadar zat terbang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa yang belum menguap pada proses karbonisasi dan aktivasi, tetapi menguap pada suhu 950oC. Komponen yang terdapat dalam arang aktif adalah air, abu, karbon terikat, nitrogen, dan sulfur. Pada pemanasan dengan suhu 950oC, nitrogen dan sulfur akan menguap dan komponen yang menguap inilah yang disebut sebagai zat terbang.

4. Kadar abu

Abu merupakan residu anorganik yang tersisa setelah pemijaran atau oksidasi sempurna bahan organik. Hasil yang didapatkan dari proses pengujian kadar abu adalah abu berupa oksida-oksida logam dalam arang yang terdiri dari mineral yang tidak dapat menguap pada proses pengabuan kadar abu. Abu merupakan oksida logam yang terdiri dari kalium, natrium, magnesium, kalsium, dan komponen logam lainnya. Penetapan kadar abu bertujuan untuk menentukan kandungan oksida logam tersebut di atas yang terdapat dalam arang aktif.

5. Kadar karbon

Kadar karbon adalah persen jumlah karbon yang terdapat pada fraksi padat hasil pembakaran selain abu dan zat-zat atsiri yang masih terdapat pada pori arang. Kadar karbon diperoleh berdasarkan hasil pengurangan dari seluruh berat contoh (100%) terhadap zat mudah menguap dan kadar abu. Kadar karbon murni dapat diketahui dengan membandingkan antara nilai kadar abu dan kadar zat terbang.

6. Daya adsorb terhadap iodium

Penetapan daya adsorb arang aktif terhadap iodium bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang aktif dalam mengadsorb larutan berwarna/ kotoran. Kualitas arang aktif akan semakin baik jika daya adsorb iodiumnya


(25)

besar. Besarnya daya adsorb arang aktif terhadap iodium merupakan petunjuk terhadap besarnya diameter pori arang aktif yang dapat dimasuki oleh molekul yang ukurannya tidak lebih besar dari 10Å, dan banyaknya struktur mikropori yang terbentuk.

7. Daya adsorb terhadap biru metilena

Penetapan daya adsorb arang aktif terhadap biru metilena bertujuan untuk mengetahui kapasitas daya adsorb arang aktif terhadap warna. Daya adsorb arang aktif terhadap molekul yang mempunyai ukuran lebih besar diukur berdasarkan kadar ini. Besarnya daya adsorb biru metilena menunjukkan besarnya pori yang aktif yang dimasuki oleh molekul yang tidak lebih dari 15Å.

Beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan informasi teknis kualitas arang aktif dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Daya Adsorb Arang Aktif yang Terbuat dari Kayu dan Tempurung Kelapa

Sifat Arang aktif dari kayu tempurung kelapa Arang aktif dari Adsorbsi karbon tetraklorida (%) 40 – 50 60 – 65

Retensi karbon tetraklorida 13 41

Adsorbsi iodium (%) 90 95

Adsorbsi fenol (ppm) 15 -

Densiti (g/ml) 0,25 0,52

Kadar abu (%) 3 2

Sumber: FAO (1974) dalam Sudrajat dan Soleh (1994)

Tabel 2.Pengaruh Jenis Bahan Baku terhadap Kualitas Arang Aktif dengan Bahan Pengaktif H3PO4 20%

Jenis bahan baku Suhu (oC)

Pemberian uap (menit) Rendemen (%) Daya adsorb (mg/g)

Sengon 900 60 32,5 1130,8

Pinus merkusii 900 60 43,3 1090,9

Acacia mangium 900 60 37,5 1077,9

Karet 900 60 36,8 1015,1

Ekaliptus alba 900 60 33,0 1002,3

Tempurung kelapa 900 60 61,3 1105,2

Tempurung kelapa sawit 900 60 50,5 1100,6

Serbuk gergaji kayu campuran 900 60 30,3 985,3 Sumber: Sudrajat (1993 dalam Sudrajat dan Soleh, 1994)


(26)

Beberapa penelitian telah menunjukkan pengaruh positif dari aplikasi arang aktif dalam bidang pertanian. Penelitian Masulili et al. (2010) menunjukkan

bahwa aplikasi arang aktif dengan dosis 10 – 15 ton/ha menurunkan bobot isi tanah, Al dapat dipertukarkan, dan Fe terlarut serta meningkatkan porositas tanah, kadar air tanah tersedia, kadar C-organik, pH tanah, kadar P-tersedia, KTK tanah, K dan Ca dapat dipertukarkan. Perbaikan sifat-sifat tanah ini meningkatkan biomas yang dihasilkan.

Selanjutnya, Clough dan Condron (2010) mengemukakan bahwa arang aktif memiliki kemampuan untuk memanipulasi laju siklus N dalam sistem tanah dengan mempengaruhi laju nitrifikasi dan adsorbsi amonia dan meningkatkan simpanan NH4+ dengan meningkatnya KTK tanah, sehingga mereduksi kehilangan N dalam bentuk gas seperti N2O dan mengurangi pencucian nitrat. Penelitian Namgay et al. (2010) menunjukkan aplikasi arang aktif dapat

mereduksi ketersediaan trace elements (Pb, Cu, Cd, Zn, dan As) bagi tanaman.

Hasil penelitian ini pun dapat menjadi referensi bahwa arang aktif dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan tanah yang terkontaminasi trace elements.

Penelitian Yamato (2006) memberikan informasi bahwa penggunaan arang aktif meningkatkan pH tanah, kadar N total, P2O5 tersedia, KTK, jumlah kation dapat dipertukarkan dan kejenuhan basa, serta menurunkan kadar Al3+ dapat dipertukarkan. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Chan et al.(2007),diketahui bahwa aplikasi arang aktif tidak meningkatkan produksi pada

tanaman lobak, bahkan pada dosis 100 ton/ha tanpa adanya penambahan pupuk N, sedangkan penambahan arang aktif dengan dosis 50 ton/ha disertai dengan penambahan pupuk N meningkatkan produksi, pH tanah, kadar C-organik dan juga KTK tanah.

2. 2 Bambu sebagai Bahan Baku Arang Aktif

Bambu merupakan tumbuhan bernilai ekonomi tinggi di Pulau Jawa. Pemakaiannya sangat luas, baik untuk keperluan sehari-hari maupun hasil-hasil lain untuk diperdagangkan. Mulai dari akar hingga daun bambu dapat dimanfaatkan. Pada umumnya akar bambu dimanfaatkan untuk dibuat ukiran bambu, sedangkan buluh biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan


(27)

jembatan, kerajinan tangan, keranjang, mebel, alat-alat pertanian dan perikanan, alat rumah tangga, pipa air, kertas, sumpit, tusuk gigi, tusuk satai, dan sebagainya. Selain itu, buluh bambu digunakan sebagai alat musik tradisional maupun modern. Buluh muda atau yang disebut rebung banyak dimanfaatkan sebagai sayuran, dan daun bambu dapat digunakan untuk membungkus makanan (Widjaja, 2001).

Diperkirakan terdapat 1.200 – 1.300 jenis bambu di dunia, dan 143 jenis bambu diketahui tumbuh di Indonesia. Jenis bambu yang sering ditanam di Pulau Jawa adalah bambu andong, bambu betung, bambu tali dan bambu atter (Nurhayati, 2000).

Nurhayati (2000) menganalisis komponen kimia lima jenis bambu. Hasil analisis tersebut dicantumkan pada Tabel 3. Komponen kimia ini merupakan komponen yang berperan pada proses pembuatan arang aktif berkadar tinggi yang diinginkan. Sebaliknya untuk kadar abu, bambu memiliki kadar abu yang relatif tinggi padahal yang diinginkan adalah kadar yang rendah.

Tabel 3. Komponen Kimia (%) Lima Jenis Bambu

Jenis bambu Lignin Selulosa Pentosan Abu Apus (Gigantochloa apus) 25,8 54,7 19,1 2,9

Ulet (Gigantochloasp.) 26,8 54,9 - 2,0

Andong (Gigantochloa pseudoarundinaceae)

28,0 53,8 - 3,2

Betung (Dendrocalamus asper)

25,6 55,4 - 3,8

Ampel (Bambusa vulgaris) 28,2 50,8 - 4,3

Berdasarkan data penelitian Nurhayati (1990), diketahui bahwa diameter dan tebal buluh bambu andong dan bambu betung lebih besar dibandingkan dengan jenis bambu lainnya yang tumbuh di Pulau Jawa. Oleh karena itu, bambu andong dan bambu betung diasumsikan berprospek baik sebagai bahan baku pembuatan arang aktif.

Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan bambu sebagai arang aktif telah dilaporkan. Penelitian Hoshi (2001) menunjukkan bahwa aplikasi arang aktif bambu ke dalam tanah dapat mempertahankan pupuk dan pH tanah agar tetap


(28)

sesuai untuk pertumbuhan pohon teh. Tinggi dan volume pohon yang diaplikasikan arang aktif meningkat 20 – 40% dibandingkan dengan kontrol.

Penelitian Asada et al.(2002) mengemukakan bahwa berdasarkan uji

adsorbsi arang aktif bambu yang dibuat dengan suhu aktivasi 500oC, 700oC, dan 1000oC terhadap beberapa gas berbahaya dan berbau menunjukkan bahwa suhu aktivasi yang paling efektif berbeda-beda untuk setiap bahan kimia, sehingga perlu pengujian lebih lanjut untuk pemanfaatan arang aktif baik sebagai adsorben maupun penghilang bau.

2. 3 Tempurung Kelapa sebagai Bahan Baku Arang Aktif

Tempurung kelapa merupakan salah satu bagian dari produk pertanian yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang dapat dijadikan sebagai basis usaha. Produk-produk hasil olahan tempurung kelapa ini diantaranya yaitu Bio-oil, liquid smoke (asap cair), karbon aktif, tepung tempurung, dan kerajinan tangan. Arang

tempurung kelapa dimanfaatkan sebagai bahan baku di pabrik karbon aktif, industri briket, dan bahan bakar langsung. Arang tempurung kelapa ini telah diekspor ke berbagai negara dalam bentuk briket (bahan bakar).

Penelitian mengenai arang aktif tempurung kelapa telah dilaporkan oleh Pari dan Abdurrohim (2003) yang membandingkan karakteristik arang aktif yang terbuat dari tempurung kelapa, tempurung kelapa sawit, serbuk kayu dan tandan kelapa sawit yang aktivasi pada suhu 900oC selama ± 30 menit dengan dialiri uap air dengan perlakuan perendaman dalam NaOH 1% dan tanpa perendaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tempurung kelapa memiliki sifat arang yang terbaik yaitu memiliki kadar karbon terikat yang tinggi, kadar zat terbang dan kadar abu rendah dibandingkan dengan ketiga bahan lainnya. Selain itu, arang aktif tempurung kelapa memiliki daya adsorb terhadap benzena, tertinggi sehingga cocok digunakan untuk mengadsorb gas.

Sebagaimana yang telah dinyatakan sebelumnya, kualitas arang aktif tergantung dari jenis bahan baku, teknologi pengolahan, cara dan ketepatan penggunaanya. Pengaruh jenis bahan kimia pengaktif terhadap kualitas arang aktif tempurung kelapa dapat dilihat pada Tabel 4.


(29)

Tabel 4. Pengaruh jenis bahan kimia pengaktif terhadap kualitas arang aktif dari tempurung kelapa

Bahan Kimia Persen (%) Suhu (oC) Uap (menit) Pemberian Rendemen (%)

Daya Adsorb (mg/g)

ZnCl2 10 900 105 59,2 1.208,8

ZnCl2 5 900 120 63,6 1.185,9

H3PO4 20 900 135 61,5 1.200,3

H3PO4 10 900 150 63,6 1.171,3

NaOH 0,75 900 120 75,4 1.088,8

Na2CO3 0,75 900 120 59,1 1.087,9

Sumber: Sudrajat (1993 dalam Sudrajat dan Soleh 1994)

2. 4 Pupuk Mikro

Unsur mikro merupakan unsur-unsur kimia yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh makhluk hidup. Unsur-unsur tersebut terdapat sebagai unsur vital pada beberapa enzim dan hormon pertumbuhan. Enzim yang mengandung unsur-unsur mikro berperan dalam metabolisme karbohidrat (fotosintesis dan respirasi), metabolisme N (fiksasi N2 secara biologis dan sintesis protein), metabolisme dinding sel (sintesis lignin), penyerapan ion, produksi biji, metabolisme zat-zat tanaman sekunder, dan ketahanan terhadap penyakit (Stevenson dan Cole, 1999).

Unsur mikro meliputi B (boron), Fe (besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), Zn (seng), Mo (molibden), dan Cl (klor). Konsentrasi unsur-unsur mikro sebagai ion bebas di larutan tanah, atau sebagai kompleks kelat-logam terlarut dipengaruhi oleh berbagai reaksi kimia, seperti fiksasi pada permukaan liat dan oksida logam, kompleksasi dengan senyawa humat, pembentukan mineral-mineral terlarut, dan perubahan bilangan oksidasi. Mikroorganisme dapat melarutkan mineral-mineral dan memodifikasi potensial redoks (Eh) dan pH tanah, sehingga mempengaruhi ketersediaan unsur mikro bagi tanaman. Daur ulang unsur hara berlangsung ketika tanaman dikembalikan ke dalam tanah, yang merupakan proses penting pada tanah-tanah yang mengalami defisiensi unsur mikro. Produksi agen pengkelat oleh mikroorganisme dan sekresi dari akar tanaman akan melarutkan dan melapukkan batuan dan mineral sehingga memfasilitasi pergerakkan unsur mikro ke dalam akar (Stevenson dan Cole, 1999).

Unsur hara mikro di dalam tanah berasal dari beberapa sumber, yaitu: 1. Bahan induk dan mineral dimana tanah terbentuk.


(30)

2. Pengotor atau kontaminan dari pembenah tanah, seperti pupuk dan kapur, pestisida, pupuk kandang dan sewage sludge (biosolid).

3. Partikel-partikel yang terbawa melalui udara atau air dari kegiatan pertambangan, peleburan logam, kegiatan industri, pembakaran bahan bakar fosil, partikel tanah yang tererosi oleh angin, bahan-bahan meteorit dan volkan yang terbawa melalui hujan.

Kekurangan atau keracunan unsur mikro terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara kebutuhan tanaman terhadap suatu unsur dengan konsentrasi unsur tersebut pada jaringan tanaman. Ketika tanaman tidak dapat mengumpulkan unsur dalam jumlah memadai untuk tumbuh maksimum, maka terjadi kekurangan. Ketika tanaman mengakumulasikan unsur pada jumlah melebihi jumlah yang dibutuhkan untuk tumbuh optimal, maka gejala keracunan akan muncul. Tidak ada aturan yang diterapkan secara umum karena setiap spesies tanaman memiliki kebutuhan dan toleransi yang berbeda-beda.

Penanganan defisiensi unsur mikro untuk meningkatkan produksi tanaman cukup sulit karena adanya variasi ketersediaan unsur di dalam tanah yang bersifat temporer dan spasial. Cara yang paling mudah untuk mengatasi permasalahan ini yaitu dengan menambahkan pupuk mikro. Aplikasi pupuk mikro secara ekonomi cukup terjangkau. Adapun pupuk mikro dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan bentuk bahan pupuk

a. Bentuk padat: pupuk padat dapat diberikan melalui tanah atau pun daun. Cara melarutkan dan konsentrasi larutan tergantung pada macam pupuknya (umumnya <2%). Pupuk mikro dalam bentuk padat misalnya yaitu terusi (CuSO4) dan ZnSO4.

b. Bentuk cair: pupuk cair umumnya diberikan dengan cara pemupukan melalui daun.

2. Berdasarkan jumlah unsur yang dikandung

a. Pupuk mikro tunggal: yaitu hanya mengandung satu unsur mikro saja seperti CuO yang hanya mengandung Cu dan seng fosfat yang hanya mengandung unsur Zn.

b. Pupuk mikro majemuk: yaitu mengandung dua atau lebih unsur mikro, terkadang juga mengandung unsur makro.


(31)

Saat ini banyak beredar pupuk majemuk mikro maupun makro. Harga pupuk majemuk biasanya lebih mahal karena mengandung hampir semua unsur yang diperlukan tanaman. Merebaknya penggunaan pupuk majemuk disebabkan oleh kemajuan teknologi keharaan tanaman dan usaha intensifikasi lahan pada luasan yang terbatas jumlahnya.

