Masa Demokrasi Terpimpin Masa Pemerintahan 1. Masa Demokrasi Liberal

Saat negara Indonesia benar-benar pecah, AH Nasution mengambil prakarsa untuk mengakhiri demokrasi parlementer. Masih tetap muncul banyak seruan untuk membentuk kabinet Hatta. Nasution berusaha mengatur pertemuan anatara Hatta dan Presiden, tetapi Sukarno menolak. Maka, ia mengusulkan agar Sukarno mengumumkan keadaan darurat perang untuk seluruh Indonesia. Ini akan menempatkan pihak militer sebagai pemegang kekuasaan di seluruh Indonesia dan memberinya alat untuk mengurus perpecahan-perpecahan internalnya sendiri. Usulan tersebut disetujui. Pada tanggal 14 Maret, kabinet Ali mengundurkan diri dan Sukarno, mengumumkan keadaan darurat perang. Demokrasi parlementer, sperti yang tleah berjalan di Indonesia akhirnya berakhir.

2.2.2. Masa Demokrasi Terpimpin

Dalam periode Demokrasi Terpimpin 1958-1966, keseimbangan politik merupakan suatu segitiga. Sukarno sebagi pucuknya adalah Pemimpin Besar revolusi yang memainkan politik perimbangan antara dua pendukunnya yang utama, yakni ABRI dan PKI. Keadaan politik “ Demokrasi Terpimpin” ditandai oleh genjala keruntuhan sosial ekonomi masyarakat Indonesia, seperti inflasi 600, korupsi, kemacetan birokrasi, serba kekurangan dan sebagainya. Suasana politik yang “revolusioner” waktu itu juga mengandung suasana totaliter, bahkan disana sini terror. Hal ini disebabkan pemberontakan PRRIPermesta, usaha pembunuhan Sukarno, keadaan darurat perang SOB serta konfrontasi dengan Malaysia. Universitas Sumatera Utara 2.2.2.1. Awal Demokrasi Terpimpin Ditengah-tengah krisis tahun 1957, diambil langkah-langkah pertama menuju suatu bentuk pemerintahan yang oleh Sukarno dinamakan Demokrasi Terpimpin. Ini merupakan suatu sistem yang tidak tetap, yang dilahirkan dari krisis dan terus menerus berubah sepanjang salah satu masa paling kacau dalam sejarah Indonesia. Demokrasi terpimpin didominasi oleh kepribadian Sukarno, walaupun prakarsa pelaksaannya diambil bersama dengan pimpinan angkatan bersenjata. Dengan menampilkan dirinya ke depan dalam krisis tahun 1957, maka ia didukung oleh para pemimpin lainnya dalam mempertahankan posisi sentralnya. Tampak jelas bahwa pada tahun 1957, parta-partai politik berada pada posisi defensif, tetapi rasa saling bermusuhan terlalu berat bagi mereka untuk bekerjasama dalam mempertahankan sistem parlementer. Pada bulan April 1957, Sukarno mengumumkan pembentukan Kabinet Karya di bawah seorang politikus non-partai, yaitu Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana menteri. Selain itu Sukarno juga mengangkat tiga orang sebagai wakil perdana menteri, yaitu Hardi dari PNI, Kyai Haji Idham Chalid dari NU, dan Dr. Johannes Leimena dari Partai Kristen. Kemudian pada bulan Mei 1957 dibentuklah Dewan Nasional yang terdiri atas 41 wakil „golongan karya‟ pemuda, tani, buruh, wanita, cendikiawan, agama, daerah, dan lain-lain, ditambah beberapa anggota exoffcio. Sukarno menjadi ketuanya, tetapi urusan-urusan dewan tersebut secara langsung berada di tangan Universitas Sumatera Utara wakil ketuanya, Roeslan Abdulgan, yang tampil sebagai arsitek ideology demokrasi terpimpin. Lagkah Sukarno bertindak menjadi formatur Kabinet yang disebutnya “kabinet kerja darurat ekstra parlementer”, lalu mengangkat kabinet Djuanda mendapat reaksi keras dari Hatta. Ia menyatakan bahwa tindakan Sukarno itu telah melanggar pasal-pasal UUDS 1950. Sebaliknya menurut ketua DPR Sartono, cara Presiden Sukarno yang menunjuk dirinya sebagai formatur kabinet itu memang bertentangan dengan UUDS 1950, tetapi dapat dibenarkan karana “negara dalam keadaan bahaya”. Sama halnya dengan pendapat Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro yang menganggapnya melanggar UUDS 1950 karena keadaan memaksa. Dari hal ini, dapat dilihat keretakan hubungan Sukarno dan Hatta. Untuk mengatasi masalah keretakan hubungan Sukarno dan Hatta, yang juga telah menjadi kecemasan publik, maka PM Djuanda memprakarasai Musyawarah Nasional yang dibuka pada 10 September 1957. Menjelang Munas, kelompok pembangkang berkumpul di Sumatera Selatan dan melahirkan Piagam Palembang. Isinya selainmenghimbau dipulihkannya dwitunggal, juga terjadinya perubahan-perubahan dalam kepemimpinan tentara di pusat, termasuk otonomi daerah, juga pengubahan Dewan Nasional yang baru menjadi senat. Pada Munas tersebut juga dibentuk Panitia Tujuh yang terdiri dari Sukarno, Hatta, Djuanda, Hamengkubuwono, Leimena, Aziz Saleh dan AH Nasution. Namun kerja Panitia Tujuh tidak membuahkan hasil. Universitas Sumatera Utara Tidak diterimanya tuntutan daerah-daerah itu membangkitkan pembangkangan yang memuncak. Dan ketika Sukarno melakukan perjalanan ke luar negeri, para penglima pemberontak Sumatera dan Sumual dari Sulawesi bertemu dengan para pemimpin politik seperti Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo di sungai daerah. Mereka berencana membentuk pemerintahan alternatif Indonesia yang berpusat di Bukittinggi. Sjafruddin kemudian ditunjuk sebagai Perdana Menteri. Langkah mereka selanjutnya adalah menyampaikan ultimatum ke Jakarta, pada 10 Februari 1958, dengan tuntutan agar kabinet PM Djuanda mengundurkan diri, dan dibentuk kabinet kerja yang akan bekerja hingga pemilu mendatang. Ultimatum itu tidak satupun ditanggapi pemerintah pusat hingga batas akhir 15 Februari 1958, sehingga mereka akhirnya menegaskan bahwa mereka terbebas dari kewajiban taat kepada Ir. Sukarno sebagai Kepala Negara. Kemudian mereka membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia PRRI. Mengahadapi situasi gawat ini, Sukarno segera kembali ke tanah air dari Tokyo, februari 1958. Ia pun meminta Hatta melakukan perundingan dengan kaum pemberontak atas nama pemerintah pusat. Hatta menyetujinya, dan menyarakan agar Sukarno melakukan tawar-menawar dengan kaum pemberontak, yaitu, kembali ke konstitusi UUDS 1950; ulitimatim dari PRRI dicabut dan PRRI bubar; hukuman bagi para pengikutnya ditiadakan; dan pembentukan kabinet presidensiil. Selain itu Hatta juga mengusulkan pengalihan Dewan Nasional menjadi suatu pro-senat jika persetujuan itu diberikan parlemen. Hatta Universitas Sumatera Utara juga menyatakan kesediannya untuk menjadi Perdana Menteri dari suatu kabinet presidensil jika Sukarno beralih menjadi Presiden yang konstitusional. 41 Sementara itu konstituante MPR mulai bersidang sejak Desember 1956 untuk melakukan reformasi konstitusional. Tapi ketika pemerintah memasukkan gagasan diberlakukannya UUD ‟45, perdebatan ke arah apakah akan memberikan penagakuan lebih besar terhadap Islam dengan memasukkan Piagam Jakarta ataukah hanya tetap mempertahankan Pancasila. Sidang Konstituante pun buntu. Pemungutan suara tidak pernah menghasilkan suara mayoritas. Di tengah kebuntuan konstituante ini KSAD Letjen AH Nasution atas nama PemerintahPenguasa Perang Pusat Peperpu pada 3 Juni 1959 dengan peraturan No. PrtPeperpu0401959 melarang semua kegiatan politik untuk sementara waktu. Setelah pemerintah mengusulkan kepada Konstituante agar mengesahkan kembalinya UUD 1945, dan ternyata Konstituante tidak mendukung hal ini, atas saran KSAD dan ketua umum PNI Suwirjo, Presiden Sukarno yang baru tiba di tanah air 29 Juni 1959 dari perjalanan ke luar negeri selama dua bulan, mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD ‟45 sekaligus membubarkan Konstituante. Sejak saat itu berlakulah demokrasi terpimpin. Rentetan