Alasan Munculnya Usaha KH. Ahmad Dahlan Dalam Memodernisasi

47 kitab-kitab Islam klasik. Tidak ada diajarkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum, 3 Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan dan mudzakarah, 4 Tidak mementingkan ijazah sebagai bukti yang bersangkutan telah menyelesaikan atau menamatkan pelajarannya, dan 5 Tradisi kehidupan pesantren amat dominan dikalangan kiai dan santri. Ciri dari trtadisi itu adalah antara lain kentalnya hubungan antara kiai dan santri. Hubungan batin ini berjalan terus menerus sepanjang masa. 4 KH. Ahmad Dahlan berpandangan ada problem yang mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Problem ini berkaitan dengan proses belajar mengajar, kurikulum dan materi pendidikan. Dalam proses belajar mengajar, sistem yang dipakai masih menggunakan sorogan dan weton, guru dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh dikritisi. Kondisi ini membuat pengajaran nampak tidak demokratis. Fasilitas-fasilitas modern yang sebetulnya baik untuk digunakan, namun malah dilarang untuk dipakai karena menyamai orang kafir. Hal yang sama dengan orang kafir, maka ia termasuk golongan kafir juga. 5 Dari pola pendidikan yang rasional yang mementingkan akal pikiran, maka akan menimbulkan pola pendidikan empiris rasional. Pola bentuk pendidikan ini tentunya sangat memperhatikan pendidikan intelektual dan penguasaan material.

B. Alasan Munculnya Usaha KH. Ahmad Dahlan Dalam Memodernisasi

Pendidikan Islam Masuknya penjajah Belanda yang membawa sistem pendidikan Barat yang sekuler telah pula membuka mata umat Islam Indonesia, akan adanya sistem sekolah school yang memberi pengajaran pengetahuan umum membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, sejarah, dll.. Perkembangan sekolah ini mengikuti politik penjajahan, di mana untuk orang Indonesia, diberikan 4 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam; Dalam Sistem Pendidikan Nasinal di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2004, h. 57-58. 5 Mahasri Shobahiya, Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Historis, Ideologi dan Organisasi, Surakarta : LPID UMS, 2008, h. 44-45. 48 kesempatan yang sangat terbatas untuk bisa ikut sekolah Belanda HISELS, MULO, AMS dan untuk anak-anak kalangan bangsawan dan pejabat Indonesia rendahan disediakan HIS sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua. Dalam perkembangannya anak-anak lulusan sekolah Belanda inilah yang dipakai oleh Belanda di pemerintahan dan perdagangan dan mereka nantinya membentuk kelompok elit tersendiri yang terpisah dari anak-anak lulusan pesantren yang hanya memfokuskan pengajarannya dengan pelajaran agama. 6 Situasi inilah yang mempengaruhi dunia pendidikan Islam Indonesia yang menginginkan anak didik mereka mempunyai pengetahuan umum yang tetapi tetap menjadi pemeluk gama yang baik. Dalam membahas gerakan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Gagasan utama KH. Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari motivasi didirkannya lembaga pendidikan Islam Muhammadiyah. Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan agama Islam. Keyakinan beliau adalah bahwa untuk membangun masyarakat bangsa haruslah terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. Jika Syarikat Islam usaha-usahanya ditekankan kepada bidang politik yang berlandaskan cita-cita agama, KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyahnya menekankan usahanya kepada perbaikan hidup beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial. 7 Namun alasan lahirnya pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam modernisasi pendidikan Islam tampaknya muncul dilatar belakangi oleh dua sebab, yaitu : 1. Faktor Internal : Kondisi obyektif pesantren dan sekolah dualisme pendidikan Yang dimaksud dengan faktor internal di sini adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan lembaga pendidikan Islam itu sendiri dan elemen-elemennya. Elemen-elemen di sini mencakup keseluruhan sistem lembaga pendidikan Islam baik dari segi metode belajar mengajar, kurikulum, maupun institusi 6 Husni Rahim, Mdrasah; Dalam Politik Pendidikan di Indonesia, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, tt., h. 11. 