2. 5 Pupuk Cu

Tembaga bagi tanaman berperan dalam metabolisme protein dan karbohidrat, fiksasi simbiosis nitrogen, pembentukan lignin, dan berperan sebagai katalis dalam aktivasi beberapa enzim.

Tanah-tanah yang terbentuk dari pasir dan batu pasir atau batuan beku masam biasanya memiliki kadar Cu yang rendah. Tanaman yang tumbuh pada tanah mineral dengan kadar Cu kurang dari 4 mg/kg, atau pada tanah organik dengan kadar Cu kurang dari 20 – 30 mg/kg akan mengalami kekurangan Cu. Defisiensi Cu biasanya ditunjukkan dengan daun layu, daun memutih, produksi malai berkurang, dan gangguan pada pembentukan lignin. Gejala khusus yaitu tumbuhan kerdil, ruas memendek, dan dedaunan yang berwarna kekuningan, mudah remuk dan mengeriting. Konsentrasi Cu pada tanaman yang mengalami defisiensi bervariasi tetapi umumnya ditemukan pada konsentrasi di bawah 2 – 3 mg/kg bahan kering (Stevenson dan Cole, 1999).

Pemupukan Cu pada umumnya berkisar antara 2 – 7 kg/ha/th. Pengaruh residu Cu pada tanah berlangsung hingga ± 8 tahun. Di samping itu, obat-obat pembasmi hama penyakit juga banyak menggunakan senyawa Cu, seperti bubur bordo dan cobox. Beberapa contoh pupuk Cu dapat dilihat pada Tabel 5 (Rosmarkam dan Yuwono, 2002).


(32)

Tabel 5. Contoh Pupuk Cu

Nama % Cu Pemupukan (kg/ha)

Disebar Dibenamkan Daun CuSO4. 5H2O 25 3 – 6 1,4 – 4,5 90 g Cu/100

liter

CuSO4. H2O 35 3 – 6 1,4 – 4,5

Cu2O 89 3 – 6 1,1 – 4,5

CuO 75 3 – 6 1,1 – 4,5

Na2Cu – EDTA 13 0,8 – 2,4 0,2 – 0,8

NaCu – HEDA 9 0,8 – 2,4 0,2 – 0,8

2. 6 Pupuk Fe

Tanaman membutuhkan sekitar 50 – 250 ppm Fe, sehingga Fe digolongkan sebagai unsur mikro. Besi terlibat dalam proses biokimia yang sebagian besar merupakan reaksi oksidasi-reduksi enzimatik. Besi juga terlibat dalam respirasi dan fotosintesis. Beberapa proses enzimatis yang membutuhkan Fe yaitu dalam aktivitas reduktase nitrat, mereduksi sitokrom-C oleh enzim flavin, dan protein (diturunkan dari ferridoxin) yang berperan dalam pengangkutan elektron pada proses fotosintesis (Gowariker et al., 2009).

Besi merupakan unsur mikro yang tersedia dalam jumlah yang paling banyak. Bentuk fero (Fe2+) adalah bentuk yang paling tersedia bagi tanaman. Pada kondisi alkali dan aerob, Fe2+ akan teroksidasi menjadi Fe3+, yang relatif tidak tersedia bagi tanaman karena mengendap sebagai Fe(OH)3. Sifat mineral Fe relatif stabil dalam bentuk oksida, karbonat, silikat dan sulfida. Mineral Fe dalam tanah ataupun batuan, antara lain olivin [Mg,Fe2(SiO4)], pyrite (FeS), siderite (FeCO3), hematite, goethite (FeOOH) dan magnetite (Fe3O4). Konsentrasi Fe dalam tanah cukup tinggi, yaitu mencapai 50.000 ppm dan sebagian besar sebagai penyusun fraksi tanah (Goldsmith, 1956 dalam Rosmarkam dan Yuwono, 2002).

Apabila kadar Fe dalam tanah < 50 ppm, tanaman akan mengalami defisiensi Fe. Gejala yang tampak pada tanaman yaitu klorosis pada tulang daun muda. Pada tanaman yang mengalami defisiensi berat, daun akan berwarna putih. Defisiensi Fe dapat diatasi dengan menambahkan pupuk Fe ke dalam tanah. Sebaliknya, besi akan bersifat racun jika kadarnya dalam bahan kering mencapai > 300 ppm yang ditunjukkan dengan gejala daun tanaman berwarna kecoklatan (Gowariker et al., 2009). Beberapa contoh pupuk Fe dapat dilihat pada Tabel 6.


(33)

Tabel 6. Contoh Pupuk Fe

Susunan Pupuk % Fe Anjuran Pemupukan (Kg/ha) Dibenam Lewat Daun

NaFe.EDTA 5 – 14 - 0,5 – 1,1

NaFe HEDTA 5 – 9 - 0,5 – 1,0

NaFe-EDDHA 6 0,1 – 1,0 0,5 – 1,0

Fe(SO4).7H2O 19 2 – 5

Fe2(SO4) 4 H2O 23 2 – 5

FeO 77

Fe2O3 69

Fe(NH4)PO4 H2O 29 FeSO4.6H2O. NH4(SO4) 14

NaFe. DTPA 10

Fe. MPP 5

Keterangan:

EDTA = Ethylendiamine tetra acetic acid

EDDHA = Ethylen bis alpha imino-2-hydroxy phenil acetic acid DTPA = Diethylen triamine penta acetic acid

HEEDTA = Hydroxyethyl ethylen diamin triacetic acid MPP = Methoxyphenylprophane

2. 7 Pupuk Zn

Seng merupakan logam berwarna putih kebiruan, yang secara alami dapat ditemukan sebagai sphalerite, smithsonite, hemimorphite dan wurzite. Unsur seng bagi tanaman berperan dalam beberapa sistem enzim, sintesis protein, sintesis auxin, dan pembentukan kanji (Gowariker et al., 2009).

Tanaman dikatakan mengalami defisiensi seng apabila kadarnya kurang dari 20 ppm, dan keracunan terjadi apabila kadarnya melebihi 400 ppm. Seng terlibat dalam berbagai aktivitas enzimatis di tanaman. Fungsinya yaitu sebagai logam aktivator bagi enzim seperti aldolase, lecithinase, cysteine, desulphhydrase, histidine deaminase, carbonic anhydrase, dihydropeptidase dan glycyl-glycine dipeptidase. Seng terlibat dalam sintesis asam amino triptofan dan produksi zat pengatur tumbuh (auksin). Seng sangat berperan dalam proses oksidasi di dalam sel tanaman dan untuk meningkatkan kandungan protein, tanin, gula dan lipid dalam tanaman dan biji.

Di dalam tanah, seng terdapat dalam bentuk terlarut, dapat dipertukarkan dan kompleks yang segera tersedia bagi tanaman. Kadar Zn dalam tanah bervariasi dari 10 – 300 ppm dengan titik kritis bagi tanaman antara 15 – 20 ppm.


(34)

Gejala defisiensi Zn pada tanaman biasanya tampak pada daun, terkadang tampak pada buah atau batang. Defisiensi Zn menghambat fotosintesis dan metabolisme nitrogen, sehingga menurunkan kualitas pembungaan, perkembangan buah dan produksi.

Seng sulfat merupakan pupuk yang sering digunakan. Pupuk ini ditambahkan ke dalam tanah dengan dosis 5 – 15 kg/ha. Pupuk ini dapat disemprotkan pada sayuran, buah-buahan atau bidang tanam. Sumber lainnya yang biasa digunakan sebagai pupuk Zn yaitu seng amonium sulfat, seng kelat, seng oksida, seng amonium fosfat, seng sulfida, seng amonium nitrat dan frit seng. Defisiensi Zn dapat ditangani dengan menyemprotkan seng sulfat atau kelat pada daun. Metode lainnya yaitu dengan top dressing, membungkus biji dengan

larutan atau pasta seng oksida atau seng sulfat, root dips dan penyuntikan pada

pohon.