selanjutnya dikeluarkanlah Penetapan Presiden No.7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, tertanggal 31 41 Wawan Tunggul Alam, Op.cit, Hal: 279-281. Universitas Sumatera Utara Desember 1959. Penpres No.7 juga mencabut Maklumat Pemerintah Wakil Presiden 3 November 1945 tentang ajuran membentuk partai-partai. Pada peringatan proklamasi 17 Agustus 1959, Sukarno menyampaikan pidato berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Dalam pidato itu, Sukarno menyatakan dengan tegas bahwa liberalisme dan individualisme gaya barat harus di buang. Hasil pidato itu kemudian dirumuskan menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara Manifesto Politik GBHN Manipol Republik Indonesia. Manifesto itu merupakan realisasi dari konsepsi Presiden yang mencakup lima prinsip, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia USDEK 42 Konflik parlemen dan Sukarno semakin jelas di tahun 1960, yang ditandai dengan ditolaknya Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara RAPBN oleh DPR peralihan, yang dibentuk dengan Penpres No.11959 ini. Saat itu Pemerintah mengajukan APBN sebesar Rp 44 miliar, akan tetapi DPR hanya menyetujui Rp36-38 miliar saja. Dengan penolakan APBN itu, Presiden akhirnya membubarkan DPR dengan istilah dibekukan kegiatannya pada 27 Maret 1960, melalui Penpres No.3 tahun 1960. Kemudian DPR diganti dengan parlemen baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong DPR-GR, berdasarkan Penpres No.41960 tentang Susunan Dewan Perwakilam Rakyat Gotong Royong. Keanggotaan DPR-GR ini tidak mengikutsertakan wakil-wakil Masyumi, PSI, maupun IPKI parpol bentukan AD, karena partai-partai tiu 42 Amuwarni Dwi Lestariningsih. 2011. Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Hlm:58. Universitas Sumatera Utara menolaknya. Separuh anggota DPR-GR mewakili anggota fungsional yang sejak itu popular disebut Golongan Karya. Protes keras mewarnai sikap Sukarno ini. Dan pada April 1960, ketika Sukarno berada di luar negeri, terbentuk Liga Demokrasi atas prakarsa Masyumi dan PSI, yang mendapat dukungan IPKI, beberapa anggota dari NU dan Partai Kristen. Hatta juga memberikan dukungan tidak langsung kepada Liga Demokrasi, kendati bersikap skeptic terhadap aktivitasnya. Bentuk dukungan Hatta diwujudkan dengan menulis artikel, “Demokrasi Kita” sekaligus merupakan kritikan terbuka terhadap kebijakan Sukarno, dan mulai menyebut Sukarno sebagai diktator. Angkatan sendiri terpecah dalam soal sikap mereka untuk mendukung Liga Demokrasi atau tidak. Sebagian pemimpin Liga Demokrasi membujuk tentara untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Sukarno. Tetapi cara ini ditolak tegas. Dan ketika Sukarno kembali ke tanah air, aktivitas Liga Demokrasi pun surut dengan cepatnya. Penolakan Masyumi dan PSI dalam Parlemen Gotong Royong DPR-GR, mengakibatkan partai itu dibubarkan pemerintah, Agustus 1960. Tapi, sebelumnya, telah lebih dahulu dikeluarkan Peratuarn Presiden No.13 Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaraan, pada Juli 1960. Penpres ini merupakan kelanjuta dari Penpres No.71959. Semula Nasution sendiri tidak begitu berhasrat membubarkan Masyumi dan PSI, sebab bagaimanapun kedua parpol ini antikomunis. Akan tetapi, didesak dengan keterlibatan Masyumi dan Universitas Sumatera Utara PSI dalam aksi pemberontakan PRRIPermesta, ia pun tidak bisa lagi selain menerima keputusan pemerintah membubarkan Masyumi dan PSI. 43 Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1964 menuntut pemerintah berkonsentrasi penuh dalam masalah ekonomi. Dewan Perancang Nasional dibentuk menurut UU No.801958, diundangkan 31 Oktober 1958 yang diketuai Muhammad Yamin menghasilkan