Politik Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam

22

D. Politik Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam

Pada mulanya kedatangan orang-orang asing Belanda ke Indonesia adalah untuk menjalin hubungan perdagangan dengan bangsa Indonesia. Sambil berdagang, Belanda berupaya menancapkan pengaruhnya tehadap bangsa Inonesia. Lambat laun Belanda berhasil memperkuat penetrasinya di nusantara. Belanda tidak hanya memonopoli perdagangan dengan bangsa Indonesia, namun satu demi satu Belanda berhasil menundukan penguasa-penguasa lokal, kemudian merampas daerah tersebut ke dalam kekuasaannya, selanjutnya berlangsunglah sistem penjajahan. Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619, yaitu ketika Jan Pieter Coen menduduki Jakarta. Kemudian Belanda, satu demi satu, memperluas jangkauan jajahannya dengan menjatuhkan penguasa di daerah- daerah nusantara. 28 Pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme muncul di berbagai wilayah nusantara. Pergerakan-pegerakan baik melalaui individu maupun kelompok yang terhimpun dalam organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga mulai menggema. Salah satu diantaranya adalah pendidikan Islam. Pada areal abad ini lembaga pendidikan Islam bangkit, baik yang formal maupun informal, meskipun sebenarnya lembaga informal jauh lebih banyak. Tidak heran jika beberapa peneliti menyebut awal abad ke-20 ini sebagai era kebangkitan dan pencerahan bagi pendidikan Islam. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan model Barat membawa arti positif bagi perkembangan pendidikan Islam dan kemajuan masyarakat terjajah. Orang-orang pribumi yang belajar disekolah-sekolah Belanda jadi mengenal sistem pendidikan modern, seperti sistem kelas, pemakaian meja dan bangku, metode belajar-mengajar modern, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, mereka juga mengenal surat kabar atau majalah yang sangat bermanfaat untuk mengikuti perkembangan zaman. Semuanaya akhirnya dapat melahirkan muslim yang memiliki pola pikir dan wawasan yang rasional. Pandangan rasionallah yang menjadi salah satu pendorong untuk mengadakan pembaruan di berbagai bidang, 28 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1997, h. 147. 23 diantaranya adalah modernisasi di bidang pendidikan. Maka, lahirlah gerakan pembaruan pendidikan Islam di berbagai daerah di Indonesia. Secara historis, 29 tahap priodisasi perkembangan pendidikan Islam dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Priode masuknya Islam ke Indonesia b. Priode kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam c. Priode penjajahan Belanda d. Priode kemerdekaan Dalam dua periode awal, fenomena pendidikan Islam meskipum sidah diyakini sudah ada dan masih sangat sederhana, tidak begitu banyak diketahui, karena pendidikan Islam pada kedua periode tersebut masih sering kali diidentikan dengan penyebaran Islam itu sendiri. Disamping itu, sarana-sarana, metode dan sistem pendidikan Islam pada masa itu tidak banyakdiungkap dalam sejarah. Dengan setting historis pada awal abad ke-20 ini ada dua dialektis sosio- kultural yang dihadapi dunia pendidikan Islam pada saat itu. Pertama, pada awal abad ke-20 ini merupakan era pencerahan dan kebangkitan lembaga pendidikan Islam pada umumnya. Kedua, pada abad tersebut juga merupakan era pergerakan nasional dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Fenomena pergerakan ini dapat melalui maraknya gerakan-gerakan yang bersifat politik-ideologis, sosioekonomi, sosiokultural, dan sosioreligius, yang pada gilirannya menggumpal dalam suatu semangat, kesadaran, pemikiran dan perasaan kolektif berupa nasionalisme. Kaitannya dengan kajian mengenai lembaga pendidikan Islam, setting historis ini memberikan penjelasan dekriptif tentang unsur-unsur budaya yang banyak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam tersebut. Pada zaman kolonial Belanda telah didirikan beraneka macam sekolah, ada bernama sekolah dasar, sekolah kelas II, HIS, MULO, AMS dan lain-lain. Sekolah-sekolah tersebut seluruhnya hanya mengajarkan mata pelajaran umum, 29 Mahasri Shobahiya, dkk., Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Historis, Ideologi dan Organisasi, Surakarta : LPID UMS, 2008, h. 47. 24 tidak memberikan mata pelajaran agama sama sekali, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda. 30 Kebijakan pendidikan Belanda adalah melanjutkan kebijakan yang telah dimulai oleh orang-orang portugis, tetapi terutama berdasarkan pada agama Kristen Protestan. Namun secara formal Belanda mengklaim bersikap netral terhadap agama, dalam arti tidak mencampuri dan tidak memihak kepada salah satu agama. Tapi kenyataannya pemerintah Belanda mengambil sikap diskriminatif dengan memberikan kelonggran kepada kalangan misionaris Kristen lebih banyak, termasuk bantuan uang. Pemerintah pun melarang dakwah Islam di daerah animisme, sedangkan misi Kristen masuk secara leluasa. Pada tahun 1905 Belanda memberikan aturan bahwa setiap guru agama harus meminta izin terlebih dahulu. Pada tahun 1925 muncul juga peraturan bahwa tidak semua kiai boleh memberikan pelajaran. 