Sistem Pendidikan Pesantren Sketsa Sistem Pendidikan Islam di Indonesia

13

1. Sistem Pendidikan Pesantren

Perkataan pesantren berasal dari kata ”santri”, Zamakhsyari Dhofier menyebutkan bahwa pesantren yang mendapat kata awalan pe- dan akhiran -an yang berarti tempat tinggal para santri. 11 Karena memang pada dasarnya santri diartikan sebagai murid atau pelajar pesantren. Maka pesantren merupakan tempat tinggal para santri. Mengenai asal- usul perkataan ”santri” menurut Nurcholis Madjid santri itu berasal dari perkataan ”sastri”, sebuah kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya melek huruf. 12 Agaknya dahulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas literary bagi orang Jawa. Ini disebabkan karena pengetahuan mereka tentang agama melalui kiatab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu atau faham agama melalui kitab-kitab tersebut. Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca al-Quran yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Di Indonesia istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab yaitu funduq yang berarti hotel, asrama, rumah dan tempat tinggal sederhana. Yang dimaksud dengan model pesantren di sini adalah model pengajian sistem belajar mengajar yang mana santri anak didik sudah ditempatkan di asrama menetap, memiliki masjid dan metode pelajaran berupa kitab-kitab yang beragam di bawah bimbingan kiai dan di bantu oleh beberapa orang ustadz guru ngaji. 13 Elemen- elemen pesantren terdiri dari kiai, santri, kitab-kitab Islam klasik, asrama dan masjid. 14 11 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta : LP3ES, 1994, h. 18. 12 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, h. 19. 13 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996, h. 138. 14 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta : Suka Press, 2007, h. 88. 14 Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren dan membedakan pendidikan pondok pesantren dengan lembaga pendidikan bentuk lain. Jenis pendidikan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang studi : 1. Tauhid 2. Tafsir 3. Hadits 4. Fikih 5. Ushul Fiqh 6. Tasawuf 7. Bahasa Arab nahwu, sharaf, balaghah dan tajwid 8. Mantik, dan 9. Akhlak 15 Kurikulum dalam jenis pendidikan pesantren berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjut. Setiap kitab bidang dtudi memiliki kemudahan dan kompleksitas pembahasan masing-masing. Sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada pesantren juga berbeda dengan evaluasi pada sistem sekolah. Sistem pengajaran yang menjadi metode utama di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau seringkali juga disebut sistem weton. Dalam sistem ini sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang sedang membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering kali mengulas kitab-kitab Islam dalam bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan kitabnya sendiri dan membuat catatan- catatan baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit. Kelompokan murid dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru. 16 Dalam pesantren kadang-kadang juga diberikan sistem 15 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, h. 90. 16 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiai, h. 28. 15 sorogan, tetapi hanya diberikan kepada santri-santri baru yang masih memerlukan bimbingan individual. Secara garis besar sistem pengajaran yang dilaksanakan di pesantren, dapat dikelompokan menjadi tiga macam, 17 di mana diantara masing-masing sistem mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu : a. sorogan Kata sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ”sodoran atau sesuatu yang disodorkan”. Maksudnya suatu sistem belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Seorang kiai atau guru menghadapi santri satu persatu, secara bergantian. Pelaksanaannya, santri yang banyak itu datang bersama, kemudian mereka antri menunggu giliran masing-masing. Dengan sistem pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan santri dengan kiai sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri secara satu persatu. Kitab yang disorogkan kepada kiai oleh santri yang satu dengan santri yang lain tidak harus sama. Karenanya kiai yang menangani pengajian secara sorogan ini harus mengetahui dan mempunyai pengetahuan yang luas, mempunyai pengalaman yang banyak dalam membaca dan mengkaji kitab-kitab. Sistem sorogan ini menggambarkan bahwa seorang kiai di dalam memberikan pengajarannya senantiasa berorientasi pada tujuan, selalu berusaha agar para santri yang bersangkutan dapat membaca dan mengerti serta mendalami isi kitab. b. bandongan Sistem bandongan ini sering disebut dengan halaqah, di mana dalam pengajian, kitab yang dibaca oleh kiai hanya satu, sedangkan para santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Orientasi pengajaran secara bandongan atau halaqah itu lebih banyak pada keikutsertaan santri dalam pengajian. Sementara kiai berusaha menanamkan pengertian