2. 8 Pupuk Lambat Tersedia

Pupuk lambat tersedia merupakan pupuk yang mengandung unsur hara dalam suatu bentuk yang menyebabkan penundaan ketersediaannya beberapa saat setelah diaplikasikan, sehingga akhirnya diadsorb atau digunakan oleh tanaman, atau memiliki waktu ketersediaan hara yang lebih lama dibandingkan dengan “pupuk cepat tersedia” seperti urea, amonium nitrat, amonium fosfat, atau kalium klorida. Penundaan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti mengendalikan kelarutan bahan di dalam air (melalui pelapisan semipermeabel, oklusi, bahan protein, polimer, atau dalam bentuk senyawa kimia lainnya), hidrolisis lambat, dan sebagainya (UNIDO dan IFDC, 1998).

Beberapa istilah yang berkaitan dengan pupuk lambat tersedia diantaranya yaitu:

1. Coated Slow-Release Fertilizer

Pupuk merupakan sumber hara larut air yang pelepasannya dalam tanah terkendali melalui pelapisan pupuk.

2. Polymer-coated Fertilizer

Partikel pupuk dilapisi dengan resin polimer (plastik), sehingga menjadi sumber hara lambat tersedia.


(35)

3. Controlled-release fertilizer

Pupuk yang memiliki satu atau lebih unsur yang memiliki kelarutan yang terbatas di dalam larutan tanah, sehingga menjadi tersedia selama masa pertumbuhan tanaman dalam periode yang terkendali.

4. Nitrogen stabilizer

Bahan ditambahkan ke dalam pupuk untuk memperlama waktu komponen nitrogen dalam pupuk tetap berada di tanah dalam bentuk amoniak.

5. Nitrification inhibitor

Bahan kimia kompleks yang mampu membunuh atau sementara mereduksi aktivitas bakteri tanah Nitrosomonas yang berperan dalam mengubah N-NH4

dalam proses nitrifikasi. Efek ini mirip seperti pupuk lambat tersedia. Penghambat nitrifikasi ditambahkan ke dalam produk nitrogen sebelum aplikasi.

6. Urease inhibitor

Bahan kimia kompleks yang memberikan efek sementara mencegah aktivitas enzim urease dalam tanah.

Penggunaan pupuk lambat tersedia dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan kehilangan hara karena tercuci dan menyediakan hara secara terus menerus. Pupuk lambat tersedia merupakan produk hara yang segera tersedia, pada umumnya pupuk ini mengandung hara yang relatif tidak mudah larut atau hara yang dilapisi oleh bahan hidrofobik seperti parafin atau minyak sayur (Zhu et al., 2004).

Pupuk lambat tersedia mengandung unsur hara (biasanya nitrogen) yang tersedia dalam waktu lebih lama dibandingkan dengan pupuk pada umumnya. Efek ini diperoleh melalui proses coating pupuk yang ada (nitrogen atau NPK)

dengan sulfur atau dengan polimer (semipermeabel) atau dengan formulasi khusus senyawa kimia nitrogen. Pelepasan nitrogen dari pupuk lambat tersedia dipengaruhi juga oleh temperatur dan kelembaban tanah, karena itu nitrogen akan tersedia seiring dengan pertumbuhan tanaman (FAO, 2000).

Keuntungan utama dari penggunaan pupuk lambat tersedia yaitu penghematan tenaga kerja (dibandingkan dengan aplikasi pemupukan bertahap,


(36)

pupuk lambat tersedia diberikan 1 kali selama masa penanaman), mengurangi toksisitas terhadap bibit bahkan dalam aplikasi yang tinggi sekalipun dan menghemat bahan pupuk melalui efisiensi nitrogen yang lebih baik (dengan penambahan nitrogen 15 – 20% dosis awal diperoleh hasil yang sama dengan dosis yang umum diberikan).

Bell (2011) merekomendasikan penggunaan pupuk lambat tersedia untuk

turfgrass. Pupuk N cepat tersedia memiliki beberapa keuntungan, seperti mudah

larut dalam air, relatif tidak mahal, dapat diaplikasikan dalam bentuk spray atau

granul dan memberikan respon yang cepat pada tanaman. Akan tetapi, pupuk cepat tersedia mudah hilang karena penguapan atau terbawa aliran permukaan. Walaupun pupuk lambat tersedia lebih mahal, tetapi pemupukan jarang dilakukan sehingga dapat menghemat biaya tenaga kerja. Adapun sumber pupuk lambat tersedia yang dapat digunakan diantaranya yaitu bahan organik (pupuk kandang, dsb), urea metilena, urea dilapisi sulfur, atau polymer-coated urea isobutylidene diurea.

Troeh dan Thompson (2005) menggolongkan pupuk lambat tersedia ke dalam tiga tipe, yaitu:

1. Pupuk mineral dengan kelarutan rendah, seperti beberapa senyawa fosfor. 2. Pupuk nitrogen organik yang terdekomposisi secara perlahan, seperti urea

formaldehida.

3. Pupuk granul yang ditutup dengan lapisan pelindung, seperti sulfur-coated urea.

Sulfur-coated urea diproduksi dengan menyemprotkan sulfur yang dicairkan pada urea granul. Laju pelepasan nitrogen dipengaruhi oleh kualitas pelapisan. Secara umum, terdapat retakan pada sepertiga granul dan melarut dengan cepat, sepertiga bagian lainnya memiliki ketebalan pelapisan yang bervariasi sehingga menghasilkan pelepasan yang bertahap, dan sepertiga sisanya memiliki lapisan tebal yang mampu menunda pelepasan hara selama masa pertumbuhan tanaman. Substitusi atau penambahan resin atau polimer tertentu dapat mengubah karakteristik pelepasan hingga mendekati kebutuhan tanaman.


(37)

Berdasarkan penelitian Hoshi (2001), banyak pupuk, terutama pupuk nitrogen, digunakan di Jepang untuk menghasilkan teh berkualitas tinggi. Hal ini menyebabkan peningkatan ongkos produksi dan akumulasi hara di lingkungan. Berbagai metode telah diupayakan untuk mengurangi penggunaan pupuk, yaitu dengan meningkatkan efisiensi agar pupuk tertahan lebih lama di dalam tanah. Metode yang dapat diusahakan yaitu melalui penambahan arang aktif bambu sehingga pupuk lebih lama bertahan di dalam tanah.

2. 9 Tanaman Akasia (Acacia crassicarpa)

Acacia crassicarpa merupakan salah satu jenis akasia tropik dan termasuk

dalam famili Leguminosae, subfamili Mimosoidea (Turnbull, 1986). Akasia yang berasal dari Australia beradaptasi pada lingkungan yang bervariasi baik iklim tropik maupun temperate, basah dan kering, asam dan basa serta salin dan pada

tanah yang tidak subur. Kemampuan adaptasi dan pertumbuhannya yang cepat telah membuatnya menjadi terkenal untuk hutan tanaman di banyak negara dengan tanah terdegradasi pada berbagai kondisi iklim.

Penyebaran jenis akasia ini berada pada 8° Lintang Selatan - 20° Lintang Selatan, dan secara alami tumbuh di Papua New Guinea, Irian Jaya bagian selatan dan Australia bagian selatan (Turnbull, 1986). Di Australia A. Crassicarpa

biasanya ditemukan dibelakang garis pantai berbukit pasir, di atas dataran pantai dan kaki bukit. Jenis ini dapat tumbuh hingga ketinggian 200 m dpl, bahkan pernah dijumpai pada ketinggian sekitar 700 m dpl dengan sebaran terbanyak

pada daerah bebas kabut, dengan rerata curah hujan tahunan berkisar 1.000 – 2.500 mm. Pohon ini tumbuh pada tipe tanah yang bervariasi termasuk

pasir pantai yang berkapur, tanah kuning yang berasal dari granit, tanah merah dengan bahan dasar vulkanik, podsolik merah kuning dan tanah aluvial.

Pohon A. crassicarpa termasuk jenis dengan daya adaptasi dan toleransi

tinggi terhadap kondisi lingkungan yang buruk. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah dengan drainase buruk/ tergenang, tanah berlumpur, tanah terdegradasi, tanah berpasir. Kemampuan tumbuh yang baik pada berbagai tempat tumbuh, tipe dan kondisi tanah yang buruk menyebabkan jenis ini banyak dipilih untuk rehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah. A. crassicarpa termasuk jenis yang tahan


(38)

terhadap kekeringan, oleh karena itu jenis ini memiliki nilai penting di daerah semi arid dan arid.

