Analisis Laclau Mouffe Analisis Wacana Kritis Terhadap Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno pada Tanggal 17 Agustus 1966

Pendekatan Foulcault memandang wacana sebagai bagian dari relasi kekuasaan. Wacana dapat menjadi instrumen untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dan kekuasaan dapat mengatur wacana apa yang dapat menjadi wacana dominan di masyarakat. Dari analisis ini dapat disimpulkan bahwa pidato ini merupakan instrumen bagi Sukarno untuk mempertahankan kekuasaanya. Bahasa-bahasa yang menunjukkan kehebatannya dan hal-hal positif tentang demokrasi terpimpin dipandang sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaannya yang mulai goyah. Pembentukan wacana demokrasi terpimpin ini dengan menitikberatkan pada crucial period adalah cara Dalam pidato ini juga dapat dilihat bagaimana Sukarno membatasi pandangan khalayak dengan wacana dominan yang ia bentuk. Wacana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi liberal adalah sumber masalah adalah wacana dominan yang Sukarno kemukakan dalam pidato ini. Hal ini dimaksudkan agar khalayak melihat demokrasi terpimpin sebagai sebuah yang positif, sementara demokrasi liberal hanya akan membawa dampak negatif. Maka kemudian hal-hal positif dari demokrasi liberal menjadi sebuah wacana yang terpinggirkan.

3.3. Analisis Laclau Mouffe

Analisis wacana dengan perspektif Laclau dan Mouffe melihat bagaimana sebuah wacana dapat terbentuk dan menjadi sebuah hegemonic discourse. Dari analisis sebelumnya baik menggunakan perspektif van Dijk ataupun Foulcault, dapat dilihat bahwa wacana ini merupakan wacana yang menegaskan bahwasanya Universitas Sumatera Utara Demokrasi Tepimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli, yang dipaparkan dengan pola mereview segala kegagalan dan masalah- masalah yang terjadi di masa pemerintahan sebelumnya. Namun dengan perspektif Laclau dan Mouffe, kita akan melihat bagaimana wacana ini dapat terbentuk. Dari sini akan dapat dilihat bagaimana Sukarno membangun logika dalam membentuk wacana tersebut. Selain itu myth yang berisi tentang pemikirannya dan gagasannya tentang masyarakat, tentu sangat berpengaruh dalam membangun logika wacana demokrasi terpimpin ini. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di dalam pidato kenegaraan ini terdapat wacana yang ingin diartikulasikan, yaitu wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Wacana ini diartikulasikan dalam situasi antagonisme. Antagonisme ini dijelaskan melalui sistem perbedaan dan persamaan. Melalui sistem perbedaan dan persamaan, dapat dijelaskan bagaimana Sukarno pada awalnya ikut membangun Indonesia yang baru merdeka dalam pemerintahan Demokrasi Liberal, namun karena berbagai masalah yang dihadapi dan juga pengaruh dari myth mitos yaitu pemikiran serta gagasannya mengenai sebuah bangsa dan masyarakat, kemudian justru menciptakan kembali suatu musuh baru, yaitu Demokrasi Liberal yang kental dengan nilai-nilai barat. Hal ini digunakan untuk mewacanakan Demokrasi Terpimpin yang merupakan sebuah demokrasi yang bernilai pancasila dan demokrasi Indonesia asli. Universitas Sumatera Utara Untuk dapat mengetahui bagaimana wacana Demokrasi Terpipmpin ini dapat terbentuk, maka kita perlu mengetahui bagaimana Sukarno membentuk logika Demokrasi terpimpin ini. Logika Sukarno tersebut akan dijelaskan melalui mitos-mitos myth. Menurut Laclau, mitos dapat muncul karena tindakan identifikasi atau tindakan rekonstruksi tidak mencapai titik yang utuh. Dari sinilah muncul mitos yang menyatukan ruang yang terlepas melalui pembentukan elemen-elemen yang terlepas tersebut. 103 Sukarno dilahirkan tanggal 6 Juni tahun 1901. Ia dilahirkan pada pukul setengah enam pagi, saat fajar mulai menyingsing. Ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai, percaya bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit akan ditakdirkan punya nasib baik. Sang Ibunda seringkali berpesan kepada Sukarno, “Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra sang fajar”. Selain pertanda alam, tahun kelahiran Sukarno menandai terbitnya zaman baru, yaitu abad 20. Zaman itu ditandai dengan kebangkitan atau menaiknya pasang revolusi kemanusiaan, ini adalah abad dimana bangsa-bangsa baru dan merdeka di Asia dan Afrika mulai berkembang. Juga, tidak kalah penting, berkembangnya negara-negara sosialis yang meliputi seribu juta umat manusia. 