Sumber stres, Appraisal dan Coping Stres
c. Sumber stres, Appraisal dan Coping Stres
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
Awalnya, responden termotivasi menjadi WH karena sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Selain itu, responden juga ingin menyalurkan ilmu yang didapatkannya kepada masyarakat. Namun, selama menjalankan tugas, harapan responden untuk mewujudkan syariat Islam terkendala karena kurangnya dukungan pemerintah terhadap WH. Responden merasa pemerintah lebih memihak kepada pelanggar, apalagi pemerintah juga banyak melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap Qanun.
“Mungkin kalau di Aceh lain, itu PEMDA-nya sangat mendukung kali kerja WH, nah kalau di kita itulah yang kurang,” (R1.W1.b.555-557.h.10)
“kalau tugasnya ya..ya udah, cuma aplikasinya yang masih kurang kan, karena mungkin kurang dukungan” (R1.W1.b.579-581.h.11)
“ kadang-kadang WH di luar dinas, nah ternyata ada tanggapan yang negatif dari masyarakat, sehingga terjadi hal-hal yang seperti itu, nah itu kadang- kadang kalau pemimpin yang bertanggung jawab dia akan menyelesaikan tapi ada memang pemimpin yang kurang sehingga masyarakat yang mengadukan pada pihak yang berwajib. Seharusnya kalau pemimpin kita tegas, hal itu tidak akan terjadi.” (R1.W1.b.354-361.h.8)
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap kurang mendukung kinerja WH juga dianggap sebagai kendala oleh responden. Hak yang terlalu sedikit yang mengakibatkan responden tidak bisa menangkap pelanggar, jenjang kenaikan karir yang tidak disediakan pemerintah bagi WH yang berstatus tenaga kontrak dan masalah administrasi pekerjaan berupa keharusan menggunakan SPJ (Surat Perintah Jalan) jika akan melaksanakan tugas telah menghambat kinerja responden sebagai WH. Responden merasa terlalu dikekang oleh aturan-aturan ini sehingga sulit untuk melaksanakan tugasnya secara maksimal.
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Kalau kendalanya ya, kalau di lapangan mungkin, kalau kita sendiri, kalau semisalnya kita ketemu orang yang apa, gak ada payung hukumnya kalau tidak ada SPJ” (R1.W1.b.215-218.h.5)
“misalnya kalau ke lapangan harus ada SPJ nya, kalau gak ada itu kita gak berani, paling kita beraninya secara fardiyah itu tadi” (R1.W1.b.201-204.h.18)
“pernah dulu ya kan dek, sosialisai Qanun, seperti itu, itupun harus ada SPJ” (R1.W1.b.216-218.h.18)
“jadi kan kita seperti buah simalakama, kerja sedikit turun ke lapangan harus ada SPJ, kalau gak ada ya gak bisa, ni kita naik honda keliling keliling, kalau ada orang yang melanggar paling kita tegur” (R1.W1.b.256-261.h.19)
“Sejauh ni udah 3 tahun ni kita gak ada protes, mau gaji kayak tu mau gaji kayak ni, mau yang gak ada naik jabatan, yang namanya kontrak kita kerja dengan pemerintah ya kan? di samping kita memenuhi ma’isyah (pendapatan) keluarga ya kita juga harus bekerja sesuai dengan apa kita kan..kapasitas yang kita punya, kayak gitu, sebenarnya kita gak ngaruh, cuma kita kalau ada tes pegawai negeri kita ikut, kayak gitu” (R1.W1.b.336-342.h.16)
Responden juga merasa terkendala oleh dana operasional yang tidak diberikan pemerintah. Dana operasional yang tidak diberikan pemerintah terhadap WH kecamatan membuat responden harus menggunakan dana pribadinya dalam menjalankan tugas. Hal ini membuat responden merasa kesal karena ketiadaan dana operasional dinilai tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan yang harus dilaksanakan. Kendala dana ini kemudian menyulitkan responden untuk menjalankan tugasnya, melakukan pengawasan dan pembinaan di desa-desa yang terletak di pedalaman.
