terdapat pada regresi tahap pertama serta residual pada lag tertentu. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian autokorelasi pada lag 1.
Tetapi dalam hal ini, Uji Autokorelasi dilakukan dengan menggunakan B- G test, yaitu melihat nilai Prob.
2
dan membandingkannya dengan tingkat signifikansinya = 0.05.
Tabel 4.6 Uji Autokorelasi Pada Lag 2 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 34.67654
Prob. F2,61 0.062000
ObsR-squared 36.17873
Prob. Chi-Square2 0.060000
Sumber: Hasil Perhitungan Berdasarkan hasil LM Test yang dilakukan untuk menguji ada tidaknya
autokorelasi dalam model yang digunakan dalam penelitian ini, maka hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai Prob.
2
= 0.0600. Nilai ini lebih kecil dari nilai tingkat signifikansi = 0.05. Maka Ho diterima artinya tidak terdapat autokorelasi.
4.2.3 Hasil Estimasi Jangka Pendek ECM
Sebagaimana dipaparkan pada bagian terdahulu, bila variabel-variabel yang diamati membentuk suatu himpunan variabel yang saling terkointegrasi, maka
model dinamis yang cocok untuk mencari keseimbangan jangka pendek adalah model koreksi kesalahan Error Correction Model. Meskipun hasil uji kointegrasi
membuktikan bahwa terdapat keseimbangan jangka panjang kointegrasi dalam model perngaruh nilai tukar terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia-
Nancy Nopeline : Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Marshall-Lerner Condition Dan Fenomena J-Curve, 2009
USU Repository © 2008
Jepang, tetapi kita belum dapat melihat variabel-variabel mana yang berperan dalam penyesuaian dynamic short run menuju keseimbangan jangka panjang. Untuk itu
digunakan ECM untuk melihat perilaku jangka pendek short run dari model perngaruh nilai tukar terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia-Jepang
dengan mengestimasi dinamika Error Correction Term ECT. Hasil estimasi model koreksi kesalahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut: Estimation Equation:
===================== DLBT = C1 + C2ECT-1 + C3DLGDP INDO + C4DLGDP JP +
C5DLRER + C6DUMMY Substituted Coefficients:
===================== DLBT = 0.05804828554 + 0.01130727044ECT-1 - 0.8886952638DLGDP INDO
- 11.18871149DLGDP JP + 0.4116203793DLRER - 0.2492927027DUMMY
Dari hasil estimasi diatas terlihat bahwa estimasi dengan menggunakan Model Koreksi Kesalahan ECM diperoleh hasil ECT 0,01130
bernilai positif dan signifikan t-stat = 2,5850. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi
ketidakseimbangan dalam jangka pendek. Karena yang diharapkan adalah nilai ECT yang bertanda negatif dan signifikan sehingga neraca perdagangan berada di atas nilai
keseimbangan, maka neraca perdagangan akan menurun pada periode berikutnya untuk mengkoreksi kesalahan keseimbangan. Pada hasil output diatas GDP Indo -
Nancy Nopeline : Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Marshall-Lerner Condition Dan Fenomena J-Curve, 2009
USU Repository © 2008
0,8886, GDP Jp -11,188 memberikan dampak yang negatif bagi neraca perdagangan. Sedangkan Rer 0,4116 memberikan dampak yang positif bagi neraca
perdagangan. Hasil estimasi ECM menunjukkan nilai R
2
sebesar 0,3124. Nilai R
2
ini menunjukkan bahwa pada model jangka pendek yang dibuat dapat menjelaskan 31,24
persen variasi neraca perdagangan bilateral Indonesia untuk kasus Indonesia-Jepang. Dengan kata lain, perubahan neraca perdagangan bilateral Indonesia dapat dijelaskan
oleh model sampai pada tingkat 31,24 persen. Dalam model linier dinamis seperti ECM, nilai R
2
0,2965 maupun Adj-R
2
0,2511 dapat dilihat bahwa nilai Adj-R
2
dengan rata-rata dibawah 60 persen. Hal ini disebabkan dalam jangka pendek variasi variabel terikat dalam hal ini neraca perdagangan bilateral Indonesia sangat
dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang bersifat non-ekonomi. Sedangkan Tabel di bawah ini menunjukkan hasil output regresi dengan
menggunakan error correction model ECM.