7 Djamaludin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1999, h. 92. 49 penjenjangannya. Dengan kata lain, ia merupakan kondisi objektif dalam lembaga pendidikan Islam, yang dalam konteks pesantren termasuk elemen kiai yang banyak berpengaruh terhadap perubahan sistem berikutnya. Secara intern, lembaga pendidikan Islam model pesantren memang merupakan model lembaga pendidikan yang dari awal berdirinya, tidak memiliki seperangkat infrastruktur yang tertata secara baik dan rapi. Pendidikan di pesantren pada awalnya tidak mengenal kurikulum, metode belajar yang modern selain bandongan dan sorogan, dan sistem penjenjangan kelas. Demikian pula dengan sarana-sarana kelengkapan lainnya. Dalam menghadapi tantangan zaman yang senantiasa bergerak maju dan tidak pernah berhenti, maka dengan sendirinya akan terasa bahwa isi bahan ajar yang ada dan disampaikan dalam sistem pondok pesantren yang didominasi hanya mengajarkan pelajaran keagamaan, sedangkan mata pelajaran umum yang berkaitan dengan keduniaan sama sekali tidak diperkenalkan dalam sistem pendidikan pesantren. Padahal justru melalui ilmu pengetahuan itulah seorang mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan, sehingga dapat melahirkan manusia yang taqwa kepada Allah, cerdas sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Dalam membahas gerakan modernisasi pendidikan Islam khususnya di Jawa, gagasan utama KH. Ahmad Dahlan berusaha memasukan pendidikan keagamaan ke dalam sekolah sekuler Barat bersamaan dengan usahanya memasukan pengajaran umum ke pesantren serta usaha merintis lembaga pendidikan formal, tidak dapat dipisahkan dari motivasi didirikannya lembaga pendidikan Islam Muhammadiyah. Adanya problematika kemunduran pendidikan Islam di kalangan pribumi terjadi akibat adanya dualisme model pendidikan sistem pendidikan Barat dan sistem pendidikan Islam yang saling bertolak belakang. Pendidikan Islam yang ada di pesantren lebih berorientasi pada bidang keagamaan dan ukhrawi, sedangkan disisi lain sekolah yang didirikan model Barat lersifat lebih cenderung berorientasi pada bidang umum atau duniawi. Berlangsungnya dualisme pendidikan yang diselenggarakan masing- masing oleh pemerintah kolonial Belanda sistem pendidikan Barat dan oleh 50 umat Islam sistem pendidikan pesantren atas pangkal tolak dasar pemikiran yang berbeda jelas mengandung kelemahan di samping kelebihan masing-masing. Akibat yang ditimbulkan oleh dualisme pendidikan ini terhadap kehidupan bangsa ialah munculnya konfrontasi yang berkepanjangan dalam tata kehidupan, cara berfikir dan kebudayaan masyarakat yang dihasilkan oleh masing-masing sistem. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh kolonial Belanda, diselenggarakan sangat sekuler, dalam arti pelajaran agama atau semangat agama tidak diberikan. Kondisi internal pendidikan pesantren di satu pihak, dan produk alumni pendidikan ala Barat di pihak lain, ini yang mendorong KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Melalui Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan ingin mendirikan lembaga pendidikan yang mengajarkan dan memadukan dua karakter dari dua model lembaga pendidikan yang berkembang secara praktis, mengajarkan semangat Islam dan semangat modern. 