“Sebenarnya kalau masalah ya....kalau secara apa gak inilah gak terlalu apa...masalahnya mungkin apa namanya...yang pertama masalah dana,” (R1.W1.b.192-195.h.4)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“pernah dulu kita mengisi pengajian di desanya tiap hari jumat, di Tebuk, daerah Pedekok, tapi kan itu menyangkut juga transportasi kan perlu dana, nah kalau misalnya kalau pemerintah mengatakan ini dana transportasi sekian, jadi kita kan bisa pergi ke mana-mana karena ada uang transportasi, kalau uang kita pribadi kan paling yang dekat-dekat ni cuma bisa kita jangkau, kalau yang jauh-jauh kan kita perlu dana” (R1.W1.b.228-238.h.19)
“kalau di kota kalau mau keliling bisa pakek mobil dinas, kalau di kecamatan pake tranportasi pribadi, nah kalau semisalnya kita gak punya kendaraan pribadi gimana, jalan sekemampuan kita lah, kan gak bisa jauh-jauh kita jalan ke pelosok-pelosok gak bisa, kalau di kota kalau mau turun ke lapangan ada kendaraan, kita turunnya rame-rame, jadi masyarakat inilah kan, segan dia..” (R1.W2.b.282-291.h.20)
“Misalnya kan di Pegasing itu kan ada yang namanya Blang Bebangka, banyak tempat-tempat berkhalwat, cuman kalau kita kurang dana, kalau misalnya gaji kita cuma 700 gitu kan, sementara kerjaan kita berat, kita gak ada uang minyak gak ada segala macam, artinya gara-gara itu mungkin kerjaan WH itu tersendat,” (R1.W1.b.195-202.h.5)
Kondisi buruk yang pernah dialami oleh WH lain karena kurangnya dukungan pemerintah membuat responden trauma dalam menjalankan tugas. Dimana dua tahun yang lalu, salah seorang anggota WH yang ditempatkan di desa pernah menangkap pelaku khalwat. Namun, ketika di serahkan kepada pihak kepolisian, pihak kepolisian justru menyalahkan WH tersebut hingga menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara selama 3 bulan tanpa ada yang membela. Hal ini sempat membuat responden apatis dan berencana untuk tidak melaksanakan tugas.
“ada yang bahkan yang masuk ke sel, penjara, 3 bulan tanpa ada yang membela, nah kalau di polisi tu bukan khalwat nya yang di angkat, tapi kekerasannya, seharusnya kan khalwat tu, perbuatan mesum tu yang diangkat ke permukaan, ini bukan, karena kekerasan, banyak, gara-gara itu mungkin para anggota WH trauma” (R1.W1.b.257-264.h.6)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“Waktu pertama-tama kawan kita tu kenak seperti itu kita trauma betul, alah gak usah lagi apa segala macam” (R1.W1.b.263-265.h.8)
Responden juga seringkali merasa kesal dengan pemerintah yang tidak menindak pelanggar yang telah diajukan WH. Ketika responden mengusulkan pemberian cambuk terhadap seorang pelanggar, namun ternyata setelah sampai di kepolisian pelanggar tersebut dibebaskan. Hal ini semakin meyakinkan responden bahwa di tubuh aparat sendiri terdapat oknum yang dapat menghambat kinerja responden, dan responden juga sangat menyayangkan hukum yang hanya ditegakkan kepada orang kecil.
“kita hanya eng.. membina, mengawasi dan mengadvokasi, kemudian kalau terlalu sulit kita laporkan ke polisi, tinggal polisi lagi, makanya kadang sekarang gak da lagi cambuk, sebenarnya kalau di lakukan cambuk, banyak orang yang udah kena cambuk, dulu pernah kita laporkan, nah sampai di kantor polisi, kan wewenag orang tu lagi” (R1.W1.b.517-525.h.11)
“tu udah banyak orang-orang yang melanggar qanun itu udah banyak yang kita ajukan ke polisi, tinggal mereka lagi, mereka yang berkomunikasi dengan kejaksaan, mereka yang ee....berkomunikasi dengan pengadilan” (R1.W1.b.534-537.h.11)
“kayak kemaren kasus Jon, gitu ya, Jon yang terbukti khamar, yang di pasar impres tu, tu dah besar kali kasusnya tu, itulah sampai sekarang gak terungkap lagi, kalau kemaren tu udah dapat, sekian-sekian botol apa miras tu kan, tu udah kita ajukan ke polisi, ternyata mereka dekingannya kuat, mungkin orang- orang dalam, sehingga tidak terexpos lagi kan, udah diam” (R1.W1.b.544-552.h.12)
Untuk menghadapi kendala dari kebijakan pemerintah, responden berusaha untuk mengajukannya kepada pemerintah. Namun setelah diajukan, responden
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
merasa tidak ada perkembangan apa-apa, sehingga responden memutuskan untuk menunggu saja kebijakan yang akan dilakukan pemerintah.
