Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Peningkatan ini diikuti oleh peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan papan yang dapat diperoleh dari hasil hutan dan hasil pertanian. Penurunan kuantitas lahan pertanian membuat masyarakat melakukan kegiatan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Namun banyaknya kegiatan alih fungsi lahan hutan tersebut membuat kualitas lahan ikut menurun sehingga mempercepat terjadinya degradasi lahan.

Pengelolaan lahan yang diperlukan ialah jenis upaya yang dapat mengatasi beberapa masalah, di antaranya pengelolaan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk namun juga mampu menjaga kondisi tanah dan lingkungan. Salah satu solusi yang telah dikembangkan saat ini adalah penerapan sistem agroforestri.

Agroforestri adalah suatu sistem penggunaan lahan yang merupakan perpaduan kegiatan kehutanan, perkebunan/tanaman industri, tanaman pangan, peternakan dan perikanan ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Pengembangan sistem agroforestri diharapkan dapat memecahkan masalah penggunaan lahan sehingga kebutuhan manusia yang beraneka macam seperti pangan, sandang, obat-obatan, kayu dan lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi (Satjapradja 1982).

Agroforestri adalah salah satu sistem penggunaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif sehingga sering kali dijadikan sebagai suatu sistem pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Namun penggunaan sistem agroforestri selalu dihadapkan pada berbagai tantangan seperti tingkat naungan yang cukup tinggi dan kemungkinan terjadinya kompetisi ruang, air, nutrisi dan kelembaban. Hal ini menyebabkan tanaman tumpangsari yang dibudidayakan di bawah tegakan pohon memperoleh intensitas cahaya yang rendah dan dapat menurunkan produktivitas dari tanaman tumpangsari atau bahkan pohon itu sendiri. Permasalahan ini dapat dikendalikan dengan pemilihan jenis tanaman tumpangsari


(2)

yang sesuai dengan tanaman pokok. Kesesuaian tersebut dapat dilihat dari kondisi fisiologis pohon seperti kondisi tajuk dan perakaran yang nantinya berpengaruh terhadap pengaturan jarak tanam yang ideal.

Salah satu tanaman kehutanan yang saat ini banyak dikembangkan menjadi hutan tanaman atau hutan rakyat adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Jabon merupakan jenis pionir asli Indonesia dan memiliki penyebaran alami yang luas dari Aceh sampai Papua. Jenis pohon ini banyak dijumpai di lahan terbuka bekas tebangan atau di kanan-kiri jalan logging. Jabon juga banyak dijumpai di lahan-lahan bekas tambang khususnya di Kalimantan, tumbuh alami di tempat-tempat terbuka maupun di sela-sela Acacia mangium yang telah ditanam terlebih dahulu sebagai upaya reklamasi lahan bekas tambang. Saat ini jabon merupakan salah satu tanaman komersial di Indonesia (Mansur dan Tuheteru 2010). Namun penelitian yang berkaitan dengan tanaman jabon, khususnya perkembangan jabon dalam sistem agroforestri masih sangat minim dengan perkembangan jabon yang cukup pesat. Berdasarkan uraian maka diperlukan suatu penelitian mengenai panjang dan kedalaman akar latera jabon (A. cadamba) di Desa Cibening Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor untuk mengetahui jenis tanaman tumpangsari atau tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran jabon.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah semakin meningkatnya kegiatan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman yang menimbulkan peningkatan degradasi lahan sehingga dibutuhkan suatu penerapan agroforestri yang tepat. Penerapan sistem agroforestri yang tepat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor pendukung dalam suatu tegakan seperti persentase penutupan tajuk, suhu, kelembaban dan perkembangan perakaran pohon. Faktor-faktor tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengkombinasian tanaman dalam suatu tegakan.


(3)

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji tingkat persentase penutupan tajuk pada tegakan jabon campuran dan monokultur yang berusia 10 bulan.

2. Mengkaji panjang dan kedalaman akar lateral jabon untuk dijadikan sebagai referensi tanaman pertanian yang ideal.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai referensi ruang tumbuh tanaman pertanian pada tegakan jabon dan memberikan pengetahuan dalam penggunaan tanaman pertanian yang akan ditanam di lokasi penelitian dengan jenis tanaman yang berbeda.


(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Agroforestri

Secara bahasa, agroforestri berasal dari dua kata, yaitu agros dan forestry.

Agros berasal dari bahasa yunani yang berarti bentuk kombinasi kegiatan pertanian dengan kegiatan lainnya pada sebuah lahan. Sedangkan forestry berasal dari bahasa inggris yang berarti segala sesuatu yang berkenaan dengan hutan (kehutanan). Forestry meliputi segala usaha, ilmu, proses, dan semua pola tingkah dalam mengelola hutan dan penggunaan sumberdaya alam untuk kepentingan dan kesejahteraan manusia (Mahendra 2009).

Agroforestri merupakan sebuah nama bagi sistem-sistem dan teknologi penggunaan lahan dimana pohon berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu, dan lain-lain) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang dan waktu. Dalam sistem-sistem agroforestri terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya (De Foresta 2000).

Agroforestri adalah suatu sistem penggunaan lahan yang merupakan perpaduan kegiatan kehutanan, perkebunan/tanaman industri, tanaman pangan, peternakan, dan perikanan ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Pengembangan sistem agroforestri diharapkan dapat memecahkan masalah penggunaan lahan sehingga kebutuhan manusia yang beraneka macam seperti pangan, sandang, obat-obatan, kayu, dan lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi (Satjapradja 1982).

Agroforestri merupakan sistem tersendiri dan bukan sekedar campuran pertanian, perhutanan, dan peternakan. Keberhasilan pemapanan agroforestri tergantung pada ketepatan memilih bentuk dan menentukan sasaran menurut kebutuhan setempat. Ini berarti bahwa agroforesti merupakan suatu penyelesaian masalah, baik menurut tempat maupun waktu (Notohadiprawiro 1981).

Menurut Notohadiprawiro (1981), agroforestri memiliki sasaran pokok berupa mengoptimalkan produksi gabungan pertanian-perhutanan dengan atau


(5)

tanpa peternakan, mengawetkan dan memperbaiki lahan usaha serta memanfaatkan tenaga kerja tersedia sebaik-baiknya.

2.2 Pola Tanam

Agroforestri pada dasarnya adalah pola pertanaman yang memanfaatkan sinar matahari dan tanah yang berlapis-lapis untuk meningkatkan produktivitas lahan. Dengan pola penanaman yang tepat, suatu lahan dapat menghasilkan berbagai macam komoditi bernilai ekonomis. Akan tetapi sebenarnya pola tanam agroforestri sendiri tidak sekedar untuk meningkatkan produktivitas lahan, tetapi juga melindungi lahan dari kerusakan dan mencegah penurunan kesuburan tanah melalui mekanisme alami. Tanaman kayu yang berumur panjang diharapkan mampu memompa zat-zar hara (nutrient) di lapisan tanah yang dalam, kemudian ditransfer ke permukaan tanah melalui luruhnya biomasa. Mekanisme ini juga mampu memelihara produktivitas tanaman yang berumur pendek, seperti palawija. Mekanisme alami ini menyerupai ekosistem hutan alam, yakni tanpa input dari luar, ekosistem mampu memelihara kelestarian produksi dalam jangka panjang. Pola tanam agroforestri yang dianggap paling mendekati struktur hutan alam adalah pekarangan atau kebun. Pada pekarangan/kebun, tanaman-tanaman tumbuh secara acak sehingga menciptakan struktur tajuk dan perakaran yang berlapis. Jadi manfaat ganda dari pola agroforestri (yang ideal dan konsisten) adalah peningkatan produktivitas dan pemeliharaan lingkungan (Budiadi 2005).

Pola tanam dalam sistem agroforestri diatur sedemikian rupa sehingga pada tahap awal, dimana faktor naungan belum menjadi masalah, beberapa komponen dapat tumbuh bersamaan dalam satu lapisan tajuk. Pada tahap lanjut sistem agroforestri akan menyerupai ekosistem hutan yang terdiri dari banyak lapisan tajuk. Lapisan tajuk atas ditempati jenis-jenis dominan, di bawahnya ditempati jenis-jenis yang kurang dominan yang tahan setengah naungan, kemudian lapisan bawah ditempati jenis-jenis tahan naungan (Sukandi et al. 2002).

2.3 Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq)

Jabon merupakan salah satu jenis tumbuhan lokal Indonesia yang berpotensi baik untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman maupun untuk tujuan lainnya seperti penghijauan, reklamasi lahan bekas tambang, dan pohon


(6)

peneduh. Tanaman jabon termasuk jenis cepat tumbuh. Tinggi tanaman dapat mencapai 45 m dengan diameter 100−160 cm. Kelebihan lain dari tanaman ini memiliki batang yang lurus dan silindris sehingga sangat cocok sebagai bahan baku industri kayu. Di Indonesia tanaman ini sudah tersebar hampir di seluruh pelosok Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan Papua. Sementara itu di lahan-lahan bekas tambang Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, kerap dijumpai jabon tumbuh secara alami dan dapat menyerobot pertumbuhan tanaman A. mangium yang memang telah lebih dulu ditanam untuk tanaman reklamasi. Dengan demikian jabon juga berpotensi untuk dijadikan sebagai tanaman pionir dalam mereklamasi lahan bekas tambang (Mansur dan Tuheteru 2010).

2.4 Keterangan Botani

Ada dua jenis jabon yang ditanam di Indonesia, yaitu jabon putih dan jabon merah. Jenis A. macrophyllus (jabon merah) umumnya dapat dijumpai di daerah Sulawesi dan Maluku yang dikenal dengan sebutan “samama”. A. cadamba (jabon putih) memiliki nama dagang kadam dan sinonim dengan nama Nauclea purpurea, N. cadamba, dan A. indicus. Nama daerah jabon di Indonesia berbeda-beda, misalnya jabon, jabun, haja, kalampeyan, kelampaian, galupai, johan, kalampain, kelempi, pontua, suge manai, pekaung, gumpayan, kelapan, mugawe, paribe, dan masarambi ( Mansur dan Tuhateru 2010).

