GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HIS

GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA SKRIPSI

Di ajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh RENA KINNARA ARLOTAS 051301141 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GANJIL, 2009/2010

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

SKRIPSI GAMBARAN COPING STRES PADA WILAYATUL HISBAH YANG DITEMPATKAN DI DESA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

RENA KINNARA ARLOTAS 051301141

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 21 Desember 2009

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Chairul Yoel, Sp. A(K) NIP. 140 080 762

Tim Penguji

1. Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog Penguji/Pembimbing NIP. 1980 07 22 2005 02 2001

2. Arliza J. L. M.Si, psikolog Penguji II NIP. 1978 03 25 2003 12 2002

3. Ridhoi Meilona, M.Si Penguji III NIP.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan di Desa

adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Desember 2009

RENA KINNARA ARLOTAS NIM 051301141

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Coping Stres Pada Wilayatul HisbahYang Ditempatkan di Desa

Rena Kinnara A dan Juliana I. Saragih

ABSTRAK

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam di masyarakat, maka dibentuklah Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah) yang merupakan lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam. WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong (kampung) dan lingkungan – lingkungan lainnya.

Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa mengalami berbagai kendala yang menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang mereka rasakan akibat kendala yang terjadi menyebabkan timbulnya stres. Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan sehingga WH termotivasi untuk melakukan coping. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran coping stres pada WH yang ditempatkan di desa. Untuk menjawab permasalahan ini, digunakan teori sumber stres dari Cary Cooper yaitu sumber stres dari pekerjaan dan teori fungsi coping stres dari Lazarus dan Folkman yang terdiri dari emosional focus coping dan problem focus coping.

Pengambilan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif dengan jumlah responden sebanyak 3 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi pekerjaan yang menjadi sumber stres pada masing- masing responden berbeda satu sama lain. Begitu juga dengan coping stres yang digunakan berbeda pada masing-masing responden. Namun secara umum responden menggunakan emosional focus coping dan problem focus coping secara bersamaan. Selain itu responden juga menggunakan emosional focus coping saja atau problem focus coping saja.

Kata kunci: stres, coping stres, Wilayatul Hisbah

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Coping Stress in Wilayatul Hisbah Who Are Placed in Rural Area Rena Kinnara Arlotas and Juliana I. Saragih

ABSTRACT

The Nanggroe Aceh Darussalam has put the Islam law into effect for seven years. Tu supervise the implementation of Islam Law in public, the province goverment has established Wilayatul Hisbah (the regional supervisor often is called ”Syariah Police”) which is the institution that has duties to control, to cultivate, and do advocacy for implementation of rules in legislation of Islam Law. The WH has organization structure which consists of WH Province level, WH regency and Town Level, WH subdictrion level, even enable, it is established in gampong (village) ang others districts.

Different from WH who are placed in town, WH who are placed in rural area faced various obstacles which demand them to work harder perform their duties. The burden of work that they feel as result of obstacles cause of stress. The stress which is felt by the individual is accompanied by emotion stress and physical strain cause of incomfortable in WH, so they are motivated to do coping. This research has purpose to understand how condition of coping stress in WH who are placed in rural area. To answer this problem, that are used is the Cory Cooper’s source of stress theory, that is the stress which has source from work and function theory of coping stress from Lazarus and Folkman that include of Emotional Focus Coping and Problem Focus Coping.

The sampling of data in this research use qualitative methode with three respondent. The result of research show that the dimension of work that to be source of stress in every respondents is different each other. And coping stress that is different in each respondents. Nevertheless, generally respondents used emotional focus coping and problem focus coping similarly. Beside that, the respondent use emosional focus coping only or problem focus coping only.

Key word: stress, coping stress, Wilayatul Hisbah.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat Rahmat, Iradat dan Rahim-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah yang Ditempatkan di Desa”. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, kepada keluarga dan sahabatnya. Semoga semangat dan kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan bagi kita semua.

Terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada Papa dan Mama, Kakak dan Adinda tercinta yang selalu memberi perhatian, semangat, harapan, dan do’a. Semoga kedamaian, cinta dan kasih sayang yang kita rasakan di dunia ini dapat berlanjut hingga ke syurga kelak, Amin ya Rabb.

Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Chairul Yoel, SP.A (K) selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Juliana I. Saragih, M.Psi, psikolog selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar dan ikhlas ditengah kesibukannya masih bersedia meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan ilmu, saran, arahan dan bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Arliza J. Lubis. M.Si, psikolog dan Ridhoi Meilona, M.Si selaku dosen penguji

yang telah bersedia menjadi penguji tugas ini, terima kasih atas kritik dan saran yang telah diberikan terhadap upaya perbaikan skripsi ini.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

4. Para responden yang telah meluangkan waktu dan bersedia berbagi cerita dan

pengalaman.