Acacia crassicarpa termasuk jenis cepat tumbuh (fast growing species),

pertumbuhannya lebih dari 5 m setelah 16 bulan (Harwood et al., 1993). Dari

hasil uji jenis 12 tanaman cepat tumbuh pada umur 14 bulan setelah penanaman, penambahan tinggi dan diameter A. crassicarpa adalah yang terbaik dibanding

dengan jenis-jenis akasia dan tanaman cepat tumbuh lainnya (Jayusman, 1992). Propenan asal papua New Guinea merupakan jenis cepat tumbuh dibandingkan asal Queensland yang ditanam di Australia, China dan Thailand (Hardwood et al.,

1993). Densitas kayu sebesar 600 - 650 kg/m3 lebih tinggi dibandingkan dengan


(39)

III. METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Serangkaian kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan April hingga November 2012 di:

1. Laboratorium proksimat terpadu, Pusat Litbang Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Bogor.

2. Bagian Pengembangan Sumberdaya Fisik Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

3. 2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari bahan baku pembuatan arang, bahan yang dicampurkan untuk pembuatan pupuk lambat tersedia, dan berbagai pereaksi kimia untuk analisis. Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu dan tempurung kelapa untuk pembuatan arang aktif. Adapun bahan yang dicampurkan ke dalam arang aktif untuk pembuatan pupuk lambat tersedia yaitu CuSO4 5H2O, FeSO4, dan ZnSO4 teknis.

Alat-alat yang digunakan yaitu timbangan, tungku drum kapasitas 90 kg,

retort listrik kapasitas ± 1 kg dan steamer, willey mill, oven, tanur, Scanning Electron Microscope (SEM), X-Ray Diffractometer (XRD), Energy Dispersive X-ray Analysis (EDX), Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS), dan alat-alat

gelas untuk analisis kimia.

3. 3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari lima tahapan, yaitu konversi bahan baku menjadi arang, pembuatan dan analisis sifat-sifat arang aktif, pembuatan pupuk lambat tersedia, pengujian laju pelepasan kandungan hara dalam pupuk, dan pengujian pengaruh penambahan pupuk lambat tersedia terhadap serapan hara tanaman.

3. 3. 1 Konversi Bahan Baku menjadi Arang

Proses pembuatan arang dilakukan dengan menggunakan tungku drum kapasitas 90 kg. Tungku drum diisi dengan bahan baku (diketahui bobotnya) yang


(40)

diletakkan di atas potongan kayu kecil yang telah disimpan terlebih dulu di dasar tungku drum. Pembakaran dilakukan pada suhu yang meningkat secara bertahap sampai mencapai suhu ± 500oC. Setelah seluruh bahan baku di dalam tungku terbakar dengan sempurna, yang dicirikan oleh asap yang keluar dari dalam tungku telah berkurang dan berwarna kebiruan, maka pembakaran dihentikan dengan menutup rapat semua jalan yang dilalui udara ke dalam tungku. Selanjutnya dilakukan proses pendinginan arang dalam tungku selama ± 24 jam. Arang yang dihasilkan ditimbang bobotnya.

3. 3. 2 Pembuatan Arang Aktif dan Analisis Sifat-sifat Arang Aktif

Pembuatan arang aktif dilakukan dengan memasukkan arang hasil karbonisasi (diketahui bobotnya) ke dalam retort listrik dan diaktivasi dengan uap air pada suhu 600oC dan 700oC selama 90 menit. Arang aktif yang telah dihasilkan selanjutnya ditimbang, ditumbuk halus hingga lolos ayakan berukuran 100 mesh dan dianalisis berdasarkan SNI 06-3730-1995 (BSN, 1995) yang meliputi:

1. Rendemen arang aktif

Rendemen arang aktif ditetapkan dengan menghitung bobot arang hasil aktivasi terhadap bobot arang sebelum diaktivasi.

Rendemen arang aktif (%)= Bobot arang aktif

Bobot arang x 100% 2. Kadar air arang aktif

Serbuk arang aktif ditimbang sebanyak ± 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama ± 24 jam. Setelah didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang sampai bobot tetap.

Kadar Air (%) = Bobot (sebelum-sesudah)pengeringan

Bobot Contoh x 100% 3. Kadar zat terbang arang aktif

Serbuk arang aktif kering oven ditimbang sebanyak ± 1 gram dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan ke dalam tanur listrik pada suhu 950oC selama ±15 menit. Kemudian didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang.


(41)

Kadar zat terbang (%) = Bobot contoh yang hilang

Bobot contoh awal � 100% 4. Kadar abu arang aktif

Serbuk arang aktif kering oven ditimbang sebanyak ± 1 gram, dan dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 700oC selama ± 5 jam. Kemudian didinginkan di dalam eksikator dan ditimbang.

Kadar Abu (%) = Bobot abu

Bobot contoh awal x 100% 5. Kadar karbon arang aktif

Kadar karbon dapat ditetapkan dengan menghitung komponen arang aktif selain abu dan zat terbang.

Kadar Karbon Terikat (%) = 100 - (Kadar Abu + Kadar Zat Terbang) 6. Daya adsorb arang aktif terhadap larutan iodium

Serbuk arang aktif ditimbang sebanyak ± 0,2 gram dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer asah, kemudian ditambahkan 25 ml larutan iodium 0,1N dan dikocok selama 15 menit. Larutan disaring, selanjutnya dipipet 10 ml filtrat dan dititar dengan larutan Na2S2O3 0,1N hingga larutan berwarna kuning, lalu ditambahkan larutan kanji 1% sebagai indikator. Penitaran dilanjutkan hingga warna larutan berubah dari biru menjadi tidak berwarna. Daya adsorb iodium (mg g⁄ )

= {10-(vol.contoh x N Na S O )}

bobot contoh (g) x 126,93 x fp 7. Daya adsorb arang aktif terhadap larutan metilena biru

Ditimbang sebanyak ± 0,5 gram serbuk arang aktif, dimasukkan ke dalam erlenmeyer asah, ditambahkan 25 ml larutan metilena biru 1200 ppm, dan dikocok selama 30 menit. Larutan kemudian disaring. Dipipet 1 ml filtrat, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditera dengan aquades. Disiapkan larutan standar metilena biru dengan konsentrasi 0; 2; 4; 6; 8; dan 10 ppm. Larutan standar dan contoh diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 664 nm. Dilakukan pengenceran jika diperlukan.


(42)

Daya adsorb MB (mg g) = ⁄ �

1200 x 25ml x10001 � − (C x 25ml x10001 x fp) bobot contoh (g)

C = konsentrasi metilena biru yang tersisa 3. 3. 3 Pembuatan Pupuk Lambat Tersedia

Arang aktif yang telah diperoleh dihaluskan hingga berukuran 100 mesh. Pembuatan pupuk dilakukan dengan merendam arang aktif di dalam “larutan pupuk” selama ± 24 jam. Konsentrasi larutan yang digunakan yaitu 1N atau 2N dan perbandingan arang aktif dengan larutan yaitu 1 : 3, 1 : 5, atau 1 : 7. Selanjutnya hasil perendaman dicuci hingga bebas sulfat yang diuji dengan meneteskan BaCl2 0,5N pada cairan hasil pencucian. Arang kemudian dikeringkan. Setelah diperoleh pupuk bubuk kering, selanjutnya dilakukan analisis meliputi pengamatan topografi permukaan dengan menggunakan SEM, analisis kualitatif dengan menggunakan EDX, penetapan derajat kristalinitas, lebar, tinggi dan jumlah lapisan aromatik dengan menggunakan XRD, dan analisis kadar Cu, Fe dan Zn total yang diperoleh dengan metode pengabuan basah (aqua regia) dan diukur dengan AAS. Berdasarkan kadar hara total tertinggi kemudian dipilih

carrier terbaik pada arang aktif dengan bahan baku arang yang berbeda untuk

setiap jenis pupuk. Selanjutnya dilakukan pengujian untuk mengetahui pelepasan kandungan hara di dalam pupuk.

3. 3. 4 Pengujian Laju Pelepasan Kandungan Hara dalam Pupuk

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui pelepasan Cu2+, Fe2+dan Zn2+ yang terdapat di dalam pupuk. Percobaan dilakukan dengan dua cara, cara yang pertama yaitu dengan mengekstrak pupuk dengan pengekstrak aquades dan asam sitrat 2% (perbandingan pupuk : pengekstrak = 1 : 5) dengan beberapa waktu pengekstrakkan, yaitu 0; 15; 30; 45 dan 60 menit. Adapun cara yang kedua yaitu dengan melakukan pencucian terhadap pupuk. Pencucian dilakukan dengan mengalirkan 25 ml aquades pada 5 gram pupuk di dalam kertas saring yang diletakkan pada corong sebanyak 25x. Hasil pencucian kemudian dikeringkan dan dilakukan analisis kualitatif dengan menggunakan EDX.


(43)

3. 3. 5 Pengujian pengaruh penambahan pupuk lambat tersedia terhadap serapan hara tanaman

Pengujian ini merupakan aplikasi penambahan pupuk pada bibit Acacia crassicarpa. Pada percobaan ini, media yang digunakan adalah tanah gambut.

Sebanyak 1 kg media (kadar air = 220,45%) dimasukkan ke dalam polybag berukuran 20 x 20 x 25 cm dan ditambahkan pupuk sesuai perlakuan. Perlakuan yang diberikan yaitu media tanpa pupuk (kontrol), media dengan penambahan pupuk C1, F1, dan Z1, dan media dengan penambahan pupuk C2, F2, dan Z2. Dosis yang diberikan pada media dengan penambahan pupuk C1, F1, dan Z1 adalah 0,10 g pupuk C1/ polybag, 0,15 g pupuk F1/ polybag dan 0,72 g pupuk Z1/ polybag, sedangkan dosis yang diberikan pada media dengan penambahan pupuk C2, F2, dan Z2 adalah 0,12 g pupuk C2/ polybag, 0,09 g pupuk F2/ polybag dan 0,75 g pupuk Z2/ polybag yang setara dengan 6 kg pupuk CuSO4 5H2O/ha, 5 kg pupuk FeSO4 7H2O/ha, dan 15 kg pupuk ZnSO4/ha. Media disirami setiap hari, setelah 1 minggu, media siap ditanami dengan biji akasia. Biji tanaman akasia diperoleh dari Balai Penelitian Teknologi Perbenihan (BPTP) Bogor. Biji yang digunakan sebagai bibit yaitu biji yang tua dan padat.

Sebelum ditanam, dilakukan beberapa tahapan persiapan biji, yaitu: 1. Biji disiapkan pada suhu kamar, selanjutnya disiapkan wadah dan H2SO4 98%. 2. Biji ditimbang, kemudian direndam H2SO4 98% di dalam wadah selama kurang

lebih 10 menit.

3. Lalu campuran biji dan H2SO4 98 % dimasukkan ke dalam air bersih dengan volume 5 kali campuran benih dan H2SO4 98%.

4. Campuran tersebut selanjutnya dicuci dengan air bersih sebanyak 5 - 6 kali, sambil membuang biji yang mengapung/ jelek.

5. Benih dicuci dengan air mengalir sampai tumpah kurang lebih 30 menit. 6. Biji direndam semalaman (12 - 15 jam).

7. Biji dikeringanginkan sebelum penaburan.

8. Jika masih banyak terdapat biji yang tidak mengelupas, diulangi perlakuan dengan H2SO4 98% selama 5 menit dan ulangi tahapan 3 sampai 7.


(44)

Biji akasia yang telah mengelupas kemudian ditanam pada media dan ditutup dengan media setebal 1,5 – 2 cm. Penanaman dilakukan selama ± 3 minggu dan dilakukan perawatan berupa penyiraman secara teratur. Setelah 3 minggu, tanaman diambil, dibersihkan, dikeringkan, dan diambil akarnya untuk diamati kandungan hara akar dengan menggunakan EDX.


(45)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

Contoh Rendemen (%) Air (%) Kadar

Kadar Zat Terbang (%) Kadar Abu (%) Kadar Karbon Terikat (%) Daya Adsorb thd Iodium (mg/g) Daya Adsorb thd MB (mg/g)

AB - 6,16 16,56 6,53 76,91 256 3,89

B1 79,04 1,59 10,90 6,86 82,24 446 18,70

B2 74,64 2,14 8,95 5,67 85,38 734 21,99

ATK - 7,27 23,69 7,34 68,97 466 23,26

T1 85,22 2,12 14,26 2,04 83,70 648 24,94

T2 81,33 1,62 13,78 3,22 83,00 760 49,63

SNI 06-3730-1995

tdk

dipersyaratkan max. 5 max. 25

max.

10 min. 65 min. 750

min. 120 Keterangan:

AB = Arang bambu

B1 = Arang aktif bambu aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit B2 = Arang aktif bambu aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

ATK = Arang tempurung kelapa

T1 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit

T2 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

Berdasarkan data pada Tabel 7, diketahui bahwa rendemen arang menjadi arang aktif, baik pada bambu maupun tempurung kelapa, menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi. Rendahnya rendemen pada pembuatan arang aktif disebabkan oleh senyawa karbon yang terbentuk dari hasil penguraian selulosa dan lignin mengalami reaksi pemurnian dengan uap air yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa yang melekat pada permukaan arang. Sejalan dengan meningkatnya suhu aktivasi, maka karbon yang bereaksi menjadi CO2 dan H2O juga semakin banyak dan sebaliknya C yang dihasilkan semakin sedikit, sehingga rendemen arang aktif yang dihasilkan menjadi lebih rendah.

Kadar air mengalami penurunan setelah proses aktivasi. Akan tetapi pada arang aktif bambu, hasil aktivasi dengan suhu yang lebih tinggi memiliki kadar air yang lebih tinggi, sedangkan hal sebaliknya terjadi pada arang aktif tempurung kelapa. Menurut Hendaway (2003), kadar air arang aktif dipengaruhi oleh sifat higroskopis arang aktif, jumlah uap air di udara, lama proses pendinginan,


(46)

penggilingan dan pengayakan karena preparasi sampel arang aktif dilakukan di ruang terbuka.

Kadar zat terbang arang mengalami penurunan setelah proses aktivasi dan menurun dengan meningkatnya suhu aktivasi. Hal ini terjadi karena pada suhu tinggi, penguraian senyawa non karbon seperti CO2, CO, CH4 dan H2 dapat berlangsung sempurna (Kuriyama 1961 dalam Sudrajat et al., 2005).

Kadar abu pada arang bambu dan arang bambu yang telah diaktivasi tidak berbeda secara signifikan, sedangkan pada arang tempurung kelapa, kadar abu menurun setelah proses aktivasi. Kadar abu dalam arang aktif dapat mempengaruhi daya adsorb karena pori arang aktif akan terisi oleh kation-kation seperti K, Na, Ca dan Mg.

Kadar karbon terikat pada arang aktif lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Kadar karbon terikat sangat dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu. Semakin tinggi nilai kadar zat terbang dan abu, maka kadar karbon terikat semakin rendah. Nilai kadar karbon terikat berbanding lurus dengan daya adsorb arang aktif tersebut, sehingga semakin besar kadar karbon terikat, maka kemampuan arang aktif untuk mengadsorb gas atau larutan akan menjadi lebih besar pula (Sudrajat et al., 2005). Hal ini terlihat dari daya adsorb arang aktif

terhadap iodium dan metilena biru.

Arang aktif memiliki daya adsorb terhadap iodium yang lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Daya adsorb arang bambu terhadap iodium yaitu 256 mg/g, sedangkan daya adsorb arang aktif bambu yaitu 446 mg/g pada suhu aktivasi 600oC dan 734 mg/g dengan suhu aktivasi 700oC. Daya adsorb arang tempurung kelapa terhadap iodium yaitu 466 mg/g, sedangkan daya adsorb arang aktif tempurung kelapa yaitu 648 mg/g pada suhu aktivasi 600oC dan 760 mg/g pada suhu aktivasi 700oC. Peningkatan daya adsorb ini memperlihatkan bahwa atom karbon yang membentuk kristalit heksagonal semakin banyak sehingga celah atau pori yang terbentuk di antara lapisan kristalit juga semakin besar. Daya adsorb arang aktif terhadap metilena biru lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Tingginya daya adsorb arang aktif terhadap metilena biru menunjukkan bahwa senyawa hidrokarbon yang terdapat pada permukaan arang yang diaktivasi telah banyak menjadi aktif dan ikatan antara hidrogen dan karbon terlepas dengan


(47)

sempurna, sehingga semakin luas permukaan yang aktif (Pari et al. 2006). Akan

tetapi daya adsorb yang dihasilkan masih di bawah SNI, kecuali daya adsorb T2 terhadap iodium. Rendahnya daya adsorb terhadap iodium dan metilena biru menunjukkan bahwa perlakuan aktivasi terhadap bahan belum cukup untuk membuka pori-pori bahan. Daya adsorb arang aktif dapat ditingkatkan dengan meningkatkan suhu atau waktu aktivasi.