104 Sukarno memasuki usia sekolah d Mojokerto dan pada usia 12 tahun lulus Sekolah Rendah. Kemudian ayahnya memasukkan ke Europese Lagere School 103 Ernesto Laclau dalam Ahmad Taufan Damanik, 2010, Dari Imanjinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalisme. Jakarta: Friedrich Ebert Stiftung FES dan Acheh Future Institute AFI. Hal: 23. 104 http:www.berdikarionline.combung-karnoisme20120606mengapa-bung-karno-dipanggil- putra-sang-fajar.html diakses pada tanggal 14 April 2015 pukul 15.03 WIB Universitas Sumatera Utara ELS dan pada 1915 lulus ujian klein ambetenaars-examen. Setelah itu Sukarno melanjutkan ke HBS di Surabaya. Kemudian ia tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang kemudian banyak mempengaruhi pikirannya. Salah satunya tentang keberadaan Ratu-Adil. 105 Pada awal 1920-an, Tjokroaminoto pernah memproyeksikan diri sebagai Ratu-Adil, atau diproyeksikan secara demikian oleh pengikut-pengikutnya dan masa yang mendengarkan dan melihatnya. Menurut Benhard Dahm fenomena Tjokroaminoto dan terlebih Sukarno sebagai Ratu-Adil Indonesia. Di dalam bukunya, Dahm menyebutkan bahwa Sukarno memproyeksikan diri sebagai unsur Ratu-Adil yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sukarno menjanjikan pada rakyat bahwa kemerdekaan adalah jembatan emas bagi Indonesia. 106 Citra Ratu- Adil memang suatu yang berakar dalam masyarakat Indonesia, khusunya jawa. Ini merupakan kunci popularitas Sukarno di kalangan masa. Selain itu, retorika wayang juga menambah popularisme Sukarno. Pemikiran Sukarno sangat dipengaruhi oleh tradisionalisme Jawa dan ideologi anti-barat. Sukarno lahir dan tumbuh disaat Indonesia dalam keadaan terjajah. Dalam masa tumbuh kembangnya, maka ia pun sering kali melihat ketidakadilan yang diakibatkan dari imperialisme dan kolonialisme. Maka, bila ada sesuatu yang membentuk pemikiran politik Sukarno maka itu adalah anti- imperilalisme dan kolonilalisme. Pada 1926 Sukarno menerbitkan tulisan 105 Sebuah mitologi yang mengatakan bahwa akan datang seorang pemimpin yang akan menjadi penyelamat, ia akan membawa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Raja tersebut disebut juga Erucokro. Ramalan tentang datangnya Ratu Adil ini berasal dari Prabu Jayabaya. 106 Ongokham, Op.Cit, Hal: 46-47 Universitas Sumatera Utara pertamanya yang matang dalam Indonesia Muda: “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”. Pikiran pokok disini adalah nasionalisme. Dengan cermat ia melihat bahwa ide nasionalisme yang dipertajam dengan tujuan-tujuan yang jelas akan dapat diterima dalam keadaan pergerakan pada waktu itu. Dengan ide itu pula pergerakan dapat diorganisir kembali. Sukarno, dalam tulisannya tadi, mencoba meyakinkan golongan-golongan Islam dan nasionalis untuk tidak m arxisphobi. “Saya bukan orang komunis. Saya tidak memihak, saya hanya menghendaki kesatuan, kesatuan Indonesia dan persaudaraan diantara berbagai gerakan.” Persatuan ini akan merupakan “jembatan emas” yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan. Akan tetapi, Sukarno merasa marxisme adalah esensi dalam perjuangan. Hal ini dikarenakan pertumbuhan intelektual Sukarno sendiri yang sangat dipengaruhi oleh marxisme. Nasionalisme dan Islam dirasakan sebagai paham-paham yang kurang tajam untuk menganalisis keadaan. 107 Di tahun 1930 diadakan razia terhadap PNI dan akhirnya Sukarno ditangkap. Di depan pengadilan, Sukarno lalu mengucapkan tuduhan klasiknya terhadap kolonialisme baru imperialisme. Sukarno dihukum dua tahun. Didalam pembuangannya tersebut, Sukarno mendefenisikan konsepsi rakyatnya lebih lanjut dengan melahirkan marhaenisme. Marhaen merupakan nama dari seorang petani yang ditemui Sukarno. Petani tersebut tidak menjual tenaganya pada majikan sebagai proletar. Petani ini 107 Ibid, hal: 47. Universitas Sumatera Utara memiliki alat produksi. Panen adalah panennya sendiri. Akan tetapi Marhaen ini tetap miskin. Harta miliknya hanya diusahakan sekedar untuk melangsungkan hidup. Menurut