diselesaikan. Sehingga, Sukarno menggunakan kata “warisan” untuk menggambarkannya.
Dari analisis teks tersebut dapat kita lihat bagaimana unsur tematik, skematik, smantik, sintaksis, dan leksikon pidato tersebut. Wacana dalam pidato
ini mengangkat tentang demokrasi terpimpin adalah demokrasi pancasila dan demokrasi asli Indonesia. Cara Sukarno membangun wacana ini dengan
menggiring khalayak untuk terus mengingat masa lampau yang penuh dengan masalah. Bahkan melalui pidato ini, salah satu quotes Sukarno yang terkenal,
yaitu JAS MERAH terbentuk. Terbentuknya quotes „jangan sekali-sekali
meninggalkan sejarah‟ bila dianalisis melalui analisis teks van Dijk tentunya berkaitan erat dengan bagaimana Sukarno membangun wacana dalam pidato ini.
3.1.2. Analisis Kognisi Sosial
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa untuk memahami teks, analisis kognisi sosial dibutuhkan untuk mengetahui makna teks tersebut. Analisis
kognitif ini didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak memiliki makna, tetapi makna diberikan oleh si pemakai bahasa.
94
Sehingga, dengan menggunakan analisis ini, kita dapat mengetahui makna apa yang diberikan oleh Sukarno dalam
teks pidato tersebut. Di awal pidato ini, Sukarno mulai mereview kebijakan yang dilakukan
terkait dengan kejadian Gerakan 30 September. Mulai dari bagaimana pemberian
94
Eriyanto, Op.cit. Hal: 260.
Universitas Sumatera Utara
Surat perintah 11 Maret sampai bagaimana Sukarno menjelaskan dampak Gerakan tersebut, yang ia sebut sebagai Gestok, terhadap kondisi sosial dan
politik. Kemudian ia mulai menyebutkan bahwa crucial period muncul dari dulu, sehingga terhambatnya revolusi. Crucial period yang ia sebut disini dimulai dari
tahun 1950-1959. Pemerintahan Indonesia pada tahun 1950-1959 merupakan pemerintahan dengan sistem parlementer. Masa pemerintahan ini juga dikenal
dengan sebutan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi liberal pertama kali ditemukan pada abad pencerahan oleh
penggagas kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan JJ Rousseau. Semas peranng dingin, istilah demokrasi liberal bertolak belakang dengan
komunisme ala Republik Rakyat. Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi ala barat seperti di negara-negara Eropa Barat.
95
Masa demokrasi liberal di Indonesia dimulai ketika dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 14 November 1945, yang diumumkan oleh Sjahrir
bersamaan dengan adanya susunan Kabinet baru, serta pengangkatan Sjahrir sebagai Perdana Menteri. Sistem pemerintahan dalam bidang politik yang dianut
pada masa demokrasi liberal adalah sistem kabinet perlementer. Sistem pemerintahan tersebut berlandaskan pada UUDS 1950. Sistem pemerintahan ini
menetapkan bahwa kabinet-kabinet dan para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Sistem kabinet parlementer juga menerapkan sistem pemungutan suara
voting yang digunakan dalam pemilihan umum dan mosi untuk
95
https:www.academia.edu7046821SISTEM_PEMERINTAHAN_PADA_MASA_DEMOKRA SI_LIBERAL_TAHUN_1949-1959, diakses pada tanggal 22 Maret 2015 Pukul 21.03 WIB
Universitas Sumatera Utara
mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik. Selain itu, adanya sistem multipartai pada masa ini menyebabkan golongan mayoritas dan minoritas dalam
masyarakat serta adanya sikap mementingkan kepentingan golongan partai politik masing-masing daripada kepentingan bersama.
96
Sukarno merupakan tipikal orang yang sangat menghendaki negara kesatuan dengan sistem pemerintah presidensil. Hal ini sangat dipengaruhi dengan
pemikirannya tentang
nasionalisme. Dalam
tulisannya yang
berjudul “Nasionalisme, Islam dan Marxisme”, Sukarno menyatakan bahwa ia
menghendaki kesatuan dan persaudaraan di berbagai gerakan. Baginya persatuan merupakan “jembatan emas yang mengantar ke pintu gerbang kemerdekaan”.
Pandangannya tentang negara kesatuan, yang dipengaruhi oleh pemikirannya tentang nasionalisme, dapat menjelaskan bagaimana Sukarno
memandang demokrasi liberal dengan sistem parlementer ini. Sukarno melihat gagasan demokrasi liberal dengan sistem parlementer ini menghambat
perkembangan Indonesia yang baru merdeka. Selain itu, Sukarno menganggap demokrasi liberal ini tidak sesuai dengan
Indonesia, dikarenakan berakarnya pemikiran Sukarno dalam tradisionalisme Jawa dan ideologi anti barat yang merupakan penjajah dan musuh utama
nasionalisme. Seperti yang diuraikan sebelumnya, demokrasi liberal ini adalah demokrasi ala barat. Tentunya Sukarno melihat demokrasi liberal ini akan
menghambat kesatuan di Indonesia.
96
Matroji. 2002. Sejarah. Jakarta: Erlangga. Hal: 26
Universitas Sumatera Utara
Dari pendekatan kognisi sosial ini, akhirnya kita dapat mengetahui pandangan Sukarno mengenai demokrasi liberal ini. Demokrasi liberal dengan
sistem parlementer adalah demokrasi ala barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia, yang akhirnya menjauhkan rakyat Indonesia dari nasionalisme.
Dari sini, kita dapat memahami bagaimana ia memberikan makna pada kata crucial period tersebut. Crucial period merupakan periode gawat dan kritis
karena bangsa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan pancasila, dan nilai-nilai keindonesiaan. Oleh karena itu, sangat masuk
akal Sukarno kemudian dalam pidato ini meyebutkan bahwa „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi gotong royong, demokrasi pancasila, dan
demokrasi asli Indonesia‟. Analisis van Dijk dalam penelitian ini menggunakan dua dimensi yaitu
dimensi teks dan kognisi sosial. Analisis teks melihat bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan tema tertentu. Sementara
kognisis sosial melihat bagaimana teks diproduksi dan diberikan makna oleh komunikator. Dari analisis yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa pidato ini
mengangkat tema demokrasi terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli. Tema pidato ini didukung oleh skema, ilustrasi, latar,
detil yang menjelaskan sisi positif dari demokrasi terpimpin dan sisi negatif dari demokrasi liberal. Demokrasi liberal digambarkan sebagai sumber dari masalah-
masalah yang terjadi pada bangsa Indonesia, sementara demokrasi terpimpin merupakan solusi dari masalah-masalah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Demokrasi liberal dalam pidato ini dimaknai sebagai sumber masalah yang dihadapi bangsa Indonesia. Pemberian makna ini dianalisis melalui kognisi
sosial. Analisis kognisi sosial ini melihat bahwa teks tidak memliki makna, namun komunikatorlah yang memberikan makna tersebut. Pemberian makna
demokrasi liberal merupakan sumber masalah tidak terlepas dari pemikirannya mengenai nasionalisme, dan pemikirannya yang anti-Barat. Hal itulah yang
membentuk wacana demokrasi terpimpin merupakan demokrasi pancasila dan demokrasi Indonesia asli, sementara demokrasi liberal merupakan akar masalah
yang terjadi pada bangsa Indonesia.
3.2. Analisis Foulcault