Wacana di dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966

menurut Sukarno, politik dan ekonomi tidak dapat dipisahkan untuk menciptakan negara yang merdeka serta masyarakat yang adil dan makmur. Jadi wacana Demokrasi Terpimpin ini dapat menjadi wacana yang hegemonik karena adanya antagonisme. Bila wacana Demokrasi Terpimpin ini diartikulasikan tidak dalam situasi antagonisme, maka wacana tersebut tidak menjadi hegemonik. Sebaliknya, karena dikonfrotasikan dengan artikulasi yang antagonistik, wacana Demokrasi Terpimpin ini mejadi sesuatu yang diperdebatkan, karena dibentuk dengan mengkonstruksikan Demokrasi Liberal sebagai musuh bersama.

3.4. Wacana di dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1966

Pada bagian sebelumnya peneliti telah menganalisis teks pidato kenegaraan dengan masing-masing perspektif. Perspektif van Dijk dengan analisis teks dan analisis kognisi sosialnya melihat wacana apa yang ingin dibangun dengan melihat pemilihan katanya. Sementara perspektif foulcault melihat bagaimana wacana dalam pidato kenegaraan ini menjadi sebuah instrumen bagi Sukarno untuk memperthankan kekuasaannya. Selain itu juga melihat bagaimana Sukarno dengan kekuasaannya dapat memunculkan sebuah wacana dominan, yang dapat membatasi pikiran khalayak. Dan yang terakhir Laclau dan Mouffe, yang menjelaskan bagaimana wacana tersebut dapat terbentuk dan menjadi wacana yang hegemonik. Universitas Sumatera Utara Crucial Period menjadi sebuah kata penting dalam pidato ini. Kata ini dapat dikatakan menjadi tiang dalam pembe ntukan wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Dalam analisis teks van Dijk, kata crucial period menjadi kata kunci utama dalam pidato ini. Maka kemudian yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini apa makna crucial period ini dalam alam pikir Sukarno. Dalam analisis kognisi sosial van Dijk, kita dapat melihat bahwa, makna crucial period bagi Sukarno tidak lepas dari pemikirannya yang anti barat. Demokrasi liberal dengan sistem parlementernya dipandang Sukarno sebagai demokrasi ala Barat yang tidak sesuai dengan Bangsa Indonesia. Apalagi Sukarno yang sangat mengagumi nilai-nilai kesatuan sangat berseberangan dengan sistem pemerintahan parlementer dan sistem multi partai. Baginya sistem ini hanya akan memecah belah rakyat Indonesia. Oleh karena itu, ketika demokrasi liberal ini dihadapkan oleh masalah-masalah politik dan ekonomi, maka Sukarno menyebutnya sebagai crucial period. Crucial period merupakan periode gawat dan kritis karena bangsa Indonesia menggunakan sistem pemerintahan yang tidak sesuai dengan pancasila, dan nilai-nilai keindonesiaan. Sehingga kemudian, Sukarno datang dengan wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟. Setelah kita mengetahui makna crucial period dalam alam pikir Sukarno, maka kemudian mengapa Sukarno memilih crucial period untuk membentuk wacana ini. Dari analisis teks van Dijk, pada bagian skematik, kita melihat bagaimana Sukarno membentuk skema pada pidato ini. Skema pidato ini terdiri Universitas Sumatera Utara dari tiga bagian yaitu pendahuluan, yaitu bagaimana Sukarno menjelaskan masalah-masalah pada masa lampau crucial period, kemudian bagian pertengahan yaitu bagaimana Sukarno menjelaskan kebijkannya pada masa demokrasi terpimpin, serta penutup yaitu bagaimana Sukarno kembali menekankan pada sejarah. Penggunaan istilah crucial period pada awal pidato adalah untuk membentuk wacana dominan yang dapat membatasi pikiran khalayak. Wacana dominan yang ingin di bentuk adalah bagaimana demokrasi liberal membawa masalah bagi bangsa Indonesia karena tidak sesuai dengan pancasila. Kata crucial period memilki makna masa lampau atau masa lalu yang gawat dan kritis. Crucial period yang disebutkan sebanyak lima belas kali itu dipilih agar masyarakat harus tetap mengingat bahwa masa demokrasi liberal merupakan crucial period sehingga harus ditinggalkan. Agar bangsa Indonesia tidak lagi mengalami masa crucial itu lagi, maka wacana „demokrasi terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟ ditampilkan oleh Sukarno dalam pidatonya. Setelah mengetahui apa makna crucial period dan mengapa Sukarno memilih istilah tersebut dalam pidatonya, maka kemudian bagaimana wacana ini dapat menjadi sebuah wacana yang hegemonik. Seperti yang disampaikan oleh Laclau dan Mouffe, hegemoni hanya akan muncul dalam suatu medan yang dipenuhi antagonisme- antagonisme. Wacana „Demokrasi Terpimpin merupakan demokrasi Pancasila dan demokrasi Indonesia asli‟ dapat menjadi sebuah wacana yang hegemonic hegemonic discourse karena adanya suatu konfrontasi yang Universitas Sumatera Utara bersifat antagonistik konfrontasi tersebut tidak lain adalah Demokrasi Liberal dengan sistem pemerintahan parlementer tersebut. Konfrontasi yang terjadi antara Demokrasi Terpimpin dengan Demokrasi Liberal adalah medan bagi terjadinya hegemoni. Antagonisme ini dapat terjadi karena adanya sistem perbedaan dan sistem persamaan. Sistem perbedaan yang memunculkan antagonisme mengidentifikasikan siapa musuh kita. Pada pidato ini Sukarno mengidentifikasikan Demokrasi Liberal sebagai musuh bangsa Indonesia. Jadi wacana Demorkrasi Terpimpin ini dapat menjadi wacana yang hegemonik karena adanya relasi antagonistik. Bila wacana Demokrasi Terpimpin ini diartikulasikan tidak dalam situasi yang antagonistik, maka wacana tersebut tidak menjadi hegemonik. Sebaliknya, karena dikonfrotasikan dengan artikuasi yang antagonistik, wacana Demokrasi Terpimpin ini mejadi sesuatu yang diperdebatkan, karena dibentuk dengan mengkonstruksikan Demokrasi Liberal sebagai musuh bersama. Universitas Sumatera Utara BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan