lunak organisasi LDII. Sekarang, prinsip tersebut dikembangkan lagi secara lebih proaktif dengan saling mengunjungi untuk bersilaturrahmi antara LDII dengan
tokoh masyarakat dan para ulama serta organisasi sosial kemasyarakatan lain. Misalnya, menerima silahturrahmi dari MUI, MPU Aceh, Majelis Ugama Islam
Singapore MUIS, NU, Muhammadiyyah, dan lain-lain untuk menyaksikan berbagai kegiatan LDII.
B. Doktrin-Doktrin Agama LDII
Dari hasil peninjauan yang penulis lakukan penulis dapatkan pada Anggaran Dasar Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII bab VI tentang
paradigma dakwah ayat 1 yang berbunyi “Lembaga Dakwah Islam Indonesia memiliki paradigma dalam melaksanakan dakwahnya yang merupakan cara
pandang tentang diri dan lingkungan dalam kerangka pelaksanaan dakwah dalam rangka mencapai tujuan nasional”
11
dari Anggaran dasar ini ada beberapa doktrin agama yang terdapat pada Lembaga Dakwah Islam Indonesia diantaranya sebagai
berikut:
1. Doktrin Manqul
Secara akademik tentang metode manqul mengundang pengujian dalam dua hal. Pertama, boleh-tidaknya metode manqul diterapkan dalam pengajaran
suatu ilmu. Kedua, benar-tidaknya penerapan sistem manqul dilingkungan internal LDII.
11
Lembaga Dakwah Islam IndonesiaLDII,Himpunan Keputusan Munas VI LDII Jakarta : LDII,2005, h. 64
Terhadap pengujian yang pertama, KH Alie Yafie dan KH Said Agil Siradj membenarkan adanya penggunaan metode ini. Meski, menurut KH Alie
Yafie, lebih banyak digunakan dalam ilmu tasawuf Manqul berasal dari kata naqala
Bahasa Arab, yang artinya adalah ”pindah.” Manqul artinya belajar
secara langsung. Metode ini dikenal dalam pembelajaran ilmu hadîts, yang menuntut perpindahan kalimat hadîts yang sempurna dari satu perawi ke perawi
lain. Ilmu yang manqul adalah ilmu yang dipindahkan dari guru kepada
muridnya. Dalam pelajaran ilmu tafsir, dikenal istilah tafsir bi al-ma tsur yang berarti menafsir suatu ayat al-
Qur’an dengan ayat al-Qur’an yang lainnya, para sahabat dan tabi’in.
12
Dalam ilmu hadîts , manqul berarti belajar hadîts dari guru yang mempunyai isnad sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
12
Tafsir bi al-ma tsur adalah tafsir yang didasarkan pada riwayat manqul dengan urutan- urutan yang telah disebutkan dimuka dalam syarat-syarat mufasir yaitu menafsirkan al-
Qur’an dengan al-
Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan as-sunnah karena fungsinya sebagai penjelas bagi ayat-ayat al-
Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat yang diriwayat dari para sahabat karena mereka adalah generasi yang paling memahami kitabullah, atau
menafsirkan dengan pendapat kibar at- tabi’in karena pada umumnya mereka mendapatkan
ilmunya langsung dari para sahabat. Untuk keteranga n lebih lanjut, lihat manna’ al-Qathan,
mabahits fi ulum al- Qur’an Riyadh: maktabah al-Ma’arif, 1981, cet. Ke-8, hal.347 tentang fafsir
bi al- ma’tsur; dan hal. 329-332 tentang syarat dan adab yang harus dimiliki seorang mufassir.
Dalam defenisi di atas, al-Qhatan menyatakan bahwa tafsir bi al- ma’tsur harus didasarkan pada
riwayat yang manqul yang pindah, dikutip langsung dari Rasulullah SAW, sahabat, atau tabi’in.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir sebagaimana disebutkan al-Qhatan adalah 1memiliki aqidah yang shahi, 2 bersih dari hawa nafsu, sehingga pendapat-pendapatnya tidak
digunakan untuk membela kelompoknya secara membabi buta, meski kelompoknya memiliki kesalahan dan kekurangan 3 memulai menafsirkan al-
Qu’an dengan al-Qur’an, kemudian dengan sunnah, kemudian dengan pendapat para sahabat, kemudian dengan pendapat kibarat-
tabi’in. Tahap-tahap ini tidak boleh dilewatkan oleh mufassir, 4 menguasai Bahasa Arab dan cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengannya, 5 memiliki pengetahuan yang baik tentang
dasar-dasar ilmu yang berkaitan dengan al- qur’an, 6 memiliki pemahaman yang mendalam dan
komprehensif. Yang dimaksud manqul dalam konteks ini adalah bahwa menafsirkan al- Qur’an itu
harus didasarkan pada riwayat yang dimanqulkan dipindahkan dari rasulullah SAW. Riwayat yang dimanqulkan dari rasulullah ini kemudian disampaikan oleh para sahabat kepada para
muridnya tabi’in, dan seterusnya; dari guru kemuridnya. Namun demikian, manqul tidak bisa dipahami secara sempit, dimana seorang murid hanya mau menerima ilmu dari guru-guru yang
sekelompok dengan mangabaikan ilmu dari guru-guru lain di luar kelompoknya. Para Imam
Terhadap peraktek metode manqul ini, Syafi’i Mufid menyatakan bahwa
”...praktek manqul sebetulnya sudah ada dalam tradisi ulama-ulama Nusantara, meskipun terminologi ini tidak pernah disebut demikian. Dengan bahasa
sederhana Syafi’i mencontohkan, “Saya pernah ngaji kepada seorang guru. Saya membaca kitab
Ihya’ Ulumiddin. Setelah tamat membaca Ihya’. Nah, saya bisa membaca kitab
Ihya’ seperti begini dari guru saya. Guru saya itu mendapatkan kemampuannya itu dari gurunya. Itulah namanya silsilah. Manqul kalau dipahami
sebagai silsilah kayak begitu maka itu adalah hal yang biasa dan wajar. Persoalan muncul jika metode manqul menyebabkan seseorang menganggap hadîts yang
diajarkan oleh gurunya itu sajalah yang benar, sementara hadîts yang lain dianggap salah. Padahal jumlah hadîts itu kan ratusan ribu. Nah, bagaimana dia
bisa mengatakan hanya gurunya sajalah yang sah meriwayatkan hadîts ini Kan, lagi-lagi ini namanya ekslusif dan disitu letak kekeliruannya...