Berdasarkan klasifikasinya jabon termasuk ke dalam famili Rubiaceae. Secara lengkap susunan klasifikasi jabon adalah sebagai berikut:

Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Asteridae Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian) Genus : Anthocephalus


(7)

2.5 Morfologi dan Ciri Umum Jabon

Umumnya pohon jabon dapat mencapai ketinggian 45 m dengan diameter 100−160 cm dan tinggi bebas cabang mencapai 30 m. Batang jabon lurus dan silindris, bertajuk tinggi dengan cabang mendatar dan berbanir sampai ketinggian 1,5 m. Keunikan jabon adalah kemampuannya dalam melakukan pemangkasan alami. Hal ini dikarenakan cabang-cabang yang berada di bagian bawah dan tidak cukup mendapatkan cahaya akan gugur secara alami. Kulit luar batang pada waktu muda berwana putih kehijauan tanpa alur, tetapi seiring pertambahan umur pohon, batangnya akan berubah warna manjadi kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal dan kulit batang tidak mengelupas. Daun jabon merupakan daun tunggal, bertangkai panjang 1,5−4,0 cm dengan helaian daun agak besar (panjang 15−30 cm dan lebar 7−8 cm). Permukaan daun jabon tidak berbulu atau kadang-kadang di sebelah bawah pada tulang daun terdapat rambut halus yang mudah lepas dan bertulang daun sekunder jelas (10−12 pasang) (Mansur dan Tuhateru 2010).

Umumnya jabon mulai berbunga pada umur 4 tahun, tetapi jika mikroklimatnya sesuai dan pemeliharaannya dilakukan secara intensif, pohon jabon sudah mulai berbunga pada umur 2,5 tahun. Bunga kepala berukuran besar (4,5−6,0 cm), lidah daun kelopak letaknya tegak, berdaging, dan pada ujungnya berbulu. Daun mahkota pada bunga jabon seluruhnya tidak berbulu. Penyerbukan pada bunga umumnya terjadi pada awal pagi hari, yakni ketika produksi absolut polen per bunga sebanyak 4.566 butir dengan ukuran 19,3 x 20,2 μm. Beberapa jenis polinator yang biasanya membantu penyerbukan bunga jabon adalah lebah madu (Apis spp.), kupu-kupu, thrips, dan megachile. Buah jabon berbentuk bulat dengan ukuran 4,5−6,0 cm, memiliki ruang-ruang biji yang sangat banyak layaknya buah majemuk seperti keluwih/nangka yang berukuran kecil dengan bagian tengah padat dikelilingi oleh ruang-ruang biji. Setiap ruang biji tersebut terisi banyak biji. Ukuran biji jabon kecil sekali dengan jumlah biji yang mencapai 26.182.000 biji per kg dan 23.707.000 biji per liter. Ukurannya yang kecil membuat benih jabon mudah terbawa oleh angin dan air (Mansur dan Tuhateru 2010).


(8)

2.6 Penyebaran

Jabon memiliki sebaran alami yang luas, mulai dari India sampai Papua New Guinea, yaitu Nepal, Bengal, Assam, Ceylon, Vietnam, Burma, Semenanjung Malaya, Serawak, Sabah, Indonesia, Filipina, Papua New Guinea, Cina, dan Australia. Walaupun Cina bukan termasuk daerah habitat asli jabon, tetapi jabon masih bisa tumbuh di sana. Di luar habitat alaminya jabon juga telah ditanam di Costa Rica, Puerto Rica, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan, dan Venezuela. Di Indonesia sendiri jabon memiliki daerah penyebaran alami hampir di seluruh wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa Barat, Jawa timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Di Maluku terdapat sebaran jabon A. macrophyllus yang dikenal dengan sebutan jabon merah. Jenis ini memiliki sebaran yang lebih terbatas dibandingkan dengan jabon pada umumnya (Mansur dan Tuhateru 2010).

2.7 Syarat Tumbuh

Jabon memiliki toleransi tempat tumbuh yang sangat luas yaitu pada ketinggian dengan kisaran 0−1.000 mdpl, tetapi ketinggian optimal yang menunjang produktivitasnya adalah kurang dari 500 mdpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang dibutuhkan oleh jabon adalah tanah lempung, podsolik coklat, dan aluvial lembab yang biasanya terpenuhi di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah rawa, dan tanah kering yang kadang-kadang tergenangi air. Umumnya jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah dan dijumpai di dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit. Jabon juga dapat tumbuh di tanah yang liat, lempung podsolik coklat, tanah tuf halus, atau tanah berbatu. Jabon termasuk tanaman yang toleran terhadap tanah masam, tetapi pertumbuhannya menjadi kurang optimal bila ditanam pada lahan berdrainase jelek. Kondisis iklim tempat tumbuh yang sesuai untuk tanaman jabon adalah tipe iklim basah sampai kering dengan tipe curah hujan A sampai D menurut Schmidt Ferguson (Mansur dan Tuhateru 2010).

Jabon yang ditanam pada lahan yang memiliki kedalaman air tanah yang dangkal atau di tempat yang tergenang air biasanya pertumbuhannya akan terganggu meskipun tidak sampai menyebabkan kematian. Genangan air bisa menyebabkan pertumbuhan jabon menjadi tidak produktif, daun menguning dan


(9)

rontok, serta jarak antar ruas menjadi pendek, dan cabang terkumpul di bagian pucuk pohon (Mansur dan Tuhateru 2010).

2.8 Hama dan Penyakit

Hama yang biasanya menyerang tanaman jabon yaitu ulat grayak, tikus, rayap, Achaea sp, ulat pemakan daun, dan ulat api (Thosea asigna). Ulat grayak menyerang jabon pada malam hari sedangkan pada siang hari bersembunyi di dalam tanah. Daun jabon yang berlubang merupakan salah satu ciri tanaman jabon terserang ulat grayak. Hama tikus menyerang jabon pada bagian batang dan cabang. Ciri serangan tikus dapat dilihat dari kulit batang atau adanya bagian cabang yang terkelupas. Hama rayap biasanya menyerang bagian akar dan batang jabon. Serangan rayap pada batang menyebabkan adanya lubang gerek pada batang sedangkan serangan rayap pada akar menyebabkan daun menguning dan rontok. Hama Achaea sp, ulat pemakan daun, dan ulat api (Thosea asigna) menyerang bagian daun dengan cara menggerek daun hingga daun berwarna cokelat dan mati (Mulyana et al. 2010).

Penyakit yang biasanya menyerang daun jabon yaitu bercak daun, keriting daun, embun jelaga, embun tepung, dan cacar daun. Penyakit yang menyerang bagian akar adalah busuk akar yang ditandai dengan menguningnya daun jabon dan terjadinya pembusukan pada bagian akar jabon. Penyakit yang menyerang bagian batang jabon adalah busuk hati yang ditandai dengan adanya bagian cabang yang patah dan luka serta terjadinya perubahan struktur kayu menjadi lunak dan berserabut (Dahana dan Warisno 2011).

2.9 Sistem Perakaran

Akar adalah salah satu faktor penting bagi pertumbuhan tanaman. Tanpa akar proses fotosintesis untuk memproduksi karbohidrat dan energi tidak akan bisa berjalan lancar. Tanaman yang tumbuh baik ditandai dengan berjalannya fungsi akar dengan baik pula (Mahendra 2009).

Fungsi akar antara lain adalah untuk melekatkan tumbuhan pada tanah karena akar memiliki kemampuan untuk menerobos lapisan tanah, manyerap zat makanan yang terlarut di dalam air dari dalam tanah, mengangkut air dan


(10)

zat-zat makanan ke tempat-tempat pada tubuh tumbuhan yang diperlukan, dan sebagai tempat untuk penyimpanan cadangan makanan (Tjitrosoepomo 2005).

Bentuk dan kedalaman serta penyebaran akar akan mempengaruhi jumlah air yang dapat diserap oleh akar tanaman. Akar yang panjang dan kurus mempunyai luas permukaan yang lebih besar jika dibandingkan dengan akar yang panjang dan pendek, karena dapat menjelajahi sejumlah volume yang sama. Penyerapan air dapat terjadi dengan perpanjangan akar ke tempat baru yang masih banyak air. Akibatnya laju penyerapan dapat ditingkatkan (Jumin 1989).

Kedalaman perakaran sangat berpengaruh pada porsi air yang diserap. Makin panjang dan dalam akar menembus tanah, makin banyak air yang dapat diserap. Bila dibandingkan dengan perakaran yang pendek dan dangkal dalam waktu yang sama. Kedalaman akar berkurang dengan bertambahnya air tanah. Jumlah air yang diserap akar berkurang dengan bertambahnya kedalaman.

Persaingan akar antara pohon dan tanaman pertanian dalam penggunaan air dan unsur hara pada lapisan top soil. Sistem perakaran yang dangkal kemungkinan akan lebih banyak bersaing dengan tanaman pertanian dalam penggunaan unsur hara yang langka, sedangkan akar pohon yang dalam dapat berperan sebagai pompa unsur hara atau jaringan pengaman, dimana unsur hara terletak pada tempat yang cukup dalam sehingga berada di luar jangkauan akar pertanian (Lahjie 2004).

Sistem perakaran pada tumbuhan terdiri dari sistem perakaran tunggang dan serabut. Sistem perakaran tunggang terdapat pada tumbuhan dikotil. Akar ini terdiri atas sebuah akar besar dengan beberapa cabang dan ranting akar, merupakan perkembangan dari akar primer dari biji berkecambah. Sedangkan sistem perakaran serabut terdapat pada tumbuhan monokotil, dimana akar ini terdiri dari sejumlah akar kecil, ramping, dan berukuran sama (Mahendra 2009). Sistem perakaran jabon tidak banyak diketahui, pada tempat-tempat basah diduga perakarannya dangkal dan banyak mempunyai akar permukaan. Daun-daun yang lebar baik sekali untuk menguapkan air (transpirasi), oleh karena itu jabon baik ditanam untuk mengeringkan tanah-tanah yang basah (Direktorat Jenderal Kehutanan 1980).


(11)

Berdasarkan percabangan dan bentuknya, akar tunggang dapat dibedakan menjadi: a) akar tunggang yang tidak bercabang atau sedikit bercabang, dan jika ada cabang-cabangnya terdiri atas akar-akar yang halus membentuk serabut. Akar tunggang yang bersifat demikian sering kali berhubungan dengan fungsinya sebagai tempat penimbun zat makanan cadangan lalu mempunyai bentuk yang istimewa. b) Akar tunggang yang bercabang. Akar ini berbentuk kerucut panjang, tumbuh lurus ke bawah, bercabang banyak dengan cabang yang bercabang lagi, sehingga dapat memberi kekuatan yang lebih besar kepada batang, dan juga daerah perakaran menjadi amat luas hingga dapat menyerap air dan zat-zat yang lebih banyak. Susunan akar yang demikian terdapat pada pohon-pohon yang ditanam dari biji (Tjitrosoepomo 2005).