5. Saudara seperjuangan: Dian, Faqih, Via, Retno, Afni, F4/TOP 1 (Widi, Rossy,

Listi) yang selalu mendukung dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Fauzan yang selalu menjadi korban kesibukan penulis saat menyelesaikan skripsi ini, dan seluruh rekan-rekan The Way yang senantiasa istiqamah di jalan dakwah. Semoga jarak bukan menjadi kendala untuk senantiasa menjalin ukhuwah ini. Serta seluruh pihak yang turut memberikan dukungan moril dan materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam

penelitian ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak. Amin

Medan, Desember 2009 Penulis

Rena Kinnara Arlotas

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR ISI

COVER HALAMAN DEPAN i LEMBAR PENGESAHAN ii LEMBAR PERNYATAAN iii ABSTRAK iv ABSTRACT v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL viii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah 1

B. Perumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 11

D. Manfaat Penelitian 11

E. Sistematika Penulisan 13 BAB II LANDASAN TEORI

A. Stres 14

1. Pengertian Stres 14

2. Respon Terhadap Stres 15

3. Sumber-sumber Stres 17

4. Penilaian Terhadap Stres 21

5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Stres Appraisal 23

B. Coping 24

1. Pengertian Coping 25

2. Fungsi Coping 25

3. Faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping 29

4. Coping Out Come 31

C. Wilayatul Hisbah 32

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

1. Pengertian Wilayatul Hisbah 32

2. Tugas Wilayatul Hisbah 34

3. Wewenang Wilayatul Hisbah 37

4. Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang 39 Ditempatkan di Desa

D. Paradigma Penelitian 44 BAB III METODE PENELITIAN A.Pendekatan Kualitatif 45

B. Responden Penelitian 45

1. Karaktersitik Responden 45

2. Jumlah Responden 46

C. Prosedur Pengambilan Data 46

D. Lokasi Penelitian 49

E. Alat Bantu pengambilan Data 49

F. Kredibilitas Penelitian 50

G. Prosedur Penelitian 51

1. Tahap persiapan penelitian 51

2. Tahap pelaksanaan penelitian 52

3. Tahap pencatatan data 54

4. Teknik dan prosedur pengolahan data 54 BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI 57

A. Analisa Data 58

1. Responden I 58

a. Hasil Observasi 58

b. Ringkasan Hasil Wawancara 61

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan 62 coping stres

2. Responden II 80

a. Hasil Observasi 80

b. Ringkasan Hasil Wawancara 84

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan 62 coping stres

3. Responden III 104

a. Hasil Observasi 104

b. Ringkasan Hasil Wawancara 106

c. Sumber-sumber stres, proses appraisal, dan 109 coping stres

B. Interpretasi 130

1. Responden I 130

a. Sumber stres 130

b. Coping stres 134

2. Responden II 137

a. Sumber stres 137

b. Coping stres 140

3. Responden III 142

a. Sumber stres 142

b. Coping stres 144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 157

A. Kesimpulan 157

B. Diskusi 160

C. Saran 162

1. Saran praktis 162

2. Saran penelitian selanjutnya 163 DAFTAR PUSTAKA 164

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal pelaksanaan wawancara 53 Tabel 2 Gambarag umum responden penelitian 57 Tabel 3 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden I 76

Tabel 4 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden II 100 Tabel 5 Sumber stres, appraisal, dan coping stres Responden III 126

Tabel 6 Rangkuman analisa antar responden 148

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pedoman Wawancara

Lampiran 2 Lampiran Verbatim

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah memberlakukan Syariat Islam selama tujuh tahun. Sejak saat itu kehidupan masyarakat di daerah berjuluk Serambi Mekah itu kental dengan nuansa Islam. Tidak hanya sebatas nuansa, tapi telah merasuk dalam semua sendi kehidupan masyarakatnya. Dengan Undang- Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Daerah Istimewa Aceh dan Undang- Undang Otonomi Daerah Nomor 18 tahun 2001, Aceh resmi memberlakukan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, selain tentunya, hukum positif yang berlaku nasional (Indosiar.com, 2006).

Peraturan syariat Islam memang tidak bisa langsung diterapkan secara keseluruhan. Peraturan Daerah atau Qonun misalnya, sampai kini baru empat yang disahkan, yaitu Qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, Qonun 12 soal judi atau maisir, Qonun 13 tentang khamar atau minuman keras, serta Qonun

14 tentang khalwat, larangan berduaan di tempat sepi bagi yang bukan muhrim. Namun hal ini jauh dari cukup untuk mengatur kehidupan masyarakatnya. Empat Qonun itupun dipercepat pemberlakuannya, karena dianggap mendasar dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat (Indosiar.com, 2006).

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Dua tahun setelah Qonun Syariat Islam diberlakukan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, lembaga hukum baru sebagai penopang pemberlakuan Qonun Syariat Islam pun satu per satu dibentuk. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), yang berperan memberikan masukan dalam menentukan kebijakan daerah terkait syariat Islam melalui fatwa hukum, adalah lembaga yang pertama kali dibentuk. Selanjutnya dibentuk Dinas Syariat Islam yang berperan menyiapkan Qonun dan melakukan penyuluhan serta pengawasan. (Indosiar.com, 2006).

Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Dinas Syariat Islam membentuk Wilayatul Hisbah (pengawas wilayah, sering disebut polisi syariah). Wilayatul Hisbah (WH) adalah badan yang ditugaskan untuk mengawasi dan memantau pelaksanaan hukum Islam di dalam masyarakat Aceh khususnya, berkenaan dengan realisasi Qanun-Qanun tentang larangan khamar (minuman keras), maisir (judi) dan khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis) (Widyanto, 2007). WH juga disebut sebagai lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang Syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar (Himpunan Peraturan Daerah, 2004).

Imam Mawardi (dalam Marhaendy, 2008) menyatakan bahwa WH bertugas melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. Amar ma’ruf berarti menyerukan kepada kebajikan, yaitu mengajak, menghimbau, memerintahkan, menyuruh atau menuntut dilakukannya segala perbuatan yang baik menurut syariat Islam dan mendekatkan pelakunya kepada Allah SWT. Nahi

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

munkar berarti mencegah, melarang, menjauhkan, menentang, mengancam, melawan, menegur atau menyudahi terjadinya segala perbuatan yang buruk menurut syariat Islam dan menjauhkan pelakunya dari Allah SWT (Kebun Hikmah Online, dalam Marhaendy 2008). Dengan demikian posisi WH sangat menentukan efektivitas jalannya penerapan Syariat Islam. Sebab, WH merupakan institusi yang terjun secara langsung memantau terjadinya pelanggaran- pelanggaran Syariat Islam tersebut di wilayah NAD (Marhanedy, 2008).

Tugas WH dalam melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar diantaranya adalah menindak perempuan Islam yang tidak menggunakan busana muslim, menangkap pasangan beda kelamin yang berdua-duaan (khalwat), dan meringkus pemabuk (khamar) serta penjudi (maisir). Dalam melaksanakan tugas ini, WH dibantu oleh Paperda (Tim Penertiban Peraturan Daerah), karena WH belum memiliki wewenang sebagaimana Paperda yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (Afrida, 2006).

Berdasarkan Qanun Nomor 11 Pasal 14 ayat (3), apabila saat menjalankan tugasnya WH mendapatkan beberapa bukti bahwa seseorang telah melakukan pelanggaran, maka WH diberi wewenang untuk menegur/menasehati orang yang melakukan pelanggaran tersebut. Apabila teguran dan nasihat yang dilakukan WH membuat seseorang tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka penyelesaian dipadai pada tahap teguran dan nasihat, tetapi apabila tidak didengarkan maka WH menyerahkan kasusnya pada penyidik dan selanjutnya diserahkan kepada jaksa untuk dilimpahkan ke Mahkaman Syari’ah (Abubakar, 2008).

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

WH mempunyai susunan organisasi yang terdiri atas WH Provinsi, WH Tingkat Kabupaten/Kota, WH Tingkat Kecamatan dan WH Kemukiman, bahkan memungkinkan di bentuk di Gampong dan lingkungan – lingkungan lainnya (Qanun NAD Nomor 11 BAB VI, Pasal 14 ayat (2) (Abubakar, 2008). Terdapat beberapa perbedaan kebijakan mengenai WH yang ditempatkan di kota dengan WH yang ditempatkan di desa. WH yang ditempatkan di kota berjumlah lebih dari

3 orang per kabupaten, sementara WH yang ditempatkan di desa berjumlah 2 sampai 4 orang per kecamatan. WH yang ditempatkan di kota juga dibekali dengan kendaraan dinas, sementara WH yang ditempatkan di desa menggunakan kendaraan pribadi. (Wawancara personal, 10 Juli 2008)

Berbeda dengan WH yang ditempatkan di kota, WH yang ditempatkan di desa seringkali terbentur dengan masalah adat kebiasaan masyarakat. Masyarakat desa pada umumnya cenderung memahami ajaran dan tuntunan Islam dalam kerangka budaya dan adat Aceh, dalam arti kata pelaksanaan Islam dilakukan dalam kerangka adat “lokal” (Chaidar, 2008). Hal-hal yang telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dianggap sebagai hal yang sesuai dengan syariat islam, walaupun sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Misalnya adat kebiasaan perempuan desa yang akan pergi ke kebun tidak menggunakan jilbab sebagai penutup kepalanya, tetapi menggunakan ”kelubung”, sejenis kain penutup rambut. Jika menghadapi hal ini, WH yang ditempatkan di desa seringkali bingung harus berbuat apa, menindak atau membiarkan saja. Jika ditindak, WH takut dituduh tidak menghormati adat kebiasaan masyarakat, tetapi jika tidak ditegur, WH merasa perempuan tersebut telah melakukan pelanggaran

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

karena tidak menggunakan jilbab saat keluar rumah. Ketidakmampuan WH yang ditempatkan di desa untuk menindak kasus ini seringkali membuat mereka merasa tidak mampu menjalankan apa-apa dari tugasnya. Sementara WH yang ditempatkan di kota tidak menghadapi kasus ini karena adat menggunakan ”kelubung” tidak berlaku di kota. (Wawancara personal, 10 Juli 2008). Hal ini seperti diungkapkan oleh Nofi (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa.

”cuman mungkin yang namanya kepala ya kalau kita larang pun kan, ada yang dari kebun, kayak mana gitu ya, gak bisa kita tekan kali pun, kalau orang- orang kampung pun kayak gini lah cuman model jilbabnya, nutup rambut cuma, pakek kelubung aja” (R2.W2.b.25-31.h.5)

Contoh lain adalah saat akan menegur pasangan beda kelamin yang melakukan ikhtilath (bercampur baur antara laki-laki dan perempuan). WH yang ditempatkan di desa merasa sulit untuk menegur muda-mudi yang melakukan ikhtilath, karena ikhtilath biasa terjadi dalam pesta-pesta perkawinan yang diadakan oleh masyarakat, dimana telah menjadi adat kebiasaan untuk menyediakan acara khusus untuk pemuda dan pemudi dalam sebuah pesta yang menyebabkan terjadinya ikhtilath. Sementara di kota adat perkumpulan pemuda- pemudi ini tidak berlaku lagi. Hal ini seperti disampaikan oleh Dina (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa.

”kalau pesta pernikahan di kota ni kan agak lebih modern, gak ada lagi perkumpulan pemuda pemudinya, kalau di desa tu kan 2 hari sebelum hari H itu muda mudinya udah mulai berkumpul” (R1.W2.b.34-38.h.15)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

”memang kalau dilihat dari apa memang kurang syar’i, cuma itulah kebiasaan mereka, nah kalau yang punya rumah tidak melakukan hal seperti itu mereka secara tidak langsung seperti dikucilkan, kalau di kota kan gak lagi” (R1.W2.b.49-54.h.15)

Selain itu, kurangnya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dirasakan oleh WH yang ditempatkan di desa. Kurangnya dukungan ini dirasakan oleh WH karena pemerintah tidak memberikan peralatan yang memadai untuk pelaksanaan tugas WH, seperti mobil untuk patroli dan dana operasional lapangan. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan WH untuk melakukan patroli. Begitu juga dengan dana operasional yang tidak diberikan oleh pemerintah. Jika membutuhkan dana untuk tugas-tugas, WH justru diinstruksikan untuk mengambil dana dari jumlah gaji yang diberikan pemerintah. Hal ini tentu saja akan mengurangi jumlah gaji yang mereka terima, padahal mereka merasa gaji yang mereka terima terlalu kecil jika dibandingkan dengan kerja yang mereka lakukan. (Wawancara Personal, 10 Juli 2008)

Hal lain yang menjadi kendala/hambatan dalam menjalankan tugas di lapangan bagi petugas WH adalah masih terbatasnya kewenangan yang di miliki WH dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran Qanun syariat Islam. WH hanya memiliki wewenang untuk menegur atau menasehati. Hal ini membuat wewenang WH sangat lemah dalam menindaklanjuti pelanggar. Jika menemukan pelanggar dan ingin ditindaklanjuti, WH harus menghubungi pihak kepolisian terlebih dahulu, jika pihak kepolisian terlambat hadir, maka pelanggar dengan mudah dapat melarikan diri. (Abubakar, 2007)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Selain itu, WH yang ditempatkan di desa juga mengalami kendala dalam pelaksanaan tugasnya karena WH terkadang mengalami konflik dengan rekan sekantornya dan dengan atasannya. Ketiadaan jenjang kenaikan karir bagi WH juga dinilai sebagai kendala dalam pekerjaannya. Hambatan dan kendala yang dihadapi WH yang ditempatkan di desa ini menuntut mereka untuk bekerja lebih keras dalam menjalankan tugasnya. Beban pekerjaan yang terlalu berat, konflik, frustasi, jam kerja yang rutin, gaji yang tidak sesuai dengan pekerjaan, dan lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan stres (Ubaidillah, 2007). Kondisi pekerjaan yang terlalu kompleks, overload, terdapatnya kebingungan peran, dan kurangnya dukungan sosial, harapan akan kenaikan karir yang tidak didapatkan, struktur organisasi yang terlihat kaku dan keras juga dapat menyebabkan timbulnya stres (Looker & Gregson, 2005).

Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk (dalam Sarafino, 2006) stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu.

Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, kognitif, emosi, dan tingkah laku. Respon fisiologis dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Respon kognitif dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu, seperti

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar. Respon emosi dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya. Dan respon tingkah laku dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Sarafino (2006) menyatakan bahwa sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres (Passer & Smith, 2007).

Stres dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper (dalam Greenberg, 2004) di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu kondisi pekerjaan, kebingungan peran, interpersonal stres, perkembangan dan struktur organisasi, serta hubungan pekerjaan dan rumah. Kondisi pekerjaan berupa beban tugas yang berat dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Hal ini seperti diungkapkan oleh WH yang ditempatkan di desa.

“sebanyak tu kerja di Aceh Tengah ni yang paling berat tu lah WH, mental WH ni lho! Mental di kenak nya kan?” (R2.W2.b.169-173.h.7)

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

“kalau kita lihat-lihat memang pekerjaan WH tu berat, cuma di sisi lain banyak pahala” (R1.W2.b.331-332.h.21)

Kondisi pekerjaan lain berupa ancaman terhadap keselamatan fisik juga dialami oleh WH yang ditempatkan di desa. Sosialisasi peran WH yang masih sangat kurang dalam masyarakat, menyebabkan WH seringkali mendapat perlawanan dari masyarakat ketika menegur pelanggar (Abubakar, 2007). Perlawanan yang diberikan masyarakat ini menyebabkan WH merasa terancam keselamatan fisiknya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Dina (bukan nama sebenarnya) salah seorang WH yang ditempatkan di desa.

“kalau terjadi sesuatu, misalnya kan kita berdakwah ke pemuda, apalagi pemuda-pemuda dia lagi senang-senangnya trus kita teriak “hey sini sini…” memanglah secara ahsan (baik), nantikan orang tu tapi mudah-mudahan enggak pernah nanti orang tu kan kompak, kalau mereka mengeroyok kita apa segala macam kan nah itu kan menyangkut keselamatan kan” (R1.W2.b.218-227.h.19)

Stres yang dialami oleh individu disertai dengan ketegangan emosi dan ketegangan fisik yang menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam situasi seperti ini, maka individu termotivasi untuk melakukan suatu tindakan yang bisa meredakan stres. Hal ini disebut coping. Coping menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku,

untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau minimalisasikan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain, coping merupakan suatu proses dimana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu’tadin, 2002).

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Menurut Lazarus (dalam Sarafino, 2006) coping memiliki 2 fungsi utama, yaitu mengubah masalah sebagai penyebab stres (problem focus coping) atau mengatur respon emosi terhadap masalah tersebut (Emotion-focused coping). Problem focus coping digunakan dengan mengurangi tuntutan dari situasi atau menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk menghadapinya. Emotion-focused coping digunakan untuk penanganan stres dimana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional. Taylor (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa terkadang individu dapat menggunakan kedua fungsi tersebut secara bersamaan, namun tidak semua fungsi coping pasti digunakan oleh individu.

Carels, et.al (dalam Passer & Smith, 2007) menyatakan bahwa kegagalan dari fungsi coping yang digunakan dapat saja terjadi, jika individu tidak menggunakan coping skill yang cukup untuk menghadapi situasi yang berbahaya, sehingga hasilnya individu akan mengalami kepercayaan diri yang rendah dan percaya bahwa mereka tidak akan dapat menghadapi permasalahan. Selanjutnya individu akan merasa terganggu dan menyalahkan diri sendiri mengenai permasalahan yang dihadapinya dan berfikir memang tidak akan pernah mampu menghadapinya. Keputusasaan ini menyebabkan resiko yang berbahaya bagi individu yang menyebabkan individu lepas kendali dan dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kegagalan total.