“Kita hanya menunggu yang pemimpin kita, kita sudah pernah ajukan misalnya kalau rapat” (R1.W1.b.490-491.h.11)
“Itu memang udah kita usulkan, bahkan kemaren isunya WH itu... apa.... ee....apa... akan latihan memegang senjata, kemudian baris berbaris apa segala macam” (R1.W1.b.601-604.h.13)
Awalnya, responden merasa sangat cocok dengan atasannya, yaitu Dinas Syariat Islam. Namun, ketika atasan WH dipindahkan ke Satpol PP, responden merasa sulit untuk bekerja sama dengan atasannya karena responden merasa kurang cocok dengan atasannya sekarang. Responden merasa WH dan Satpol PP itu bertolak belakang. Apalagi pelanggaran Qanun juga ditemukan pada pemerintah. Namun responden tidak terlalu memperhatikan hal ini, responden berprinsip apapun yang terjadi, responden tetap melakukan apa yang menurutnya benar.
“kalau dulu WH ni kan di bawah Dinas Syariat Islam dia, jadi kan matching (sesuai) dia dengan WH ni, kalau sekarang kan udah di bawah satpol PP, kalau syariat Islam dengan satpol PP itu berbanding terbalik kalau kakak pikir kan, wallahu a’lam lah pemerintah kita kenapa di pindah ke satpol PP, kalau dulu kan Dinas Syariat Islam, jadi apa yang kita kerjakan kan nyambung, bisa kita kerja sama, kalau sekarang satpol PP tu pun gak tau Qanun” (R1.W2.b.242-247.h.19)
“Satpol PP dengan WH ni kan bertolak belakang, sepertinya kurang sinkron dengan WH, jadi kita yang penting kepada diri pribadi, mau kita mencari pahala silahkan, kalau enggak ya udah, seperti itu” (R1.W2.b.210-215.h.18)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“kendalanya seperti orang makan buah simalakama, gak dikerjakan mati ibu, dikerjakan mati bapak, karena kan kasus yang ada di dalam Qanun tu ternyata banyak di pejabat-pejabat kita”
(R1.W1.b.505-511.h.11)
” mereka pun setengah-setengah, kalau itulah buah simalakama tadi, kayak iya, kayak enggak, karena banyak pejabat-pejabat kita yang melakukan hal- hal seperti itukan” (R1.W1.b.511-514.h.11)
Selain itu, responden juga mengalami masalah dengan jaminan keamanan yang kurang maksimal diberikan pemerintah. Responden merasa takut jika razia ke daerah yang terpencil yang masih sunyi penduduknya, karena responden merasa ada kemungkinan masyarakat yang protes terhadap teguran WH akan melakukan tindakan brutal yang kemudian tidak mendapatkan pembelaan dari pemerintah. Namun responden tetap berharap tidak akan pernah mendapatkan perlakuan buruk dari masyarakat.
“kalau secara terang-terangan apa kita juga kurang ada keberanian, karena ketika terjadi masalah ke kita juga tidak ada yang bisa menanggung jawabi” (R1.W2.b.204-208.h.18)
“jadi kalau kita ada kawan lebih kurang minimal 3 atau 4 orang, bisa kita menegurnya, kalau kita sendiri atau berdua perempuan dengan perempuan, kan kita gak tau laki-laki, mereka mungkin bawa kawan atau segala macam, nah itu yang kita takutkan sehingga kadang-kadang kita gara-gara itu gak ini, gak terjun ke lapangan secara detail, kita cuma keliling ke kampung, kita cuma menegur secara biasa,” (R1.W1.b.234-241.h.5)
“mungkin kadang-kadang yang berkhalwat tu mungkin polisi atau tentara, nah ketika kita katakan, pak jangan ng.... mereka ada perlawanan, nah kalau kita gak kuat mental kan kita jadinya ini takut, gitu.” (R1.W1.b.247-252.h.6)
“nah kalau kita menegur orang trus orang gak terima itu bisa berefek ke kita” (R1.W2.b.198-200.h.18)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“mudah-mudahan janganlah ya kena kondisi buruk itu..” (R1.W1.b.379-380.h.7)
Hal ini membuat responden harus mengecek dulu kondisi lapangan, jika lapangan serasa membahayakan, maka responden memutuskan untuk tidak turun razia, tetapi jika lapangan serasa tidak membahayakan, responden baru turun ke lapangan untuk melakukan razia.
