Penerapan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Sebagai Upaya Pencegahan Kerusakan Lingkungan Dalam Bidang Pertambangan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman. Hukum dan Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta: Program Pascasarjana FH - UI, 2001.

Aca Sugandhy dan Rustam Hakim. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan

Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

Akib, Muhammad. Politik Hukum Lingkungan : Dinamika dan Refleksinya Dalam

Produk Hukum Otonomi Daerah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Ahmad Husni M.D dan Bambang Sugiono Strategi Pendekatan Hukum Dalam Penyelesaian Masalah Lingkungan, Dalam Hukum dan Lingkungan Hidup

di Indonesia, Jakarta: Program Pascasarjana FH-UI, 2001.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Arifin, Syamsul. Aspek Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Medan: Medan Area University Press, 2014.

______. Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di

Indonesia. Jakarta: Sofmedia, 2014.

Azis, Iwan J. et.al. Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Konstribusi Emil

Salim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010.

Basah, Sjachran. Eksistensi dan Tolak Ukur badan Peradilan Administrasi di

Indonesia. Bandung: Alumni, 1997.

Bethan, Syamsuharya. Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasioanal ; Sebuah Upaya Penyelamatan

Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar generasi. Bandung: Alumni,

2008.

Budimanta, Arif. Corporate Social Responsibilty: Jawaban Bagi Model

Pembangunan Masa Kini. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable

Development, 2004.

E.Utrecht, Moh. Saleh Djindang. Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Cetakan XI). Jakarta: PT.Ichtiar Baru, 1983.

Fauzi, Akhmad. Ekonomi SDA dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.


(2)

H. Salim HS. Hukum Pertambangan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. _____. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta : Sinar Grafika,

2012.

Hadi, Sudharto. Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan. Semarang: BP Undip, 2002.

Helmi. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Jimly Asshiddiqie. Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Napitupulu, Albert. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan : Suatu

Tinjauan Teoritis dan Praktis. Bogor: IPB Press, 2013.

Notonagoro. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria. Jakarta: Bina Aksara, 1984.

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.

Rangkuti, Siti Sundari. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan

Nasional. Surabaya: Airlangga University Press, 1996.

Saleng, Abrar. Hukum Pertambangan. Yogyakarta : UIII Pres, 2004.

Sembiring, Simon F. Jalan Baru Untuk Tambang: Mengalirkan Berkah Bagi

Anak Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Siahaan, N. H. T. Hukum Lingkungan. Jakarta: Pancuran Alam, 2009

______. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta : Erlangga, 2004. Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,

2010.

Sunoto. Analisis Kebijakan dalam Pembangunan Berkelanjutan; Bahan Pelatihan

Analisis Kebijakan bagi Pengelolaan Lingkungan. Jakarta: Kantor Menteri

Negara Lingkungan Hidup, 1997.

Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Otto Soemarwoto. IndonesiaDalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Widjaja, Gunawan dan Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis


(3)

Watni, Syaiful. et.al. Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengembangan Masyarakat (Community Development) Dalam Kegiatan Usaha

Pertambangan. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan HAM RI, 2007.

Yusuf Wibisono Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (Corporate Social

Responsibility). Gresik: Fascho Publishing, 2007.

B. Peraturan Perundang - undangan

Peraturan Pemerintah No 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

Peraturan Menteri ESDM Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang

Undang-Undang Dasar RI 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah

C. Makalah/Buletin/Jurnal/Warta

Benny Hariyadi. “Peningkatan Nilai Tambah Untuk Keberlangsungan Pembangunan”, Warta Minerba, Edisi XIV, Jakarta 2012

Cecillia Margareth. “Lubang Tambang Bukan Akhir dari Segalanya”, Warta

Mineral dan Batubara, Edisi XIII, Jakarta 2012

Danny Z. Herman. “Pertambangan Tanpa Izin (PETI) dan Kemungkinan Alih Status Menjadi Pertambangan Skala Kecil”, Buletin Sumber Daya


(4)

Dwiyanto, Bambang. “Prospek dan Kendala Pengembangan sumber Daya Kelautan Dalam PJPT II (Forum Pendapat)”, Majalah Pertambangan

dan Energi, Edisi Desember 1997

H. Abdurrahman. “Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2011.

Mas Achmad Santosa. “Aktualisasi Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Dalam Sistem dan Praktik Hukum Nasional”, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III, 1996.

Mohamad anis. “Menjamin Pembangunan Yang Berkelanjutan”, Buletin Warta

Minerba, Edisi XII, 2012

Sudjatmiko. “RPP Tentang Reklamasi dan Pascatambang Sebagai Bagian Pelaksanaan UU Minerba”, Warta Mineral Batubara dan Panas Bumi, Edisi 5, 2009

D. Disertasi

Samekto, F.X Adji. “Keterkaitan Kapitalisme dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam kajian Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)”, Disertasi, Ilmu Hukum, pasca sarjana Undip, Semarang, 2004

E. Website

Analisis Filosofi UU Nomor 32 Tahun 2009. http://gagasanhukum.wordpress.com/2009/11/19/analisis-filosofi-uunomo -32-tahun-2009/.html (diakses pada tanggal 06 Februari 2012)

Arti Fungsi dan Pengertian Smelter

Instrumen Penegakan Hukum Lingkunga Januari 2016)

Kebijakan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia.


(5)

Mengenal Lebih Dekat Konsep Pertambangan Berkelanjutan dan Implementasinya di Indonesia.

2016)

Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Melalui CSR.

Opini : Illegal Mining.

Optimalisasi Sektor Pertambangan Melalui UU Minerba. http://esdm.go.id/berita/

2016)

Pertambangan Illegal dan Potensi Kerugian Rakyat

Pertambangan Ilegal di Indonesia dan permasalahannya. (diakses tanggal 6 Januari 2016)

PNBP Sektor Pertambangan 2015 Sebesar Rp 40,6 triliun. nga 2016)

Strategi Pembangunan Berkelanjutan pada Sektor Pertambangan di Indonesia. Februari 2016)

Teknik Pertambangan dan Umum. http://adinegoromining.blogspot.co.id /2011/05/AMDAL-analisa-mengenai dampak. html (diakses pada tanggal Minggu 18 Maret 2016)

Strategi Pembangunan Berkelanjutan pada Sektor Pertambangan di Indonesia. Februari 2016)

Februari 2016)


(6)

53 BAB III

TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN DALAM MENGELOLA SDA DAN LINGKUNGAN HIDUP DIKAITKAN

DENGAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

C. Perkembangan Hukum dalam Penerapan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang paling ideal dan diharapkan oleh semua pihak. Hal ini disebabkan pembangunan berkelanjutan akan memenuhi masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang, 61 dengan prinsip yang ditekankan kepada keadilan dan kesetaraan antar generasi. Kondisi tersebut dapat tercapai mengingat pembangunan berkelanjutan ini bukan hanya memerhatikan keuntungan ekonomi semata. Menurut Munasinghe, pembangunan berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu tujuan ekonomi

(economic objective), tujuan ekologi (ecological objective) dan tujuan sosial

(social objective) . Adanya perhatian terhadap aspek ekologi ini mengindikasikan

bahwa perlindungan terhadap fungsi lingkungan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan suatu sistem.62

Pembangunan berkelanjutan dapat dikatakan sebagai suatu usaha pembangunan untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia masa kini dengan tetap memperhatikan hak generasi yang masa mendatang. Menurut Otto Soemarwoto,

61

Surna T Djajadiningrat, Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan (Bandung:Studio Tekno Ekonomi, Fakultas Teknologi Industri ITB, 2001), hlm. 27.

62

Albert Napitupulu, Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan : Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis ( Bogor : IPB Press, 2013), hlm. 2.


(7)

pembangunan ini tidak bersifat serakah untuk kepentingan anak cucu dengan berusaha meninggalkan sumber daya yang cukup dan lingkungan hidup yang sehat serta dapat mendukung kehidupan mereka dengan sejahtera.63

Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan (United Nations Conference on Environment and Development) yang diadakan di Rio de Janeiro pada tahun 1992 merupakan kritik terhadap konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan (ecodevelopment) yang dianggap gagal karena tidak membawa perubahan signifikan. Berkat dari pekerjaan yang serius dari komisi dunia pembangunan dan lingkungan atau dikenal sebagai The World Commission

on Environment and Development, dikenal pula sebagai The Brundtland

Commission dalam laporannya yang berjudul our common future

mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Produk dari era konferensi Rio tercermin, antara lain, dalam konvensi keanekaragaman hayati (biodiversity convention), konvensi perubahan Iklim

(Climate Change Convention), dan suatu deklarasi pembangunan berkelanjutan

pengelolaan hutan, serta agenda 21. Pengaruh dari perkembangan baru ini dengan segera pula mempengaruhi kebijakan dan hukum lingkungan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

64

63

Otto Soemarwoto, Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 7 .

64Daud Silalahi, “Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan (Termasuk Perlindungan) SDA Yang Berbasis Pembangunan Sosial dan Ekonomi, (Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kemenkumham RI, 14-18 Juli 2003), hlm. 2 .