31 Ulama-ulama dan guru- guru agama kehilangan konsentrasinya untuk memberikan pelajaran, peraturan ini jelas besar sekali pegaruhnya dalam menghambat perkembangan pendidikan Islam. Menguatnya kesadaran pribumi akan perlunya pendidikan semakin meningkat. Jumlah sekolah- sekolah swasta yang oleh Belanda disebut ”sekolah liar” wildeschoolen semakin banyak. Sekolah-sekolah ini didirikan oleh pribumi meskipun tidak mendapat subsidi dari pemerintah Belanda. Akhirnya pada tahun 1932 saat keluanya Toezichtordonantie Particular Onderwijs Ordonansi Sekolah Liar pada tanggal 17 September 1932 dan dinyatakan berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1932. Ordonansi ini antara lain berisi hal-hal sebagai berikut : 32 1. Sebelum memperoleh izin tertulis dari pemerintah, suatu lembaga pendidikan yang tidak sepenuhnya dibiayai oleh dana pemerintah tidak dibenarkan memulai aktivitasnya. 30 Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Depag, 2005, h. 51. 31 Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, h. 51. 32 Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005, h. 287-288. 25 2. Hanya lulusan sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi yang dinilai baik oleh pemerintah, berhak mengajar di sekolah ini. 3. Ordonansi ini tidak berlaku bagi lembaga pendidikan agama. Ordonansi sekolah liar ini berlangsung menuai protes dan penolakan dari berbagai kalangan. Bagi umat Islam ordonansi ini berpotensi sebagai alat untuk membatasi atau bahkan menekan institusi pendidikan Islam, yang pada akhirnya akan membunuh sekolah-sekolah Islam dan justru sebaliknya akan menguntungkan pihak Kristen. Pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda, bahkan sampai berakhirnya kekuasaannya di Indonesia, tidak lain adalah westernisasi dan Kristenisasi, yakni untuk kepentingan Barat dan Kristen. Di keluarkannya kebijakan pendidikan yang mengatur bahwa sekolah-sekolah gereja diangggap dan diberlakukan sebagai sekolah pemerintah. Kemudian di setiap daerah kresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen. 33 Berbeda dengan Jepang, Pemerintah Belanda dalam melanggengkan kekuasannya di Indonesia menerapkan keampuhan politik devide et empera, menciptakan situasi konflik antar golongan dan bersikap memusuhi ulama, pemerintah Jepang justru hendak memanfaatkan mayoritas umat Islam untuk dipersatukan dan dimobilisasi guna mendukung kepeningan perangnya. Untuk itu Jepang merangkul ulama sebagai alat penetrasi ke alam kehidupan rohani bangsa Indonesia. Jepang menjajah Indonesia setelah mengusir pemerintah Hindia Belanda dalam Perang Dunia ke II. Mereka menguasai Indonesia pada tahun 1941, dengan membawa semboyan : Asia Timur Raya untuk Asia dan Semboyan Asia Baru. 34 Pada babak pertamanya pemerintah Jepang menampakkan dirinya seakan-akan membela kepentingan Islam, yang merupakan siasat untuk kepentingan Perang Dunia ke II. Suatu peralihan paradigma yang cukup tajam terjadi ketika pemerintah Jepang menduduki Indonesia, politik pecah belah diganti dengan politik integrasi. 33 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, h. 110-111. 34 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 151. 26 Semua ormas, baik nasionalis maupun Islam, yang pada era kolonial Belanda berkembang secara parsial, dipersatukan dalam satu wadah. Pendirian Departemen Agama Shumubu oleh pemerintah Jepang juga merupakan implmentasi dari politik ini. Bila dipahami secara kontekstual, perubahan sikap dari kolonial Belanda ke Jepang dapat dianalisis sebagai berikut : pertama, situasi sosial politik pendudukan Jepang saat itu sedang menghadapai perang melawan sekutu, dan karenanya Jepang membutuhkan tambahan kekuatan baik fisik mliter mapupun material berupa sumber daya alam, maka Indonesia yang mayoritas penduduknya adalam umat Islam dengan tanah yang subur, perlu digalang untuk memenangkan perangnya. Kedua, karena Jepang datang tidak membawa misi agama, maka persoalan integrasi umat Islam tidak dimaksudkan sebagai berpihaknya Jepang pada agama Islam yang penting bagi Jepang adalah Nipponisasi. Ketiga, mengingat wawasan Hakkoichiu Brotherhood of Nations yang menjiwai Jepang untuk menguasai dunia sebagai pemimpin. 35 Sikap kooperatif Muhammadiyah, organisasi yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, memang seringkali menimbulkan kesan bahwa organisasi ini mudah terpengaruh oleh penguasa. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Karena ternyata Muhammadiyah tetap mampu menjaga indepedensi dan berani bersikap kritis terhadap penguasa. Pada saat-saat tertentu, jika menyangkut kepentingan organisasi dan umat Islam, Muhammadiyah mampu menunjukan sikap kritisnya. Pada masa penjajahan Belanda, Muhammadiyah dengan tegas menentang peraturan tentang ordonansi Sekolah Liar tahun 1932. Demikian juga pada masa pendudukan Jepang, Saekerei, yaitu suatu bentuk penghormatan kepada Tenno Haika Dewa Matahari dengan cara membungkukan badan menghadap kearah timur. Ini membuktikan bahwa sikap kritis telah menjadi watak perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah sejak awal masa berdirinya. 36 35 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 119-120. 36 Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani; Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005, h. 14. 27

BAB III BIOGRAFI KEHIDUPAN KH. AHMAD DAHLAN

D. Latar Belakang keluarga KH. Ahmad Dahlan

Di kampung Kauman, kota Yogyakarta, yang terletak di sekitar Keraton kala itu terkenal penduduknya taat beragama. Pada tahun 1868 M atau 1285 H, Muhammad Darwisy nama kecil KH. Ahmad Dahlan dilahirkan dari kedua orang tuanya, yaitu KH. Abu Bakar dan Siti Aminah 1 Nyai Abu Bakar puteri H. Ibrahim penghulu Kesultanan. Orangtuanya, KH. Abu Bakar, merupakan seorang pejabat Kesultanan masa Sultan Hamengkubuwono VII 1839-1921 yang bertugas bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan agama Islam di sekitar Kauman khususnya dan wilayah kekuasaan Sultan umumnya kini Daerah Istimewa Yogyakarta. KH. Abu Bakar oleh Sultan dipercaya sebagai Ketib Imam Besar masjid Agung Kauman, sekaligus pemimpin pesantren Kauman yang berpusat di masjid Kauman tersebut. 2 Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. 3 Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali 1 Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma‟arif, Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu, 2005, h. 24. 2 Yunan Yusuf, Pemikiran Teologi KH. Ahmad Dahlan dalam Noor Chozin Agham, Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya; Agenda Persyarikatan Abad Keakanan, Jakarta : Uhamka Press, 2010, h. 282. 3 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1999, h. 113.