Sukarno, rakyat Indonesia adalah marhaen. Atau setidaknya sebagian besar rakayat berada dalam keadaan marhaen. Kemiskinan mereka ini adalah karena kolonialisme. Marhaen ini tidak akan berubah menjadi pelopor dan kekuatan revolusi kalau kesadaran mereka tidak dibangkitkan kembali. Konsep marhenisme yang merupakan sinonim dari konsep sosio- nasionalisme dan sosio-demokrasi merupakan dasar sendi sistem pemerintahan yang bukan hanya memiliki ciri demokrasi dalam bidang politik saja, namun juga mencakup sendi demokrasi ekonomi. Konsep ini membedakan sistem demokrasi Barat yang mencakup sendi politik saja dengan sistem demokrasi yang diinginkan Marhenisme. 108 Ide sentral dari Marhaenisme yang mencakup aspek demokrasi politik dan ekonomi, sama halnya dengan ide sentral yang terkandung dalam tema demokrasi, yaitu partisipasi rakyat. Dalam demokrasi politik dituntut tersedianya ruang bagi rakyat untuk terlibat dan berpartisipasi dalam sistem politik, sama halnya dengan demokrasi ekonomi. Sukarno menyaratkan dilibatkannya partisipasi rakyat dalam sistem ekonomi. Partisipasi rakyat yang terangkan dalam demokrasi sendiri telah memebrikan arti pemanfaatan secara optimal segenap potensi rakyat dalam segi politik maupun dalam segi ekonomi. 109 108 Agus Supriyadi, 2007, Pemikiran Soekarno Tentang Marhaenisme. [Skripsi], Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. 109 Yulianto Sigit Wibowo, 2005, Marhaenisme: Ideologi Perjuangan Sukarno. Jakarta: Buana Pustaka.Hal: 66. Universitas Sumatera Utara Selain itu, Sukarno juga mengungkapkan gagasannya mengenai demokrasi. Di dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi 110 , Sukarno mejelaskan bahwa demokrasi parlemen yang digunakan oleh negara-negara Barat tidak menjamin sebuah masyarakat yang sejahtera. Demokrasi yang negara-negara Barat agungkan itu, menurut Sukarno hanya semakin menumbuhkan kapitalisme. Rakyat hanya akan menjadi raja pada bidang politik saja, sementara di bidang ekonomi tetaplah menjadi proletar. Karena itulah dalam tulisan tersebut Sukarno menyebutkan bahwa demokrasi seperti itu bukan untuk kaum marhaen Indonesia. Karena menurutnya, itu hanyalah demokrasi parlemen dan demokrasi politik. Tidak mencakup demokrasi ekonomi untuk mensejahterakan rakyat. Selanjutnya ia juga menjelaskan tentang sosionasionalisme dan sosiodemokrasi. Menurutnya kaum nasionalis Indonesia tidak boleh menyanjungkan demokrasi ala Barat. Kaum nasionalis Indonesia haruslah menjadi sosiodemokrasi yaitu demokrasi masyarakat. Maksudnya adalah demokrasi yang berdiri dengan dua-dua kakinya di dalam masyarakat. Sosiodemokrasi tidak ingin mengambil kepentingan golongankelompok, tetapi kepentingan masyarakat. Lebih jauh lagi, Sukarno menyampaikan sosiodemokrasi bukanlah demokrasi ala Revolusi Prancis, bukan demokrasi ala Amerika, ala Inggris, ala Jerman, tetapi adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, keberesan negeri, dan keberesan rezeki. 110 Soekarno. 2015. Dibawah Bendera Revolusi. Yogyakarta: Yayasan Bung Karno dan Media Prssindo. Hal: 187-194. Universitas Sumatera Utara Tumbuh besar dalam sebuah negara yang terjajah tentulah membentuk dan mempengaruhi pemikiran Sukarno. Konsep Marxisme dan keadaan masyarakat yang miskin dan tidak sejahtera kemudian juga membentuk cita-cita yang menjadi impian Sukarno. Menurut Asvi Warman Adam 111 dalam tulisannya berjudul Sukarno Menggugat: 100 Pidato Presiden RI 1965-1967, cita-cita yang dimaksudkan Sukarno adalah tiga kerangka revolusi kita, yaitu Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur dan dunia baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Munculnya cita-cita ini tidak terlepas dari kondisi Bangsa Indonesia yang terjajah selam ratusan tahun. Selama dijajah ini rakyat menderita karena eksploitasi akibat dari imperialisme, kolonialisme dan kapitalisme dari negara penjajah. Sehingga, Sukarno bermimpi membangun sebuah Indonesia merdeka, rakyat yang adil dan makmur serta sebuah perdamaian dunia yang bebas dari kapitalisme myth. Myth yang berupa impian Sukarno mengenai Indonesia ini, menjadi alasan utama dari terbentuknya wacana Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin menjadi