Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Serangan

empat minggu, hasil yang diperoleh setelah pengamatan berupa gejala yang sama seperti pada pengamatan di lapangan yaitu terbentuknya bintik-bintik kecil dan di sekeliling jaringan yang mati terbentuk lingkaran berwarna kuning dan jaringan yang melekuk untuk kontrol positif, namun untuk perlakuan yang diberi suspensi bakteri tanaman kakao sebagian besar terlihat tahan terhadap serangan patogen.

4.2 Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Serangan

Colletotrichum sp. pada Tanaman Kakao Hasil uji antagonisme isolat bakteri kitinolitik lokal terhadap Colletotrichum sp., menunjukkan kelima bakteri mampu menghambat pertumbuhan patogen dengan kemampuan yang berbeda-beda. Kemampuan menghambat merupakan salah satu bentuk interaksi bakteri tersebut dalam menekan perkembangan patogen dengan mekanisme kompetisi terhadap nutrisi atau ruang untuk mendapatkan makanan atau tempat, memproduksi antibiosis, dan parasitisme Mukerji Garg, 1988. Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan jamur oleh isolat bakteri kitinolitik Gambar 6. Bentuk zona hambatan tersebut berupa cerukan penipisan elevasi. Hasil uji antagonisme kelima isolat kitinolitik lokal tersebut disajikan pada Tabel 1. Universitas Sumatera Utara a b c d e Gambar 6. Uji antagonisme bakteri kitinolitik a LK08, b BK15, c KR05, d BK13, e BK17 terhadap Colletotrichum sp. Universitas Sumatera Utara Tabel 1. Kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat Colletotrichum sp secara in vitro Isolat Bakteri Zona Hambat cm hari ke- 3 4 5 6 7 BK13 0.61 b 0.65 b 0.96 b 1.88 a 3.17 a KRO5 0.60 b 0.62 b 0.87 b 1.71 a 2.89 a BK17 0.60 b 0.61 b 0.95 b 1.85 a 2.98 a BK15 0.61 b 0.64 b 0.84 b 1.77 a 2.88 a LK08 0.99 a 0.99 a 1.24 a 1.83 a 3.00 a Keterangan: Data dianalisis dengan SPSS 16. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata. Berdasarkan analisis statistik hasil uji antagonisme bakteri kitinolitik dan jamur Colletotrichum sp. menunjukkan bahwa pada pengamatan mulai hari ketiga sampai hari kelima rata-rata zona hambat isolat bakteri kitinolitik LK08 berbeda nyata dengan isolat bakteri BK13, KR05, BK17 dan BK15 hal tersebut karena dalam pertumbuhan suatu mikroorganisme mengalami serangkaian fase pertumbuhan. Menurut Hidayah 2001, dalam pertumbuhan suatu mikroorganisme terdapat serangkaian fase antara lain fase lambat adaptasi, fase eksponensial, fase stabilstationer, dan fase kematian. Untuk fase eksponensial pertumbuhan mengalami peningkatan jumlah sel mikroba karena pada fase ini nutrien akan dikonsumsi dan zat-zat metabolit akan diproduksi. Pada hari keenam dan ketujuh LK08 tidak berbeda nyata dengan keempat isolat bakteri kitinolitik lainnya, hal ini mungkin LK08 telah mengalami fase stationer. Pada fase stationer pertumbuhan dan kematian sel seimbang, metabolisme masih berlangsung dan terjadi penimbunan produk dalam sel Hidayah, 2001. Efek penghambatan masing-masing isolat kitinolitik tersebut terhadap fungi Colletotrichum sp., dipengaruhi juga oleh keberadaan kitin pada media, sehingga kemungkinan kitinase pada kelima isolat lebih cepat disekresikan. Adanya kitin pada media menyebabkan produksi kitinase isolat bakteri tersebut terpacu untuk mendegradasi dinding sel fungi. Ketika kitin yang ada di sekitar koloni sudah terurai bakteri kitinase akan mengkolonisasi miselium fungi untuk menguraikan kitin yang ada pada dinding sel Universitas Sumatera Utara fungi. Menurut Muharni 2009, kitinase merupakan enzim yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin. Variasi besarnya zona hambat pada masing-masing isolat menunjukkan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dari masing-masing isolat dalam menghasilkan enzim kitinase. Ukuran zona hambat dipengaruhi oleh sensitivitas organisme yang diuji, suspensi biakan, jumlah enzim kitinase yang dihasilkan, pH, suhu inkubasi serta komposisi medium. Kandungan kitin yang terdapat pada dinding sel fungi juga mempengaruhi besarnya zona hambat isolat pada masing-masing fungi. Semakin besar kandungan kitin pada dinding sel semakin besar zona hambat yang terbentuk. Kitin pada jamur berbentuk mikofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikofibril merupakan struktur utama dari struktur dinding sel jamur dan terdiri atas jalinan rantai-rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Jalinan ini kuat berikatan pada matriks. Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4-9 berat kering sel, tergantung spesies atau strain jamurnya Rajarathnam et al ., 1998. Menurut El-Katatny et al ., 2000 satu kelompok organisme yang memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati fungi berasal dari kelompok mikroba penghasil kitinase. Pengendalian hayati fungi dengan menggunakan mikroba kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroba menghasilkan kitinase dan β-1,3-glukanase yang dapat melisiskan sel fungi. Bakteri lain yang juga digunakan sebagai pengendali hayati komersial seperti P . syringae , Burkholderia cepacia , Bacillus subtilis , Agrobacterium radiobacter , Enterobacter cloacae , dan Streptomyces griseoviridis Fravel et al ., 1998; McQuilken et al ., 1998. Bakteri kitinolitik seperti A. hydrophila , A. caviae , P. maltophila , B. licheniformis , B. circulans , Vibrio furnisii , Xantomonas spp., dan Serratia marcescens memainkan peranan penting dalam pengendalian hayati patogen tanaman Gohel et al ., 2003. Mikroorganisme kitinolitik mempunyai aktivitas antagonisme yang kuat terhadap fungi patogen dengan mekanisme hiperparasitismenya dan antibiotiknya sehingga efektif dalam menghambat pertumbuhan fungi patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Beberapa enzim kitinolitiknya toksik pada fungi patogen penyebab penyakit Universitas Sumatera Utara tanaman budidaya tetapi tidak pada mikroorganisme lain dalam tanah dan tumbuhan inang Kloepper, 1989. Menurut Oku 1994, peranan kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, yaitu: 1 menghambat pertumbuhan fungi dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia dan 2 melalui pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang.

4.3 Pengamatan struktur hifa abnormal