4. 2 Hasil Analisis Pupuk Lambat Tersedia

Kondisi optimum arang aktif dalam mengadsorb unsur hara belum diketahui, oleh karena itu dilakukan percobaan dengan mengkombinasikan konsentrasi larutan pupuk dan perbandingan arang dengan larutan pupuk. Pupuk bubuk kering yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan SEM untuk mengetahui topografi permukaan arang, arang aktif dan arang aktif yang telah diberi perlakuan perendaman. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 2. Topografi Permukaan Arang Bambu (a), Arang Aktif Bambu (b), Arang Aktif Bambu+Cu (c), Arang Aktif Bambu+Fe (d), dan Arang Aktif Bambu+Zn (e) dengan pembesaran 1000x


(48)

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3. Topografi Permukaan Arang Tempurung Kelapa (a), Arang Aktif Tempurung Kelapa (b), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (c), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Fe (d) dan Arang Aktif Tempurung Kelapa+Zn (e) dengan pembesaran 1000x

Pemanasan bahan baku hingga suhu 500oC menyebabkan terdegradasinya komponen holoselulosa dan lignin yang menghasilkan produk gas (antara lain CO2, H2, CO, CH4 dan benzena), produk cair (tar, hidrokarbon dengan bobot molekul tinggi dan air) dan produk padatan berupa arang (Vigouroux, 2001 dalam

Lempang, 2009). Proses karbonisasi menghasilkan lebih banyak karbon, akan tetapi pada arang masih terdapat senyawa hidrokarbon yang menutupi pori dan permukaan arang seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2(a) dan Gambar 3(a). Proses aktivasi menyebabkan penyusutan pada arang karena semakin banyak bahan volatil yang terlepas. Hal ini terlihat juga pada kadar zat terbang arang aktif yang lebih rendah dibandingkan arang (Tabel 7). Aktivasi menyebabkan terbentuknya mikropori baru dan kerusakan dinding pori mikro, sehingga diameternya menjadi bertambah besar. Gambar 2(b), 2(c), 2(d) dan 2(e) memperlihatkan bahwa pori-pori yang semula kosong pada arang aktif menjadi terisi setelah diberi perlakuan perendaman. Hasil yang sama ditemukan pada Gambar 3(b), 3(c), 3(d), dan 3(e), hanya saja ukuran pori pada arang aktif


(49)

tempurung kelapa terlihat relatif lebih kecil dibandingkan dengan arang aktif bambu.

Walaupun telah diketahui bahwa pori arang aktif telah terisi setelah diberi perlakuan perendaman, perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui unsur yang mengisi arang akrif tersebut. Pengujian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan EDX. Hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 4. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Bambu (a), Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan CuSO4 (b) Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan FeSO4 (c), dan Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam dengan ZnSO4 (d)

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa Cu, Fe dan Zn ditemukan pada arang aktif bambu yang telah direndam dengan larutan CuSO4, FeSO4, dan ZnSO4 yang kemudian dicuci dan dikeringkan. Analisis kualitatif juga dilakukan pada arang aktif tempurung kelapa dan arang aktif tempurung kelapa yang diberi


(50)

perlakuan perendaman. Gambar 5 menunjukkan bahwa Cu, Fe dan Zn ditemukan pada arang aktif tempurung kelapa yang telah direndam dengan larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa (a), Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan CuSO4 (b) Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan FeSO4 (c), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam dengan ZnSO4 (d)

Setelah diketahui bahwa unsur Cu, Fe dan Zn ditemukan pada arang aktif yang telah diberi perlakuan perendaman, selanjutnya dilakukan pengamatan untuk mengetahui distribusi unsur-unsur tersebut di dalam arang aktif. Hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 6 - 10.


(51)

= C = O = Si = Zn = C = O = Si = Fe = C = O = Cu

Gambar 6. Hasil Pengamatan Distribusi Cu pada Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam Larutan CuSO4

Gambar 7. Hasil Pengamatan Distribusi Fe pada Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam Larutan FeSO4

Gambar 8. Hasil Pengamatan Distribusi Zn pada Arang Aktif Bambu yang Telah Direndam Larutan ZnSO4


(52)

= C = O = Fe

= C = O = Zn = C = O = Cu

Gambar 9. Hasil Pengamatan Distribusi Cu pada Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam Larutan CuSO4

Gambar 10. Hasil Pengamatan Distribusi Fe pada Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam Larutan FeSO4

Gambar 11. Hasil Pengamatan Distribusi Zn pada Arang Aktif Tempurung Kelapa yang Telah Direndam Larutan ZnSO4


(53)

Hasil pengamatan distribusi unsur Cu, Fe dan Zn menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut tersebar secara tidak merata pada permukaan arang aktif. Unsur-unsur tersebut tersembunyi di dalam pori arang aktif, sehingga ketika diamati, yang tampak di permukaan hanya sedikit dan terdapat di titik-titik tertentu saja.

Posisi unsur-unsur di dalam arang aktif dapat diketahui dengan menghitung lebar, tinggi dan jumlah lapisan aromatik melalui analisis dengan XRD. Analisis XRD dilakukan pada bahan baku, arang, arang aktif, dan arang aktif yang diberi perlakuan perendaman.

Difraktogram XRD pada bambu, arang dan arang aktif bambu disajikan pada Gambar 12, sedangkan difraktogram XRD tempurung kelapa, arang dan arang aktif tempurung kelapa disajikan pada Gambar 13.

Gambar 12. Difraktogram XRD pada Bambu (merah), Arang Bambu (biru), Arang Aktif Bambu (ungu)


(54)

Gambar 13. Difraktogram XRD pada Tempurung Kelapa (merah), Arang Tempurung Kelapa (biru), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa (ungu)

Berdasarkan Gambar 12 dan Gambar 13, dapat dilihat bahwa proses pengarangan telah mengubah struktur bahan. Komponen utama bambu dan tempurung kelapa terdiri dari lignin, selulosa dan hemiselulosa. Pada umumnya lignin dan hemiselulosa memiliki struktur amorf, sedangkan selulosa sendiri hanya memiliki sebagian struktur yang kristalin. Pada bahan baku, struktur kristalin berada pada struktur selulosa, sedangkan pada arang struktur kristalin terbentuk dari senyawa karbon yang membentuk lapisan heksagonal.

Pengamatan dengan XRD juga dilakukan terhadap arang aktif yang telah diberi perlakuan perendaman. Difraktogram yang dihasilkan disajikan pada Gambar 14 dan Gambar 15. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mengetahui derajat kristalinitas (X), jarak antar lapisan (d), lebar (La), tinggi (Lc), dan jumlah (N) lapisan aromatik pada bahan baku, arang, arang aktif dan arang aktif yang telah diberi perlakuan. Hasil perhitungan dicantumkan pada Tabel 11.


(55)

Gambar 14. Difraktogram XRD pada Arang Aktif Bambu (merah), Arang Aktif Bambu+Cu (biru), Arang Aktif Bambu+Fe (ungu), dan Arang Aktif Bambu+Zn (hijau)

Gambar 15. Difraktogram XRD pada Arang Aktif Tempurung Kelapa (merah), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (biru), Arang Aktif Tempurung Kelapa+Fe (ungu), dan Arang Aktif Tempurung Kelapa+Zn (hijau)

Difraktogram XRD pada arang aktif dan arang aktif yang telah diberi perlakuan (Gambar 14 dan 15) menunjukkan bahwa perlakuan perendaman arang


(56)

aktif di dalam larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4 tidak mengubah struktur karbon

pada arang aktif. Akan tetapi, perubahan lain dapat diamati dari hasil perhitungan pada Tabel 8.