(8)

1. Peran hukum dalam pembangunan berkelanjutan

Hukum adalah himpunan petunjuk hidup perintah dan larangan yang mengatur tatatertib dalam sesuatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu. 65 Hukum sebagai kaidah bermaksud mengatur tatatertib masyarakat, di situlah tampak apa yang menjadi tanda hukum, yaitu perintah atau larangan yang setiap orang seharusnya mentaatinya. Hukum terdiri atas kaidah-kaidah yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat. Hukum sebagai kaidah memuat suatu penilaian yang memaksa, yaitu suatu pendapat yang memaksa tentang apa yang layak dan yang tidak layak, menurut apa yang diterima umum, yang seharusnya ditaati.66

Aturan atau norma sudah jelas dibutuhkan dalam dimensi interaksi manusia dengan alam lingkungannya. Maka dari itu, langkah-langkah konkret oleh hukum untuk menciptakan keserasian lingkungan harus kelihatan melalui fungsinya sebagai berikut :67

c. sebagai sarana ketertiban interaksional manusia dengan manusia lain, dalam kaitannya dengan kehidupan lingkungan (a tool of Social Order); a. sebagai landasan interaksional terhadap lingkungan (basic to environment

interactive);

b. sebagai sarana kontrol atas setiap interaksi terhadap lingkungan (a tool of

control);

65

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, disadur dan direvisi Moh. Saleh Djindang (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), hlm. 3 .

66

Ibid., hlm. 4 . 67

N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta : Erlangga, 2004) (selanjutnya N.H.T Siahaan I), hlm. 379 .


(9)

d. sebagai sarana pembaharuan (a tool of Social engineering) menuju lingkungan yang serasi, menurut arah yang dicita-citakan (agent of

changes).

Instrumen hukum melalui fungsi-fungsinya itu akan menjadi pedoman bagi prinsip yang kita tetapkan berupa pembangunan berwawasan lingkungan

(ecodevelopment). Hukum dapat memainkan fungsinya terutama sebagai kontrol

dan menjadi kepastian bagi masyarakat dalam menciptakan keserasian antara aksi pembangunan yang diteruskan serta ditingkatkan demi mencapai taraf kesejahteraan dan kemakmuran di satu pihak, dengan pemanfaatan SDA yang serba terbatas di lain pihak. Menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan (a tool of social engineering) hukum dapat diarahkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.68 Dengan demikian, masyarakat dalam interaksinya dengan lingkungan dapat diarahkan untuk menerima dan merespon prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.69

68

Ibid., hlm. 240 . 69

N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan (Jakarta : Pancuran Alam,2008) (selanjutnya N.H.T Siahaan II), hlm. 44 .

2. Perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan di Indonesia

Pembangunan adalah upaya-upaya yang diarahkan untuk memperoleh kesejahteraan atau taraf hidup yang lebih baik. Khususnya di negara berkembang, pembangunan merupakan pilihan penting dilakukan guna terciptanya kesejahteraan penduduknya. Dengan demikian pembangunan merupakan sarana bagi pencapaian taraf kesejahteraan manusia.


(10)

Pertimbangan untuk meningkatkan pembangunan dengan tingkat risiko tinggi bagi lingkungan dan kekayaan alamnya masih menjadi pilihan utama bagi negara berkembang. Namun yang ditakutkan dalam pembangunan, risiko yang terjadi akan lebih besar pula dibanding dengan keadaan membangun. Pembangunan dan pertumbuhan harus diseleraskan demi menekan berbagai dampak yang mungkin terjadi akibat dari pembangunan dan bagaimana agar sumber-sumber alam tersebut tidak rusak dan habis di masa mendatang. Untuk itu diperlukan suatu solusi dalam menciptakan iklim pembangunan yang berwawasan lingkungan, terutama bagi negara – negara berkembang.

Solusi yang telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya united

nation conference on the human environment di Stockholm tahun 1972 adalah

penerapan konsep pembangunan yang mengintegrasikan masalah ekologi, ekonomi dan sosial yang disebut dengan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED 1987).70

Berkelanjutan secara ekonomi berarti suatu kegiatan pembangunan agar dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan capital, dan penggunaan sumber daya serta investasi secara efisien.

71

70

http//www.un-documents.net/our-common-future.pdf (diakses pada tanggal 05 Februari 2016).

71

N.H.T Siahaan I, Op.Cit., hlm. 35 .

Secara ekologi, berkelanjutan berarti dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara dan mengelola daya dukung lingkungan, serta konservasi SDA termasuk


(11)

keanekaragaman hayati. Adapun keberlanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat menciptakan pemerataan, hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.72

Kaitannya dengan kebijakan pemerintah, agar tujuan pembangunan berkelanjutan ini dapat tercapai, maka dalam konteks hubungan antara tujuan sosial dan ekonomi diperlukan kebijakan ekonomi yang meliputi intervensi pemerintah secara terarah, pemerataan pendapatan, penciptaan kesempatan kerja, dan pemberian subsidi bagi kegiatan pembangunan yang memerlukannya. Dalam kaitannya dengan tujuan sosial dan ekologi, strategi yang perlu ditempuh adalah partisipasi masyarakat dan swasta serta konsultasi.73

Konsep pembangunan berkelanjutan dimulai dengan bertepatan di umumkannya strategi pembangunan internasional bagi dasawarsa pembangunan dunia ke–2 (The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970, sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut PBB)menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan nasional serta internasional guna menanggulangi proses pemerosotan kualitas lingkunganhidup agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi sidang umum PBB Nomor 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada panitia persiapan untuk mencurahkan perhatian kepada usaha melindungi dan mengembangkan kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang dengan menyesuaikan

72

Ibid., hlm. 36. 73


(12)

dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup dengan rencana pembangunan nasional, berikut skala prioritasnya.

Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari Konferensi Stockholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal konsep pembangunan berkelanjutan. Pengaruh Konferensi Stockholm ini terhadap gerakan kesadaran lingkungan tercermin dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan hidup, termasuk di Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi Nairobi 1982, Deklarasi Rio 1992 dan Deklarasi Johanesburg 2002, juga menerapkan perencanaan pembangunan yang mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial dengan lingkungan hidup dalam proses pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan yang mengintegrasikan ketiga aspek ini dapat dilihat pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional .

Sejarah perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat dikaji sebagai bagian dari proses pembangunan nasional yang pertama kali memuat pertimbangan lingkungan pada tahun 1973. Kebijakan dasar pembangunan hukum pada tahap ini meliputi bidang-bidang pembinaan hukum, penegakan hukum, pembinaan peradilan, pembinaan tunawarga, penyelenggaraan administrasi urusan hukum, dan pendidikan dan penyuluhan hukum, yang


(13)

meliputi pula hukum lingkungan.74 Apabila dikaji secara kritis dari konsep dan prinsip - prinsip hukum pembangunan berkelanjutan yang berkembang kemudian, pendekatan, konsep dan prinsip-prinsip hukum pembangunan Indonesia pada tahap ini masih berada pada pembangunan ekonomi dan perubahan sosial dengan dimensi lingkungan yang bersifat umum.75

Pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup kemudian secara tidak langsung diamanatkan dalam UULH secara terpadu dengan istilah pembangunan berwawasan lingkungan. Diamanatkan bahwa penggunaan dan pengelolaan sumber daya dalam pembangunan dilakukan secara berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Dalam perkembangan selanjutnya UULH dicabut dan digantikan dengan UUPLH (LN 1997:68) tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Konsideran UUPPLH antara lain menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan

Wujud dari kepedulian pemerintah dalam melaksanakan prinsip pembangunan berkelanjutan ini, pemerintah tidak hanya memasukkan aspek lingkungan hidup dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (selanjutnya disebut GBHN) tetapi juga membentuk institusi atau lembaga yang membidangi lingkungan hidup, sejak tahun 1973. Pengelolaan lingkungan hidup kemudian diterapkan dalam Repelita II dan berlangsung terus dalam GBHN 1978 dengan penjabarannya dalam Repelita III.

74

BPHN, “Hukum Nasional”, Majalah BPHN, Tahun 1, Nomor1, 1975. 75


(14)

umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang masih bergantung kepada SDA dan lingkungan hidup sebagai dasar pembangunan nasionalnya sangat memerlukan suatu pedoman yang komprehensif, pedoman tersebut di Indonesia tercantum dalam Agenda 21 Indonesia (strategi nasional untuk pembangunan berkelanjutan). Masalah SDA, kualitas lingkungan hidup dan kependudukan, dipandang sebagai dimensi persoalan urgensial dalam pola pembangunan berkelanjutan. 76

76

Syamsuharya Bethan, Penerapan Prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasioanal ; Sebuah Upaya Penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar generasi (Bandung : Alumni, 2008), hlm. 90 .

Perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan mempengaruhi pula gagasan pembentukan hukum pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Sejak tahun 2000, pemikiran dan diskusi di bidang pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan paradigma baru telah mendorong terbentuknya kebijakan makro pemerintah dalam bentuk TAP MPR No: IX/2002 tentang pembaharuan dan pengelolaan sumber daya alam. Gagasan dan prinsip-prinsip hukum pengelolaan sumber daya alam yang terbentuk dalam keputusan majelis ini, merupakan salah satu bentuk refleksi tuntutan baru sistem hukum sumber daya alam Indonesia di bawah konsep pembangunan berkelanjutan.


(15)

Prinsip pembangunan berkelanjutan tidak hanya terpusat dilakukan oleh pemerintah pusat, di daerah – daerah juga mulai dilakukan pembagian tugas sesuai dengan kewenangan yang diberikan (otonomi daerah). Sesuai dengan UUPEMDA 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah.

Prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut sesuai pula dengan upaya pemerintah melakukan perbaikan pengelolaan SDA dan pelestarian fungsi lingkungan hidup dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (selanjutnya disebut RPJMN) tahun 2004-2009. Sebagai dasar dari dilakukannya RPJMN ini dikeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa pembangunan nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi dengan prinsip-prinsip kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan nasional didalamnya. Komitmen pemerintah ini juga dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2005 tentang RPMJN yang menyatakan bahwa SDA dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya.77

77

Lampiran Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009, Bab 32 Berisi Perbaikan Pengelolaan SDA dan pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup.


(16)

Peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup kemudian pun mengalami perubahan dengan digantikannya UUPLH menjadi UUPPLH. Sebagai pertimbangan dikeluarkannya produk hukum ini salah satunya adalah bahwa pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.78

Sumber daya alam dipandang memiliki peran ganda dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi dan sekaligus sebagai penopang kehidupan.79 Kendatipun demikian, SDA yang berperan sebagai penopang kehidupan tentunya tidak kalah penting pula dipahami sebagai konfigurasi persoalan esensial dalam konteks pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Upaya mempertahankan kelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan SDA dengan baik menjadi bagian inherenr ditempatkan dalam kebijakan pembangunan nasional. Urgensinya tidak hanya untuk kepentingan generasi sekarang, tetapi dapat dinikmati oleh generasi mendatang. 80

Sumber utama kebijakan utama dari pembangunan di Indonesia semuanya bersumber kepada UUD 1945. Kebijakan pembangunan di Indonesia menganut konsep pembangunan berkelanjutan, konsep ini baru dimasukkan dalam B. Pemahaman Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Peraturan

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

78 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup , pertimbangan huruf (b).

79

Syamsuharya Bethan, Op. Cit., hlm. 91. 80


(17)

amandemen yang keempat yang ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Menurut Jimly Asshiddiqie, dengan adanya pengaturan mengenai hak atas lingkungan sebagai hak asasi manusia dan dengan di adopsinya prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan berwawasan lingkungan dalam UUD 1945 menjadikan konstitusi kita sudah bernuansa hijau

(green constitution).81

Pengaruh dari konsep sustainable development setelah dimulai pada Repelita II kemudian berlanjut pada tahun 1982, yaitu dengan diberlakukannya

Sebagaimana diketahui bahwa untuk menunjang pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup diarahkan agar usaha pendayagunaannya tetap memperhatikan keseimbangan serta kelestarian fungsi dan kemampuannya, sehingga juga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia sekarang maupun bagi kehidupan generasi mendatang. Hal ini diamanatkan pula oleh beberapa peraturan mengenai lingkungan hidup di Indonesia. Pemahaman prinsip pembangunan berkelanjutan ini juga mengalami perubahan disesuaikan dengan kebutuhan pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup yang ada seperti UULH dan UUPLH yang saat ini sudah digantikan menjadi UUPPLH, serta beberapa peraturan-peraturan lainnya di Indonesia yang saling berkesinambungan dan sinkron sesuai dengan hierarki perundang-undangan di Indonesia.

1. Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

81


(18)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada tahun 1982 telah di undangkan UULH secara terpadu dengan mengamanatkan keharusan untuk mengkaitkan pelaksanaan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan hidup melalui apa yang dinamakan pembangunan berwawasan lingkungan, undang-undang ini mempunyai arti penting tersendiri. Menurut Sundari Rangkuti UULH mengandung berbagai konsepsi dari pemikiran inovatif dibidang hukum lingkungan baik nasional maupun internasional yang mempunyai implikasi terhadap pembinaan hukum lingkungan Indonesia, sehingga perlu dikaji penyelesaiannya perundang-undangan lingkungan modern sebagai sistem keterpaduan.82

Pengertian mengenai pembangunan berwawasan lingkungan juga sudah terdapat di dalam undang-undang ini, adapun pengertian pembangunan

Amanat pada bagian menimbang huruf b UULH dikatakan bahwa perlunya diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang. Berkesinambungan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan juga sebagai berkelanjutan, dapat dimaknai bahwa kalimat itu menjadi pedoman agar setiap pembangunan dilakukan secara berkesinambungan dengan memperhatikan usaha pelestarian lingkungan hidup yang serasi dan seimbang.

82


(19)

berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup.83

Terlaksananya pembangunan berkesinambungan ini membutuhkan peranan dari berbagai pihak. Seperti peranan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan adalah dengan menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.

Cara mewujudkan pembangunan yang terus berkesinambungan tersebut yaitu dengan cara pembangunan yang memperhatikan wawasan lingkungan hidup, yang dilakukan dengan penggunaan sumber daya secara bijaksana. Perlu dilakukan suatu pengelolaan lingkungan hidup, adapun yang menjadi tujuan perlunya dilakukan pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dalam Pasal 4 huruf d undang-undang ini disebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

84

83Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab I, Pasal 1 angka (13).

84

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,Bab III, Pasal 8.

Perlunya peranan pemerintah dalam menetapkan kebijakan tersebut, agar setiap tindakan yang menyangkut pemakaian SDA harus tetap mengikuti kebijakan atau aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Layaknya para pelaku usaha atau orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib


(20)

memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.85

Ditegaskan kembali dalam Pasal 3 tentang asas pengelolaan lingkungan hidup bahwa pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Sedangkan penjelasannya mengatakan bahwa pengertian pelestarian mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang dan peningkatan kemampuan tersebut. Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat dicapai kehidupan yang optimal. Berdasarkan uraian tersebut diatas, undang-undang ini mengandung pengertian bahwa pembangunan yang berwawasan lingkungan hanyalah satu bagian dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 1 angka (13)) atau sebagai penunjang dari pembangunan yang berkesinambungan (lihat Pasal 3).86

Dalam perkembangan selanjutnya UULH dicabut dan digantikan dengan UUPLH. Dalam undang-undang ini digunakan sebuah istilah baru yaitu pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, yang tidak lagi membedakan antara pembangunan berkelanjutan dan pembangun berwawasan lingkungan seperti pada undang-undang sebelumnya.

2. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

85

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ,Bab III, Pasal 7.

86

H. Abdurrahman, “Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan SDA Indonesia”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, 14-18 Juni 2011, hlm. 15 .


(21)

Konsideran UUPLH antara lain menjelaskan tentang mengapa kita harus melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup seperti pada pertimbangan huruf b, bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam UUD 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.87

Penegasan tersebut diatas menunjukkan bahwa pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berkaitan erat dengan pendayagunaan SDA sebagai suatu aset mewujudkan kesejahteraan rakyat.

88

Dalam pertimbangan huruf c berikutnya ditegaskan bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi selaras dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.89

Rumusan tentang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup diperkenalkan di dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka (3)). Disebutkan dalam ketentuan tersebut bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses

87

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bagian konsideran menimbang huruf (b).

88

H. Abdurrahman, Op. Cit., hlm. 16. 89

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup , bagian konsideran menimbang huruf (c).


(22)

pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.

Selanjutnya dalam undang-undang ini dibedakan antara asas keberlanjutan sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan berwawasan lingkungan hidup sebagai suatu sistem pembangunan.90

Landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi juga diterapkan dalam UUPPLH. Hal ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenanya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik

Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 3 yang menyatakan:

“pengelolaan lingkungan hidup diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.

Perlu diingat bahwa aspek keberlanjutan dan berwawasan lingkungan bukan hanya terdapat dalam aspek ekonomi saja tetapi juga dimensi kehidupan manusia yang lain termasuk aspek sosial budaya, ekologis, kesejahteraan sosial pada umumnya. Keseimbangan antara aspek-aspek tersebut yang kemudian dapat saling mendorong agar terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan di Indonesia.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

90


(23)

pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.91

Asas-asas dalam perlindungan dan pengelolaan menurut undang-undang ini terdapat 14 asas. Diantaranya terdapat juga asas kelestarian dan keberlanjutan, maksud dari asas ini adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Dalam UUPPLH asas keberlanjutan dan keterpaduan dibedakan, asas keterpaduan adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memadukan berbagai unsur atau menyinergikan berbagai komponen terkait.

Seperti yang diamanatkan dalam bagian menimbang huruf b dari UUPPLH bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

92

a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

Strategi pembangunan memadukan beberapa aspek untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup seperti aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalamnya. Hal ini dituangkan dalam pengertian pembangunan berkelanjutan dalam Pasal 1 angka (3). Tujuan dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam undang-undang ini adalah :

b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;

91

Analisis Filosofi UU Nomor 32 Tahun 2009, https://gagasanhukum. wordpress.com/2009/11/19/analisis-filosofi-uu-nomor-32-tahun-2009/ (diakses pada tanggal 06 Februari 2016).