Tabel 4.7 Hasil Estimasi dengan ECM MITRA DAGANG
Jepang DLRER
0,41162 DLGDP INDO
-0,88869 DLGDP JP
-11,1887 ECT
t-1
0,01130 5,54405
F-statistic Adjusted R
2
0,25608 Sumber: Hasil Perhitungan
Nancy Nopeline : Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Marshall-Lerner Condition Dan Fenomena J-Curve, 2009
USU Repository © 2008
Catatan: derajat kepercayaan 99, derajat kepercayaan 95, derajat kepercayaan 90
Dari table 4.7 diatas ada beberapa aspek yang dapat dilihat. Pertama, error correction terms ECTs memiliki tanda positif 0,01130. Nilai ECT ini
memperlihatkan bahwa percepatan penyesuaian keseimbangan jangka panjang tidak terjadi. Kedua, berkaitan dengan teori kurva J, pada kasus Indonesia-Jepang
walaupun lag nilai tukar dalam jangka pendek t-1 sd t-4 memiliki tanda negatif seperti yang diharapkan dalam teori kurva J, namun nilai t-hitung menunjukkan
bahwa seluruh koefisien secara statistik tidak signifikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teori kurva J dalam kasus perdagangan Indonesia-Jepang tidak
terjadi. Terdapat bebeapa alasan mengapa teori kurva J tidak terjadi dalam kasus
perdagangan bilateral Indonesia - Jepang. Pertama, berkaitan dengan hipotesis harga relatif Felmingham, 1988. Hipotesis ini pertama kali diungkapkan oleh Barber
1986 yang memfokuskan diri pada perspektif manajerial. Pada hipotesis ini Barber menyatakan bahwa depresiasi nilai tukar tidak akan berdampak pada neraca
perdagangan suatu negara jika negara tersebut memiliki tingkat upah yang sangat tinggi. Negara tersebut tidak akan meningkat daya saingnya akibat depresiasi mata
uang yang dimiliki jika tingkat upah begitu tinggi, sehingga depresiasi tidak sebanding dengan tingginya upah. Namun dalam kasus Indonesia, hipotesis ini
kurang tepat untuk menjelaskan mengapa teori kurva J tidak berlaku.
Nancy Nopeline : Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Marshall-Lerner Condition Dan Fenomena J-Curve, 2009
USU Repository © 2008
Argumen kedua yang menjelaskan ketidak-berlakuan teori kurva J adalah hipotesis struktural Felmingham, 1988. Hipotesis ini didasari oleh keadaan di mana
suatu negara memiliki elastisitas permintaan impor yang sangat rendah. Rendahnya elastisitas permintaan impor dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu komposisi
komoditi yang diimpor Indonesia dan kedua adalah kecilnya kemampuan industri domestik Indonesia untuk menggantikan barang impor. Pada beberapa studi seperti di
Australia menunjukkan bahwa walaupun terjadi depresiasi dollar Australia namun pengusaha domestik Australia tetap melakukan impor. Hal ini dikarenakan tidak
adanya barang subtitusi bagi barang impor dan kalaupun ada namun kualitasnya tidak sesuai dengan harapan pengusaha Felmingham, 1988.
Pada aspek komposisi barang yang diimpor oleh Indonesia, komposisi terbesar adalah barang kapital seperti perlengkapan mesin dan pengangkutan 42
diikuti oleh barang manufaktur 15 dan bahan kimia 14. Berdasarkan jenis barangnya, barang kapital dan bahan kimia termasuk barang yang memiliki
permintaan yang inelastik terhadap harga. Artinya perubahan harga tidak akan berpengaruh besar pada banyaknya barang yang dibeli atau diimpor.
Sehingga unsur ketidakmampuan industri domestik untuk mengganti barang-barang yang diimpor dan unsur elastisitas permintaan impor dapat merupakan
dua faktor utama yang menyebabkan Indonesia tetap mengimpor barang dari Jepang. Dalam jangka panjang di kedua kasus ditemukan bahwa nilai koefisien
nilai tukar positif yang berarti sesuai dengan teori yang seharusnya positif. Faktor
Nancy Nopeline : Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Marshall-Lerner Condition Dan Fenomena J-Curve, 2009
USU Repository © 2008
utama yang menyebabkan terjadinya kesesuaian adalah terpenuhinya Marshall- Lerner condition. Berdasarkan komposisi barang yang diimpor Indonesia dalam
jangka panjang, sangat memungkinkan bahwa elastisitas permintaan impor tinggi sehingga penjumlahan elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas permintaan impor
lebih dari satu. Sehingga keadaan ini akan berdampak positif pada neraca perdagangan Indonesia jika terjadi depresiasi rupiah terhadap mata uang mitra
dagangnya. Namun demikian penelitian ini tidak bertujuan untuk menentukan besarnya elastistitas di atas. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk melihat apakah
Marshall-Lerner condition terjadi dalam kasus perdagangan Indonesia dengan mitra- mitra dagangnya dengan menggunakan metode VECM.
4.3 Hasil Ekonomi Model ECM
4.3.1 GDP INDONESIA
Dari Estimasi jangka panjang diketahui bahwa GDP Indonesia berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia LBT, hal ini
berarti semakin tinggi GDP Indonesia maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia akan turun dengan kata lain neraca perdagangan bilateral akan mengalami
defisit. Ini bisa diartikan bahwa kinerja ekspor kita semakin menurun sehingga tidak dapat menambah nilai Gross Domestic Product GDP.
Estimasi jangka panjang memberikan hasil bahwa tanda negatif dari GDP Indonesia memberikan dampak negatif, sehingga GDP Indonesia akan mengalami
Nancy Nopeline : Pengaruh Nilai Tukar Riil Terhadap Neraca Perdagangan Bilateral Indonesia Marshall-Lerner Condition Dan Fenomena J-Curve, 2009
USU Repository © 2008