8 Pelajaran agama diberikan dengan secara mendalam, tetapi pengetahuan umumnya pun tidak pula di lupakan. Dengan demikian, umat Islam tidak hanya fasih berbicara tentang Islam, seperti alumni pesantren, tetapi juga berwawasan luas tentang perkembangan modern. Dengan perkataan lain, cita-cita dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan dalam hal ini ialah membentuk manusia muslim yang berpendidikan intelek, begitu pula mendidik manusia intelek menjadi muslim. Faktor internal lain yang menjadi pendorong utama terjadinya pencerahan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia awal abad ke-20 adalah semangat kebangkitan dan tajdid pembaruan sekaligus purifikasi ajaran Islam. Kelompok modernis yang terdiri dari para tokoh organisasi massa, sosial keagamaan, soaial politik, dan sosial ekonomi pada umumnya menyerukan pemurnian ajaran Islam dengan slogan ”Kembali kepada Al-Quran dan Sunnah” ruju‟ ilal Qur‟an wa Sunnah. Disisi lain, mereka juga melakukan pembaruan pendidikan Islam. Kemunculan sarekat Islam di Solo 1911, Muhammadiyah di Yogyakarta 1912, Nahdhatul Ulama di Jawa Timur 1924, Persatuan Islam di Bandung 1926, 8 Mahasri Shobahiya, dkk., Studi Kemuhammadiyahan; Kajian Historis, Ideologi dan Organisasi, h. 49. 51 Perserikatan ulama di Majalengka 1911, Al- Jami’ah Al-Kahiriyah 1905 dan Al-Irsyad 1913 di Jakarta yang menjadi fenomena yang menggairahkan dan mencerahkan bagi kebangkitan dan pembaruan Islam di Indonesia. 9 Karena dari masing-masing organisasi ini lahir lembaga pendidikan Islam model pesantren yang relatif modern. Bahkan sebagian diantaranya ada yag bergerak di bidang ekonomi dan politik. 2. Faktor Eksternal : Kondisi sosio-politik Faktor ini merupakan faktor luar yang paling dominan dalam memberikan pengaruh dan kontribusi terhadap dinamika lembaga pendidikan Islam. Dalam hal ini ada dua kategori yang menjadi faktor dominan dalam perkembangan lembaga pendidikan Islam; faktor sosial-politik dan sosial-budaya. 10 Ini erat kaitannya dengan kondisi masyarakat Indonesia secara keseluruhan yang tengah menghadapi perjuangan pergerakan kemerdekaan dan semangat nasionalisme yang dibangun atas dasar kesadaran dan pemikiran kolektif untuk cita-cita nasional bersama. Pergerakan kemerdekaan dan semangat nasionalisme menimbulkan dinamika dan mobilitas sosial, hampir dari seluruh lapisan masyarakat. Pesantren dan kiai, sebagai bagian dari masyarakat ikut terkait di dalamnya. Keterkaitan berbagai komponen bangsa, termasuk di dalamnya para kiai di dalam pergerakan nasional, karena penentangan terhadap kolonialisme Belanda yang telah banyak menyengsarakan kehidupan masyarakat. Kolonial Belanda bukan hanya merampas sumber daya alam Indonesia tetapi juga secara tidak langsung membelenggu sumber daya manusia pribumi, terutama rakyat jelata. Pemberlakuan politik etis kolonial Belanda sebagai salah satu indikasi kearah itu, karena yang menikmati pendidikan yang diselenggarakan pihak kolonial Belanda hanya di kalangan masyarakat pribumi elite dan priyai. Sedangkan selebihnya tidak diperhatikan. Pemberlakuan politik kolonial Belanda ini memicu sebagian tokoh agama untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan 9 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, h. 98-99. 10 Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta : Suka Press, 2007, h. 88. 52 agama yang bisa mewadahi kebutuhan rakyat khususnya umat Islam sebagai rakyat mayoritas yang miskin. Dari sinilah muncul dikotomi lembaga pendidikan, pendidikan Islam dan pendidikan Barat yang sekuler. Pada tahun 1909, KH. Ahmad Dahlan masuk di Budi Utomo dengan maksud memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. 11 Dengan jalan ini beliau berharap akan dapat akhirnya memberikan pelajaran agama di sekolah- sekolah pemerintah, oleh sebab anggota-anggota Budi Utomo itu pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan juga di kantor- kantor pemerintah. Budi Utomo yang dikenal luas sebagai organisasi sangat intelek tetapi komitmenya kepada nilai-nilai agama Islam sangat kurang. 