Fungsi coping yang dilakukan masing-masing individu berbeda, ada individu yang tampaknya mampu menangani stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu yang lain (Looker, & Gregson, 2005). Begitu juga dengan Wilayatul

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Hisbah, tentunya cara Wilayatul Hisbah menghadapi kendala yang dialaminya berbeda pada masing-masing personel. Melihat fenomena di atas, peneliti tertarik untuk meneliti gambaran coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

B. PERUMUSAN MASALAH

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut, yaitu bagaimana gambaran mekanisme coping stress pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa, yang mencakup:

1. Apa yang menjadi sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa?

2. Bagaimana gambaran coping stres yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui hal-hal yang menjadi sumber stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

2. Mengetahui gambaran coping stres yang dilakukan oleh Wilayatul Hisbah yang

ditempatkan di desa.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dalam memberikan informasi dan perluasan teori dibidang psikologi klinis, yaitu mengenai mekanisme coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya sumber kepustakaan penelitian mengenai psikologi klinis, sehingga hasil penelitian nantinya diharapkan dapat dijadikan sebagai penunjang untuk bahan penelitian lebih lanjut.

2. Manfaat Praktis

a. Pada Wilayatul Hisbah, khususnya yang ditempatkan di desa.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada Wilayatul Hisbah, khususnya mengenai mekanisme coping stress.

b. Pada masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tugas, kewajiban, serta kendala-kendala yang dihadapi Wilayatul Hisbah sehingga masyarakat dapat memberikan perlakuan yang lebih baik agar WH dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal.

c. Pada pemerintah.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam meninjau ulang kebijakannya mengenai hak dan kewajiban Wilayatul Hisbah dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.

d. Penelitian selanjutnya. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai mekanisme coping stres pada Wilayatul Hisbah.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan proposal penelitian ini adalah: BAB I : PENDAHULUAN Berisi penjelasan mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI Berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN Berisi penjelasan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas dan validitas penelitian, responden penelitian, prosedur penelitian dan prosedur analisis data.

BAB IV : HASIL ANALISIS DATA

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Berisi deskripsi data, interpretasi data dari hasil wawancara yang dilakukan dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai stress dan coping stres pada Wilayatul Hisbah yang ditempatkan di desa.

BAB II LANDASAN TEORI

A. STRES

1. Pengertian Stres

Menurut Vincent Cornelli (dalam Musbikin, 2005) stres merupakan suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu dalam lingkungan tersebut. Secara spesifik Richard Lazarus menganggap stres sebagai sebuah gejala yang timbul akibat adanya kesenjangan antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi. Hans Selye (dalam Greenberg, 2004) menyatakan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap tuntutan atasnya.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Stres dapat didefenisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika terdapat sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Looker & Gregson, 2005). Menurut Cox, Lazarus, Folkman, dkk (dalam Sarafino, 2006) stres adalah kondisi yang timbul akibat interaksi individu dengan lingkungan, dimana individu mempersepsikan adanya ketidaksesuaian/ kesenjangan antara tuntutan fisik/psikis dari suatu situasi dengan sumber biologis, psikologis, atau sistem sosial individu.

Lavallo (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa kondisi stres memiliki 2 komponen, yaitu fisik dan psikologis. Komponen ini dapat dijelaskan dalam 3 cara, yaitu:

a. Stres dilihat sebagai stimulus yang disebut sebagai stresor, pendekatan ini

berfokus pada lingkungan. Stimulus lingkungan menyebabkan individu merasa tertekan atau terbangkitkan, dalam hal ini stres adalah sesuatu yang berada di luar individu (Rice, 1987).

b. Pendekatan kedua melihat stres sebagai respon, yang berfokus pada reaksi

individu terhadap stresor. Respon yang diberikan dapat berupa respon psikologis atau fisiologis. Rice (1987) menyatakan bahwa dalam hal ini stres merupakan kondisi mental internal dari tension atau arousal.

c. Pendekatan ketiga melihat stres sebagai proses yang meliputi stresor dan respon, memiliki dimensi hubungan antara individu dan lingkungan. Proses ini meliputi interaksi yang kontinu dan penyesuaian yang saling mempengaruhi antara individu dan lingkungan. Berdasarkan pandangan ini, stres tidak hanya sebagai stimulus atau respon, tetapi sebagai proses dimana individu memiliki

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

peran yang aktiv yang dapat mempengaruhi akibat dari stresor melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional. Jadi stress adalah suatu kondisi fisiologi dan psikologis yang timbul akibat

interaksi individu dengan lingkungan yang penuh ancaman ataupun tantangan dan terdapat kesenjangan antara tuntutan tersebut dengan sumber daya yang dimiliki individu untuk menyelesaikannya.