92

H. Syamsul Arifin, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia (Jakarta : Sofmedia, 2014), hlm. 74.


(24)

c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;

d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;

e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;

g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;

h. mengendalikan pemanfaatan SDA secara bijaksana; i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Dapat dilihat dari point-point tujuan tersebut bahwa adanya prinsip pembangunan berkelanjutan dan wawasan lingkungan yang diterapkan dalam UUPPLH.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan dalam UUPPLH meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Mulai dari tahap perencanaan saja sudah seharusnya penerapan prinsip pembangunan yang memperhatikan antar generasi ini diperhatikan. Pemerintah melakukan perencanaan perlindungan dan pelaksanaan lingkungan hidup melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH. RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam rencana pembangunan jangka panjang dan rencana pembangunan jangka menengah. Sebelum RPPLH disusun, pemanfaatan SDA dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup


(25)

dengan memperhatikan:93

a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan pemerintah dapat menerapkan beberapa instrumen-instrumen seperti yang diatur dalam undang-undang ini. Salah satu instrumen tersebut seperti KLHS, hal ini diperlukan sebagai sebuah instrumen (tools) dalam rangka self assessment untuk melihat sejauh mana kebijakan, rencana dan program diusulkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan diharapkan kebijakan, rencana, dan program yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

Penetapan UUPPLH ini sebagai upaya untuk memastikan adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup sedini mungkin yaitu melalui dari tingkat kebijakan, rencana dan program pembangunan, maupun pada kajian lingkungan hidup bagi kegiatan atau usaha yang melakukan eksploitas terhadap SDA, melalui mekanisme AMDAL.

4. Produk hukum perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diluar UUPPLH

Pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya diterapkan dalam setiap produk hukum yang ada, termasuk juga seperti peraturan pemerintah, keputusan

93

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,Bab IV, Pasal 12 .


(26)

menteri/presiden dan juga pada peraturan-peraturan daerah. Adapun beberapa peraturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup lain diluar UUPPLH yang dilihat pemahaman prinsip pembangunan berkelanjutan adalah seperti pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Adipura. Pelaksanaan adipura ditujukan untuk membangun kepemimpinan pemerintah daerah dan mendorong masyarakat ikut berpartisipatif melestarikan dan mengelola lingkungan hidup untuk mewujudkan kota-kota yang berkelanjutan, baik secara ekologis, sosial dan ekonomi melalui penerapan tata pemerintahan yang baik.94

Pembangunan berkelanjutan telah diwacanakan dalam beberapa pertemuan dan konfrensi internasional, pada hakikatnya semuanya itu merupakan upaya untuk memberikan perlindungan terhadap SDA dan lingkungan hidup sebagai

Berdasarkan pemahaman yang kita dapat dari peraturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang ada walaupun berbeda penyebutan tetapi pada dasarnya apa yang menjadi focus pembangunan berkelanjutan tetaplah sama. Tujuan ini menunjukkan bahwa setiap peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, baik pusat maupun daerah difokuskan untuk pembangunan kota-kota yang berkelanjutan baik secara ekologis, sosial dan ekonomi sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

C. Prinsip – Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

94

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Adipura, Pasal 2.


(27)

salah satu dimensi persoalan fundamental yang mendasari pembangunan berkelanjutan. Indonesia dan negara-negara peserta konfrensi-konfrensi dan pertemuan tersebut berbeda pendekatan dalam menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan di negaranya. Konsep pembangunan berkelanjutan menurut pandangan teoritis seperti Sudharto P. Hadi, adalah merupakan konsep universal sehingga menjadi agenda bersama, meskipun action antar negara berbeda. Dengan mendasarkan pada Agenda 21 yang dihasilkan melalui KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro, menjabarkan bahwa pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya perlindungan dan pemisahan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal, demokrasi, transparansi dan perlindungan lingkungan hidup.95

Prinsip- prinsip pembangunan berkelanjutan yang disepakati itu diterima dan menjadi referensi negara-negara. Beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan tersebut, adalah sebagai berikut :

96

Negara dalam hal ini harus melestraikan dan menggunakan lingkungan serta SDA bagi kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang.

1. Prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity)

97

95

Sudharto P. Hadi, Dimensi Hukum Pembangunan Berkelanjutan (Semarang : BP Undip, 2002), hlm. 2.

96Mas Achmad Santosa, “Aktualisasi Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan Dalam Sistem dan Praktik Hukum Nasional” , Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun III, Jakarta 1996, hlm. 8.

97

N.H.T Siahaan I, Op.Cit., hlm. 149.

Prinsip keadilan antargenerasi ini didasari pada gagasan bahwa generasi sekarang menguasai SDA yang ada di bumi adalah sebagai titipan (in trust) untuk dipergunakan generasi yang akan datang. Setiap generasi merupakan penjaga dari planet bumi ini untuk


(28)

kemanfaatan generasi berikutnya dan sekaligus sebagai penerima manfaat dari generasi sebelumnya. 98

Konferensi internasional tentang lingkungan di Canberra, Australia, tahun 1994 atau lebih dikenal dengan sebutan Fenner Conference on The Environment, memberikan pedoman bahwa intergenerational equity sesungguhnya upaya untuk menjamin tersedianya kesempatan yang ekuivalen bagi generasi mendatang untuk memperoleh kesejahteraan. Tegasnya, generasi berikutnya tidak menanggung beban berat yang ditinggalkan generasi sekarang.99

Elemen kunci yang melandasi prinsip intergenerational equity menurut Fenner Conference 1994, antara lain : 100

d. Generasi sekarang tidak dibenarkan meneruskan kepada generasi berikutnya SDA yang tidak dapat diperbarui (nonrenewable) secara pasti. Memperhatikan prinsip keadilan antar generasi dan beberapa elemen kuncinya tersebut, menjadi cukup urgensial dan beralasan karena dimensi a. Masyarakat di seluruh dunia antara satu generasi dengan generasi lainnya merupakan mitra.

b. Generasi sekarang tidak memberikan beban eksernalistis pembangunan kepada generasi selanjutnya.

c. Setiap generasi mewarisi kekayaan SDA serta kualitas habitat dan harus meneruskannya kepada generasi berikutnya yang memiliki peluang ekivalen baik secara fisik, ekologis, sosial maupun ekonomi.

98

Syamsuharya Bethan, Op. Cit., hlm. 94. 99

Mas Achmad Santosa, Op. Cit., hlm. 9. 100


(29)

penekanan prinsip tersebut berupaya menciptakan harmoni keadilan yang tidak hanya dinikmati oleh suatu generasi, tetapi generasi berikutnya memiliki peluang yang sama besarnya untuk memperoleh keadilan.101

Prinsip ini menurut Ben Boer, pakar hukum lingkungan dari Universitas Sydney, menunjuk kepada gagasan bahwa masyarakat dan tuntutan kehidupan lain dalam satu generasi memiliki hak untuk memanfaatkan sumber alam dan menikmati lingkungan yang bersih serta sehat. Keadilan antargenerasi dapat diartikan baik secara nasional maupun internasional.

2. Prinsip keadilan intragenerasi ( the principle of intragenerational equity)

102

Pengelolaan secara nasional maksudenya pengelolaaan diterapkan dalam akses yang adil kepada SDA bersama, udara bersih, air bersih dalam sumber daya-air nasional dan laut territorial. Hal ini juga mengarah kepada masalah perlunya pembatasan-pembatasan pemerintah atas penggunaan milik-milik pribadi. Sedangkan pada tingkat internasional, keadilan intra generasi menyangkut kepada penerapan alokasi yang adil dari sistem udara, perairan dan sumber daya laut internasional.103

Meski prinsip keadilan dalam satu generasi tersebut memberikan konstribusi positif untuk mendapatkan akses pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup secara adil, akibat ketidakadilan, kemiskinan dan ketidakpedulian masyarakatnya terhadap SDA dan lingkungan hidup dalam jangka panjang,

101

Syamsuharya Bethan, Op. Cit., hlm. 95. 102

N. H. T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, Op.Cit., hlm. 148. 103


(30)

cepat atau lambat mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam satu generasi tersebut, karena ancaman kerusakan SDA memenuhi kebutuhan hidupnya.104

Penerapan prinsip pencegahan dini di atas, setidaknya dilandasi oleh beberapa hal berikut:

3. Prinsip pencegahan dini (precautionary principle)

Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya mencegah kerusakan lingkungan.

105

a. Evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.

b. Penilaian (assessment) dengan melakukan analisis risiko dengan menggunakan berbagai opsi (options).

