BAB : PENGOBATAN

BAB : PENGOBATAN

Masalah: Pengobatan ala Nabi saw bersumber dari wahyu. Pendapat Syaikh al-Albani :

Pengobatan ala Nabi saw bukanlah seperti pengobatan para dokter. Pengobatan ala Nabi adalah sesuatu yang yakin qath'iyun ilahiy yang bersumber dari wahyu, misykat kenabian, dan kesempurnaan akal. Adapun pengobatan selainnya adalah kira-kira, praduga dan percobaan. Pengobatan ala Nabi hanya dapat bermanfaat bagi orang yang mendapatkannya dengan penerimaan dan keyakinan atas kesembuhan dengannya, serta kesempurnaan penerimaannya dengan keimanan dan ketundukan. Penolakan manusia atas pengobatan ala Nabi ibarat penolakan terhadap penyembuhan lewat al-Qur'an yang merupakan obat. Hal ini bukan dikarenakan lemah obat, tapi karena kebusukan tabiat, kerusakan wadah, dan tidak ada rasa penerimaannya. Wabillhit taufiq. (Diungkapkan oleh Ibnu al- Qayyim dalam kitab 'az-Zaad' (III/97-98)

ash-Shahihah (1/434)

Masalah: Bagaimana mengobati perut yang kendor? Pendapat Syaikh al-Albani :

Ibnu al-Qayyim berkata dalam kitab 'az-Zaad' (III/97-98): 'Dan madu adalah sebaik-baik obat untuk penyakit ini. Apalagi madu tersebut dicampur dengan air panas. Kebiasaan meminum madu adalah pengobatan yang menakjubkan. Yaitu, bahwa pemberian obat harus sesuai dengan ukuran dan takaran yang sesuai dengan kondisi penyakit, bila terlalu sedikit, maka tidak bisa menghilangkan penyakit secara keseluruhan, dan bila terlalu banyak, maka berakibat kelemahannya secara keseluruhan.

ash-Shahihah (1/434)

288 — Ensiklopedi Fatwa Syekh Al-bani

Masalah: Dimakruhkan berobat dengan iktiwa' (pengobatan dengan disundut besi yang sudah dipanaskan) dan minta

diruqyah. Pendapat Syaikh al-Albani :

Dari al-Mughirah bin Syu'bah ra, bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang berobat dengan ikthiwaa'

atau minta diruqyah, maka ia telah berlepas diri dari ketawakalan", 156 Dalam hadits ini dimakruhkan berobat dengan ikthiwaa' atau minta

diruqyah. Yang pertama karena mengandung penyiksaan dengan api. Adapun yang kedua karena mengandung pengharapan kebutuhannya kepada orang lain, di mana manfaatnya masih dalam taraf praduga bukan yakin. Oleh karenanya, di antara sifat orang- orang akan masuk surga tanpa hisab adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak berobat dengan iktiwaa', tidak melakukan tatayyur, serta kepada Allah mereka bertawakal, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh asy-Syaukani.

ash-Shahihah (1/435)

Masalah : Di antara sebab-sebab kesembuhan adalah

mengosongkan perut. Pendapat Syaikh al-Albani :

Dalam pengosongan perut bermanfaat untuk penyembuhan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kondisi perut yang penuh, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu al-Qayyim Hal ini juga bermanf aat untuk penyembuhan penyakit-penyakit yang lain yang sudah banyak di praktekkan oleh banyak orang. Tetapi hal ini bukan berarti berfungsi bagi seluruh jenis penyakit disetiap kondisi manusia.

adh-Dhaifah (1/419-420)

156 Lihat: ash-Shahihah no. 244

Pasal Kesebelas — 289

Masalah : Hakekat masuknya jin ketubuh manusia. Pendapat Syaikh al-Albani :

Dari Utsman bin Abi al-Ash ats-Tsaqafi ra, ia berkata : 'Saya pernah mengeluh kepada Rasulullah saw tentang seringnya lupa hafalan al-Quran. Maka Rasulullah saw menepuk dadaku seraya bersabda : "Wahai syaithan, keluarlah dari dada Utsman."

Rasulullah melakukan hal itu tiga kali. 159 Didalam hadits ini mengandung dalil yang jelas, bahwa syaithan

menyelinap dan masuk ke tubuh manusia walaupun ia seorang mukmin yang shalih.

ash-Shahihah (Vl/1002/Bagian Kedua)

Masalah : Disyariatkan meruqyah orang yang sakit. Pendapat Syaikh al-Albani :

Dari Aisyah ra, ia berkata : 'Rasulullah saw biasa berta'awudz dengan kalimat-kalimatini:

"Ya Allah, Wahai Rabb, manusia hilangkanlah rasa sakit dan sembuhkanlah, Engkaulah yang Maha Penyembuh, tiada kesembuhan kecuali kesembuhan yang datang dari-Mu, kesembuhan yang tidak

meninggalkan rasa sakit. 16 " ° Dalam hadits ini mengandung disyariatkannya meruqyah orang

yang sakit dengan doa yang mulia ini. Hal ini merupakan realisasi dari sabda Nabi saw:

"Barang siapa di antara kalian yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, Hendaklah ia lakukan. " HR. Muslim. Dan Bukhari

Lihat ash-Shahihah No. 971

"Tidak ada penularan dan tathayur, dan penyakit ain adalah suatu yang haq." Lihat ash-Shahihah No. 781

Lihat ash-Shahihah No. 2918 16 °. Lihat ash-Shahihah No. 2775

290 — Ensiklopedi Fatwa Syekh Al-bani 290 — Ensiklopedi Fatwa Syekh Al-bani

ash-Shahihah (VI/643/Bagian Pertama)

Masalah : Disyariatkan meruqyah dengan al Quran. Pendapat Syaikh al-Albani :

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah Saw pernah menemuinya, dan saat itu seorang perempuan sedang mengobatinya atau meruqyahnya. Rasulullah saw bersabda : "Obatilah ia dengan

Kitabullah (al-Quran)" 161 Dalam hadits ini mengandung syariat meruqyah menggunakan al-

Quran, adapun meruqyah dengan selainnya, maka tidak disyariatkan, apalagi tulisan yang berbentuk terpotong-potong atau lambang-lambang yang saling berhubungan yang tidak mempunyai arti yang benar lagi jelas.

ash-Shahihah (IV/566)

Masalah: Tidak mengapa meruqyah yang tidak ada

unsur kesyirikan. Pendapat Syaikh al-Albani :

Seseorang pernah disengat kalajengking, sedangkan kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Maka seseorang berkata : 'Wahai Rasulullah, apakah aku boleh meruqyahnya?' Rasulullah saw bersabda : "Barang siapa di antara kalian yang bisa memberikan

manfaat kepada saudaranya, hendaklah ia lakukan." 162 Hadits ini mengandung anjuran meruqyahnya seorang muslim

kepada saudaranya dengan sesuatu yang boleh digunakan untuk meruqyah, yaitu dengan ucapan-ucapan yang mengandung arti yang dimengerti yang disyariatkan. Adapun meruqyah dengan lafadz- lafadz yang tidak masuk akal, maka hal ini tidak diperbolehkan.

Lihat ash-Shahihah No. 472

Pasal Kesebelas — 291

Al-Munawi berkata : 'Orang-orang memegang teguh keumuman hadits ini. Mereka membolehkan setiap ruqyah yang ada manfaat walaupun maknanya tidak masuk akal. Tetapi hadits ini menunjukkan, bahwa sesuatu yang mengarah kepada kesyirikan adalah terlarang, juga sesuatu yang tidak diketahui maknanya atau tidak dijamin maknanya, akan mengarah kepada kesyirikan, juga terlarang sebagai bentuk kewaspadaan.'

ash-Shahihah (1/765)

292 — Ensiklopedi Fatwa Syekh Al-bani

Pasal Keduabelas

Masalah Pakaian dan Perhiasan