sebuah alat untuk mewujudkan Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur serta dunia baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1964, dalam pidatonya Sukarno memperkenalkan Panca Azimat Revolusi yang merupakan pengenjawantahan dari nilai nasional Indonesia. ”…panca azimat adalah pengejawantahan daripada jiwa nasional kita, konsepsi nasional kita yang terbentuk disepanjang 40 tahun lamanya. Azimat nasakom nasionalis, agama dan komunis lah yalng lahir lebih 111 Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lulus Doktor tahun 1990 dari EHESS Ecole de Hautes Etudes en Sciences Sociales Paris dengan disertasi berjudul Relations entre les Indes Neerlandaises et l’Indochine. Universitas Sumatera Utara dulu dalam tahun 1926… azimat kedua adalah azimat pancasila yang lahir pada bulan juni 1945…azimat ketiga adalah azimat manipolusdek, yang baru lahir 14 tahun lamanya mengalami masa republik Indonesia Merdeka…Azimat keempat adalah azimat Trisakti yang baru lahir tahun yang lalu… azimat kelima adalah azimat berdikari, yang terutama tahun ini aku canangkan” 112 Myth mengenai Indonesia ini juga Sukarno sampaikan dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1966, seperti: Cita-cita dan misi serta konsep daripada revolusi kita harus merupakan penggalian daripada tuntutan-tuntutan seluruh umat- umat manusia umumnya dan rakyat Indonesia sendiri pada khususnya pada waktu itu, yaitu dalam abad ke-20 ini Bukan dua abad yang lalu seperti Revolusi Amerika, bukan dua abad yang lalu seperti Revolusi Perancis, bukan hampir tigaperempat abad seperti Revolusi Soviet. Tetapi Revolusi Indonesia haruslah mencerminkan revolusi umat manusia dan revolusi Bangsa Indonesia sendiri pada waktu ini pada abad ke-20. 113 Kalimat yang bercetak tebal adalah salah satu contoh myth yang Sukarno sampaikan dalam pidato ini. Kalimat bercetak tebal tersebut merujuk pada pidato 17 Agustus 1964 mengenai Panca Azimat Revolusi. Dalam pidato tersebut dapat dilihat bahwa untuk mencapai Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur serta dunia baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme, maka haruslah sesuai dengan jiwa nasional dan tuntutan rakyat Indonesia, yang tidak lain terkandung dalam Demokrasi Terpimpin ini. Myth juga masih terdapat dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1966, antara lain: Netralisme kita bukan netralisme orang yang duduk tenguk-tenguk. Kita aktif, kita berjuang Aktif untuk apa? Berjuang apa? Kita ikut serta aktif dalam perjuangannya umat manusia untuk mencapai Dunia Baru tanpa exploitation de l’homme par l’homme dan tanpa exploitation de nation par 112 Paharizal. 2014. Trisakti Bung Karno untuk Golden Era Indonesia. Yogyakarta: Media Pressindo . Hal. 43. 113 Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966 Universitas Sumatera Utara nation. Kita tidak netral dan tidak dapat netral, misalnya, dalam menghadapi imperialisme, kolonialisme, atau neokolonialisme… 114 dan Ampera adalah Dwi Tunggal politik dan ekonomi, Dwi Tunggal ekonomi dan politik. Tidak bisa dipisah satu sama lain. dan tidak ada ke-amberg- parama-arta-an dari yang satu diatas yang lain. Malahan Ampera adalah Tri Tunggal, yaitu: Negara Merdeka, politik Masyarakat adil dan makmur, ekonomi Dunia Baru, Politik Pun di dalam Tri Tunggal Ampera ini tida ada ke-amberg-parama-arta- an. 115 Dari penjelasan mengenai myth ini, kita dapat melihat bagaimana wacana Demokrasi Terpimpin itu dapat muncul. Maka kemudian, kita akan melihat bagaimana wacana Demokrasi Terpimpin ini menjadi sebuah wacana hegemonic dengan terlebih dahulu menjelaskan sistem perbedaan dan persamaan, antagonisme, dan political frontier pembatas politik. Pada fase revolusi kemerdekaaan, saat Sukarno telah menjadi Presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden, mereka memasuki fase ruang praktik atas segala gagasan dan cita-cita yang pernah mereka ajukan sebelumnya, dari masa pergerakan. Disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 yang menganut bentuk Negara Kesatuan dengan sistem pemerintahan presidensil dapat dikatakan kemenangan gagasan Sukarno yang sangat mengidamkan suatu negara kesatuan. Namun, Hatta melakukan manuver politik untuk mewujudkan gagasannya tentang demokrasi parlementer dan negara serikat, termasuk sistem multipartai yang ditentang Sukarno. 114 Ibid 115 Ibid Universitas Sumatera Utara Untuk meyakinkan Sukarno, Hatta dan Syahrir memberi gambaran bahwa Barat melihat Indonesia tidak lain daripada boneka fasis Jepang. Hal ini berbahaya sebab Belanda akan kembali dengan membonceng sekutu yang akan melucuti tentara Jepang. Tidak cuma itu saja, Syahrir menyarankan agar bentuk pemerintahan Indonesia bersistem parlementer, seperti yang terlaksana di negara- negara Barat. Untuk itu diperlukan banyak partai politik sistem multipartai yang turut bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara. Bahkan kemudian Syahrir menyampaikan maksudnya agar bentuk negara Indonesia diubah menjadi negara federasi. Bukan negara Kesatuan, dengan alasan keamanan. 116 Sukarno tidak dapat menerima pandangan politik seperti yang digagas Hatta dan Syahrir, tetapi juga tidak dapat menolak. Puncaknya adalah dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 14 November 1945, yang diumumkan oleh Syahrir bersamaan dengan adanya susunan kabinet baru, serta pengangkatan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Dalam Maklumat tersebut ditegaskan bahwa “yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru ialah bahwa tanggung jawab adalah di dalam tangan Menteri”. Sejak saat itu pula kebijaksanaan politik pemerintahan mulai beralih dari Presiden kepada BP KNIP yang diketuai Syahrir. Dalam masa Demokrasi Liberal ini tentulah terdapat masalah-masalah yang terjadi. Dalam kurun waktu 1950-1959 terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali yang menyebabkan instabilitas politik. Parlemen mudah mengeluarkan 116 Wawan Tunggul Alam, Op.Cit, Hal: 232. Universitas Sumatera Utara mosi tidak percaya terhadap kabinet sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh. Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru. Pemberontakan oleh PRRI dan Permesta juga merupakan masalah yang mengkhawatirkan di masa Demokrasi Liberal ini. Dalam mengatasi masalah-masalah yang terjadi, Sukarno mengeluarkan sebuah Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 yang isinya: 1. Diberlakukan kembali UUD 1945 2. Pembubaran Badan Konstitusional 3. Membantuk DPR dan DPA sementara. Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden ini maka dimulailah masa Demokrasi Terpimpin. Dalam pidatonya pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959, Sukarno menguraikan ideologi demokrasi terpimpin yang beberapa bulan kemudian dinamakan Manipol dari Manifesto Politik. Ia menyerukan dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial, serta perlengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan. Pada awal tahun 1960, kaidah yang samar-samar ini menjadi semakin rumit karena ditambahkannya kata USDEK, yang berarti Undang- Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia. Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. 117 117 M.C. Ricklefs, Op.Cit, hal:553 Universitas Sumatera Utara Diterbitkannya Dekrit Presiden dan pengenalan Manipol USDEK kepada masyarakat dapat dilihat bahwa Sukarno sudah mulai menarik sebuah logika perbedaan dari nilai-nilai demokrasi liberal. Logika pembeda tersebut juga dapat dilihat pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1966, yaitu: Memasuki windu pendadaran uang kedua berikutnya, dari tahun 1959 sampai sekarang, kita dapat men-traceer kembali berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959 itu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar Proklamasi kita, dan demokrasi liberal saya bongkar sama sekali dan saya ganti dengan Demokrasi terpimpin, yaitu Demokrasi Gotong Royong, demokrasi Pancasila, demokrasi Indonesia Asli. Dengan Demokrasi Terpimpin itu perpecehan dan keretakan dalam tubuh alat-alat revolusi dapat saya kembalikan kepada persatuan bangsa dan kekompakan rakyat dengan memberikan dasar dan landasan kesatuan politik kepadanya. 