Usaha pencegahan yang dinyatakan dalam pencegahan dini ini disatu sisi memiliki nilai positif karena dengan adanya prinsip ini maka dapat memulihkan konidisi lingkungan walaupun pemulihannya tidak dapat mengembalikan bentuk dan kondisinya sesuai dengan aslinya. Di sisi lainnya, dirasakan bahwa hal ini sudah tidak tepat karena membiarkan kerusakan lingkungan hidup secara terang-terangan tanpa berupaya lebih dini untuk mencegahnya. Prinsip pencegahan dini seringnya dijadikan sebagai upaya persiapan apabila terjadinya segala potensi, ketidakpastian, ataupun dengan dugaan kerusakan ketika tidak ada bukti yang tak terbantahkan bahwa kerusakan akan terjadi.

104

Syamsuharya Bethan, Op. Cit., hlm. 97. 105


(31)

4. Prinsip perlindungan keragaman hayati (biodeversity conservation)

Prinsip perlindungan keragaman hayati (biodiversity conservation) merupakan prasyarat dari berhasil tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan antargenerasi (intergenerational equity principle). Perlindungan keragaman hayati juga terkait dengan masalah pencegahan, sebab mencegah kepunahan jenis dari keragaman hayati diperlukan pencegahan dini.106

Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip pembangunan berkelanjutan lainnya. Hal ini bisa dilihat pada urgensi perlindungan keanekaragaman hayati, maka keanekaragaman hayati merupakan prasyarat berhasil atau tidaknya kita melaksanakan prinsip intergenerational equity. Prinsip ini juga sangat terkait dengan prinsip pencegahan dini dan merupakan prasyarat terwujudnya

intragenerational equity. Dengan contoh, ketika masyarakat lokal mengalami

kehilangan atau terputusnya jasa ekosistem akibat aktivitas pembangunan, sedangkan ekosistem tersebut adalah cara bertahan hidup mereka, maka tertutuplah akses mereka terhadap penghidupan dan kesejahteraan yang layak.107

Penerapan prinsip internalisasi biaya lingkungan dapat dimaknai sebagai upaya memperhitungkan biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pelaku kegiatan ekonomi akibat timbulnya kerusakan lingkungan. Gagasan dasar dari prinsip ini adalah biaya lingkungan dan sosial harus diintegrasikan ke dalam

5. Prinsip internalisasi biaya lingkungan

106

F.X Adji Samekto, “Keterkaitan Kapitalisme dengan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dan Implementasi Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam kajian Studi Hukum Kritis (Critical Legal Studies)”, Disertasi, Ilmu Hukum, pasca sarjana Undip, Semarang, 2004.

107

Iwan J. Azis, et al., Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Konstribusi Emil Salim (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 132.


(32)

proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan SDA tersebut. 108

Rasio pentingnya penerapan prinsip ini dilatarbelakangi oleh penggunaan SDA yang merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar. Akibatnya, masyarakat tidak tewakili dalam komponen pengambilan keputusan untuk menentukan harga pasar tersebut. Masyarakat menjadi korban kerusakan lingkungan tidak memliki mekanisme untuk memaksa pelaku ekonomi membayar ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan kecuali melalui pengadilan. Oleh sebab itu, sumber SDA yang biasanya open access harus diberi nilai/harga yang memadai, karena kecenderungan manusia atau badan hukum (berorientasi positif) menggunakannya secara berlebihan (overuse). 109

108

Syamsuharya Bethan, Op. Cit., hlm. 102. 109

Mas Achmad Santosa, Op. Cit., hlm. 13.

Gagasan prinsip internalisasi biaya dapat dikatakan juga bahwa biaya lingkungan dan biaya sosial barus diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam tersebut. Intrumen yang dapat digunakan meliputi pengaturan (dengan larangan dan sanksi), charges, fees, leasing (pungutan dan biaya sewa) perizinan, mekanisme


(33)

D. Peranan dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Mengelola SDA dan Lingkungan Hidup

Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadarannya. Dalam teori mengenai tanggung jawab, terdapat tanggung jawab terhadap masyarakat yang biasanya disebut tanggung jawab sosial. Sebagai upaya penegakan hukum terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan, UUPPLH menegaskan prinsip tanggung jawab yang perlu diperhatikan dalam hal seseorang atau perusahaan melakukan pencemaran atau pelanggaran lingkungan hidup.

Tanggung jawab sosial seperti dalam UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) dinyatakan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak yang sama juga diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain tanggung jawab sosial juga terdapat tanggung jawab mutlak (strict liability) yakni unsure kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Berdasarkan tanggung jawab mutlak maka besarnya nilai gantirugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Mengenai tanggung jawab mutlak dapat dilihat dalam Pasal 88 UUPPLH bahwa setiap orang yang menggunakan atau menghasilkan limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsure kesalahan.


(34)

1. Kaitan SDA dengan lingkungan hidup

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hi110 SDA sering juga disebut sebagai sesuatu yang dihasilkan oleh alam yang penggunaannya dapat membantu kebutuhan hidup manusia sehari-harinya. Dapat juga dikatakan bahwa sumber daya adalah komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia. 111

Grima dan Berkes mendefinisikan sumber daya sebagai aset untuk pemenuhan kepuasan dan utilitas manusia. Rees mengatakan bahwa sesuatu untuk dapat dikatakan sebagai sumber daya harus memiliki dua kriteria, yakni :112

Defenisi sumber daya dapat juga dikaitkan dengan dua aspek lainnya, yakni aspek teknis yang memungkinkan bagaimana sumber daya dimanfaatkan, dan aspek kelembagaan yang menentukan siapa yang mengendalikan sumber daya dan bagaimana teknologi digunakan. Sumber daya yang dimanfaatkan dapat diartikan sebagai sumber daya apa yang dimanfaatkan oleh manusia secara teknis, a. Harus ada pengetahuan, teknologi, atau keterampilan (skill) untuk memanfaatkannya.

b. Harus ada permintaan (demand) terhadap sumber daya tersebut.

2016). 111

Akhmad Fauzi, Ekonomi SDA dan Lingkungan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010) hlm. 2.

112


(35)

sedangkan aspek kelembagaannya dapat diartikan sebagai lembaga/institusi yang berkuasa untuk mengendalikan sumber daya tersebut.

Lingkungan hidup dalam UPPLH didefenisikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perkehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.113

Pembangunan berkelanjutan memberi tekanan bahwa pembangunan tersebut harus dapat menggambarkan adanya keselarasan dan keserasian didalam penggunaan SDA, sumber daya manusia maupun sumber daya artificial yang memperhatikan usaha-usaha konservasi berkesinambungan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka bukan hanya orang-perorang yang mempunyai hak dan kewajiban Definisi ini menjelaskan bahwa pencakupan lingkungan hidup juga termasuk didalamnya SDA. Oleh karena itu, apabila yang dibicarakan mengenai kerusakan SDA sudah pasti juga membicarakan rusaknya lingkungan hidup itu. SDA terkait dengan bagaimana cara penghematannya hingga tetap dapat dinikmati oleh generasi masa mendatang. Sedangkan apabila lingkungan hidup tersebut tidak dilestarikan, maka juga pasti berdampak terhadap ketersediaan SDA. Oleh karena itu, perlu suatu keseimbangan antara pemakaian, pembangunan, pelestarian dan pengelolaannya untuk dilakukan oleh semua pihak baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat pada umumnya.

2. Peranan dan tanggung jawab pelaku usaha dalam mengelola SDA dan lingkungan hidup

113

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,Bab I, Pasal 1 angka (1).


(36)

untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan, tetapi juga sekelompok orang atau badan usaha/hukum yang terlibat di dalam pemanfaatan sumber daya hayati maupun non-hayati.114

Pengelolaan SDA tersebut oleh pemerintah membutuhkan modal yang cukup besar. Selain modal yang cukup besar, dalam prakteknya teknologi yang digunakan sering sekali membutuhkan peralatan dan tenaga ahli yang baik pula. Pemerintah Indonesia memiliki keterbatasan modal dan teknologi yang tidak memadai pula untuk mengelola SDA tersebut sendiri. Untuk itu pemerintah membuka bentuk-bentuk usaha kerjasama dengan pihak-pihak yang berminat untuk menanamkan modalnya dalam bidang tersebut. Tidak hanya pelaku usaha dalam negeri, ada beberapa usaha yang terbuka dengan syarat untuk penanam modal asing. Negara penerima modal mendapatkan sejumlah dana, teknologi, serta keahlian bagi kepentingan pembangunan negaranya. Sedangkan penanaman modal mendapatkan keuntungan/profit dari usaha yang dijalankan bersama. Disamping keuntungan yang didapat, penanam modal juga membutuhkan

Indonesia merupakan salah satu negara dengan SDA berlimpah yang sangat berpotensial pemanfaatannya untuk kemajuan pembangunan. SDA sering dijadikan sebagai salah satu sektor yang menambah pendapatan negara. SDA harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya bagi kemakmuran rakyat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam konstitusi negara.

114

Strategi Pembangunan Berkelanjutan Pada Sektor Pertambangan di Indonesia, http://www.mail-archive.com/exbhp@googlegroups.com/msg00054.html (diakses tanggal 28 Februari 2016).


(37)

kepastian hukum, sarana dan prasarana, keamanan, kesamaan kesempatan berusaha, dan faktor lainnya untuk menumbuh kembangkan perusahaannya.