Rencana Umum Delapan Tahun. Sebagai slogan pendukung, Sukarno menegaskan ekonomi Berdikari sebagai pengejawantahan ekonomi terpimpin. Krisis ekonomi pada tahun 1964 telah membuat semua orang sangat gelisah dan bingung. Konfrontasi dengan Belanda mengenai Irian Barat berkahir dengan kemenangan Indoensia dan perdamaian dengan Belanda. Amerika menjanjikan suatu program pemulihan ekonomi Indonesia yang disebut DEKON Deklarasi Ekonomi. Sukarno menyebutnya sebagai paralel pada istilah dan konsepsi deklarasi politiknya, pada pertengahan 1950-an, yang melahirkan Demokrasi Terpimpi dan berlainan dengan Manipol Manifesto Politik. Dekon tidak mengalami masa yang panjang karena kandas setelah beberapa bulan dan tidak pernah dimulai. Hal ini disebabkan konfrontasi dengan Malaysia dan proyek NEKOLIM Neo Kolonialisme. 44 Ada banyak proyek yang kemudian disebut proyek mercusuar, seperti ASIAN Games, Stadion Senayan, Hotel Indonesia, Conefo, Ganefo dan lain-lain. namun demikian, proyek mercusuar yang paling mahal adalah konfrontasi. 43 Ibid, Hlm: 284-286. 44 Ongokham. Op.cit, hlm: 158-159. Universitas Sumatera Utara Dengan sendirinya, semua ini mengakibatkan deficit anggaran belanja yang kronis, sistem perpajakan pribadi adalah “nol” dan inflasi yang mencapai ratusan persen , pemotongan uang dan lain-lain yang tidak menolong apa-apa. Semakin parahnya krisis ekonomi, membuat Sukarno meminta bantuan Hatta. Sayangnya keinginan kuat Sukarno ini telah dipolitisir pihak-pihak yang tidak menyukai Hatta aktif kembali. Selain itu, dimasa ini PKI sedang kuatkuatnya dan besar pengaruhnya terhadap Sukarno. Hal ini pula yang menjadi faktor penghalang Sukarno bisa bekerjasama dengan Hatta dalam mengatasi krisis ekonomi. Disisi lain, Sukarno semakin merasa tentara dengan kosesi-kosesinya itu mulai mengurungnya. Sehingga PKI menjadi pegangan Sukarno, mengingat hubungan yang buruk antara PKI dan tentara. Kedekatan Sukarno dan PKI mulai mengkahwatirkan aliran-liran lain. Mereka berusaha menjauhkan Sukarno dari PKI. Seperti misalnya, Partai Murba mendirikan Barisan Pendukung Sukarno pada Agustus 1964. Tapi, pengaruh Partai Murba yang dipelopori oleh Adam Malik dan Chaerul Saleh tidak terlalu kuat. PKI kemudian meminta Sukarno untuk melarang Partai Murba, tetapi Sukarno tidak mau membubarkannya. Sebagai upaya mengurangi pengaruh tentara, Sukarno memerlukan kekuatan lain. Ia pun mengajukan gagasan mengenai Nasakom Nasionalis, Agama, Komunis. Ini adalah upaya merangkul parta-partai politik yang diperlukan untuk mengimbangi tentara. Apalagi D.N Aidit pada masa itu terlihat melonggarkan ideologinya dengan berusaha Universitas Sumatera Utara membangun citra partainya lebih nasionalis. Aidit menyatakan PKI menolak tongkat komando partai komunsia manapun dan sikap ini akan membuat PKI mudah diterima oleh aliran lain 45 Ide Nasakom telah dirintis Sukarno sejak Agustus 1960, ketika ia membentuk Dewan Pusat sebuah Front Nasional, yang dimaksudkan untuk mencakup seluruh aliran politik dalam masyarakat dari golongan-golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis. Bahkan bila dirunut ke belakng, ditemukan bahwa ide mengenai Nasakom ini merupakan buah pikirnya sejak tahun 1926 yang saat itu dilahirkan lewat artikelnya, “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, yang membuka kemungkinan diadakannya suatu sintesa terhadap seluruh aliran yang ada di tanah air. Konsep itu ia peras menjadi satu kata, yaitu Nasakom. Konsep Nasakom sendiri mencoba memadukan unsur Nasionalis, Agama , dan Komunis. Konsep yang sangat ideal bahkan sangat utopis, tetapi dapat dipastikan tidak akan mungkin dilaksanakan. Konsep itu dimanfaatkan seluas- luasnya oleh PKI dengan cara mendominasi keadaan. Front Nasional yang didirkan pada tahun 1963 disusupi oleh kader-keder mereka. Selain itu Sukarno mengutuk pula pernyataan yang mengutuk sikap komunistophobia yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Beliau menyatakan adalah suatu dosa revolusi bagi mereka-mereka antikomunis. 