118 Penjelasan diatas adalah bagaimana Sukarno menarik sistem perbedaan dari demokrasi yang dicita-citakannya yaitu Demokrasi Terpimpin dengan demokrasi yang dilaksanakan pada tahun 1950-1959, yaitu Demokrasi Liberal. Ketika Sukarno mulai menarik sistem perbedaan tersebut, maka kemudian Demokrasi Terpimpi menjadi sebuah identitas baru yang muncul dalam suasana yang antagonistik. Suasana yang antagonistik ini dapat muncul karena pada dasarnya kedua demokrasi ini bertentangan satu sama lain, sehingga Sukarno dalam pidato tersebut mengkonfrontasi Demokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Liberal. Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966 menjadi sebuah medan bagi terciptanya praktik artikulasi yang antagonistik. Dalam pidato ini Sukarno mencoba untuk mengkonstruksikan Demokrasi Liberal sebagai musuh Bangsa 118 Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966. Universitas Sumatera Utara Indonesia. Keberadaan musuh bersama ini kemudian dikonfrontasikan dengan konsep yang dicita-citakan Sukarno yaitu Demokrasi Terpimpin. Berikut adalah contoh kutipan teks pidato yang menggambarkan antagonisme antara demokrasi Liberal dengan Demokrasi Terpimpin: Cobalah lepaskan pandangan kita lebih jauh lagi ke belakang. Marilah kita mawas diri sejak saat kita terlepas dari cengkraman penjajajh Belanda di tahun 1950, yaitu apa yang dinamakan Pengakuan Kedaulatan, -recognition of sovereignty. Betapa hebatnya crucial period-crucial period yang harus kita lalui selama masa 1950-1959 itu. Free fight liberalism sedang merajalela; jegal-jegalan ala demokrasi parlementer adalah hidangan sehari-hari, main krisis kabinet terjadi seperti dagangan kue, dagangan kacang goring. Antara 1950-1959 kita mengalami 17 kali krisis kabinet, yang berarti rata-rata sekali tiap-tiap delapan bulan. 119 dan, Situasi di bidang ekonomi pun pada waktu itu tidak jauh berbeda. Warisan ekonomi yang saya terima pada tahun-tahun itu barulah berupa tindakan pengambilalihan objek-objek ekonomi dari tangan penjajah Belanda sahaja. Situasi ekonomi yang demikian itu sudah jelas belum memungkinkan adanya pembangunan. Malahan cita-cita pembangunan kita itu sahaja pada waktu itu sudah dihadapkan kepda crucial period-nya pertentangan pandangan dan berlawanannya konsepsi. Berkobarlah pertentangan melawan pusat soal pembangunan, berkobarlah rivateleit daerah yang satu melawan daerah yang lain.sebagai usaha untuk mengatasi hantam-hantaman di bidang ekonomi pembagunan itu, diselenggarakan di Jakarta sini tempo hari Munas dan Munap. Tetapi kendatipun demikian, segala usaha ternyata tidak mampu menahan arus meluncurnya disintegrasi dan dislokasi perekonomian kita yang malahan semakin menjadi-jadi. Pengeluaran uang menjadi terus-menerus meningkat, antara lain dan teristimewa karena diperlukan untuk operasi politik, operasi militer, dan opersi administrasi. Biaya yang meningkat-ningkat ini mengakibatkan inflasi yang sungguh sukar dapat dibendung. Harga-harga dan tarif-tarif terus menaik, pendapatan dari para buruh dan pegawai sebaliknya terus-menerus merosot dalam nilainya karena uang kita semakin kehilangan kekuatan nilai tukarnya. Tibalah sebagi puncak dalam crucial period-nya ekonomi keuangan itu tindakan pengguntingan uang, yang ternyata malah menambah hebatnya inflasi dan menambah beratnya pederitaan dan pengorbanan rakyat. 120 119 Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966. 120 Ibid Universitas Sumatera Utara Kedua contoh kutipan teks pidato tersebut menggambarkan Demokrasi Liberal sebagai suatu yang buruk dan merupakan musuh Bangsa Indonesia. Untuk itu, Sukarno kemudian mengkonfrontasikannya dengan Demokrasi Terpimpin. Berikut contoh kutipan teks pidatonya: Itulah semua warisan yang saya terima dari zaman 1950-1959. Retak- goyahnya kesatuan bangsa Indonesia pada waktu itu, hampir-hampir berantakanlah seluruh tubuh revolusi kita Gonjang-ganjinglah kemerdekaan kita terancam oleh bahaya Apa yang saya perbuat waktu itu untuk menyelematkan kemerdekaan, untuk menyelematkan revolusi? Konstituante yang ternyata tidak mampu menyelesaikan soal yang dihadapinya, Konstituante itu saya bubarkan dan saya pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang terkenal: kembali kepada Undang- Undang Dasar 1945, kembali kepada Undang-Undang Dasar Revolusi. Dan, Memasuki windu pendadaran uang kedua berikutnya, dari tahun 1959 sampai sekarang, kita dapat men-traceer kemabali berdasarkan Dekrit 5 Juli 1959 itu kita kembali kepada Undang-Undang Dasar Proklamsi kita, dan demokrasi liberal saya bongkar sama sekali dan saya ganti dengan Demokrasi terpimpin, yaitu Demokrasi Gotong Royong, demokrasi Pancasila, demokrasi Indonesia Asli. Dengan Demokrasi Terpimpin itu perpecehan dan keretakan dalam tubuh alat-alat revolusi dapat saya kembalikan kepada persatuan bangsa dan kekompakan rakyat dengan memberikan dasar dan landasan kesatuan politik kepadanya. 