” Pengujian yang kedua berkenaan dengan kebenaran penerapan metode ini
di LDII. Secara formal, LDII melalui “Direktorinya”-nya membenarkan adanya praktek metode ini, meski tidak seperti yang dituduhkan oleh banyak pihak. Hal
itu dipertegas oleh Aceng K arimullah, beliau mengatakan “bahwa kesan ekslusif
dala m “berguru” ketika mengaji, lebih karena persoalan aksesibilitas
kemampuan warga LDII untuk menjangkau guru-guru yang dapat mengajarkan kepadanya. Menurutnya, warga LDII yang akan mengaji kepada guru lain harus
berpikir, karena sungkan atau karena sebab lain. Bebeda jika mereka mengaji
mazhab besar tidak membatasi sumber ilmu dari suatu mazhab tertentu, bahkan, misalnya, Imam Syafi’i pendiri Mazhab Syafi’i berguru pada Imam Malik yang merupakan pendiri Mazhab
Maliki.
kepada ustadz dari LDII, hal ini bisa dilakukan dengan mudah, tanpa memikirkan ongkos yang harus dikeluarkan. Hal ini sangat mepermudah bagi jama’ahnya.
13
LDII juga menyusun himpunan hadîts yang ditulis lengkap dengan sanad- sanadnya.
14
Hal itu dilakukan warga LDII karena warga LDII belum semuanya mampu memiliki kitab hadîts lengkap seperti kutubus sittah kitab-kitab hadîts
riwayat Bukhori, Muslim, Abu Daud, Thirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Kurang intensnya pengajaran ilmu alat Bahasa Arab dilingkungan
Pesantren LDII, memungkinkan pelaksanaan metode manqul berjalan dengan efektif, jika memang ada politic will dari pihak LDII untuk menerapkan metode
tersebut. Terkecuali apabila memang kran keterbukaan mengakses ilmu dari luar juga dikembangkan. Sistem manqul juga diterapkan di Pesantren-pesantren lain
seperti NU dan mereka juga diberikan ijazah, namun kesan “menganggap pendapat guru paling benar” jarang atau tidak mencuat di lapangan.
Sistem manqul sebenarnya memudahkan kalangan awam masyarakat umum untuk secara praktis memahami isi kitab dengan makna gandul sebagai
contoh: memaknai kitab kuning dalam bahasa yang dipahami pengkajinya. Tetapi ketika sang guru mengatakan bahwa hanya pendapatnya yang paling
benar, sedangkan yang lain salah, di situlah muncul persoalan.
13
Wawancara pribadi dengan aceng Karimullah.
14
Dalam definisinya tentang hadîts shahih, Mahmud Thahhan menulis: sebuah hadîts dikatakan sahih apabila memenuhi syarat sebagai berikut: 1 ittishal sanad, yaitu para perawinya
menukil hadîts secara langsung dari rawi di atasnya, dari awal hingga akhir sanad, 2 adalah ar- ruwat
rawi yang adil, yaitu setiap rawi yang terrlibat dalam periwayatan hadîts haruslah seorang muslim yang baligh, berakal, tidak fasik, dan tidak melanggar
muru’ah, 3 dhabt ar-ruwah, yaitu setiap rawi harus dhabit teliti, baik dalam hafalan maupun tulisan, 4 hadîts tidak syadz, artinya
tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqoh atau lebih kuat, 5 tidak adanya illah , yaitu hal-hal kecil yang terse
mbunyi yang “mencederai” kesahihan hadîts. Lihat Mahmud Thahhan, taisir Mustalah al- hadîts,Surabaya: syarikah Bengkulu Indah,t.th, cet.ke-1, hal.34-35;
lihat juga Muhammad Ajjaj al-khatib, ushul al- hadîts : Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989 1409 hal. 304-305, dan kitab-kitab lain yang sejenisnya.
2. Frasa ” Amal Shaleh ”