Pola pembangunan berkelanjutan mengharuskan pengelolaan SDA harus dilakukan secara rasional dan bijaksana. Untuk itu, diperlukan keterpaduan antara pembangunan dan pengelolaan lingkungan hidup (pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan hidup). Pembangunan berwawasan lingkungan hidup merupakan upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi mendatang. Sifat keterkaitan SDA dan tatanan lingkungan mengharuskan cara dan mekanisme pembangunan yang memperhatikan keterkaitan tersebut. Dalam hubungan ini, keterkaitan manusia pribadi sebagai makhluk sosial dengan lingkungan sosialnya perlu diperhatikan pula. Dengan demikian, pembangunan tidak hanya melihat manusia sebagai individu yang berdiri sendiri saja, tetapi juga memperhatikan dampak pembangunan terhadap kedudukan manusia sebagai makhluk sosial.115

Kedudukan manusia sebagai makhluk sosial tersebut yang menimbulkan peran dan tanggung jawab dari setiap individu untuk turut serta dalam pengelolaan SDA dan pelestarian lingkungan hidup . Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang harus didapat dan dijalan dengan baik termasuk dalam bidang lingkungan hidup. Seperti yang dinyatakan dalam UUPPLH, bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi

115

Aca Sugandhy dan Rustam Hakim, Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan ( Jakarta : Bumi Aksara, 2009), hlm. 4.


(38)

manusia dan bahwa setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta hak-hak lainnya yang dapat dilihat dalam Pasal 65 UUPPLH. Sebagai subjek hukum, setiap orang harus menjalankan hak-nya diimbangi dengan dijalankanhak-nya kewajibanhak-nya. Dalam UUPPLH juga dinyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 67). Sedangkan bagi setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:116

Ketentuan mengenai kewajiban tersebut berperan penting di dalam upaya pemerintah untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas perusahaan yang diberi kekuasaan untuk melakukan eksploitasi sumber daya alam. Penggunaan SDA yang dilakukan oleh individu atau badan usaha tersebut haruslah menerapkan tata cara pengelolaan SDA yang baik atau menaati peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah mengenai SDA yang dieksploitas oleh perusahaan tersebut. Dalam pengelolaan tersebut haruslah dilakukan koordinasi dan kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait untuk mewujudkan integrasi, sinkronisasi antara ekonomi dan ekologi dalam

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria kerusakan lingkungan hidup.

116

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab X, Pasal 68.


(39)

pembangunan berkelanjutan. Secara umum, sasaran pembangunan yang ingin dicapai adalah mewujudkan perbaikan fungsi lingkungan hidup dan pengelolaan SDA yang mengarah pada pengarusutamaan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pengaturan mengenai pertanggungjawaban penanam modal dalam melaksanakan tangung jawab sosial perusahaan bagi lingkungan hidup, sosial, dan budaya juga dapat dilihat dalam Pasal 15 huruf b Undang-Undang 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UUPM). Yang dimaksud dengan TJSL menurut penjelasan Pasal 15 huruf b UUPM adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup juga termasuk ke dalam satu point yang menjadi tanggung jawab perusahaan sebagaimana yang dicantumkan dalam huruf d Pasal 16 UUPM. Sebagai upaya untuk pemulihan suatu lokasi atau tempat yang diekspolitas hasil SDA yang tidak terbarukan nya maka penanam modal wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.117

Tanggung jawab sosial perusahaan juga diperjelas kembali dalam UUPT. Dalam Pasal 74, dikatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (selanjutnya disebut TJSL). Tanggung

117

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Bab IX, Pasal 17.


(40)

jawab sosial perusahaan atau sering disebut sebagai CSR merupakan kewajiban perseroan yang pembiayaannya dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

Implementasi kebijakan CSR adalah suatu proses yang terus menerus dan berkelanjutan. Dengan demikian akan tercipta suatu keadaan yang menguntungkan semua pihak, konsumen mendapat produk unggul yang ramah lingkungan sedangkan produsen pun mendapatkan profit yang pada akhirnya akan dikembalikan ke tangan masyarakat secara tidak langsung. Sebagai sebuah strategi bisnis,pelaksanaan CSR bertujuan agar perusahaan dapat melakukan kegiatan bisnisnya dengan baik dan menimalisir resiko yang muncul dari komunitas sekitar maupun dari lingkungan tempat mereka melakukan kegiatan bisnisnya. Strategi bisnis ini dilaksanakan dengan memperhatikan sustainability dari perusahaan, lingkungan dan sosial. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan CSR ada tiga hal yang harus sama-sama diuntungkan yaitu perusahaan, lingkungan , dan sosial. Keberlanjutan ketiga hal ini akan sangat berpengaruh pada eksistensi perusahaan, dan karena itu diperlukan tanggung jawab sosial perusahaan agar baik perusahaan, lingkunan maupun sosial dapat berjalan secara sinergis.118

Pelaksanaan CSR dalam Pasal 74 UUPT, disebut dalam ayat (1) bahwa perseroan yang menjalan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan SDA wajib melaksanakan TJSL. Maksud dari perseroan yang menjalankan kegiatan usaha di bidang SDA adalah perseroan yang kegiatan usahanya

118

Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR (Jakarta : Percetakan Penebar Swadya, 2008), hlm. 88.


(41)

mengelola dan memanfaatkan SDA.Sedangkan perusahaan yang menjalankan usaha yang berkaitan dengan SDA adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan SDA, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan SDA.

Pelaksanaan kewajiban TJSL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 74 UUPT tersebut apabila tidak dilaksanakan maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.119 Dalam penjelasan ayat (3) Pasal 74 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah segala bentuk sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Penjelasan ayat (3) Pasal 74 UUPT tersebut menjelaskan bahwa sanksi yang dikenakan bukan sanksi karena perusahaan tidak melakukan CSR menurut UUPT, melainkan sanksi karena perusahaan mengabaikan CSR sehingga perusahaan tersebut melanggar aturan-aturan terkait dibidang sosial dan lingkungan yang berlaku.120

119

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Bab V, Pasal 74 ayat (3).

120

Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Op. Cit., hlm. 98.

Berdasarkan Pasal 74 ini maka konsep CSR yang semula hanya merupakan kewajiban moral menjadi kewajiban yang dipertanggungjawabkan dalam hukum, tetapi khusus bagi perseroan yang kegiatan usahnya dibidang dan/atau berkaitan dengan SDA. Sedangkan perusahaan lain diluar itu hanya melakukan SCR sebatas kewajiban moral.


(42)

Perusahaan dapat dimintakan pertanggungjawabannya sesuai dengan prinsip strict liability.121

Paradigma dari sebagian perusahaan memang telah bergeser dari single

line (profit) menjadi triple bottom line (profit, people, planet). Pemahaman akan

pembangunan berkelanjutan memegang peran penting dalam perubahan paradigma tersebut. Tidak hanya pemerintah, tetapi perusahaan juga harus turut menyadari pentingnya penerapan pembangunan berkelanjutan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Ismail Serageldin, paradigma pembangunan berkelanjutan mengajarkan bahwa kekayaan alam hari ini bukanlah berkah yang diwariskan generasi lalu hanya untuk generasi sekarang, tapi merupakan pinjaman yang asalnya dari generasi mendatang. Karenanya jumlah total capital-sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, personal yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya minimal harus sama, mengingat bahwa pinjaman memang sudah seharusnya dikembalikan utuh.

Pertanggungjawaban hukum yang dapat dimintakan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan pengelolaan lingkungan hidup dengan baik sehingga seringkali menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan hidup.

3. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui CSR

122

Pembangunan yang berkelanjutan dengan CSR memiliki keterkaitan dalam hal tujuan perusahaan yang bukan semata-mata mencari keuntungan dan

121

Lihat : Strict Liabilty yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ini merupakan Lex Specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.

122

Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Melalui CSR, http://ujangrusdianto. blogspot.co.id/2014/03/mewujudkan-pembangunan-berkelanjutan.html (diakses pada tanggal 6 Maret 2016).


(43)

pertumbuhan berkonsekuensi penting. Perusahaan didalam menjalankan usahanya demi mendapatkan profit, juga harus memperhatikan dimensi sosial dan lingkungan. Berjalan ketiga aspek tersebut juga dapat mendukung berkelanjutannya usaha dari perusahaan. Menurut Welford dan Gouldson setidaknya ada tiga alasan mengapa perusahaan sebagai fokus pembangunan berkelanjutan, yaitu perusahaaan adalah sebagai penggerak utama dalam pembangunan ekonomi, perusahaan memiliki sumber finansial, pengetahuan teknologi dan kapasitas institusional untuk mengimplementasikan solusi ekologis, dan yang terakhir adalah menguji ekologi yang berkelanjutan pada analisis level organisasi merupakan hal yang tepat.123

Salah satu bentuk kepedulian perusahaan terhadap masyarakat sekitar kegiatan diwujudkan dalam program TJSL atau CSR yang diimplementasikan dalam bentuk community development. Community development adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosial,ekonomi dan budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya.124

Program ini dapat memberikan pemberdayaan terhadap masyarakat, bagaimana anggota masyarakat dapat mengakualisasikan diri mereka dalam pengelolan lingkungan dan secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya tanpa tergantung pihak-pihak perusahaan maupun pemerintah. Program ini juga dapat meningkatkan rasa kepemilikan terhadap kegiatan usaha dan

123

Ibid.