121 Kutipan-kutipan teks tersebut memperlihatkan antagonisme yang tercipta antara Demokrasi Liberal dengan Demokrasi Terpimpin. Antagonisme dapat membantu dalam pembentukan identitas karena ia menciptakan musuh bersama. Kutipan tersebut dengan jelas menggambarkan bagaimana Sukarno membentuk identitas bangsa Indonesia dengan Demokrasi Terpimpin sembari membentuk Demokrasi Liberal sebagai musuh bangsa Indonesia. Antagonisme ini juga akan memunculkan political frontier pembatas politik yang dikotomik. Political 121 Ibid Universitas Sumatera Utara frontier semakin memperjelas identitas subjek politik. Berikut contoh teks pidato yang menggambarkan political frontier: Semua kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas tersebut memang benar memakan biaya, tetapi faktanya menunjukkan bahwa kita juga dapat merasakan hasilnya dengan nyata. Tidakkan keadaan lantas berlainan dengan yang dulu? Berlainan dengan waktu 1950-1959, dimana kita selalu harus mengalami kenyataan “biaya habis, hasil tidak ada”, kecuali malahan berkobar rebut-rebutan antara kita dengan kita sendiri? Oleh sebab itu, jika kita secara jujur, mawas diri meninjau perkembangan dari tahun 1959 sampai sekarang, ternyata bahwa banyaklah fakta-fakta yang membuktikan bahwa kebijaksanaan yang saya terapkan untuk opknappen warisan 1950- 1959 itu adalah kebijaksaan yang tepat dan benar. 122 Kalimat yang dicetak tebal menggambarkan political frontier yang dikotomik. Kutipan teks tersebut menggambarkan bahwa Demokrasi Terpimpin berbeda dengan demokrasi liberal yang penuh dengan masalah. Seperti yang dikatakan Laclau, bahwa setiap aktor akan memahami identitas mereka melalui hubungan yang antagonistic, karena antagonisme mengidentifikasi musuh mereka. Dalam kutipan ini Sukarno dengan jelas mengkonstruksikan musuh bersama Bangsa Indonesia. Demokrasi Liberal dikonstruksikan sebagai musuh bersama yang harus dihindari, sementara Demokrasi Terpimpin merupakan jiwa Bangsa Indonesia yang harus senantiasa diikuti. Dari penjelasan-penjelasan mengenai mitos Sukarno dam pemikiran- pemikirannya kita dapat melihat bagaimana ia menyusun logika berpikir sehingga dapat terbentuk wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Hal ini dimulai dengan cita-citanya myth yang menginginkan Indonesia merdeka, masyarakat adil dan makmur serta dunia baru 122 Ibid Universitas Sumatera Utara tanpa exploitation de l’homme par l’homme. Sukarno menyusun logika ini dimulai dari pemikirannya yang anti barat. Menurutnya nasionalisme adalah gerbang untuk menuju sebuah kemerdekaan. Pemikirannya mengenai nasionalisme inilah yang sangat mempengaruhi gagasannya mengenai negara Kesatuan dan cenderung sentralistik yang diterapkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Kemudian, pertemuannya dengan petani bernama Marhaen juga melihat demokrasi dengan sudut pandang berbeda pula. Menurutnya demokrasi yang diterapkan di negara-negara Barat dengan sistem parlementer tidak dapat menyelesaikan kemiskinan. Malahan menurutnya demokrasi yang seperti itu hanya menyuburkan kapitalisme dan imperialisme. Demokrasi harus menjadikan rakyat sebagai raja tidak hanya dibidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi. Pada masa demokrasi terpimpin ia menjelaskan konsep USDEK UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Kemudian ia memperkenalkan konsep trisakti yang intinya Indonesia harus berdaulat di bidang politik, dan berdikari di bidang ekonomi untuk menciptakan sebuah keadilan sosial. Lebih jauh lagi, konsep demokrasi parlemen liberal ala barat ini tidak sesuai dengan pemikrannya tentang nasionalisme dan