46 45 Ibid, Hlm: 288. 46 Samsudin.2004. Mengapa G30SPKI Gagal?. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm: 38-39. Universitas Sumatera Utara Dengan Nasakom, Sukarno berniat menyatukan seluruh aliran yang ada demi mencapai tujuan bersama, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Disamping itu, Sukarno bermaksud untuk menciptakan keadaan dimana PKI tidak berada dalam oposisi yang membahayakan dan ikut betanggung jawab terhadap kehidupan pemerintahan bersama golongan nasionalis dan agama. Akan tetapi, rupanya Sukarno terlalu mengandalkan PKI dan Angkatan Bersenjata sebagai penopang demokrasi terpimpinya, termasuk upaya nasakomisasi. Tapi, sayangnya keinginannya menjadi penengah dari kedua golongan yang saling berseteru keras itu akhirnya malah menjadi boomerang berbalik menghancurkannya dirinya kelak. Hubungan Sukarno dan tentara mulai terganggu. Pasalnya, dengan konsep Nasakomnya Sukarno yakin akan diterima oleh semua kalangan, termasuk upayanya yang tak kenal lelah mendamaikan AD dan PKI, lalu melakukan manuver di ketentaraan. Ia ingin melemahkan posisi Nasution, sebab Nasution dinilai memiliki potensi berbalik menentangnya. Oleh karena itu, Sukarno menunjuk Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Menhankam, pada 1957, sebagai upaya menjauhkan Nasution dari pasukannya dengan cara mencopot dia dari jabatan KSAD. Akan tetapi, Nasution menuntut dengan keras agar ia tetap merangkap kedua jabatan tersebut. Desas-desus Angkatan Darat berencana menggulingkan Sukarno pun muncul, sejak Februari 1965. Dokumen Gilchrist menjadi indikasinya. Dokumen itu berisi dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Sukarno. Disebut- sebut juga pembicaraan Gilchrist dengan seseorang Amerika tentang rencana Universitas Sumatera Utara operasi militer di Indonesia. Karena adanya desa-desus tersebut, Sukarno kemudian menyelenggarakan konfrensi militer para perwira, termasuk AH Nasution dan Ahmad Yani, untuk menegaskan bahwa pasukan militer harus menganut Nasakom. Tapi permintaan Sukarno ini ditanggapi secara dingin. Dan kemarahan pemimpin AD terjadi setelah Sukarno melontarkan gagasan Angkatan Kelima, yang dicurigai sebagi upaya mempersenjatai kaum buruh dan petani dengan bantuan RRC. Struktur sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-harga barang naik sekitar 500 selama tahun itu. Diduga harga beras pada akhir tahun 1965 naik sebesar 900 setiap tahun. Kurs pasar gelap untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun menjadi Rp 17.500 pada kuartal ketiga tahu itu dan Rp 50.000 pada kuartal keempat. Sejak akhir bulan September, dengan berkumpulnya puluhan ribu tentara di Jakrta dalam rangka mempersiapkan peringatan Hari Angkatan bersenjata pada tanggal 5 Oktober, dugaan-dugaan tentang akan terjadinya kudeta menjadi semakin santer. Pada tanggal 27 September, Yani akhirnya mengumumkan bahwa Angkatan Darat menentang pembentukan Angkatan Kelima atau nasakomisasi militer dalam artian struktural. Pada tanggal 30 September malam itu, satu batalion pengawal istana yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, satu batalion dari Divisi Diponegoro, satu batalion dari Divisi Brawijaya, dan orang-orang sipil dari Pemuda Rakyat PKI meninggalkan pangkalan udara Halim. Mereka pergi untuk menculik Nasution, Universitas Sumatera Utara Yani, Parman, dan empat orang jenderal