“kalau kendala yang berarti kan kita pun lihat situasi dan kondisi kalau ini membahayakan ya kita gak datang, kalau ini gak membahayakan ya kita jalani” (R1.W1.b.294-298.h.7)
Responden beranggapan bahwa jika masyarakat ditegur dengan cara yang kasar dan keras, masyarakat akan melakukan tindakan brutal yang bisa saja mengancam keselamatan responden. Responden juga menilai bahwa para pemuda akan senang dan tidak akan marah jika ditegur dengan cara yang lembut. Sehingga, untuk menghindari perilaku kekerasan dari masyarakat, responden memilih untuk memberikan teguran dengan cara yang halus dan lembut.
“nantikan orang tu, tapi mudah-mudahan enggak, pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan, makanya kami secara fardiyah aja” (R1.W2.b.223-228.h.19)
“kakak tidak menegur mereka dengan kekerasan” (R1.W2.b.268-269.h.19)
“Hal ini paling sering kita hanya menasehati saja” (R1.W2.b.385-386.h.22)
“Ya, kita harus melakukannya dengan cara yang baik-baik gitu, kalau kita mau mensosialisasikan Qanun maka kita mensosialisasikannya dengan kelembutan, gitu, sesuai dengan kapasitas kita” (R1.W2.b.364-368.h.21)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“apalagi kalau kita yang perempuan kalau pemuda pemuda suka dia kan, maksudnya senang dia dengan lembut-lembut, gak ada “Win! pulang!” gak ada kayak gitu, lembut-lembut kita….” (R1.W2.b.387-391.h.22)
Selain merasa kurang mendapat dukungan dari pemerintah, responden juga merasa kurang mendapat dukungan dari masyarakat. Masyarakat seringkali memberikan protes saat ditegur karena masyarakat masih lebih percaya terhadap ajaran leluhur yang kurang sesuai dengan agama Islam. Rasa kesal yang dialami responden karena masyarakat tidak menerima pengarahan yang diberikan WH ini semakin bertambah ketika masyarakat selalu menyalahkan WH jika terjadi kemaksiatan. Kondisi ini dinilai oleh responden sangat bertolak belakang dengan harapan responden untuk mendapat dukungan dari masyarakat.
“kan kadang-kadang massa tu gak terima dengan perlakuan WH, “apa di urus, masalah jilbab kan kami dengan Tuhan, masalah sholat kan kami dengan Tuhan”, kan seperti itu” (R1.W1.b.221-225.h.5)
“ada yang memang mereka merasa seolah-oleh merasa di atur, kalau kita bilang secara kasar ngapain di urus,” (R1.W2.b.19-21.h.14)
“kayak kemaren tu kakak lewat di Pegasing, pagi-pagi Ibu tu duduk dia di depan rumahnya cari kutu, gak pake jilbab, atau sambil gendong anak nyusukan anak nampak auratnya, berhenti di situ, ada yang memandang kita sinis” (R1.W2.b.134-140.h.17)
“kalau masyarakat kita ni orangnya gimana ya, masih percaya kepada leluhur-leluhur dari zaman-zaman, jadi mereka belum punya ilmu kalau ini tidak boleh kalau ini tidak boleh” (R1.W2.b.189-193.h.18)
“….sehingga masyarakat kadang-kadang tidak mendengar apa yang kita bilang, tapi masyarakat kalau terjadi kemaksiatan sikit-sikit WH, sikit-sikit WH…” (R1.W2.b.298-301.h.20)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“jadi harapan kakak tu, di dalam kita bertugas, terutama di Pegasing tu kan masyarakat mendukung penuh kerja WH, artinya tidak memandang sebelah mata” (R1.W2.b.652-656.h.14)
Menghadapi respon negatif dan protes yang diberikan masyarakat, responden terkadang merasa marah, kesal, geram, jengkel dan kecewa. Namun responden tetap bersabar dan menganggapnya sebagai konsekuensi tugas. Responden menganggap bahwa WH adalah guru pendidik, sehingga harus dewasa dan bersabar menghadapi perlakuan masyarakat.