2. Respon Terhadap Stress

Taylor (dalam Wangsadjaja, 1991) menyatakan bahwa stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek, yaitu:

1. Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak

jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Hans Selye (dalam Davison, 2006) memperkenalkan sindrom adaptasi menyeluruh (General Adaptation Syndrome-GAS), suatu gambaran respon fisiologis untuk bertahan dan mengatasi stres fisik. Terdapat 3 fase dalam model ini, yaitu:

a. Pada fase pertama, yakni reaksi alarm (alarm reaction), sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar adrenalin membesar, dan thimus menjadi lemah.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

b. Pada fase kedua, yaitu resistensi (resistance), individu beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki.

c. Jika stresor menetap atau individu tidak mampu merespons secara efektif, terjadi fase ketiga, yaitu suatu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat, dan individu mati atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

2. Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif individu,

seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.

3. Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin

dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan sebagainya.

4. Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi

yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan respon stres (Passer & Smith, 2007) adalah :

1. biological, yaitu mekanisme tubuh, respon fisiologis dari sistem autonomic dan

endokrin dalam merespon stresor.

2. fisiologis, merupakan penilaian kognitif terhadap tuntutan lingkungan, sumber daya yang dimiliki individu, konsekuensi yang akan dihasilkan, faktor kepribadian, seperti keyakinan dan kesabaran individu mempengaruhi respon terhadap stres, dan strategi coping.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

3. lingkungan. Jumlah, intensitas, dan durasi dari kejadian yang menimbulkan stres, dapat diprediksi/tidak, dapat dikontrol/tidak, tingkat keparahan dari situasi, ketersediaan dukungan sosial, faktor budaya juga mempengaruhi cara individu berespon terhadap sumber stres.

3. Sumber-sumber Stres

Sumber-sumber stres dapat berubah sesuai dengan perkembangan individu, tetapi kondisi stres dapat terjadi setiap waktu sepanjang kehidupan (Sarafino, 2006). Sumber-sumber stres disebut dengan stresor. Stresor adalah bentuk yang spresifik dari stimulus, apakah itu fisik atau psikologis, menjadi tuntutan yang membahayakan well being individu dan mengharuskan individu untuk beradaptasi dengannya. Semakin besar perbedaan antara tuntutan situasi dengan sumber daya yang dimiliki, maka situasi tersebut akan dipandang semakin kuat menimbulkan stres (Passer & Smith, 2007). Stress dapat muncul dari pekerjaan individu. Menurut Cary Cooper (dalam Greenberg, 2004) di dalam pekerjaan terdapat 6 hal yang dapat menjadi sumber stress, yaitu:

1. Job Conditions. Kondisi pekerjaan yang dapat menimbulkan stress seperti:

a. job complexity, merupakan kesulitan yang tidak bisa dipisahkan dari pekerjaan yang harus dilaksanakan. Biasanya berhubungan dengan hal-hal seperti jumlah dan kesempurnaan informasi yang diperlukan agar individu dapat berfungsi di pekerjaannya, perluasan atau penambahan metoda untuk melakukan/menyelenggarakan pekerjaan, atau pengenalan tentang

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

perencanaan mengenai segala kemungkinan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.

b. work overload, dapat dibedakan menjadi overload qualitative dan overload quantitative. Overload qualitative terjadi jika terlalu kompleks dan terlalu banyak yang harus dilakukan. Sedangkan overload quantitative terjadi jika tuntutan fisik dari pekerjaan melebihi kapasitas individu.

c. assembly line hysteria, meliputi rasa muak, kelelahan otot, sakit kepala yang parah, dan penglihatan yang kabur. Walaupun terdapat symptom fisik, namun tidak terdapat basis fisik dari simpton tersebut. Simptom muncul sebagai bagian dari respon psikologis terhadap pekerjaan yang terlihat membosankan, terlalu sedikit interaksi sosial, dan rendahnya tingkat kepuasan terhadap pekerjaan.

d. decision making, responsibility, and stres. Jika keputusan atasan semakin menuntut tanggungjawab dari individu, maka pekerjaan tersebut semakin meningkatkan kemungkinan timbulnya stress.

e. physical danger, merupakan sumber yang sangat potensial untuk menimbulkan stress, ketika individu berhadapan dengan bahaya fisik saat menjalankan kewajiban pekerjaanya.

f. shift work. Shift work menuntut individu untuk merubah jadwal mereka dari perencanaan awal. Hal ini dapat menimbulkan gangguan pada waktu tidur normal individu, neurophysiological rhythm, metabolisme, dan mental efficiency.

2. role ambiguity

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

Terjadi ketika individu tidak mengetahi apa yang diharapkan darinya dan apa yang dianggap benar dari pekerjaannya. Efek dari role ambiguity ini adalah dapat menimbulkan penurunan performace dan kepuasan kerja, kecemasan, dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

3. interpersonal stres adanya dukungan sosial dari pekerja lain, pihak manajemen, keluarga dan teman dapat mengurangi ketegangan dalam pekerjaan.