senior Angkatan Darat lainnya dari rumah-rumah mereka di Jakarta. Kudeta yang diusahakan itu menampakkan ketidakcakapan dan kekacauan yang luar biasa. Yani dan dua orang jenderal lainnya dibunuh di rumah mereka karena melawan ketika hendak ditangkap. Nasution berhasil meloloskan diri serta melewatkan sisa malam itu dan sebagian esok harinya di tempat persembunyian, tetapi putrinya yang baru berusia 5 tahun tertembak dan kemudian wafat pada tanggal 6 Oktober dan salah seorang ajudannya ditangkap. Ajudan ini, mayat ketiga jenderal tadi, dan tiga orang jenderal lainnya berhasil ditangkap hidup-hidup dibawa menuju Halim. Disana, Parman dan ketiga orang tawanan lain yang masih hidup itu dibunuh secara kejam. Kemudian ketujuh mayat itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang sudah tidak terpakai lagi. Tepat menjelang fajar tanggal 1 Oktober, Soeharto yang tidak masuk dalam daftar penculikan, pergi ke kostrad setelah diberi tahu tentang hilangnya para jenderal dan terjadinya penembakan-penembakan di rumah mereka. Nasution dan Yani menghilang, maka Soeharto mengambil alih komando atas angkatan bersenjata dengan persetujuan jenderal-jenderal Angkatan Darat, Angkatan Kepolisian, dan Angkatan Laut yang dapat dihubunginya. Soehato mulai menyelidiki apa yang sedang terjadi. Angkatan Darat telah merencanakan bagaimana mengatasi kemungkinan situasi seperti yang terjadi sekarang, jadi ketika Soeharto dan pendukungnya mulai mengambil kendali dalam kekacauan, mereka pikir inilah petunjuk bagi mereka. Perencanaan yang rapi ini termasuk Universitas Sumatera Utara menjebak PKI dengan cara tertentu sebagai pembenaran untuk menghancurkannya. 47 Setelah memegang Supersemar Surat Perintah 11 Maret, Soeharto sendiri mulai melakukan pembersihan. Di tubuh militer terjadi pembersiha besar-besaran, begitu pula pejabat di berbagai departemen dan daearah-daerah. Panglima Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang digantikan oleh Rusmin Nurjadinm akhir Maret 1966. Lau, 306 orang perwira ditahan, termasuk Oemar Dhani dan Herlambang. Pembersihan juga dilakukan di Angkatan Laut dan Kepolisian. Pengawal Istana, Tjakbirawa, dibekukan. Sedangkan sebanyak 15 menteri ditangkap. Dalam bidang politik, Soehato mulai merasuki partai-partai politik, termasuk PNI yang merupakan partai terbesar. Tapi, ia tidak ingin membubarkan PNI, karena jika itu dilakukan , Soeharto khawatir PNI akan bersekutu dengan PKI bawah tanah. Lagi pula, PNI diperlukan sebagai partai pengimbang untuk mengahadapi kekuatan Islam secara politis. Maka, Soeharto tetap mempertahankan PNI, tapi dengan mengganti pimpinan yang bisa diatur olehnya. Sementara itu Soehato menyadari bahwa Supersemar hanya secarik kertas, yang sebetulnya tak punya kekuatan apa-apa jika sewaktu-waktu dicabut kembali. Karena itu perlu dibuatkan Tap MPRS agar punya legitimasi yang kuat. Agar Supersemar mendapakan dukungan konstitusional, Soeharto mengundang MPRS bersidang, akhir Juni 1966. Dalam sidang MPRS itu, Soeharto menetapkan RI 47 M.C. Ricklefs. Op.cit. hlm: 582-583. Universitas Sumatera Utara kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ia juga memerintahkan mencabut ketetapan MPRS tahun 1963 yang mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup dan menyatakan gelar “Pemimpin Besar Revolusi” terhadap Sukarno tidak memiliki kekuatan hukum. Selain itu dalam sidang MPRS ini, Jenderal AH Nasution diangkat menjadi Ketua MPRS, dan pada 5 Juli 1966 , MPRS mengeluarkan ketetapan Soehato sebagai Pengemban Supersemar diberi wewenang membentuk kabinet. Di bawah UUD 1945, presiden bertanggung jawab kepada MPRS. Kini jumlah naggota MPRS berkurang akibat penahanan sekitar 180 anggotanya, dan