12 Beliau pun mempunyai harapan agar guru-guru sekolah yang diajarinya itu sendiri dapat meneruskan isi pelajarannya kepada murid-murid mereka pula. Pelajaran- pelajaran yang telah diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan kelihatannya memenuhi harapan dan keperluan anggota-anggota Budi Utomo tadi, sebagai bukti dari saran mereka agar beliau membuka sekolah sendiri, yang diatur dengan rapih dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanent untuk menghindari nasib kebanyakan pesantren tradisional yang terpaksa ditutup, apabila kiai yang bersangkutan meninggal. Pada permulaan abad ke-20 masyarakat Islam Indonesia telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencerahan. Banyak alasan yang dapat menjelaskan perubahan ini. Salah satunya adalah dorongan untuk melawan penjajahan bangsa Belanda. Tidak mungkin bangsa Indonesia harus mempertahankan segala aktifitas dengan cara-cara tradisional untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-perubahan apakah dengan menggali mutiara-mutiara Islam dimasa lalu yang telah memberi kesanggupan umat Islam pada abad pertengahan untuk mengatasi Barat dalam pengetahuan serta dalam memperluas pengaruh, atau dengan menggunakan metode-metode baru yang telah dibawa ke Indonesia oleh Belanda. 11 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, h. 201. 12 Alwi Shihab, Membendung Arus; Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Jakarta : Mizan, 1998, h. 112. 53 Seperti halnya umat Islam di negara-negara Timur Tengah, perlawanan terhadap kolonialisme telah mendorong umat Islam untuk mengadakan berbagai modernisasi pembaruan. Gagasan modernisasi ini tidak mungkin berjalan bila tidak diikuti dengan perubahan di bidang pendidikan. 13 Dengan otomatis perubahan Islam berjalan seiring dengan modernisasi pendidikan Islam. Fenomena ini berlaku diseluruh di negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Saat KH. Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji, lalu dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibn Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwisy. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks kolot. Ortodoksi ini dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan keterbelakangan ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Quran dan al-Hadits. Perkumpulan Muhammadiyah didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H atau bertepatan dengan tanggal 18 Nopember 1912 M berpusat di Kauman Yogyakarta. Maksud dan tujuannya ialah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan itu ialah dengan : a. Memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah serta mempetinggi akhlak b. Mempergiat dan memperdalam pendidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya. 13 Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, h. 155. 54 c. Memajukan dan memperbaharui pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntunan Islam. d. Mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar makruf nahi munkar. e. Mendirikan, menggembirakan, dan memelihara tempat-tempat ibadah dan wakaf. f. Membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi. g. Membimbing pemuda-pemuda supaya menjadi orang Islam yang berarti. h. Membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam. i. Menggerakan dan menghidup suburkan amal tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. j. Menanam kesadaran agar tuntunan dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat 14 Agama Islam telah banyak bercampur dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari al-Quran dan Hadits. Islam hanya menjadi kepercayaan hidup yang diwarisinya dari nenek moyangnya turun-temurun. Tetapi, Islam tidak menjadi keyakinan hidup masyarakat yanng mendorong kepada amal. Makin lama semakin jauh menyimpang tata cara hidup masyarakat dari tuntunan agama Islam. Agama Islam tidak lagi menjiwai masyarakat dalam segi hidup dan kehidupan. Ilmu yang tidak diamalkan, tidak ditransformasikan kedalam perbuatan atau amalan yang nyata, hanya akan sampai pada segala sesuatu yang tergolong verbalisme dan simbolisme

C. Model dan Sistem Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan