Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tidak dapat diragukan lagi bahwa bai’at merupakan salah satu aktivitas politik yang paling menonjol. Bai’at identik dengan sebuah “perjanjian” dan sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian. Bai’at itu sendiri melibatkan dua kelompok, disatu sisi pihak pemimpin dan masyarakat, disisi lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum ba’ait terwujud, tetapi semua pihak yang bersangkutan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu. 1 Bai’at merupakan perjanjian antara manusia yang melibatkan tiga unsur, yaitu: pemimpin, orang- orang yang berbai’at atau umat, dan apa yang dinyatakan dalam bai’at, yaitu syariat. Tanggung jawab umat tidak terhenti pada pelaksanaan bai’at, tapi terus berlanjut dengan tugas yang diemban dalam menjaga agama, melanggar batas serta menurunkannya dari jabatan jika diperlukan. 2 Umat Islam di masa-masa sebelumnya hingga masa sekarang sangat memerlukan teladan yang baik dalam usaha menghadapi tantangan zaman yang seringkali menawarkan nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah agamanya, serta membutuhkan contoh akhlak mulia yang telah diajarkan dan diperaktekkan 1 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiya Tentang Pemerintahan Islam. Terj dari judul aslinya The Islamic Theory of Goverment According to Ibn Taymiyyah Surabaya: Risalah Gusti, 1999, h.95 2 Asma’ Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam. Terj dari judul aslinnya, Daurul Mar’ah ash-Siyasi fi Ahdi an-Nbi wa al- Khulafa ar-Rasyidin Jakarta: Pustaka al-kautsar, 2001, h. 70 oleh Rasulullah SAW dan kemudian dikuti oleh para ulama dan pemimpin umat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Suatu organisasi pemerintahan yang ditegakkan disebuah negeri untuk mengatur masalah-masalah masyarakat tidaklah berjalan secara otomatis. Selama tidak ada individu-individu yang mampu bekerja untuk mengelolahnya, organisasi tersebut tidak akan bisa hidup, dan masyarakat tidak akan menikmati buah pemerintahan yang baik. Posisi kepemimpinan dalam masalah keagamaan dan kemasyarakatan dalam masyarakat Islam yang dikenal sebagai Imâmah. atau khilãfah. 3 Seperti yang dikatakan oleh As-Syarastani, perselisihan umat Islam yang terbesar adalah perselisihan menyangkut Imâmah. 4 Seiring perjalanan sejarah keberagamaan, perbedaan pemahaman dalam teologi seringkali melahirkan berbagai macam bentuk benturan dan konflik internal. Aqidah atau kenyakinan terhadap doktrin-doktrin agama yang dianut memang sudah menjadi suatu hal yang paling “sakral”, bahkan bisa lebih sakral dari agama itu sendiri. Ketika sebuah keyakinan itu diusik atau bahkan hanya karena ada kelompok lain yang berbeda pandangan dan pemahaman dengan kita, maka ego lantas muncul. Ironis memang, sebuah perbedaan selalu diselesaikan dengan kekerasan, entah itu kekerasan dalam bentuk wacana atau stuktural, bahkan fisik. Seolah-olah itu telah mendarah daging dalam tubuh masyarakat 3 Alamah Sayyid Muhammad Husain Tabataba’i, Inilah Islam, Upaya Memahami Seluruh Konsep Islam Secara Mudah Pntj Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka Hidayah,1992,Cet. Ke-1,h.116 4 Ali as-Salas, Imâmah dan Khilafah Dalam T injauan Syar’i, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Cet.ke-1, h. 16 Islam pada umumnya. Padahal ada satu sisi yang tidak bisa kita lupakan, bahwa kita lahir di lingkungan dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang plural. Belakangan ini, umat Islam Indonesia disibukkan dengan fenomena merebaknya aliran sesat, baik yang berkembang dalam batas-batas geografis Indonesia maupun pada tingkat global. Fenomena ini menguras banyak energi dan pikiran umat Islam, padahal sebenarnya energi itu sangat diperlukan untuk menghadapi banyak masalah ; mulai dari bencana, kisruh politik, wabah penyakit, pengembangan mutu pendidikan generasi Muslim, dan masalah-masalah lain yang sangat kompleks. Keterjebakan umat Islam dalam konflik internal menyebabkan yang seharusnya dioptimalkan demi pengembangan umat, justru hampir terkuras habis, dalam banyak kesempatan, umat Islam dalam hal ini ormas-ormasnya tidak sempat merealisasikan rencana strategis organisasi yang telah dirumuskan dalam berbagai perhelatan besar seperti kongres, muktamar, munas, atau yang sejenisnya. Umat Islam seakan “jalan di tempat” pada saat umat lain telah meraih capaian-capaian yang tinggi di bidang sosial, kesehatan, politik, teknologi, dan peradaban. Salah satu respon radikal terhadap kelompok-kelompok yang dituduh aliran sesat adalah politik generalisasi yang cenderung dilakukan oleh sebagian umat pada tingkat massa grass roots tanpa melalui proses tabayyun klarifikasi terhadapnya. Salah satunya adalah terhadap Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII, sepanjang pengamatan kami, buku-buku yang membahas LDII hanya mengulas sisi negatifnya saja. Sementara sisi positifnya, nyaris tak tersentuh. Seharusnya, masyarakat diberikan informasi yang lengkap dan seimbang, agar mereka lebih bersifat objektif, sehingga tidak terjebak dalam mengkonsumsi informasi yang tidak berimbang. Sikap tersebut akan memunculkan respon yang salah, seperti tindakan anarkhis terhadap LDII yang sedang dalam tahap tabayyun. Dalam menyikapi proses tabayyun ini, masyarakat terutama tokoh-tokohnya semestinya mampu mengambil posisi yang tepat, sehingga tidak menjadi bagian yang justru semakin memperparah keadaan. 5 Polemik ini harus segera disikapi dengan bijaksana, baik oleh pemimpin umat dan maupun oleh umat itu sendiri. Terlepas dari kontroversi yang terjadi, timbul pertanyaan kenapa LDII selalu mengalami tindak kekerasan secara wacana. Sehingga muncul pertanyaan, apakah benar LDII mempunyai doktrin-doktrin atau ajaran agama yang berbeda dan pemahaman yang berbeda dengan umat Islam pada umumnya? Sehingga mereka sering terpojokkan. Hal tersebut telah mendorong penulis untuk melakukan pengkajian dan penelusuran secara mendalam tentang permasalahan yang diperdebatkan. Secara umum penulis ingin membahas doktrin-doktrin keagamaan LDII, dan secara khusus penulis ingin mengungkapkan seperti apa dan Bai’at dalam LDII yang sebenarnya, dan bagaimana LDII mentafsirkan ayat 18 surat al-Fath. karena memang masalah Bai’at banyak diperbicangkan khalayak ramai. Terutama isu 5 Habib Setiawan, dkk., After New Paradigm, Catatan Para Ulama Tentang LDII Jakarta: Pusat Studi Islam Madani Institute, 2008, h.iii-iv. minor yang dialamatkan kepada LDII yang terletak pada otoritas mutlak yang melekat pada imam yang dibai’atnya. Sistem Imâmah LDII tersebut, membuat anggota LDII dilarang untuk menerima segala penafsiran yang tidak bersumber dari penafsiran imamnya. Tetapi ketika penulis menemui salah seorang pengurus LDII, LDII berbeda pandangan tentang konsep Imâmah dan Bai’at dengan apa yang orang katakan diatas. Berkaitan dengan stigma yang dialamatkan kepada LDII, umat Islam masih mendapatkan data yang simpang-siur. Selain itu, LDII masih dalam proses memperoleh klarifikasi secara resmi dari MUI pusat. Dan berkaitan dengan stigma tersebut tidak terlepas dari masalah taqiyah. Taqiyah ini sebenarnya identik dengan konsep Syiah yaitu menyembunyikan sesuatu yang bisa membahayakan diri sendiri, harta bendanya, dan berhati-hati dalam masalah agama, karena adanya larangan-larangan atas kebebasan beragama dan beribadah oleh rezim penguasa yang tiran dan dzalim. Menurut al-Thusi dalm kitab al- Tibyan , taqiyah adalah: “...menyatakan dengan lisan yang menyalahi hati karena takut kemudharatan diri walaupun yang disembunyikan itu perkara yang benar.” 6 Konsep taqiyah ini disinyalir bersumber dari Q.s. Ali „Imran 3 : 28 dan Q.s. an- Nahl 16 : 106.                               6 Sebagaimana dikutip dari bahaya paham syiah: satu penjelasan, Johor Bahru: Bahagian Penyidikan, Jabatan Agama Johor, 2003, hal. 23 Artinya; Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena siasat memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri siksa-Nya. dan hanya kepada Allah kembali mu. Q.S. Ali- Imran: 28                         Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman dia mendapat kemurkaan Allah, kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman dia tidak berdosa, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Q.S. an-Nahl: 106. Pada saat ini klarifikasi tersebut masih dalam proses. Karena permasalahan itulah maka penulis mencoba mengangkat dalam sebuah skripsi, dengan judul: “ BAI’AT DALAM AL-QUR’AN “KAJIAN ATAS PEMAKNAAN LDII TERHADAP AYAT 18 SURAT AL-FATH ”.

B. Tinjauan Kepustakaan