Tabel 8. Derajat Kristalinitas (X), Sudut Difraksi (θ), Jarak Antar Lapisan (d), Lebar (La), Tinggi (Lc), dan Jumlah (N) Lapisan Aromatik pada Bahan Baku, Arang, Arang Aktif dan Arang Aktif yang Telah Diberi Perlakuan Perendaman

Contoh X (%) θ(002) (o) d (nm) θ (100) (o) D (nm) La (nm) Lc (nm) N

B 26,33 22,50 0,3948 - - - - -

AB 27,26 23,88 0,3723 44,75 0,2023 7,804 1,259 3,38 AAB 27,99 23,75 0,3743 43,75 0,2067 6,666 1,396 3,73 AAB+Cu 29,22 22,63 0,3925 44,00 0,2056 7,374 1,377 3,51 AAB+Fe 30,17 23,88 0,3723 44,00 0,2056 6,841 1,427 3,83 AAB+Zn 33,85 24,00 0,3704 44,00 0,2056 8,481 1,460 3,94

TK 26,04 22,50 0,3948 - - - - -

ATK 27,98 24,00 0,3704 43,00 0,2101 9,308 1,338 3,61 AATK 35,46 24,13 0,3685 43,75 0,2067 6,999 1,412 3,83 AATK+Cu 38,56 22,63 0,3925 44,13 0,2050 8,019 1,472 3,75 AATK+Fe 37,82 22,50 0,3948 44,00 0,2056 6,523 1,525 3,25 AATK+Zn 38,99 23,88 0,3723 44,00 0,2056 7,784 1,446 3,89 Keterangan:

B = Bambu

AB = Arang Bambu AAB = Arang Aktif Bambu TK = Tempurung Kelapa ATK = Arang Tempurung Kelapa AATK = Arang Aktif Tempurung Kelapa

Derajat kristalinitas arang bambu maupun arang tempurung kelapa lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakunya. Pada arang bambu, perubahan terjadi karena adanya pergeseran intensitas sudut difraksi dari θ 22,50 menjadi θ 23,88 dan terbentuknya sudut baru di θ 44,75. Pada arang tempurung kelapa, perubahan terjadi karena adanya pergeseran intensitas sudut difraksi dari θ 22,50 menjadi

θ 24,00 dan terbentuknya sudut baru di θ 43,00. Pergeseran dan terbentuknya sudut difraksi baru tersebut menunjukkan bahwa struktur kristalin bahan baku berbeda dari arangnya.

Kristalinitas suatu bahan terinduksi dengan sejumlah cara, antara lain pendinginan leburan polimer, evaporasi larutan polimer atau pemanasan suatu polimer dalam kondisi hampa udara atau suatu atmosfer yang lembam (untuk


(57)

mencegah oksidasi) pada suhu tertentu (Stevens, 2007). Tabel 8 menunjukkan bahwa derajat kistalinitas arang aktif lebih tinggi dibandingkan dengan arang. Proses aktivasi menyebabkan derajat kristalinitas meningkat dengan adanya penyusunan struktur kristalit dari arang ke arang aktif ke arah yang semakin teratur. Keteraturan tersebut terjadi karena adanya pergeseran pada stuktur kristalit yang ditunjukkan dengan penyempitan lebar lapisan aromatik dan peningkatan tinggi lapisan aromatik setelah arang diaktivasi.

Arang aktif yang telah diberi perlakuan memiliki derajat kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan arang aktif. Adapun perlakuan perendaman arang aktif bambu di dalam larutan CuSO4, FeSO4 dan ZnSO4 menambah lebar lapisan aromatik. Perlakuan perendaman arang aktif bambu di dalam FeSO4 dan ZnSO4 menambah tinggi lapisan aromatik tetapi tidak demikian dengan perendaman arang aktif bambu di dalam larutan CuSO4. Unsur Fe dan Zn yang ditambahkan pada arang aktif bambu berada pada bidang yang memotong sumbu a dan searah dengan sumbu b dan sumbu c, selain itu juga menempati bidang yang memotong sumbu c dan searah dengan sumbu a dan sumbu b, sedangkan Cu yang ditambahkan pada arang aktif bambu hanya menempati bidang yang memotong sumbu a dan searah dengan sumbu b dan sumbu c. Perlakuan perendaman arang aktif tempurung kelapa di dalam larutan CuSO4, FeSO4, dan ZnSO4 menambah tinggi lapisan aromatik, tetapi hanya perendaman arang aktif tempurung kelapa di dalam larutan CuSO4 dan ZnSO4 saja yang meningkatkan lebar lapisan aromatik. Unsur Cu dan Zn yang ditambahkan pada arang aktif tempurung kelapa berada pada bidang yang memotong sumbu a dan searah dengan sumbu b dan sumbu c, selain itu juga menempati bidang yang memotong sumbu c dan searah dengan sumbu a dan sumbu b, sedangkan Fe yang ditambahkan pada arang aktif tempurung kelapa hanya menempati bidang yang memotong sumbu c dan searah dengan sumbu a dan sumbu b. Hal ini menunjukkan bahwa Cu, Fe dan Zn yang dimasukkan berada di dalam lapisan aromatik, sehingga mempengaruhi lebar dan tinggi lapisan aromatik.

Selanjutnya dilakukan analisis kuantitatif arang aktif yang telah diberi perlakuan. Analisis dilakukan dengan metode pengabuan basah menggunakan


(58)

aqua regia. Hasil pengabuan kemudian diukur kadar Cu, Fe, dan Zn total dengan menggunakan AAS. Hasil analisis dicantumkan pada Tabel 9.

Tabel 9. Hasil Analisis Arang Aktif setelah Direndam dalam Larutan CuSO4 Perlakuan (arang : larutan

(b/v))

Kadar air (%)

Kadar abu

(%) Cu total (ppm)

B1

Tanpa perendaman 1,59 6,86 96

CuSO4 1N (1 : 3) 0,38 6,41 11.443

CuSO4 1N (1 : 5) 0,85 6,45 8.749

CuSO4 1N (1 : 7) 0,76 6,47 7.850

CuSO4 2N (1 : 3) 1,75 6,43 9.002

CuSO4 2N (1 : 5) 1,68 6,28 6.866

CuSO4 2N (1 : 7) 1,12 6,38 6.109

B2

Tanpa perendaman 2,14 5,67 104

CuSO4 1N (1 : 3) 0,80 6,59 9.501

CuSO4 1N (1 : 5) 0,93 6,80 8.530

CuSO4 1N (1 : 7) 0,82 6,79 6.845

CuSO4 2N (1 : 3) 1,61 6,91 8.541

CuSO4 2N (1 : 5) 1,06 6,57 6.293

CuSO4 2N (1 : 7) 1,65 6,32 5.951

T1

Tanpa perendaman 0,51 2,04 36

CuSO4 1N (1 : 3) 2,33 2,61 4.260

CuSO4 1N (1 : 5) 5,21 2,41 3.206

CuSO4 1N (1 : 7) 6,90 2,83 4.064

CuSO4 2N (1 : 3) 0,33 3,01 4.880

CuSO4 2N (1 : 5) 0,60 2,84 4.062

CuSO4 2N (1 : 7) 1,26 2,45 3.509

T2

Tanpa perendaman 4,49 3,22 91

CuSO4 1N (1 : 3) 4,10 2,95 7.435

CuSO4 1N (1 : 5) 0,85 3,01 7.741

CuSO4 1N (1 : 7) 1,11 3,29 10.775

CuSO4 2N (1 : 3) 0,36 3,32 3.558

CuSO4 2N (1 : 5) 0,45 3,02 5.513

CuSO4 2N (1 : 7) 0,41 3,17 5.968

Keterangan:

B1 = Arang aktif bambu aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit

B2 = Arang aktif bambu aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

T1 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 600oC dengan uap air 90 menit

T2 = Arang aktif tempurung kelapa aktivasi 700oC dengan uap air 90 menit

Pada B1 dan B2, kadar Cu total pada B1 dan B2 yang direndam di dalam larutan CuSO4 1N relatif lebih tinggi dibandingkan dengan B1 yang direndam di dalam larutan CuSO4 2N. Hal ini dikarenakan ukuran dan bentuk pori pada arang aktif bambu yang didominasi oleh makropori, sehingga walaupun jumlah Cu yang


(1)

Gambar Lampiran 3. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Bambu


(2)

(3)

Gambar Lampiran 5. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 5x


(4)

Gambar Lampiran 6. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 10x


(5)

Gambar Lampiran 7. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 15x


(6)

Gambar Lampiran 8. Hasil Pengamatan EDX pada Arang Aktif Tempurung Kelapa+Cu (C2) Setelah Dicuci Sebanyak 20x