“Ya jelasnya kecewalah, masyarakatnya seperti itu kan” (R1.W1.b.404-405.h.9)
“Ya merasa bersalah dek, itu jelas dek” (R1.W1.b.166.h.17)
“Pernah secara manusiawi kita kan, kita juga, tapi kita harus memang menegur” (R1.W1.b.432-433.h.9) “ada memang hal-hal semacam itu, lagi kita nasehati dia diem, main hp, apa segala macam, banyak tingkah masyarakat tu kan, tinggal kita lagi harus dewasa menanggapinya” (R1.W1.b.447-451.h.10)
“tapi kita harus memang menegur, jadi penasehat pendidik, pendidik itu kan mesti sabar” (R1.W1.b.432-435.h.9)
“jadi WH itu kan ternyata guru atau pendidik, orang yang eng....menegakkan amar makruf nahi mungkar itu kan adalah seorang pendidik atau guru, nah guru itu harus bersikap ikhlas, harus sabar” (R1.W1.b.473-478.h.10)
Respon negatif yang diberikan masyarakat membuat responden beristighfar dan berdoa agar masyarakat mau membukakan hatinya untuk mendengarkan apa yang disampaikan responden. Selain itu responden juga menginstrospeksi diri,
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
mencoba melihat kesalahan yang mungkin saja dilakukannya sehingga masyarakat memperlihatkan perubahan yang minim. Responden beranggapan bahwa mungkin saja hal ini disebabkan oleh penyampaian responden yang tidak dilakukan dengan hati. Responden juga menilai bahwa keluarganya saja yang setiap hari dijumpainya belum mampu menjalankan arahan responden untuk melaksanakan syariat Islam, apalagi orang lain yang tidak setiap hari menghabiskan wahtu bersama responden.
“Ya, sekurang-kurangnya istighfarlah, astaghfirullah, kayak gitu kan” (R1.W1.b.454-455.h.10)
“Ya minimal berdoa “ya Allah mudah-mudahan mereka membukakan pintu hatinya, mereka dengar apa yang kita sampaikan” (R1.W2.b.304-309.h.20)
“Ya, itu kan masalah bagi kita kan, misalnya adek-adek atau ibu-ibu yang kita bina masih aja kayak gitu, trus kita introspeksi diri, berarti apanya lah yang dari kita kurang, sehingga masyarakat kadang-kadang tidak mendengar apa yang kita bilang” (R1.W2.b.294-299.h.20)
“mungkin kakak pribadi mungkin menyampaikannya bukan dari hati mungkin, ya kan, sehingga masyarakat kayak gitu, kalau keluarga aja yang tiap hari liat kita belum lagi tersentuh, apalagi orang lain yang jauh dari kita” (R1.W2.b.173-178.h.18)
Responden juga pernah langsung memperlihatkan ayat Al-quran yang mewajibkan muslimah untuk berjilbab agar masyarakat tidak lagi memberikan protes. Namun ketika hal ini belum memperlihatkan perubahan yang berarti, responden merasa tidak mampu melakukan apa-apa lagi, sehingga respondne memilih untuk diam saja dan bersabar. Responden menilai bahwa responden telah berusaha melaksanakan tugas dengan maksimal, sehingga bagaimana pun kondisi
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
masyarakat responden menyerahkan kembali kepada masyarakat tersebut. Kondisi ini juga terkadang membuat responden merasa malas untuk melaksanakan tugas.
“kita bawa terus Al-Quran surat sekian..kita kasih sama mereka sehingga mereka terdiam” (R1.W1.b.395-397.h.9)
“sekarang intinya apa yang mampu kita kerjakan di dalam melaksanakan tugas WH itu, mampu mengawasi, mampu mengisi pengajian, itu yang udah kita niatkan untuk kerjaan WH” (R1.W1.b.210-214.h.5)
“yang penting kita selalu menyampaikan, terserah perkara orang terima atau tidak ya terserah mereka” (R1.W1.b.179-181.h.18)
“Kalau datang itu nya mau kayak gitu ya kan dek, misalnya “halah kayak mana ini, ah ya udahlah yang penting kita udah menjalankan tugas, mau dengar ya terserah, mau enggak ya udah” kayak gitu, pernah juga ya kan, manusiawi lah kalau hal-hal semacam itu” (R1.W2.b.309-314.h.20)
Menghadapi kendala yang dialainya dari masyarakat, responden juga sering mencoba berbagi dengan teman-temannya sesama WH yang ditempatkan di desa. Mencoba untuk mengetahui beban yang dialami oleh rekan-rekannya dan mencari jalan keluar terhadap permasalahan yang mereka hadapi. Dukungan dan penguatan yang diberikan teman-teman responden membuat responden tetap bertahan dan tetap berusaha untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
“Dengan kawan-kawan sesama WH kecamatan yang lain, sharing (berbagi) lah gitu kan, jadi mereka bilang “oh, gak di Pegasing aja masalahnya kayak gitu, semua kecamatan, jadi kita pande-pande aja” (R1.W2.b.272-276.h.19)
Untuk mengurangi beratnya beban tugas membina masyarakat, responden menyiapkan rencana untuk selalu melakukan pendekatan kepada masyarakat khususnya kepada kaum ibu, dengan harapan bahwa ibu-ibu yang menjadi
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
pendidik di dalam keluarga akan mampu mendidik keluarganya agar selalu menjalankan syariat Islam.
”Kakak juga punya planning-lah untuk dekat terus dengan masyarakat, minimal kan dengan ibu-ibunya, karena ibu-ibu lebih berperan penting dalam keluarga” (R1.W2.b.395-398.h.22)
Untuk masalah-masalah ringan seperti khalwat atau busana muslim, responden berusaha menyelesaikannya sendiri, tetapi jika masalahnya dinilai agak berat seperti mesum, maka responden akan meminta bantuan dari aparat kampong dan orang tua pelaku agar masalah ini diselesaikan secara adat. Responden kemudian berusaha untuk menjaga agar kasus yang berat ini tidak tersebar luar ke masyarakat lain.
“mm…tergantung masalahnya, kalau berat masalahnya ya kita adukan ke yang lebih tinggi, kalau masalahnya masih bisa kita atasi ya no problem gitu” (R1.W2.b.349-352.h.21)
“rata-rata kalau kasus yang berat kita panggil kepala desa, pak geuchik atau orang tuanya, kita selesaikan secara adat, kita tidak expose ke luar” (R1.W1.b.413-416.h.9)
“tapi kalau hanya sekedar berdua-duaan, berkhalwat tanpa ini ya kita bubar aja..kita larang kayak gitu orang tu bubar terus walaupun nanti dia balik lagi ke situ kan kita gak tau lagi kan, yang penting kita sudah bekerja..” (R1.W1.b.421-426.h.9)
Jika responden merasa jalan keluar yang dilakukannya berhasil, maka ke depan responden akan melakukan jalan keluar yang sama. “nanti besok-besok kita kalau hal ini berhasil, orang tu gak melawan, apa
segala macam besok-besok hal seperti itu yang sama kita lakukan lagi” (R1.W1.b.468-471.h.10)
Selain mendapatkan respon negatif, responden juga mendapatkan respon positif dari masyarakat. Respon positif ini kemudian menjadi penguat bagi
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
responden untuk menjalankan tugas, sehingga responden menjadi tetap bersemangat dan bertanggung jawab dalam bekerja.
“itu yang membuat kita bersemangat untuk bekerja, karena mereka merespon apa yang kita bilang” (R1.W2.b.22-24.h.15)
“pahit manisnya adalah ya, itulah yang membuat kita semakin itu kan, menjalankan tugas penuh tanggung jawab…” (R1.W2.b.29-31.h.15)
“cuma sukses atau tidaknya kita kerja, biar ke depan kita lebih ini kan, meningkatkan kinerja” (R1.W2.b.324-326.h.20)
Memandang beratnya beban pekerjaannya, responden mencoba untuk ikhlas dan lebih memandang sisi positifnya saja. Responden menganggap bahwa bekerja sebagai WH akan mendapatkan banyak pahala. Namun, responden juga pernah berniat untuk menjadi WH Kabupaten, karena responden menilai WH yang ditempatkan di kabupaten memiliki beban yang lebih ringan dari pada WH Kecamatan, dimana wilayah tugas WH kabupaten berada lebih dekat dengan rumah responden dan WH kabupaten diberi fasilitas yang lebih lengkap.
“Cuma kita ikhlas beramal aja, walaupun gajinya minim, kan di bawah target minimum, target minimumnya kan 8,5, semua karyawan, kita di bawah target minimum, walaupun itu dari PEMDA setempat, di bawah” (R1.W1.b.480-483.h.10)
“kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala” (R1.W2.b.331-333.h.21)
“Pernah, selain dekat dengan rumah, juga enak gitu, kalau mau razia keliling- keliling ada transportasi, kan WH tu seyogyanya dari pemerintah ada 2 motor,
1 mobil dinas, kalau di kota kalau mau keliling bisa pakek mobil dinas, kalau di kecamatan pake tranportasi pribadi” (R1.W2.b.279-285.h.20)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.
“sebenarnya kita gak ngaruh, cuma kita kalau ada tes pegawai negeri kita ikut” (R1.W2.b.343-345.h.21)
Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.