dan kesadaran kepada santri bahwa pengajian itu merupakan 17 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1996, h. 50 16 kewajiaban bagi mukallaf. Kiai tidak memperdulikan apa yang dilakukan dan dikerjakan santri dalam pengajian, yang penting ikut mengaji. Kiai dalam hal ini memendang penyelenggaraan pengajian halaqah dari segi ibadah kepada Allah swt., dari segi pendidikan terhadap santri, dari kemauan dan ketaatan para santri, sedang dari segi pengajaran bukan merupakan yang utama. Pelaksanaan pengajian bandongan oleh masyarakat Jawa Timur sering juga disebut weton, atau sekurang- kurangnya membaurkan saja istilah tersebut. c. weton Istilah weton berasal dari bahasa Jawa yang diartikan berkala atau berwaktu. Pengajian weton tidak merupakan pengajian rutin harian, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu, misalnya pada setiap selesai shalat Jumat dan sebagainya. Apa yang dibaca kiai tidak bisa dipastikan, terkadang dengan kitab yang biasanya atau dipastikan dan dibaca secara berurutan, tetapi kadang-kadang guru hanya memetik disana sini saja, peserta pengajian weton tidak harus membawa kitab. Cara penyampaian kiai kepada peserta pengajian bermacam- macam, ada yang dengan diberi makna, tetapi ada juga yang hanya diartikan secara bebas. Secara lebih detail, ada beberapa ciri khas yang menjadi karakteristik pesantren. Pertama, ia merupakan kebudayaan yang telah eksis semenjak masa Hindu-Budha. Kedua, ia merupakan model pendidikan tradisional yang masih berifat non-formal. Ketiga, kitab-kitab yang dikaji di pesantren pada hakekatnya mengacu kepada kitab-kitab klasik. Keempat, sistem pembelajaran dan muatan kurikulum belum tertata secara sitematis : tidak ada jenjang lama belajar, tumpang tindih materi dan tujuan pesifik yang tidak jelas, kecuali keakhiratan, dan religiositas oriented. Dan kelima, kiai menjadi figur sentral dalam setiap pengambilan kebijakan dan keputusan pesantren. 18 Maka manajemen pendidikan pesantren cenderung dilakukan secara insidental dan kurang memperhatikan tujuan-tujuan yang sudah di sistematisasikan secara hierarkis. Sistem pendidikan 18 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia, h. 88-89. 17 pesantren dilakukan secara alami dengan model majaerial yang tetap sama dalam tiap tahunya. 19 Dalam konteks keilmuan, dengan pesantren setiap muslim yang mempunyai latar belakang lapisan sosial yang berbeda memiliki akses terhadap ilmu pengetahuan; bukan sembarang pengetahuan, tetapi pengetahuan agama yang dalam segi-segi tertentu dipandang memiliki aura sakralitas yang penuh kharismatik dalam masyarakat. Dinamika keilmuan pesantren harus dipahami dalam konteks kelembagaan pesantren itu sendiri. Terdapat setidaknya tiga fungsi pokok pesantren: pertama, tranmisi ilmu pengetahuan Islam transmission of Islamic knowledge; kedua, pemeliharan tradisi Islam maintenance of Islamic tradition; dan ketiga, pebinaan calon-calon ulama reproduction of ulama. 20 Sebagaimana terlihat dari ketiga fungsi ini, dunia pesantren adalah dunia keilmuan dalam tahapan-tahapan tadi, yakni meneruskan pewarisan ilmu dan sekaligus pemeliharaannya; dan menghasilkan para pengemban ilmu itu sendiri, yang dikenal secara luas sebagai ”Ulama” . Transmisi keilmuan di lingkungan pesantren pada umumnya berlangsung lebih melalui penanaman ilmu knowledge implantation dari pada pengembangan ilmu. Kenyataan ini berkaitan erat dengan dua fungsi pertama pesantren di atas, yakni untuk melakukan transmisi atau transfer ilmu pengetahuan dan sekaligus untuk mempertahankan atau memelihara tradisi Islam. Dalam pesantren-pesantren yang masih asli, materi yang diajarkan bukanlah hal-hal yang sifatnya semata- mata ukhrawi, melainkan pula yang sifatnya duniawi, hanya saja sifatnya masih terangkum dalam apa yang disebut ilmu-ilmu agama yang belum mengalami proses diferensiasi dan spesiliasi dalam cabang-cabang ilmu seperti yang kita kenal dalam dunia modern. 21 Meskipun misalnya di sana diajarkan pula ilmu falaq yang memakai hitingan-hitungan, namun yang diajarkan itu tidak diistilahkan dengan ilmu matematika atau aljabar. 19 Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, Jakarta : CRSD Press, 2005, h. 49. 20 Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998, h. 89. 21 Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaruan, Jakarta : LP3ES, 1883, h. 3. 18 Modernisasi pesantren di Indonesia, yang berkaitan erat dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam di kawasan ini, mempengaruhi dinamika kelimuan di lingkungan pesantren. Gagasan modernisme Islam yang nenemukan momentumnya sejak awal abad 20, pada lapangan pendidikan direalisasikan dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan moidern. Pemrkarsa peertama dalam hal ini adalah organisasi- organisasi ”modernis” Islam seperti Muhammadiyah dan lain-lain. 22 Uraian pembahsan lebih lanjut akan dibahas dalam Bab IV pada pembahasan analisis model dan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan.

2. Sistem Pendidikan Sekolah