124

Arif Budimanta, Corporate Social Responsibilty: Jawaban Bagi Model Pembangunan Masa Kini (Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development, 2004), hlm. 85-87.


(44)

perusahaan tersebut, manfaat lainnya bagi perusahaan ialah untuk meningkatkan efisiensi usaha melalui ketersediaan tenaga kerja lokal sesuai dengan kualisifikasi yang dibutuhkan.125 Adapun semua ini pada akhirnya akan berkonstribusi kepada kelangsungan usaha yang berjangka panjang dan berkonstribusi terhadap pengembangan wilayah dan masyarakat daerah sekitar perusahaan

125

Ed. Syaiful Watni, et. al., Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengembangan Masyarakat (Community Development) Dalam Kegiatan Usaha Pertambangan (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2007), hlm. 9.


(45)

92 BAB IV

PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI BIDANG PERTAMBANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

A. Konstribusi Sektor Pertambangan bagi Pembangunan

Aktivitas pertambangan seringkali menjadi sorotan masyarakat, seringnya hal ini menjadi bahan perdebatan sengit ketika pertambangan dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional tetapi aktivitas pertambangan juga dapat menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan . Kontribusi pertambangan diantaranya penerimaan negara tahun 2009 tidak kurang dari Rp 51 triliun yang disumbangkan sebagai penerimaan langsung dari subsektor pertambangan umum yang terdiri dari penerimaan negara bukan pajak sekitar Rp 15 triliun dan sisanya dari penerimaan pajak; sektor investasi tahun 2009 sekitar US$ 1,8 miliar terutama dari perusahan kontrak karya , perjanjian kerja pengusahaan pertambangan batubara dan badan usaha milik negara; penyerapan tenaga kerja langsung dari perusahaan pertambangan; neraca perdagangan melalui ekspor komoditi mineral dan batubara; serta kontribusi bagi pembangunan daerah yang bersumber dari dana bagi hasil royalti pertambangan dan dana pengembangan masyarakat (community development) dari perusahaan kontrak


(46)

karya, perjanjian kerja pengusahaan pertambangan batubara dan badan usaha milik negara.126

Masa orde baru selama 32 tahun dan masa reformasi sekarang ini, konstribusi sektor pertambangan terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat sangat besar dan terus menerus mengalami peningkatan. Subsektor migas merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia sebab hampir 70 % devisa negara dihasilkan dari subsektor migas. Kontribusi migas Sektor pertambangan selain memberikan dampak positif bagi pembangunan perekonomian di Indonesia, juga memiliki dampak negatif. Menutup mata akan hal ini memang tidak dapat dilakukan, tetapi pertambangan bukanlah seperti kutukan yang harus dibenci. Melainkan halnya seperti karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada bangsa ini yang dalam pengelolaannya harus dilakukan dengan usaha yang baik pula. Untuk itu perlunya suatu pengelolaan sumber daya tambang yang dapat menjamin hasil tambang masih dapat dinikmati tidak hanya dalam jangka waktu singkat tetapi juga hingga ke generasi yang akan datang.

Potensi konstribusi sektor pertambangan terhadap pembangunan dan perekonomian sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda, namun konstribusi tersebut hanya sebatas kepentingan penjajah. Demikian pula ketika masa penjajahan Jepang konstribusi sektor pertambangan dijadikan keuntungan bagi para penjajah. Pada masa itu konstribusi sektor pertambangan tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk Indonesia.

126

Optimalisasi Sektor Pertambangan Melalui UU Minerba, 17 Maret 2016).


(47)

tersebut masih akan dapat dipertahankan dalam beberapa rencana pembangunan lima tahun, walaupun dimasa mendatang cadangannya terus menipis. Bahkan telah ada upaya untuk mengganti migas dengan energi lainnya yang terbarukan.127 Tantangan yang harus dihadapi untuk memnuhi harapan itu adalah upaya pencarian bahan galian yang berkualitas dan memilki prospek pengusahaan.128

Terjadinya krisis moneter di Indonesia berpengaruh kepada berbagai sektor industri di Indonesia. Gejolak moneter merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi negara, sanggung tidak sanggup harus dihadapi. Dalam kondisi yang demikian, usaha peningkatan ekspor berbagai komiditas dapat menjadi salah satu alternatif sumber pemasukan pendapatan negara yang dapat menyelamatkan perekonomian negara. Termasuklah komiditas bahan galian yang dapat menghasilkan devisa. Daya nilai ekspor komoditas bahan galian (seperti, minyak dan gas bumi, emas, tembaga, nikel, timah, batubara dan bauksit) dapat dijadikan andalan untuk memperkecil defisa berjalan. Mengingat pada umumnya bahan galian di Indonesia berorientasi ekspor, maka gejolak moneter di sektor pertambangan tidak terlalu berpengaruh terhadap minat investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Daya tarik lainnya adalah potensi bahan galian Indonesia, jaminan kepastian hukum, insentif perpajakan, dan pelayanan birokrasi.129

127

Bambang Dwiyanto, “Prospek dan Kendala Pengembangan sumber Daya Kelautan Dalam PJPT II (Forum Pendapat)”, Majalah Pertambangan dan Energi, Edisi Desember 1997, Jakarta, hlm. 42.

128

H. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan (Yogyakarta : UIII Press, 2004), hlm. 198. 129

H. Abrar Saleng, Ibid., hlm. 199.


(48)

Dapat dikatakan walaupun terjadi krisis moneter pembangunan dan pengembangan sektor pertambangan dan energi tetap berjalan dan tidak banyak terpengaruh krisis tersebut. Pembangunan sektor pertambangan dan energi merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk mendukung program industrialisasi melalui penyediaan bahan baku industri dan sumber energi di dalam negeri, meningkatkan penerimaan negara dari devisa dan membuka seluas-luasnya kesempatan berusaha dan lapangan kerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.130

Sektor Pertambangan juga memiliki konstribusi yang besar bagi pembangunan daerah. Dengan adanya pengusahaan tambang di daerah, maka akan terbentuk juga pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah usaha mikro masyarakat lingkar tambang akan membawa pengaruh terhadap Penggunaan sumber daya mineral dan energi merupakan salah satu modal dasar bangsa, diarahkan agar dapat menjadi pendorong utama bagi pembangunan ekonomi. Perolehan nasional dari sektor pertambangan bersifat multidimensional, yaitu sektor pertambangan sebagai penyedia bahan baku bagi industri, mampu menyediakan sumber energi primer bagi industrilisasi dalam negeri. Selain itu, sektor pertambangan juga dapat meningkatkan penerimaan negara dan devisa, membantu pemerataan pembangunan, membuka seluas-luasnya kesempatan berusaha dan bekerja serta meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat.

130


(49)

perekonomian daerah, sebab masyarakat pencari kerja dan pelaku ekonomi akan tertarik ke wilayah pertumbuhan yang baru. Lambat laun jasa-jasa lainnya akan tumbuh, baik jasa yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan pertambangan. Usaha mikro yang berada pada lingkar tambang juga lambat laun akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia masyarakat sekitar, sehingga masyarakat akan memiliki jiwa usaha serta kemampuan yang baru dengan adanya usaha-usaha di wilayah tersebut. Oleh karena itu, bukan hanya pengembangan wilayah juga pengembangan kegiatan ekonomi menjadi relatif lebih berkembang dan tumbuh mandiri.

Perkembangan sektor ekonomi dimaksudkan sebagai pendukung kebutuhan dasar para pekerja perusahaan pertambangan. Sebab akan lebih efesien apabila segala kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan dasar para pekerja tersedia di wilayah yang sama dengan wilayah tempat usaha pertambangan berada. Seperti yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia Company berupa pengembangan wilayah timika terpadu dan kota baru yang asri Kuala Kencana. Pengembangan lain yang dilakukan industry usaha tambang seperti pembangunan sarana jalan, pembangunan PLTA, air bersih, dan rumah sakit umum yang dilakukan oleh PT. International Nickel Indonesia .131

131

H. Abrar Saleng, Ibid., hlm. 201.

Program local and community development yang dilakukan dengan adanya pengusahaan pertambangan terhadap pembangunan masyarakat dan daerah setempat dapat dilihat banyak contoh lainnya pada usaha-usaha pertambangan di daerah-daerah lain selain beberapa contoh yang telah disebutkan.