(12)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama dua bulan yaitu pada bulan Januari sampai dengan Pebruari 2012 di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

3.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan jabon monokultur dan campuran berusia 10 bulan. Tegakan jabon monokultur dengan jarak tanam 3x2 m dan tegakan jabon campuran dengan jarak tanam antar jabon sebesar 3x5 m dan jarak tanam dengan tanaman lain sebesar 3,0x2,5 m. Peralatan yang digunakan antara lain adalah golok, cangkul, thermohygrometer, spiracle densiometer, kompas, pita ukur, hagahypsometer, tali rafia/tambang, GPS, kamera digital, label dan alat tulis.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Proses pengumpulan data primer melalui pengukuran langsung di lapangan seperti pengukuran dimensi tanaman pokok, pengukuran persentase penutupan tajuk, pengukuran panjang akar horizontal dan kedalaman akar, pengukuran ketinggian, pengukuran suhu dan kelembaban.

Data sekunder yang dibutuhkan adalah data profil lokasi penelitian, seperti data letak, luas, pola penggunaan lahan, topografi, jenis tanah, kondisi iklim dan sejarah pengelolaan lahan. Data sekunder hanya digunakan sebagai data pendukung untuk data primer.

Data lainnya yang terkait dengan penelitian ini diperoleh dengan studi pustaka dari berbagai literatur, jurnal, laporan, dan arsip-arsip dari dinas terkait maupun yang bersumber dari media elektronik.


(13)

3.4 Metode Kerja

3.4.1 Penentuan Peletakan Plot Sampling

Metode yang digunakan untuk menentukan petak percobaan adalah

purposive sampling dari masing-masing tegakan jabon. Tegakan dipilih dengan kriteria pertumbuhannya baik dan bebas dari hama serta penyakit. Plot sampling berbentuk persegi dengan ukuran 20x15 m dimana pada setiap pola dibuat dua buah plot pengamatan.

Masing-masing plot dilakukan pengukuran terhadap dimensi pohon (tinggi, diameter dan tajuk pohon), pengukuran persentase penutupan tajuk, pengukuran suhu dan kelembaban serta pengukuran sistem perakaran secara vertikal dan horizontal dari tanaman jabon.

3.4.2 Pengukuran Persentase Penutupan Tajuk

Pengukuran persentase penutupan tajuk dilakukan dengan menggunakan

spiracle densiometer. Cara menggunakannya dengan meletakkan spiracle densiometer pada jarak 30−45 cm dari badan dengan ketinggian sejajar lengan. Masing-masing kotak dihitung persen bayangan pohon yang dapat tertangkap pada cermin dengan pembobotan, yaitu tertutup penuh memiliki bobot 4 (100%), bobot 3 (75%), bobot 2 (50%), bobot 1 (25%), serta bobot 0 (0%). Pengukuran dilakukan pada lima titik dalam masing-masing plot, yaitu pada bagian tengah dan pada empat sisi plot. Dalam setiap titik dilakukan empat kali pengukuran yaitu pada setiap arah mata angin (utara, selatan, timur dan barat).

3.4.3 Pengukuran Suhu dan Kelembaban

Alat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban adalah

thermohygrometer. Pengukuran dilakukan pada bagian tengah plot selama tiga hari berturut-turut tanpa hari hujan. Suhu dan kelembaban diukur pada pagi (pukul 07.00−08.00), siang (pukul 12.00−13.00) dan sore hari (pukul 16.00−17.00). Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali ulangan dalam rentang waktu 10 menit sekali. Hasil pengukuran dimasukkan ke dalam rumus:


(14)

T = (2Tpagi + Tsiang + Tsore) / 4

T = Suhu udara rata-rata per hari

T pagi, siang, sore = Suhu pada pagi hari (pukul 07.00–08.00), siang hari (pukul 12.00–13.00) dan sore hari (pukul 16.00–17.00).

3.4.4 Pengukuran Panjang Akar Horizontal dan Kedalaman Akar

Pengukuraan panjang dan kedalaman akar lateral dilakukan tepat di tengah antara tanaman pokok. Apabila pada kedalaman 15−25 cm ditemukan adanya akar dari tanaman pokok, maka pengukuran dihentikan. Namun jika tidak ditemukan adanya akar tanaman pokok, maka pengukuran dilakukan pada setiap jarak 50 cm berikutnya ke arah kanan dan kiri dari penggalian sebelumnya, dengan cara penggalian lagi sampai ditemukan adanya akar tanam pokok.

3.4.5 Pengukuran Dimensi Pohon

Pengukuran dimensi pohon (tinggi, diameter dan tajuk) dilakukan pada setiap plot contoh. Tinggi pohon diukur dengan hagahypsometer, diameter pohon diukur dengan pita ukur, dan tajuk pohon diukur dengan menggunakan kompas dan pita ukur. Pengukuran tajuk dilakukan terhadap panjang dan lebar tajuk kemudian dirata-ratakan untuk mengetahui diameter tajuk.

3.4.6 Pengamatan

Pengamatan terhadap dimensi pohon, persentase penutupan tajuk, suhu, kelembaban dan perakaran dilakukan dengan observasi langsung di lapangan.

3.4.7 Analisis Data

Data hasil pengukuran akan dimasukkan ke dalam tabel untuk mempermudah pengolahan dan analisa data. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan microsoft excel. Data yang diperoleh dan ditunjang dengan data literatur akan dianalisa dengan menggunakan analisis deskriptif. Dari analisa tersebut diharapkan dapat diketahui jenis tanaman pertanian yang sesuai serta tumbuh secara optimal di bawah tegakan jabon.


(15)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Persentase Penutupan Tajuk

Secara definitif tajuk pohon adalah kenampakan dari keseluruhan daun, cabang, ranting, bunga, dan buah. Tajuk merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman tumpangsari. Luasan tajuk pohon menggambarkan persentase penutupan lahan. Kondisi tajuk yang terlalu rapat atau terlalu renggang dapat menjadi penentu tanaman pertanian yang sesuai untuk kondisi suatu tegakan.

Kerapatan tajuk menjadi perhatian penting dalam pemanfaaatan ruang lahan. Tajuk yang berat (rapat) merupakan kompetitor dominan dalam mendapatkan cahaya matahari yang nantinya digunakan dalam proses fotosintesis. Akibatnya tanaman lain di strata bawahnya tumbuh kurang optimal, tertekan bahkan bisa mati. Menurut Mahendra (2009) klasifikasi penutupan tajuk dibagi menjadi tiga, yaitu tajuk jarang, tajuk sedang, dan tajung berat. Tajuk jarang adalah penutupan tajuk dimana cahaya matahari masih dapat menembus permukaan tanah diatas 75%, tajuk sedang adalah penutupan tajuk dimana cahaya matahari masih dapat menembus permukaan tanah sebesar 25%−75%, sedangkan tajuk berat adalah penutupan tajuk dimana sinar matahari hanya dapat menembus permukaan tanah di bawah 25%.

Pengaturan ruang tumbuh merupakan salah satu solusi dalam persaingan cahaya matahari, unsur hara, dan air. Pengaturan ruang tumbuh di atas tanah dimaksudkan agar tajuk berkembang secara optimal dan bertujuan untuk menurunkan persaingan intensitas cahaya matahari (Rusdiana et al. 2000). Hasil pengamatan mengenai persentase penutupan tajuk dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase penutupan tajuk plot campuran dan monokultur

No Plot Persentase Penutupan Tajuk (%)

1 Campuran 38,99

2 Monokultur 56,89

Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa persentase penutupan tajuk pada plot campuran adalah sebesar 38,99% dan persentase penutupan tajuk pada plot


(16)

monokultur adalah sebesar 56,89%. Persentase penutupan tajuk pada plot campuran lebih kecil, hal ini dikarenakan jarak tanam pada plot campuran lebih besar dari pada jarak tanam pada plot monokultur. Jarak tanam pada plot campuran sebesar 3,0x2,5 m. Jarak tanam yang lebih lebar membuat bayangan tajuk yang tertangkap oleh densiometer menjadi lebih kecil. Selain itu bentuk tajuk jati, sengon, dan suren yang kecil membuat tingkat penutupan tajuk juga menjadi kecil. Sedangkan persentase penutupan tajuk pada pola monokultur lebih besar karena jarak tanam yang lebih rapat yaitu 3x2 m dengan bentuk tajuk pohon jabon yang cenderung lebih lebar dan datar dibandingkan bentuk tajuk jati, sengon, dan suren. Berdasarkan klasifikasi persentase penutupan tajuk menurut Mahendra (2009), persentase penutupan tajuk pada plot campuran dan plot monokultur tersebut tergolong tajuk sedang, yaitu cahaya matahari masih bisa masuk atau menembus sampai ke permukaan tanah berkisar antara 25%−75%. Dengan persentase cahaya yang demikian tanaman toleran masih dapat hidup di bawah tegakan tersebut.

Tanaman jabon memiliki kemampuan untuk melakukan pemangkasan cabang secara alami. Kemampuan jabon dalam melakukan pemangkasan alami ini menjadi suatu keunggulan tersendiri bagi jabon dalam pengembangan jabon dengan sistem agroforestri. Pemangkasan alami membuat cahaya akan masuk dari samping ke permukaan tanah pada pagi dan sore hari. Sementara itu pada tengah hari yang terik tanaman tumpangsari akan terlindung dari cahaya matahari dengan adanya tajuk pohon.

5.2 Suhu dan Kelembaban

Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena berkaitan dengan aktivitas enzim dan kandungan air di dalam tubuh tumbuhan. Semakin tinggi suhu, semakin cepat laju transpirasi dan semakin rendah kandungan air pada tumbuhan sehingga proses pertumbuhan semakin lambat (Karmana 2006).

Kelembaban nisbi atau RH (Relative Humidity) merupakan perbandingan antara kelembaban aktual dengan kapasitas udara untuk menampung uap air. Kelembaban akan lebih kecil bila suhu udara meningkat dan sebaliknya kelembaban makin tinggi bila suhu udara lebih rendah (Handoko 2005).


(17)

Suhu yang rendah pada kebanyakan tanaman mengakibatkan rusaknya batang, daun muda, tunas, bunga, dan buah. Besarnya kerusakan organ atau jaringan tanaman akibat suhu rendah tergantung pada keadaan air, keadaan unsur hara, morfologis, dan kondisi fisiologis tanaman. Suhu tinggi mengakibatkan rusaknya sistem pembelahan mitosis yang berlangsung dengan sitokinesis pada saat pembentukan sel generatif (Jumin 1989).

Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan metode termodinamika. Hasil pengamatan suhu dan kelembaban udara dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Suhu dan kelembaban pada plot campuran dan monokultur

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa suhu rata-rata pada plot campuran adalah 26,74°C dan pada plot monokultur sebesar 26,59°C. Besarnya kelembaban pada plot campuran adalah 84,37% dan pada plot monokultur sebesar 84,41%. Suhu pada plot campuran lebih besar 0,15°C daripada suhu plot monokultur. Kelembaban pada plot campuran lebih kecil 0,04% dari kelembaban pada plot monokultur. Hal ini disebabkan oleh penutupan tajuk yang lebih besar pada plot monokultur yang menyebabkan jumlah cahaya yang masuk lebih sedikit, sehingga suhu pada plot monokultur menjadi lebih rendah dan kelembaban menjadi lebih tinggi. Sedangkan penutupan tajuk pada plot campuran lebih kecil yang menyebabkan jumlah cahaya yang masuk lebih banyak, sehingga suhu pada plot campuran lebih tinggi dengan kelembaban yang lebih rendah.

Suhu pada tegakan jabon monokultur dimasa mendatang diduga dapat meningkat dan kelembaban semakin menurun dari kondisi sebelumnya. Hal ini dikarenakan kemampuan jabon dalam melakukan pemangkasan alami. Pemangkasan alami membuat cabang hanya terdapat pada bagian atas dan pada bagian bawah cahaya dapat masuk melalui bagian samping tegakan. semakin

Hari ke- T (oC) RH (%)

Campuran Monokultur Campuran Monokultur

1 27,11 27,00 82,33 83,22

2 26,78 26,78 84,00 84,00

3 26,33 26,00 86,78 86,00


(18)

banyaknya jumlah cahaya yang masuk, maka suhu akan semakin meningkat dan kelembaban semakin menurun.

Menurut Leopold (1964) dalam Jumin (1989), suhu optimum untuk fotosintesa berkisar antara 10−30oC, di atas atau di bawah suhu tersebut, laju fotosintesa akan berkurang. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa suhu pada tegakan jabon campuran dan monokultur termasuk ke dalam suhu optimum. Kecepatan pertumbuhan akan semakin tinggi bila semakin mendekati suhu optimum. Dengan kata lain bahwa, suhu optimum pada kedua plot sangat mendukung pertumbuhan tanaman.

5.3 Panjang dan Kedalaman Perakaran

Akar adalah bagian dari tumbuhan yang tumbuh ke arah bawah (ke dalam tanah). Akar sebagai satu kesatuan dari tanaman memiliki bagian-bagian yang fungsinya berbeda-beda sesuai dengan letak masing-masing bagian akar. Bagi tanaman akar adalah satu faktor penting bagi pertumbuhan. Tanpa akar proses fotosintesis untuk memproduksi karbohidrat dan energi tidak akan bisa berjalan (Mahendra 2009). Peranan akar dalam pertumbuhan tanaman sama pentingnya dengan tajuk. Sebagai gambaran, jika tajuk berfungsi untuk menyediakan karbohidrat melalui proses fotosintesis maka fungsi akar adalah menyediakan unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman (Sitompul dan Guritno 1995).

Pertumbuhan tanaman yang baik dipengaruhi oleh akar dan sistem perakaran yang cukup luas untuk dapat memperoleh hara dan air sesuai dengan kebutuhan tanaman. Kondisi lingkungan yang optimum bagi pertumbuhan membuat faktor perakaran yang luas tidak terlalu berpengaruh nyata bagi pertumbuhan. Namun pada umumnya kondisi pertumbuhan tanaman di lapangan tidak berada pada keadaan optimum maka adanya sistem perakaran yang dalam dan luas sangat diperlukan oleh tanaman agar dapat tumbuh dengan baik (Jumin 1989).

Akar yang diukur pada penelitian ini merupakan akar lateral. Akar lateral adalah cabang-cabang akar yang dihasilkan oleh akar utama dan masih dapat bercabang lagi. Akar lateral bersifat endogen, artinya akar lateral muncul dari dalam dan tumbuh keluar mendesak jaringan akar pokok sehingga jaringan akar


(19)

pokok tersebut pecah pada bagian luarnya yaitu pada bagian titik akar lateral tumbuh dari akar pokok (Mahendra 2009). Akar lateral adalah akar yang tumbuh ke samping dan akan mempengaruhi kombinasi antara tanaman kehutanan dan pertanian yang nantinya akan ditanam di lokasi penelitian. Hasil pengamatan panjang akar dan kedalaman akar pada plot campuran dan monokultur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Panjang dan kedalaman perakaran pada plot campuran dan plot monokultur

Plot Panjang

(m)

Kedalaman (cm)

Campuran 1,23 15,50

Monokultur 1,15 15,30

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa panjang akar pada plot campuran adalah 1,23 m dengan kedalaman 15,50 cm. Panjang akar pada plot monokultur adalah 1,15 m dengan kedalaman akar 15,30 cm. Panjang akar pada plot campuran berkisar antara 0,50−2,00 m. Panjang akar pada plot monokultur berkisar antara 0,60−1,87 m. Pada kedua plot belum ditemukan adanya akar yang saling tumpang tindih. Hal ini dikarenakan umur tanaman jabon yang masih muda yaitu berusia 10 bulan. Namun akan ada kemungkinan terjadinya tumpang tindih akar pada tegakan jabon seiring dengan pertumbuhan jabon dari waktu ke waktu.

Panjang akar pada plot campuran lebih panjang sebesar 0,08 cm daripada plot monokultur. Hal ini dikarenakan suhu pada plot monokultur lebih rendah daripada plot campuran. Suhu rendah menghambat pertumbuhan metabolisme dan pendewasaan akar (Marsono 1992). Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik lahan, tanah pada plot monokultur merupakan tanah berbatu. Hal ini akan mempengaruhi perkembangan akar karena sulitnya akar dalam melakukan penetrasi pada lapisan berbatu dalam mencari unsur hara. Sehingga panjang akar pada plot monokultur menjadi lebih pendek daripada plot campuran.

Keadaan tanah yang subur dengan banyaknya kandungan hara mineral membuat akar akan cenderung membentuk percabangan yang banyak. Selain itu keasaman tanah juga mempengaruhi pertumbuhan akar. Kondisi pH tanah dengan


(20)

-masing tanaman menghendaki kisaran pH tertentu, tetapi kebanyakan tanaman tidak dapat hidup pada pH yang sangat rendah (di bawah 4,0) dan sangat tinggi (di atas 9,0). Aerasi tanah juga sangat berpengaruh terhadap sistem perakaran suatu tanaman. Kandungan O2 dan CO2 di dalam perakaran (rhizosfer) sangat berbeda dangan kandungan O2 dan CO2 di udara. Apabila tanaman ditanam di tempat jenuh air maka dalam jangka waktu yang relatif singkat akan menunjukkan penguningan daun, pertumbuhan terhambat dan menyebabkan matinya tanaman. Hal ini dikarenakan pada kondisi jenuh air maka kandungan O2 sedikit dan kandungan CO2 meningkat sehingga akan menghambat pertumbuhan akar. Selanjutnya berpengaruh terhadap proses penyerapan air dan unsur hara. Tanaman yang ditanam pada kondisi aerasi yang jelek terutama pada kultur air akan menyebabkan diameter lebih besar dan mengandung rongga udara yang lebih banyak dan lebih besar dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada kondisi aerasi baik (Jumin 1989). Akar pada plot campuran dan plot monokultur disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1 Akar pada plot campuran Gambar 2 Akar pada plot monokultur

Menurut Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (2010), jenis tanah di Kecamatan Pamijahan termasuk ke dalam tanah andosol. Tanah andosol biasanya terdapat pada daerah dengan topografi datar, bergelombang dan berbukit. Lapisan atas tanah kaya akan bahan organik berwarnah merah hingga kehitaman dengan tekstur lempung sampai lempung liat berdebu. Lapisan bawahnya berwarna merah kekuningan, coklat kemerahan hingga coklat kuat dengan tekstur lempung sampai lempung berpasir.


(21)

Jabon merupakan tumbuhan dikotil yang memiliki akar tunggang. Akar tunggang umumnya memiliki sistem parakaran yang dalam dan memiliki percabangan akar. Perakaran yang dalam berhubungan dengan aktivitas akar menemukan air dan unsur hara untuk pertumbuhannya. Arah pergerakan akar mengikuti letak air dan unsur hara di dalam tanah. Dengan adanya penetrasi yang besar, perakaran pohon dapat menembus agregasi tanah bahkan sampai pada batuan induk. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), jumlah unsur hara dan air yang dapat diserap tanaman tergantung pada kesempatan untuk mendapatkan air dan unsur hara tersebut di dalam tanah.

Jenis tanaman yang berakar tunggang dan dalam dapat dikombinasikan dengan tanaman pertanian yang mayoritas berakar serabut. Kedalaman akar tanaman pertanian yang kurang dari 50 cm lebih terkonsentrasi menyerap hara dan air di horizon A, sedangkan perakaran pohon yang mampu melakukan penetrasi yang dalam terkonsentrasi menyerap hara dan air pada horizon B. Namun tidak menutup kemungkinan ada rambut akar yang menyerap hara di horizon A (Mahendra 2009). Kombinasi ini harus diikuti dengan pengaturan jarak tanam yang sesuai agar pemanfaatan ruang perakaran dapat optimal. Jarak tanam pada plot campuran dan monokultur yang sudah tertata rapi lebih memudahkan dalam pengkombinasian tanaman dan pengaturan jarak tanam antara tanaman pokok dan tamanan pertanian.

5.4 Dimensi Pohon

Pertumbuhan didefinisikan sebagai pertambahan dari jumlah dan dimensi pohon, baik diameter maupun tinggi yang terdapat pada suatu tegakan. Pertumbuhan tanaman pada pola agroforestri dapat dipengaruhi oleh asal induknya, manajemen pengelolaan, jarak tanam, komposisi tanam, dan kesesuaian lahan tempat tumbuh serta lingkungan sekitarnya. Sistem agroforestri yang terdiri dari berbagai komposisi jenis tanaman menyebabkan setiap jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri (Hairiah et al. 2003).

Pengukuran dimensi pohon meliputi pengukuran diameter, tinggi, dan panjang tajuk. Hasil pengukuran pada plot campuran dan plot monokultur dapat dilihat pada Tabel 4.


(22)

Tabel 4 Rata-rata diameter, tinggi, dan panjang tajuk

Plot Diameter (cm) Tinggi (m) Panjang tajuk (cm)

Campuran 4,79 2,95 289,66

Monokultur 3,89 2,87 261,14

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa besarnya nilai rata-rata diameter plot campuran adalah sebesar 4,79 cm dengan tinggi rata-rata sebesar 2,95 m dan panjang tajuk 289,66 cm. Sedangkan besarnya nilai rata-rata diameter plot monokultur adalah sebesar 3,89 cm dengan tinggi 2,87 m dan panjang tajuk 261,14 cm. Pertumbuhan jabon pada plot campuran dari segi diameter, tinggi, dan panjang tajuk lebih besar dibandingkan pada plot monokultur. Hal ini disebabkan oleh pengaturan jarak tanam yang lebih lebar pada plot campuran, sehingga persaingan akan unsur hara lebih kecil. Persaingan yang kecil membuat pohon lebih optimal dalam pemanfaatan unsur hara dan air sehingga pertumbuhannya menjadi lebih baik. Pengaturan jarak tanam pada plot campuran dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Pola tanam plot campuran dengan jarak tanam 3,0 x 2,5 m (● = jabon; ▲= sengon; X= suren; ■ = jati)


(23)

Jarak tanam pada plot monokultur yang lebih rapat meningkatkan kompetisi antar tanaman terhadap unsur hara. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman pada plot monokultur lebih lambat dibandingkan dengan plot campuran. Pengaturan jarak tanam pada plot monokultur dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Pola tanam plot monokultur dengan jarak tanam 3 x 2 m (● = jabon)

Selain itu kondisi tanah pada plot monokultur yang tergolong tanah berbatu dapat menjadi salah satu faktor yang membuat pertumbuhan diameter, tinggi, dan panjang tajuk lebih kecil. Akar akan lebih sulit melakukan penetrasi pada tanah berbatu sehingga perolehan unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kurang optimal.

Perkembangan akar sangat erat kaitannya dengan perkembangan tajuk. Menurut konsep fisiologi, pertumbuhan akar didasarkan atas keseimbangan morfogenetik antara akar dan tajuk tanaman. Dengan kata lain bahwa semakin panjang dan banyaknya jumlah akar mengakibatkan pertumbuhan tajuk menjadi lebih baik (Suryanto et al. 2005). Panjang akar pada plot campuran lebih panjang daripada plot monokultur. Hal ini berpengaruh pada pertumbuhan tajuk dimana


(24)

tajuk pada plot campuran juga lebih panjang daripada plot monokulutur (Gambar 5 dan Gambar 6).

Gambar 5 Kondisi plot campuran Gambar 6 Kondisi plot monokultur

Ukuran tajuk merupakan komponen penting dalam pertumbuhan dan terdapat hubungan yang erat antara ukuran tajuk dengan potensi pertumbuhan pohon. Tajuk pohon yang luas akan memperbesar proses fotosintesis yang terjadi pada pohon sehingga pertumbuhannya juga semakin cepat (Raharjo 2008). Hal ini terlihat pada plot campuran yang memiliki tajuk yang lebih lebar dari pada plot monokultur memiliki pertumbuhan diameter dan tinggi yang lebih besar pula.

5.5 Rekomendasi Tanaman Semusim yang Cocok Ditanam di Bawah Tegakan Jabon Monokultur dan Campuran

Sistem agroforestri dicirikan oleh keberadaan komponen pohon dan tanaman semusim dalam ruang dan waktu yang sama. Kondisi ini mengakibatkan pengurangan bidang olah bagi budidaya tanaman semusim karena perkembangan tajuk. Oleh karena itu dinamika ruang sistem agroforestri sangat ditentukan oleh karakteristik komponen penyusun dan sistem budidaya pohon. Namun kondisi fisik lahan dan pola agroforestri yang dikembangkan juga menjadi faktor penentu (Suryanto et al. 2005).

Sistem agroforestri memiliki beberapa keuntungan baik terhadap kondisi fisik pohon maupun terhadap kondisi tempat tumbuh. Menurut Marsono (1992) keuntungan biologis tegakan agroforestri adalah perakaran pada pola agroforestri memanfaatkan profil tanah lebih baik dan menambah daya tahan terhadap angin


(25)

bila jenis berakar dangkal (tanaman semusim) dicampur dengan tanaman berakar dalam (tanaman kehutanan). Selain itu ruang tajuk dimanfaatkan lebih baik dan penutupan lebih baik terutama bila dicampur terdiri dari jenis toleran dan intoleran.

Pohon merupakan komponen penting dalam agroforestri lorong (alley cropping) dan pohon pembatas (trees along border). Karakteristik penting yang perlu dipertimbangkan adalah arsitektur tajuk meliputi lebar, kedalaman serta volume tajuk dan karakter pertumbuhan yaitu jenis pertumbuhan cepat (fast growing species) atau lambat (slow growing species). Sifat lain yang penting adalah sistem perakaran yaitu morfologi, intensitas, dan penyebaran akar. Karakter pohon yang terekspresikan sangat mempengaruhi dalam penangkapan dan penggunaan sumberdaya, sehingga sangat berpengaruh dalam sistem berbagi sumberdaya (resources sharing) dalam sistem agroforestri (Suryanto et al. 2005).

Pengembangan sistem agroforestri dapat dilakukan dengan kombinasi jenis antara tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian yang ideal. Bentuk kombinasi atau polanya disesuaikan dengan bentuk dan struktur tajuk, sistem perakaran, dan sifat serta kebutuhan sinar matahari (Satjapradja 1982). Dari hasil pengamatan pada tegakan jabon monokultur dan campuran dapat diberikan beberapa rekomendasi tanaman semusim dari beberapa literatur berdasarkan kondisi ketinggian tempat, curah hujan, suhu, kelembaban dan intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh tanaman pertanian. Beberapa jenis tanaman semusim yang dapat direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rekomendasi tanaman pertanian untuk plot jabon monokultur dan campuran

Jenis Ketinggian

(mdpl) CH (mm/tahun) T (°C) RH (%) Intensitas Cahaya (%)

Lengkuas 1−1200 2500−4000 25−29 80−85 -

Serai 200−1000 1800−2500 18−25 60−90 -

Kencur 100−700 1500−4000 19−30 80−85 -

Kapulaga 200−1000 2500−4000 20−30 70−85 30−70

Kunyit 10−1220 240−2000 19−30 80 30−70

Umbi garut 0−900 1500−2000 25−30 80 30−70


(26)

5.5.1 Lengkuas

Lengkuas (Lenguas galanga atau Alpinia galanga) sering dipakai oleh kaum wanita dikenal sebagai penyedap masakan. Lengkuas termasuk terna tumbuhan tegak yang tinggi batangnya mencapai 2−2,5 m. Lengkuas dapat hidup di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi, lebih kurang 1200 m dpl. Lengkuas mempunyai batang pohon yang terdiri dari susunan pelepah-pelepah daun. Daunnya berbentuk bulat panjang dan antara daun yang terdapat pada bagian bawah terdiri dari pelepah-pelepah saja, sedangkan bagian atas batang terdiri dari pelepah-pelepah lengkap dengan helaian daun. Bunganya muncul pada bagian ujung tumbuhan. Rimpang umbi lengkuas selain berserat kasar juga mempunyai aroma yang khas (Taufik 2011).

Lengkuas dapat hidup pada daerah dengan curah hujan 2500−4000

mm/tahun dengan suhu 25−29ºC dan kelembaban sebesar 80−85%. Tanaman

lengkuas dapat diperbanyak dengan rimpang atau biji, namun umumnya lebih mudah diperbanyak dengan menggunakan rimpang. Rimpang yang baik untuk bibit adalah bagian ujungnya. Pengolahan tanah dilakukan dengan menggemburkan tanah dan dibuat guludan. Pupuk yang digunakan meliputi pupuk kandang, kompos, dan pupuk buatan. Juga diperlukan bahan-bahan kimia untuk pemberantasan gulma. Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 2,5 – 3 bulan, dan jangan lebih tua dari umur tersebut, karena rimpang akan mengandung serat kasar yang tidak disukai di pasaran (Taufik 2011).

5.5.2 Serai

Tanaman serai wangi sudah sejak lama dibudidayakan di Indonesia. Tanaman serai wangi memiliki bentuk daun yang lebih lebar dibandingkan bentuk serai wangi biasa. Daunnya membentuk rumpun yang lebih besar dengan jumlah batang lebih banyak. Warna daun lebih tua (hijau tua), sedangkan serai biasa berdaun hijau muda agak kelabu. Ciri-ciri tanaman serai adalah merupakan tanaman berumpun dengan akar serabut dalam jumlah banyak, daun pipih memanjang menyerupai alang-alang dengan panjang daun mencapai 1 m. Tanaman serai dapat hidup pada ketinggian 200−1000 m dpl dengan curah hujan 1800−2500 mm/tahun. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan serai berkisar antara 18−25ºC dengan kelembaban 60−90%. Kondisi ini sesuai dengan tegakan


(27)

jabon campuran dan monokultur sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu tanaman yang dapat direkomendasikan (Rizal 2011).

5.5.3 Kencur

Kemampuan penyesuaian tanaman kencur terhadap lingkungan tumbuh cukup tinggi. Tanaman ini mempunyai daya produksi tinggi di daerah yang mempunyai kondisi iklim meliputi curah hujan 1500−4000 mm/tahun. Suhu udara 19−300C dan kelembaban sebesar 80−85% dengan ketinggian tempat antara 100−700 mdpl. Kencur cocok ditanam pada jenis tanah lempung berpasir dengan struktur remah dan kaya humus (Rukmana 1994).

Bibit kencur bersal dari pohon yang sudah tua dengan ditanam langsung atau dengan ditunaskan terlebih dahulu. Tanaman kencur dapat dipanen pada umur 6−8 bulan dan dapat ditunda pada musim berikutnya karena tidak akan ada efek buruk terhadap rimpang. Namun jika ditunda sampai musim berikutnya lagi kemungkinan rimpang akan membusuk dan kadar patinya menurun. Produksi rimpang dapat mencapai 6−10 ton/ha dimana variasi produksi dipengaruhi oleh kesuburan tanah, jenis kencur dan pemeliharaan selama penanaman (Rukmana 1994).

5.5.4 Kapulaga

Kapulaga atau kardamon termasuk golongan Scitamineae famili Zingiberaceae. Tanaman ini mempunyai umbi batang yang agak besar dengan batang semu yang tingginya mencapai 2−3 meter. Daunnya berbentuk tombak, berujung runcing, berwarna hijau, agak licin atau sedikit berbulu (Indo 1989).

Kapulaga dapat tumbuh pada ketinggian 200−1000 m dpl dengan curah hujan 2500−4000 mm/tahun. Suhu yang dikehendaki berkisar antara 20−300C

dengan kelembaban antara 70%−85%. Kapulaga membutuhkan intensitas cahaya

sebesar 30−70%. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah-daerah yang bertipe iklim A, B, dan C menurut sistem Schmidt dan Ferguson. Jenis tanah yang baik untuk pertumbuhan kapulaga lokal atau sabrang adalah latosol, andosol, alluvial, podsolik merah kuning, dan mediteran (Falah 2011).

Kapulaga dikembangbiakkan secara vegetatif dan generatif. Pembiakan vegetatif menggunakan umbi sedangkan pembiakan secara generatif dengan


(28)

menggunakan biji. Pembiakan secara vegetatif dilakukan dengan mengambil rumpun-rumpunnya. Satu bibit terdiri dari satu batang yang tua dan satu batang yang muda. Pembiakan secara vegetatif lebih mudah dibandingkan dengan pembiakan secara generatif (Indo 1989).

5.5.5 Kunyit

Kunyit merupakan salah satu tanaman obat potensial. Selain sebagai bahan baku obat juga dipakai sebagai bumbu dapur dan zat pewarna alami. Kunyit termasuk tumbuhan berbatang semu. Tinggi tanaman mencapai 1,5 m, berbunga majemuk berwarna putih sampai kuning muda, berdaun tunggal dengan panjang daun 20−40 cm dan lebar 8,0−12,5 cm, dan warna hijau pucat. Tanaman menghasilkan rimpang berwarna kuning jingga, kuning jingga kemerahan sampai kuning jingga kecoklatan. Anak rimpang letaknya lateral dan bentuknya seperti jari dengan panjang rimpang 2−10 cm dan diameter 1−2 cm (Raharjo dan Rostiana 2005).

Kunyit dapat tumbuh pada ketinggian 10−1220 mdpl dengan curah hujan sebesar 1500−4000 mm/tahun. Tumbuhan ini dapat tumbuh optimal pada suhu 19−300C dengan kelembaban sebesar 80%. Bibit kunyit yang baik berasal dari pemecahan rimpang, karena lebih mudah tumbuh. Syarat bibit yang baik berasal dari tanaman yang tumbuh subur, segar, sehat, berdaun banyak dan hijau, kokoh, terhindar dari serangan penyakit, dan memiliki kadar air yang cukup. Kunyit dapat dipanen pada umur 11−12 bulan, yaitu pada saat gugurnya daun kedua. Ciri-ciri tanaman kunyit siap dipanen ditandai dengan berakhirnya pertumbuhan vegetatif, seperti terjadi kelayuan/perubahan warna daun dan batang yang semula hijau berubah menjadi kuning.

5.5.6 Umbi garut

Umbi Garut (Marantha arrundinaceae L.F) merupakan salah satu jenis umbi-umbian sebagai sumber pati dan serat yang sangat potensial sebagai bahan baku industri, seperti industri tekstil, industri kertas, industri kosmetik, industri pangan, dan industri farmasi. Keunggulan tanaman garut adalah mampu tumbuh maksimal di bawah naungan dengan intensitas cahaya minimal, tumbuh pada tanah miskin hara, dan tidak membutuhkan perawatan khusus. Tanaman garut


(29)

yang diambil hasilnya adalah rimpang atau umbi yang dapat langsung dikonsumsi atau diolah menjadi tepung dan emping garut. Emping garut adalah makanan yang sehat karena tidak menyebabkan asam urat seperti emping melinjo. Tepung garut dapat diolah menjadi berbagai produk lain seperti kerupuk garut dan dapat digunakan sebagai pengganti gandum sebagai bahan pembuat roti (Ranistia 2011).

Umbi garut merupakan rhizoma dari tanaman garut. Berwarna putih dan dibungkus dengan sisik-sisik secara teratur. Sisik-sisik ini berwarna putih sampai coklat tua. Rhizoma garut mempunyai panjang 20−45 cm dan diameter sekitar 2,5 cm. Pada rhizoma garut terdapat rambut-rambut terutama pada sisik umbi. Umbi Garut tumbuh baik pada lahan dengan ketinggian mulai dari 0−900 m dpl serta yang paling baik pada ketinggian antara 60−90 m, dengan keadaan tanah lembab dan lingkungan terlindung di bawah pohon tinggi, misalnya kelapa, sengon bahkan jengkol, dan petai. Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan umbi garut berkisar antara 1500−2000 mm/tahun dengan suhu sebesar 25−30ºC dan kelembaban sebesar 80%. Dari syarat tumbuh tersebut umbi garut dapat dikatakan sesuai untuk ditanam pada tegakan jabon monokultur dan campuran (Ranistia 2011).

5.5.7 Jahe

Jahe termasuk ke dalam divisi Spermathophyta, sudivisi Angiospermae, klas Monocotyledonaeae, ordo Zingiberales dan famili Zingiberaceae serta genus Zingiber. Tanaman ini merupakan tanaman terna tahunan dengan batang semu yang tumbuh tegak. Tanaman jahe terdiri atas bagian akar, batang, daun, dan bunga. Tanaman jahe dapat diperbanyak dengan beberapa cara. Cara yang paling banyak digunakan adalah dengan cara vegetatif dengan menggunakan rimpang. Adapun cara vegetatif lainnya adalah dengan menggunakan rumpun (Paimin dan Murhananto 2007).

Tanaman jahe membutuhkan curah hujan relatif tinggi, yaitu antara 2.500−4.000 mm/tahun. Suhu udara optimum untuk budidaya tanaman jahe antara 20−35oC. Jahe tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis dengan ketinggian 0−2.000 m dpl. Tanaman jahe paling cocok ditanam pada tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung humus. Tekstur tanah yang baik adalah lempung berpasir, liat berpasir dan tanah laterik. Pada lahan dengan kemiringan >3%


(30)

dianjurkan untuk dilakukan pembuatan teras. Teras bangku sangat dianjurkan bila kemiringan lereng cukup curam. Hal ini untuk menghindari terjadinya pencucian lahan yang mengakibatkan tanah menjadi tidak subur dan benih jahe hanyut terbawa arus (Oktora 2012).


(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase penutupan tajuk pada plot campuran lebih kecil daripada plot monokultur. Namun persentase penutupan tajuk pada kedua plot tergolong tajuk sedang, yaitu cahaya matahari masih bisa masuk atau menembus sampai ke permukaan tanah berkisar antara 25%−75%.

2. Panjang akar pada plot campuran lebih panjang dan lebih dalam daripada plot monokultur. Pada kedua plot belum terdapat akar yang saling tumpang tindih dikarenakan umur tanaman yang masih muda.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kondisi tanah pada setiap plot contoh.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada saat tegakan jabon lebih tua untuk melihat perakaran jabon.

3. Tanaman tumpang sari yang rekomendasikan adalah lengkuas, serai, kencur, kapulaga, kunyit, umbi garut, dan jahe.


(32)

PANJANG DAN KEDALAMAN

AKAR LATERAL JABON

DI DESA CIBENING, KECAMATAN PAMIJAHAN,

KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

IFTITAH RHAHMI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Anthocephalus cadamba. [terhubung berkala]. http://www.agroforestry.net [20 Nov 2011].

Budiadi. 2005. Agroforestri mungkinkah mengatasi permasalahan lingkungan dan sosial. [terhubung berkala]. http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option= com _k2&view=item&id=104:agroforestri-mungkinkah-mengatasi-permasalahan-soial-dan-lingkungan [20 Nov 2011].

[BP4K] Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. 2010. Goegrafis kabupaten Bogor. [terhubung berkala] http://bp4k.bogorkab.go.id /index.php?option=com_content&view=article&id=61:geografi-kabupaten-bogor&catid=42:artikel&Itemid=60 [6 Juli 2012].

Dahana K, Warisno S. 2011. Peluang Investasi Jabon Tanaman Kayu Masa Depan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

De Foresta H, Kusworo A, Minchon G, Djatmiko WA. 2000. Agroforest Khas Indonesia. Bogor: ICRAF.

[DIRJEN] Direktorat Jenderal Kehutanan, Departeman Kehutanan. 1980.

Pedoman Pembuatan Tanaman. Jakarta: Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi.

Falah RN. 2011. Budidaya kapulaga. [terhubung berkala] http://lukmanul456h. wordpress.com/budidaya-kapulaga/ [15 Mei 2012].

Hairiah K, Sardjono AM, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor: ICRAF.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya.

Indo AM. 1989. Kapulaga, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya.

Jumin HB. 1989. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: CV Rajawali.

Karmana O. 2006. Biologi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Lahjie AM. 2004. Teknik Agroforestri. Samarinda: Universitas Mulawarman Samarinda.

Mahendra F. 2009. Sistem Agroforetri dan Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mansur I, Tuhateru FD. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya.


(34)

Marsono D.1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mulyana D, Asmarahman C, Fahmi I. 2010. Bertanam Jabon : Investasi Kayu yang Cepat dan Menguntungkan. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Notohadiprawiro T. 1981. Pemapanan Agroforestry Selaku Bentuk Pemanfaatan Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Yogyakarta: Universitas GajahMada.

Oktora N. 2012. Teknik budidaya jahe. [terhubung berkala]. http://catatantora. blogspot.com/2012/01/budidaya-tanaman-jahe.html [15 Mei 2012]

Paimin FB, Murhananto. 2007. Jahe. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rahrjo JT, Sadono R. 2008. Model tajuk jati (Tectona grandis L.F) dari berbagai famili pada uji keturunan umur 9 tahun. J Ilmu Kehutanan 2(2):89-95.

Raharjo M, Rostiana O. 2005. Budidaya Tanaman Kunyit. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ranistia A. 2011. Umbi garut dan kandungan gizinya. [terhubung berkala]. http://ranistiaa.blogspot.com/2011/10/umbi-garut-dan-kandungangizinya.html [15 Mei 2012].

Rizal E. 2011. Budidaya serai wangi. [terhubung berkala].http://edirizal24. blogspot.com/2011/05/psk-budidaya-serai-wangi.html[15 Mei 2012].

Rukmana R. 1994. Kencur. Yogyakarta : Kanisius.

Rusdiana O, Fakuara Y, Kusmana C, Hidayat Y. 2000. Respon pertumbuhan akar tanaman sengon (Paraserienthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah kuning. J Manaj Hut Trop 11(2):43-53. Satjapradja O. 1982. Suatu usaha terpadu antara kehutanan dan budidaya

pertanian lainnya untuk meningkatkan kemakmuran petani di sekitar hutan. J Litbang pertanian 1(2):45-48.

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisi Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sukandi T, Sumarhani, Murniati. 2002.Informasi teknis pola wanatani (agroforestry). J Litbang Kehutanan 4(2):56-59.

Suryanto P, Tohari, Sabarnurdin MS. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya (Resouces Sharing) dalam agroforestri: dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. J Ilmu Pertanian 12(2):165-178.


(35)

Taufik. 2011. Budidaya tanaman obat lengkuas. [terhubung berkala]. http://tau fikagt.blogspot.com/2011/10/budidaya-tanaman-obat-lengkuas.html[15 Mei 2012].