sentiment anti-Sukarno meningkat di kalangan anggota MPRs yang tersisa. MPRS meratifikasi Supersemar, melarang PKI, mengharamkan Marxisme sebagai doktrin politik, mnuntut pemilu diadakan tahun 1968, dan mendesak Sukarno untuk memberikan penjelasan tentang pelnggaran susila, korupsi, dan mismanajemen ekonomiyang dilakukan pemerintahan demokrasi terpimpin dan tentang peran Sukarno dalam usaha kudeta pada tahun 1965. Sukarno juga dilarang utnuk mengeluarkan kepeutusan presiden. Kemudian MPRS meminta pertanggungjawaban Sukarno soal peristiwa berdarah G30S. Tapi, Sukarno menolak. Sebab berdasarkan UUD 1945, yang harus dipertanggungjawabkan oleh mandataris MPRS hanya persoalan yang ada dalam GBHN. Sedangkan peristiwa G30S ada di luar GBHN yang berarti Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, pidato Sukarno tidak mengandung penyesalan, yang menimbulkan ketidakpuasan pimpinan AD, Universitas Sumatera Utara sehingga MPRS perlu meminta Presiden Sukarno untuk melengkapi pidato pertanggungjawabannya. 48 Dalam pidato peringatan 17 Agustus 1966, Sukarno ternyata masih memperlihatkan sikap yang tidak meyerah terhadap desakan orang-orang Soeharto-Nasution di AD. Bahkan Sukarno terkesan menentang Soeharto untuk menguji kepopulerannya, dan menganjurkan diadakan pemilihan umum sebagai satu-satunya cara demokratis untuk mengetahui keinginan rakyat. Sementara itu, tekanan politik domestik semakin mendekati puncaknya. Kesaksian dalam beberapa pemeriksaan pengadilan oleh Mahmillub menuduh Sukarno terlibat dalam usaha kudeta 1965. Subandrio dan Omar Dhani divonis mati, berturut-turut pada bulan Oktober dan Desember 1966. Pada bulan Desember 1966, Sudisman ditangkap dan divonis mati pada bulan Juli 1967, kemudian dieksekusi pada tahun 1968. Pada bulan Januari 1967, perwira militer tertinggi yang terlibat dalam usaha kudeta, Brigjen Suparjo ditemukan, dan pada bulan Maret dia divonis mati. Pada bulan itu juga, Sjam diatngkap, dan dengan demikian, Orde Baru mendapatkan sumber paling penting tentang bagaimana rencana kudeta disusun. Menurut laporan, Sjam ditahan dan diperiksa secara regular untuk memperoleh informasi tentang rencana kudeta tersebut, sampai akhirnya ia dieksekusi pada tahun 1968. Mahasiswa, pengacara, dan hakim mulai menuntut agar Sukarno juga diseret ke pengadilan. 48 Wawan Tunggul Alam, Op.cit, Hal: 293-294 Universitas Sumatera Utara Soeharto kini melakukan langkah terakhirnya menuju kemenangan politik dalam negeri dan percaya bahwa inilah saat yang paling memungkinkan untuk menyingkirkan sang presiden. Ia menunjuk anggota baru parlemen DPR-GR untuk mengganti para anggota yang telah disingkirkan, dan menggelar sidang MPRS pada bulan Maret 1967. Ditengah-tengah rumor bahwa korps marinir angkatan laut, polisi, dan Divisi Brawijaya akan tetap mendukung Sukarno, serta dengan 80.000 pasukan yang menduduki Jakarta, pada 12 Maret MPRS menanggalkan semua kekuasaan dan gelar Sukarno serta mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Beragam ideologi Sukarno dinyatakan tidak lagi menjadi ideologi negara, yang direduksi menjadi pancasila saja. Soeharto diberi kekuasaan untuk menentukan apakah Sukarno harus dibawa ke pengadilan, tetapi ia tidak pernah menuntut pendahulunya itu karena khawatir tindakan ini akan memobilisasi sisa-sisa pendukung Sukarno. Presiden pertama Indonesia secara de facto pension dengan status tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor; ia tetap berada di sana hingga wafatnya pada bulan Juni 1970. Soeharto menguasai Indonesia secara penuh. 49 49 M.C. Ricklefs. Op.cit. hlm: 602-605 Universitas Sumatera Utara

2.3. Isi Pidato Kenegaraan Presiden Sukarno tanggal 17 Agustus 1966