4. career development individu memiliki beberapa harapan terhadap pekerjaannya, seperti mengharapkan kenaikan yang cepat atau setidaknya kemajuan yang terus menerus, mengharapkan beberapa kebebasan dalam pekerjaan, mengharapkan pendapatan yang meningkat, keinginan untuk belajar berbagai hal baru dan melakukan pekerjaan baru, dan keinginan untuk menemukan solusi dari permasalahan tertentu. Ketika harapan tersebut tidak didapatkan, individu sering kehilangan motivasi berprestasi dan self esteem yang penting untuk mendapatkan kepuasan kerja. Ketika kenaikan jabatan tidak didapatkan atau ketika pekerjaan yang dilihat menjamin keamanan justru terancam dengan pemberhentian, maka karyawan cenderung mengalami stress.

5. organizational structure and development

cara pengaturan pekerjaan juga dapat mengakibatkan timbulnya stress. Tidak setuju dengan struktur pekerjaan yang kaku, percekcokan dengan rekan kerja, sedikitnya kesempatan untuk membuat keputusan dan sedikitnya dukungan terhadap inisiatif individu dapat menimbulkan stress.

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

6. home-work connection. Kondisi rumah dan tempat kerja saling mempengaruhi. Jika di rumah terdapat tekanan, maka hal ini dapat mempengaruhi performa individu di pekerjaan. Banyak individu yang menempatkan rumah sebagai tempat perlindungan, tetapi jika tempat perlindungan ini terganggu, apakah itu karena gangguan di pekerjaan atau konflik di rumah, maka efek dari stress di pekerjaan semakin dirasakan.

4. Penilaian Terhadap Stress

Lazarus dan Lazarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa secara umum stres memiliki proses penilaian yang disebut cognitive appraisal. Cognitive appraisal adalah proses mental dimana individu menilai 2 aspek, apakah tuntutan mempengaruhi kondisi fisik dan psikologisnya? Dan apakah individu memiliki sumber daya yang cukup untuk menghadapi tuntutan tersebut? Kedua aspek ini membedakan 2 tipe penilaian, yaitu :

a. penilaian individu mengenai pengaruh situasi terhadap well being individu, yang disebut primary appraisal. Primary appraisal dapat menghasilkan 3 keputusan, apakah situasi yang dihadapi individu tersebut irrelevant, good ataupun stresfull. Kondisi/situasi yang dinilai negatif oleh individu dapat dipandang sebagai :

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

1) Bahaya (harm), terhadap kerusakan yang sudah diakibatkan oleh suatu peristiwa.

2) Ancaman (threat), terhadap kerusakan yang berpotensi terjadi di masa yang akan datang akibat suatu peristiwa.

3) Tantangan (challenge), terhadap potensi untuk mengatasi situasi yang tidak menyenangkan akibat suatu peristiwa dan mengambil keuntungan secara maksimal dari peristiwa tersebut.

Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa Primary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Goal relevance; yaitu penilaian yang mengacu pada tujuan yang dimiliki individu, yaitu bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan personalnya.

2. Goal congruence or incongruenc; yaitu penilaian yang mengacu pada apakah hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan keinginan individu atau tidak, dan apakah hal tersebut menghalangi atau memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya, maka disebut sebagai goal incongruence, dan sebaliknya jika hal tersebut memfasilitasinya, maka disebut sebagai goal congruence.

3. Type of ego involvement; yaitu penilaian yang mengacu pada berbagai macam aspek dari identitas ego atau komitmen individu.

b. Penilaian sekunder (secondary appraisal), merupakan penilaian mengenai kemampuan individu melakukan coping, beserta sumber daya yang dimilikinya, dan apakah individu cukup mampu menghadapi harm, threat,

Rena Kinnara Arlotas : Gambaran Coping Stres Pada Wilayatul Hisbah Yang Ditempatkan Di Desa, 2010.

dan challenge dalam peristiwa yang terjadi, mengevaluasi potensi atau kemampuan dan menentukan seberapa efektif potensi atau kemampuan yang dapat digunakan untuk menghadapi suatu kejadian. Lazarus (dalam Wangsadjaja) menyatakan bahwa Secondary appraisal memiliki tiga komponen, yaitu:

1. Blame and credit: penilaian mengenai siapa yang bertanggung jawab atas situasi menekan yang terjadi atas diri individu.

2. Coping-potential: penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.

3. Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik atau buruk.

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PEMAKNAAN BERITA PERKEMBANGAN KOMODITI BERJANGKA PADA PROGRAM ACARA KABAR PASAR DI TV ONE (Analisis Resepsi Pada Karyawan PT Victory International Futures Malang)

18 209 45

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124