Tjitrosoepomo G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(36)

PANJANG DAN KEDALAMAN

AKAR LATERAL JABON

DI DESA CIBENING, KECAMATAN PAMIJAHAN,

KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

IFTITAH RHAHMI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(37)

PANJANG DAN KEDALAMAN

AKAR LATERAL JABON

DI DESA CIBENING, KECAMATAN PAMIJAHAN,

KABUPATEN BOGOR, JAWA BARAT

IFTITAH RHAHMI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(38)

RINGKASAN

IFTITAH RHAHMI. Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) merupakan salah satu tanaman kehutanan yang saat ini banyak dikembangkan dalam hutan tanaman atau hutan rakyat. Tanaman jabon yang tergolong ke dalam jenis tanaman cepat tumbuh (Fast Growing Species) dengan bentuk batang yang lurus dan silindris membuat jabon sangat diminati untuk bahan baku industri kayu. Namun, perkembangan jabon yang cukup pesat belum diikuti dengan penggunaan lahan dengan sistem agroforestri. Penggunaan lahan dengan sistem agroforestri dengan pola yang tepat dapat meningkatkan pendapatan secara ekonomis dan sekaligus dapat melakukan kegiatan konservasi tanah dan air di bawah tegakan. Pengaturan pola tanam yang baik dipengaruhi oleh sistem perakaran tanaman. Hal ini berkaitan dengan kompetisi penyerapan unsur hara antara tanaman pokok dan tanaman pertanian. Selain itu perakaran juga mempengaruhi pertumbuhan tajuk yang nantinya berpengaruh terhadap ketersediaan cahaya matahari untuk tanaman pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji panjang dan kedalaman akar lateral jabon serta mengkaji suhu, kelembaban dan persentase penutupan tajuk pada pola campuran dan pola monokultur. Manfaat dari penelitian ini adalah memberi referensi jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran, suhu, kelembaban, dan persentase penutupan tajuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang dan kedalaman akar jabon pada pola campuran lebih panjang dan dalam daripada panjang dan kedalaman akar jabon pada pola monokultur. Suhu pada pola monokultur lebih rendah dengan kelembaban yang lebih tinggi daripada pola campuran. Persentase penutupan tajuk pada pola monokultur lebih besar daripada pola campuran. Pengaturan jarak tanam yang tepat antara tanaman pokok dengan tanaman pertanian sangat diperlukan untuk menghindari kompetisi nutrisi, air dan cahaya.


(39)

SUMMARY

IFTITAH RHAHMI. Length and Depth Jabon’s Lateral Root in Cibening Village, Pamijahan, Bogor, West Java. Supervised by NURHENI WIJAYANTO.

Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) is one of the current tree species that have been cultivated in plantation forest and social forest. Jabon belongs to fast growing species with straight and cylindrical shape, made jabon as the most wanted raw material for wood industry. However, the expansion of jabon is not in line yet with land utilization by agroforestry system. Land utilization by using appropriate agroforestry system could increase economic income at the same time provide soil and water conservation underneath the tree stand. Good cultivation system arrangement was influenced by rooting system. This is related to the absorption of nutrient elements between staple crops and agriculture crop. In addition root system affects the growth of crown that would influence the availability of sunlight to agricultural crops. This research aims to find out jabon’s rooting systems in a mixed and monoculture pattern. The benefits of this research is to give a reference agricultural crops in accordance with condition of the rooting. The results showed that the rooting in the mix and monoculture pattern has a long and deep roots that are almost the same. Setting the right planting distance between staple crops and agricultural crops are necessary to avoid competition of nutrients, water and light.


(40)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012 Iftitah Rhahmi NRP E44080011


(41)

Judul Skipsi : Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Nama Mahasiswa : Iftitah Rhahmi

NRP : E44080011

Menyetujui : Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009


(42)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Alllah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Pebruari 2012 adalah Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Agroforestri merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang saat ini dijadikan sebagai alternatif solusi penurunan kualitas dan kuantitas lahan akibat adanya kegiatan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Pengembangan sistem agroforestri juga diikuti dengan penelitian yang berkaitan dengan pengaturan ruang tumbuh untuk mengurangi terjadinya kompetisi ruang, air, nutrisi dan kelembaban. Karya ilmiah ini menjelaskan tentang sistem perakaran jabon pada dua pola tanam yaitu pola campuran dan pola monokultur yang ditunjang dengan beberapa pengaruh lingkungan seperti suhu, kelembaban, persentase penutupan tajuk dan dimensi pohon. Kondisi dari kedua pola nantinya akan mempengaruhi pemilihan tanaman pertanian yang akan dikombinasikan dengan tanaman jabon.

Harapan penulis ialah semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kehutanan, khususnya silvikultur.

Bogor, Juli 2012 Iftitah Rhahmi


(43)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran dan motivasinya kepada penulis. 2. Ayahanda Hasanin, S.Sos dan ibunda tercinta Idarniati, S.Sos serta adik

tersayang Qurrata Ayunin dan keluarga besar di Aceh yang telah memberikan kasih sayang, semangat serta doa kepada penulis.

3. Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS sebagai komisi pendidikan yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi.

4. Dhinda Hidayanthi, Khoryfatul Munawaroh, Fitria Dewi Kusuma dan Sri Susanti yang telah membantu penulis saat penelitian.

5. Ida, Lita, Dekya, Putri, Febri beserta keluarga besar Silvikultur 45 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan, dukungan serta semangatnya.

6. Seluruh dosen, tenaga pendidik dan karyawan maupun karyawati di Departemen Silvikultur, Fahutan IPB, yang selalu membantu penulis selama masa perkuliahan.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.


(44)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lhokseumawe pada tanggal 27 Desember 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Hasanin, S.Sos dan Idarniati, S.Sos. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Plus Al-Azhar Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis diterima di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Gentra Kaheman tahun 2008-2009, sekretaris II Tree Grower Community (TGC) tahun 2010-2011, staf Scientific Improvement tahun 2011-2012, staf Kementerian Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan tahun 2011-2012. Selain itu, penulis juga aktif di kepanitiaan kegiatan kemahasiswaan dan pernah menjadi asisten praktikum dalam mata kuliah Silvikultur tahun 2011. Penulis juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di jalur Pangandaran dan Gunung Sawal tahun 2010. Penulis melaksanakan Praktek Pembinaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Kabupaten Sukabumi tahun 2011. Penulis juga telah melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di KPH Banyuwangi Barat periode Pebruari sampai dengan April 2012.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS.


(45)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xii DAFTAR GAMBAR ... xiii BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang ... 1 1.2Perumusan Masalah ... 2 1.3Tujuan ... 3 1.4Manfaat Penelitian ... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1.1Pengertian Agroforestri ... 4 1.2Pola Tanam... 5 1.3Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) ... 5 1.4Keterangan Botani ... 6 1.5Morfologi dan Ciri Umum Jabon ... 7 1.6Penyebaran ... 8 1.7Syarat Tumbuh ... 8 1.8Hama dan Penyakit ... 9 1.9Sistem Perakaran ... 9 BAB III METODOLOGI

1.1Waktu dan Tempat Penelitian ... 12 1.2Alat dan Bahan ... 12 1.3Metode Pengumpulan Data ... 12 1.4Metode Kerja ... 13 1.4.1 Penentuan Peletakan Plot Sampling ... 13 1.4.2 Pengukuran Persentase Penutupan Tajuk... 13 1.4.3 Pengukuran Suhu dan Kelembaban ... 13 1.4.4 Pengukuran Panjang dan Kedalaman Akar ... 14 1.4.5 Pengukuran Dimensi Pohon ... 14 1.4.6 Pengamatan ... 14 1.4.7 Analisis Data ... 14


(46)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1.5Persentase Penutupan Tajuk ... 15 1.6Suhu dan Kelembaban... 16 1.7Panjang dan Kedalaman Perakaran ... 18 1.8Dimensi Pohon ... 21 1.9Rekomendasi Tanaman Semusim yang Cocok Ditanam di Bawah

Tegakan Jabon Monokultur dan Campuran ... 24 1.9.1 Lengkuas ... 26 1.9.2 Serai... 26 1.9.3 Kencur ... 27 1.9.4 Kapulaga ... 27 1.9.5 Kunyit ... 28 1.9.6 Umbi garut ... 28 1.9.7 Jahe ... 29 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

4.1Kesimpulan ... 31 4.2Saran ... 31 DAFTAR PUSTAKA ... 32


(47)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Persentase penutupan tajuk pada plot campuran dan monokultur ... 15 2 Suhu dan kelembaban pada plot campuran dan monokultur ... 17 3 Panjang dan kedalaman perakaran pada plot campuran dan monokultur 19 4 Rata-rata diameter, tinggi dan panjang tajuk ... 22 5 Rekomendasi tanaman pertanian untuk plot jabon monokultur dan campuran 25


(48)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Akar pada plot campuran ... 20 2 Akar pada plot monokultur ... 20 3 Pola tanam plot campuran ... 22 4 Pola tanam plot monokultur ... 23 5 Kondisi plot campuran ... 24 6 Kondisi plot monokultur ... 24


(49)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat tiap tahunnya menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Peningkatan ini diikuti oleh peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan papan yang dapat diperoleh dari hasil hutan dan hasil pertanian. Penurunan kuantitas lahan pertanian membuat masyarakat melakukan kegiatan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian. Namun banyaknya kegiatan alih fungsi lahan hutan tersebut membuat kualitas lahan ikut menurun sehingga mempercepat terjadinya degradasi lahan.

Pengelolaan lahan yang diperlukan ialah jenis upaya yang dapat mengatasi beberapa masalah, di antaranya pengelolaan lahan yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk namun juga mampu menjaga kondisi tanah dan lingkungan. Salah satu solusi yang telah dikembangkan saat ini adalah penerapan sistem agroforestri.

Agroforestri adalah suatu sistem penggunaan lahan yang merupakan perpaduan kegiatan kehutanan, perkebunan/tanaman industri, tanaman pangan, peternakan dan perikanan ke arah usaha tani terpadu sehingga tercapai optimalisasi penggunaan lahan. Pengembangan sistem agroforestri diharapkan dapat memecahkan masalah penggunaan lahan sehingga kebutuhan manusia yang beraneka macam seperti pangan, sandang, obat-obatan, kayu dan lingkungan hidup yang sehat dapat terpenuhi (Satjapradja 1982).

Agroforestri adalah salah satu sistem penggunaan lahan yang berfungsi produktif dan protektif sehingga sering kali dijadikan sebagai suatu sistem pengelolaan lahan yang berkelanjutan. Namun penggunaan sistem agroforestri selalu dihadapkan pada berbagai tantangan seperti tingkat naungan yang cukup tinggi dan kemungkinan terjadinya kompetisi ruang, air, nutrisi dan kelembaban. Hal ini menyebabkan tanaman tumpangsari yang dibudidayakan di bawah tegakan pohon memperoleh intensitas cahaya yang rendah dan dapat menurunkan produktivitas dari tanaman tumpangsari atau bahkan pohon itu sendiri. Permasalahan ini dapat dikendalikan dengan pemilihan jenis tanaman tumpangsari


(50)

yang sesuai dengan tanaman pokok. Kesesuaian tersebut dapat dilihat dari kondisi fisiologis pohon seperti kondisi tajuk dan perakaran yang nantinya berpengaruh terhadap pengaturan jarak tanam yang ideal.

Salah satu tanaman kehutanan yang saat ini banyak dikembangkan menjadi hutan tanaman atau hutan rakyat adalah jabon (Anthocephalus cadamba). Jabon merupakan jenis pionir asli Indonesia dan memiliki penyebaran alami yang luas dari Aceh sampai Papua. Jenis pohon ini banyak dijumpai di lahan terbuka bekas tebangan atau di kanan-kiri jalan logging. Jabon juga banyak dijumpai di lahan-lahan bekas tambang khususnya di Kalimantan, tumbuh alami di tempat-tempat terbuka maupun di sela-sela Acacia mangium yang telah ditanam terlebih dahulu sebagai upaya reklamasi lahan bekas tambang. Saat ini jabon merupakan salah satu tanaman komersial di Indonesia (Mansur dan Tuheteru 2010). Namun penelitian yang berkaitan dengan tanaman jabon, khususnya perkembangan jabon dalam sistem agroforestri masih sangat minim dengan perkembangan jabon yang cukup pesat. Berdasarkan uraian maka diperlukan suatu penelitian mengenai panjang dan kedalaman akar latera jabon (A. cadamba) di Desa Cibening Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor untuk mengetahui jenis tanaman tumpangsari atau tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran jabon.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah semakin meningkatnya kegiatan alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman yang menimbulkan peningkatan degradasi lahan sehingga dibutuhkan suatu penerapan agroforestri yang tepat. Penerapan sistem agroforestri yang tepat dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor pendukung dalam suatu tegakan seperti persentase penutupan tajuk, suhu, kelembaban dan perkembangan perakaran pohon. Faktor-faktor tersebut nantinya akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengkombinasian tanaman dalam suatu tegakan.


(51)

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji tingkat persentase penutupan tajuk pada tegakan jabon campuran dan monokultur yang berusia 10 bulan.

2. Mengkaji panjang dan kedalaman akar lateral jabon untuk dijadikan sebagai referensi tanaman pertanian yang ideal.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini di antaranya adalah sebagai referensi ruang tumbuh tanaman pertanian pada tegakan jabon dan memberikan pengetahuan dalam penggunaan tanaman pertanian yang akan ditanam di lokasi penelitian dengan jenis tanaman yang berbeda.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Persentase penutupan tajuk pada plot campuran lebih kecil daripada plot monokultur. Namun persentase penutupan tajuk pada kedua plot tergolong tajuk sedang, yaitu cahaya matahari masih bisa masuk atau menembus sampai ke permukaan tanah berkisar antara 25%−75%.

2. Panjang akar pada plot campuran lebih panjang dan lebih dalam daripada plot monokultur. Pada kedua plot belum terdapat akar yang saling tumpang tindih dikarenakan umur tanaman yang masih muda.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kondisi tanah pada setiap plot contoh.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada saat tegakan jabon lebih tua untuk melihat perakaran jabon.

3. Tanaman tumpang sari yang rekomendasikan adalah lengkuas, serai, kencur, kapulaga, kunyit, umbi garut, dan jahe.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Anthocephalus cadamba. [terhubung berkala]. http://www.agroforestry.net [20 Nov 2011].

Budiadi. 2005. Agroforestri mungkinkah mengatasi permasalahan lingkungan dan sosial. [terhubung berkala]. http://io.ppijepang.org/v2/index.php?option= com _k2&view=item&id=104:agroforestri-mungkinkah-mengatasi-permasalahan-soial-dan-lingkungan [20 Nov 2011].

[BP4K] Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. 2010. Goegrafis kabupaten Bogor. [terhubung berkala] http://bp4k.bogorkab.go.id /index.php?option=com_content&view=article&id=61:geografi-kabupaten-bogor&catid=42:artikel&Itemid=60 [6 Juli 2012].

Dahana K, Warisno S. 2011. Peluang Investasi Jabon Tanaman Kayu Masa Depan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

De Foresta H, Kusworo A, Minchon G, Djatmiko WA. 2000. Agroforest Khas Indonesia. Bogor: ICRAF.

[DIRJEN] Direktorat Jenderal Kehutanan, Departeman Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Tanaman. Jakarta: Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi.

Falah RN. 2011. Budidaya kapulaga. [terhubung berkala] http://lukmanul456h. wordpress.com/budidaya-kapulaga/ [15 Mei 2012].

Hairiah K, Sardjono AM, Sabarnurdin S. 2003. Pengantar Agroforestri. Bogor: ICRAF.

Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Bogor: Pustaka Jaya.

Indo AM. 1989. Kapulaga, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya.

Jumin HB. 1989. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologis. Jakarta: CV Rajawali.

Karmana O. 2006. Biologi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Lahjie AM. 2004. Teknik Agroforestri. Samarinda: Universitas Mulawarman Samarinda.

Mahendra F. 2009. Sistem Agroforetri dan Aplikasinya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mansur I, Tuhateru FD. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya.


(3)

Marsono D.1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mulyana D, Asmarahman C, Fahmi I. 2010. Bertanam Jabon : Investasi Kayu yang Cepat dan Menguntungkan. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Notohadiprawiro T. 1981. Pemapanan Agroforestry Selaku Bentuk Pemanfaatan Lahan Menurut Kriteria Pengawetan Tanah dan Air. Yogyakarta: Universitas GajahMada.

Oktora N. 2012. Teknik budidaya jahe. [terhubung berkala]. http://catatantora. blogspot.com/2012/01/budidaya-tanaman-jahe.html [15 Mei 2012]

Paimin FB, Murhananto. 2007. Jahe. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rahrjo JT, Sadono R. 2008. Model tajuk jati (Tectona grandis L.F) dari berbagai famili pada uji keturunan umur 9 tahun. J Ilmu Kehutanan 2(2):89-95.

Raharjo M, Rostiana O. 2005. Budidaya Tanaman Kunyit. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ranistia A. 2011. Umbi garut dan kandungan gizinya. [terhubung berkala]. http://ranistiaa.blogspot.com/2011/10/umbi-garut-dan-kandungangizinya.html [15 Mei 2012].

Rizal E. 2011. Budidaya serai wangi. [terhubung berkala].http://edirizal24. blogspot.com/2011/05/psk-budidaya-serai-wangi.html[15 Mei 2012].

Rukmana R. 1994. Kencur. Yogyakarta : Kanisius.

Rusdiana O, Fakuara Y, Kusmana C, Hidayat Y. 2000. Respon pertumbuhan akar tanaman sengon (Paraserienthes falcataria) terhadap kepadatan dan kandungan air tanah podsolik merah kuning. J Manaj Hut Trop 11(2):43-53. Satjapradja O. 1982. Suatu usaha terpadu antara kehutanan dan budidaya

pertanian lainnya untuk meningkatkan kemakmuran petani di sekitar hutan. J Litbang pertanian 1(2):45-48.

Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisi Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sukandi T, Sumarhani, Murniati. 2002.Informasi teknis pola wanatani (agroforestry). J Litbang Kehutanan 4(2):56-59.

Suryanto P, Tohari, Sabarnurdin MS. 2005. Dinamika sistem berbagi sumberdaya (Resouces Sharing) dalam agroforestri: dasar pertimbangan penyusunan strategi silvikultur. J Ilmu Pertanian 12(2):165-178.


(4)

Taufik. 2011. Budidaya tanaman obat lengkuas. [terhubung berkala]. http://tau fikagt.blogspot.com/2011/10/budidaya-tanaman-obat-lengkuas.html[15 Mei 2012].

Tjitrosoepomo G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(5)

RINGKASAN

IFTITAH RHAHMI. Panjang dan Kedalaman Akar Lateral Jabon di Desa Cibening, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO.

Tanaman jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) merupakan salah satu tanaman kehutanan yang saat ini banyak dikembangkan dalam hutan tanaman atau hutan rakyat. Tanaman jabon yang tergolong ke dalam jenis tanaman cepat tumbuh (Fast Growing Species) dengan bentuk batang yang lurus dan silindris membuat jabon sangat diminati untuk bahan baku industri kayu. Namun, perkembangan jabon yang cukup pesat belum diikuti dengan penggunaan lahan dengan sistem agroforestri. Penggunaan lahan dengan sistem agroforestri dengan pola yang tepat dapat meningkatkan pendapatan secara ekonomis dan sekaligus dapat melakukan kegiatan konservasi tanah dan air di bawah tegakan. Pengaturan pola tanam yang baik dipengaruhi oleh sistem perakaran tanaman. Hal ini berkaitan dengan kompetisi penyerapan unsur hara antara tanaman pokok dan tanaman pertanian. Selain itu perakaran juga mempengaruhi pertumbuhan tajuk yang nantinya berpengaruh terhadap ketersediaan cahaya matahari untuk tanaman pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji panjang dan kedalaman akar lateral jabon serta mengkaji suhu, kelembaban dan persentase penutupan tajuk pada pola campuran dan pola monokultur. Manfaat dari penelitian ini adalah memberi referensi jenis tanaman pertanian yang sesuai dengan kondisi perakaran, suhu, kelembaban, dan persentase penutupan tajuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa panjang dan kedalaman akar jabon pada pola campuran lebih panjang dan dalam daripada panjang dan kedalaman akar jabon pada pola monokultur. Suhu pada pola monokultur lebih rendah dengan kelembaban yang lebih tinggi daripada pola campuran. Persentase penutupan tajuk pada pola monokultur lebih besar daripada pola campuran. Pengaturan jarak tanam yang tepat antara tanaman pokok dengan tanaman pertanian sangat diperlukan untuk menghindari kompetisi nutrisi, air dan cahaya.


(6)

SUMMARY

IFTITAH RHAHMI. Length and Depth Jabon’s Lateral Root in Cibening Village, Pamijahan, Bogor, West Java. Supervised by NURHENI WIJAYANTO.

Jabon (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.) is one of the current tree species that have been cultivated in plantation forest and social forest. Jabon belongs to fast growing species with straight and cylindrical shape, made jabon as the most wanted raw material for wood industry. However, the expansion of jabon is not in line yet with land utilization by agroforestry system. Land utilization by using appropriate agroforestry system could increase economic income at the same time provide soil and water conservation underneath the tree stand. Good cultivation system arrangement was influenced by rooting system. This is related to the absorption of nutrient elements between staple crops and agriculture crop. In addition root system affects the growth of crown that would influence the availability of sunlight to agricultural crops. This research aims to find out jabon’s rooting systems in a mixed and monoculture pattern. The benefits of this research is to give a reference agricultural crops in accordance with condition of the rooting. The results showed that the rooting in the mix and monoculture pattern has a long and deep roots that are almost the same. Setting the right planting distance between staple crops and agricultural crops are necessary to avoid competition of nutrients, water and light.