(50)

Potensi sektor pertambangan yang cenderung meningkat untuk berkembang pada masa mendatang akan semakin diarahkan bagi peningkatan ekonomi nasional serta peningkatan sistem yang mandiri, professional, dan tangguh terhadap pengaruh lingkungan global dan regional. Kondisi nasional sendiri menuntut beberapa hal, antara lain seperti penegakkan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan, kepedulian terhadap lingkungan, pengembangan pola pengusahaan pertambangan, peningkatan sumber daya manusia, keterkaitan industri dengan pertambangan yang dapat saling menunjang, dan upaya-upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan sosail terutama bagi masyarakat lingkar tambang.132

Usaha pertambangan merupakan kegiatan untuk mengoptimalkan pemanfaatan SDA tambang (bahan galian) yang terdapat di dalam bumi Indonesia.

Perkembangan yang demikian diharapkan dapat menciptakan keselarasan antara perkembangan pembangunan nasional dan daerah. Keselarasan tersebut juga diharapkan dapat menciptakan keseimbangan antara pembangunan, pertumbuhan ekonomi, dan lingkungan hidup wilayah sekitar tambang.

B. Pengelolaan Berkelanjutan Usaha Pertambangan

133

Pengertian bahan galian adalah setiap unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam.134

132

Ibid., hlm. 208. 133

H. Salim HS, Op.Cit., hlm. 53. 134

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan, Bab I, Pasal 2.


(51)

rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang.135

Usaha pertambangan tidak hanya dilakukan oleh pemerintah semata-mata, tetapi dapat juga dilakukan oleh koperasi, badan atau perseorangan. Di dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ditentukan bahwa pertambangan dapat dilakukan oleh instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri, perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan dengan modal bersama antara negara dan daerah, koperasi, badan atau perseorangan swasta, perusahaan dengan modal bersama antara negara dan/atau daerah dengan koperasi dan/atau badan/perorangan swasta, pertambangan rakyat. Namun, di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ditentukan lembaga, badan usaha atau perseorangan yang dapat melakukan usaha pertambangan, khususnya bahan galian strategis dan vital.

136

Perusahaan tersebut harus yang berbentuk badan hukum dengan ketentuan bahwa perusahaan atau perseorangan swasta tersebut harus sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Perusahaan atau perseorangan swasta yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak akan dapat memperoleh izin untuk melakukan usaha pertambangan. Pada dasarnya, kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh orang atau masyarakat atau badan hukum atau

135Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Bab I, Pasal 1 angka (6).

136

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, Bab III, Pasal 6 sampai dengan Pasal 9.


(52)

badan usaha, dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu illegal mining dan

legal mining.

1. Kegiatan usaha pertambangan dengan izin (legal mining)

Pengertian legal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hukum. Legal mining merupakan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh badan usaha atau badan hukum didasarkan pada izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Salah satu bentuk izin itu, yaitu izin usaha pertambangan (selanjutnya disebut IUP). IUP merupakan izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. 137

Izin usaha pertambangan merupakan izin yang diberikan kepada pemegang izin untuk melakukan dua kegiatan pertambangan. Kedua kegiatan pertambangan itu, meliputi :

138

137

Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara, Bab I, Pasal 1 angka (7).

138

H. Salim HS, Op.Cit., hlm. 111.

a. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.

b. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.

Izin yang dapat diberikan untuk dapat melakukan kedua kegiatan tersebut dibedakan menjadi dua jenis , yaitu :


(1)

9. Kepada Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama Penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Kepada seluruh Dosen Pengajar dan Pegawai pada Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Kepada kedua orangtua penulis, Alamarhum M. Sitohang S.H, M.Sp dan E. Saragih, serta kakak dan abang-abang dari penulis yaitu Mathilda Sitohang S.H, Martin Sitohang, Malvino Sitohang, dan Maurits Sitohang yang telah memberikan semangat, kekuatan, motivasi serta doa kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktunya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan;

12.Orang yang spesial bagi penulis, Daniel Mihado Pasaribu yang telah memberikan bantuan, dukungan dan semangat;

13.Sahabat-sahabat seperjuangan penulis selama masa perkuliahan yang menemani serta banyak mendukung Monica Ria Hutabarat, Marissa Meinita, Rachel Agatha, Ruth Depari, Jessica Lydia, Julian Marbun, Sonya Evalin 14.Sahabat-sahabat penulis sejak SMA yaitu Diva Eryana, Dian Labora,

Febryanda Lubis, Theresia Sinuraya;

13. Seluruh Keluarga Besar Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(2)

Demikianlah penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang mendukung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan lancar dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan yang terbaik bagi kita semua.

Medan, 5 April 2016


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penelitian ... 11

E. Tinjauan Pustaka ... 13

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II PENGATURAN YANG DIKELUARKAN PEMERINTAH DALAM PENCEGAHAN PENCEMARAN LINGKUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN A. Instrumen Hukum Pencegahan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 23

B. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Otonomi Daerah ... 31


(4)

2. Kebijakan pemerintah daerah dalam mengelola lingkungan hidup ... 38 C. ... Peranan Pemerintah dalam Penerapan Kebijakan Mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 42

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN DALAM MENGELOLA SDA DAN LINGKUNGAN HIDUP DIKAITKAN DENGAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

A.Perkembangan Hukum dalam Penerapan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan ... 53 1. Peran hukum dalam pembangunan berkelanjutan ... 55 2. Perkembangan hukum pembangunan berkelanjutan di

Indonesia ... 56 B.Pemahaman Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam

PeraturanPerlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup .. 63 C. Prinsip – Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam

Pengelolaan Lingkungan Hidup ... 73 D. Peranan dan Tanggung Jawab Perusahaan dalam Mengelola

SDA dan Lingkungan Hidup ... 80 1. Kaitan sumber daya alam dengan lingkungan hidup ... 81 2. Peranan dan tanggungjawab pelaku usaha dalam

mengelola SDA dan lingkungan hidup ... 82 3. Mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui CSR .. . . 89


(5)

BAB IV PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI BIDANG PERTAMBANGAN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

A. Konstribusi Sektor Pertambangan bagi Pembangunan ... 92 B. Pengelolaan Berkelanjutan Usaha Pertambangan ... 97 1. Kegiatan usaha pertambangan dengan izin (legal mining) . 99

2. Kegiatan usaha pertambangan tidak berizin (illegal mining) ... 103 C. Penerapan Prinsip Pembangunan Berkelanjutan dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 118 B. Saran ... 120


(6)

ABSTRAK

PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN KERUSAKAN LINGKUNGAN DALAM BIDANG

PERTAMBANGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN

BATUBARA

Margaretha Aldila Fitri* Bismar Nasution** Mahmul Siregar***

Indonesia sebagai negara berkembang masih memanfaatkan sumber daya alam sebagai salah satu faktor pendapatan negara, diantaranya sumber daya tambang mineral dan batubara sebagai penarik minat investor untuk menanamkan modalnya, namun kegiatan ini dapat menimbulkan dampak kerusakan lingkungan, maka untuk mencegah kerusakan lingkungan perlunya pemerintah dan pengusaha mengsinkronkan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana pengaturan yang dikeluarkan pemerintah dalam pencegahan pencemaran lingkungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, bagaimana tanggung jawab perusahaan dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup dikaitkan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan,bagaimana penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai upaya pencegahan kerusakan lingkungan hidup di bidang pertambangan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara penelusuran kepustakaan (library research) untuk memperoleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pentingnya penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengaturan perundang-undangan Indonesia sebagai upaya pencegahan kerusakan lingkungan, di bidang pertambangan mineral dan batubara setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi pedoman agar setiap individu atau badan usaha tidak hanya menguras sumber daya tambang untuk mencari keuntungan tetapi juga memperhatikan aspek lingkungan dan sosial, dan pemerintah juga berperan sebagai pengawas dan memberikan rasa keadilan bagi setiap masyarakat untuk keberlanjutan tambang hingga generasi yang akan datang.

Kata Kunci: Kegiatan Usaha Pertambangan, Lingkungan Hidup, Prinsip Pembangunan Berkelanjutan


Dokumen yang terkait

Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) Dalam Kegiatan Usaha Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara

0 40 103

Tinjauan Hukum Mengenai Tanggung Jawab Perusahaan Pertambangan Terhadap Lahan Bekas Tambang Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara Juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pen

0 6 1

PELAKSANAAN RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN MINERBA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

0 4 12

SKRIPSI PELAKSANAAN RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN MINERBA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

2 10 13

PENDAHULUAN PELAKSANAAN RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN MINERBA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

0 3 26

PENUTUP PELAKSANAAN RENEGOSIASI KONTRAK KARYA PERTAMBANGAN MINERBA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

0 3 7

Tinjauan Yurudis Pertanggungjawaban Hasil Pemeriksaan dari Segi Hukum Sebagai Bagian dari Studi Kelayakan Dihubungkan dengan Penerbitan Ijin Usaha Pertambangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

1 1 34

PENAMBANGAN ILEGAL DI DESA JENDI KABUPATEN WONOGIRI BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA.

0 0 12

Undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara - Repositori Universitas Andalas

0 0 87

PENERAPAN SANKSI HUKUM IZIN PERTAMBANGAN BERDASARKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA ABSTRAK - PENERAPAN SANKSI HUKUM IZIN PERTAMBANGAN BERDASARKAN UNDANG UNDANG NO. 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BA

0 0 5