negara Kesatuan. Demokrasi parlemen dengan sistem multi partai menurutnya hanya akan memecah belah persatuan. Hal ini terbukti sering dikeluarkannya mosi tidak percaya yang berakibat dengan tujuh kali masa pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal dalam rentang tahun 1950-1959. Universitas Sumatera Utara Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bagaimana gagasan Sukarno mengenai masyarakat dan sistem pemerintahan yang dicita-citakannya. Konsep masyarakat dalam ide Sukarno adalah sebuah masyarakat marhaen yaitu masyarakat yang berjaya dalam bidang politik dan ekonomi. Masalah kemudian muncul ketika masa demokrasi liberal dimulai. Masalah-masalah yang tejadi di masa itu, seperti krisis kabinet, krisis ekonomi dan maraknya pemberontakan di dalam negeri, membuat Sukarno memunculkan penafsiran ulang terhadap demokrasi di Indonesia. Demokrasi terpimpin kemudian diantagonisasikan dengan Demokrasi Liberal, yang sebelumnya merupakan harapan seluruh masyarakat bagi Indonesia yang baru merdeka. Demokrasi terpimpin kemudian ditampilkan sebagai jalan keluar atas kegagalan-kegagalan yang terjadi pada masa Demokrasi Liberal. 3.3.1. Wacana yang Hegemonik Menurut Laclau, medan bagi munculnya hegemoni ialah medan bagi praktek-praktek artikulatoris, dengan kata lain suatu medan dimana elemen- elemen tidak terkristalisasi menjadi momen-momen. Namun momen artikulasi saja tidaklah cukup.artikulasi itu sendiri harus dijalankan lewat suatu konfrontasi dengan praktek-praktek artikulatoris yang antagonistik, dengan kata lain, bahwa hegemoni hanya akan muncul dalam suatu medan yang dipenuhi antagonisme- antagonisme. 123 Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟ dapat menjadi sebuah wacana yang hegemonic hegemonic discourse karena 123 Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, Op.Cit, Hal: 202 204. Universitas Sumatera Utara adanya suatu konfrontasi yang bersifat antagonistic konfrontasi tersebut tidak lain adalah Demokrasi Liberal dengan sistem pemerintahan parlementer tersebut. Konfrontasi yang terjadi antara Demokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Liberal adalah medan bagi terjadinya hegemoni. Antagonisme ini dapat terjadi karena adanya sistem perbedaan dan sistem persamaan. Sistem perbedaan yang memunculkan antagonisme mengidentifikasikan siapa musuh kita. Pada pidato ini Sukarno mengidentifikasikan Demokrasi Liberal sebagai musuh bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan Demokrasi Liberal adalah demokrasi yang berasal dari Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan. Selain itu, Demokrasi ini, menurutnya hanyalah demokrasi yang melanggengkan kaum borjuis untuk menjadi wakil di parlemen, sementara rakyat tetap menjadi miskin, yang pada akhirnya akan menyuburkan kapitalisme dan imperialisme. Selain itu, dengan sistem parlementer dan sistem multipartai, membuat persatuan rakyat Indonesia akan terpecah belah, karena masing-masing golongankelompok akan berusaha menempatkan dirinya menjadi penguasa. Demokrasi liberal ini ia konfrontasi dengan Denokrasi Terpimpin yang ia bangun. Menurutnya Demokrasi Terpimpin ini merupakan demokrasi yang paling tepat digunakan oleh Indonesia, karena sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Antara lain dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi resmi negara. Bila Demokrasi Liberal hanya melihat demokrasi dalam bidang politik, maka dalam Demokrasi Terpimpin, ia memperkenalkan juga Ekonomi Terpimpin. Karena Universitas Sumatera Utara menurut Sukarno, politik dan ekonomi tidak dapat dipisahkan untuk menciptakan negara yang merdeka serta masyarakat yang adil dan makmur. Jadi wacana Demokrasi Terpimpin ini dapat menjadi wacana yang hegemonik karena adanya antagonisme. Bila wacana Demokrasi Terpimpin ini diartikulasikan tidak dalam situasi antagonisme, maka wacana tersebut tidak menjadi hegemonik. Sebaliknya, karena dikonfrotasikan dengan artikulasi yang antagonistik, wacana Demokrasi Terpimpin ini mejadi sesuatu yang diperdebatkan, karena dibentuk dengan mengkonstruksikan Demokrasi Liberal sebagai musuh bersama.

3.4. Wacana di dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966