28
besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun
silsilahnya ialah Muhammad Darwisy KH. Ahmad Dahlan bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang
Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig Djatinom bin Maulana Muhammad Fadlullah
Prapen bin Maulana Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
4
Secara alamiah, seseorang akan dipengaruhi faktor geografis, yang menunjukan latar belakang sosial seseorang berpengaruh terhadap proses
pendewasaannya. Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran Darwis terkenal sebagai daerah lingkungan santri. Itulah sebabnya Darwisy sejak kecil sudah dekat
dan terbiasa hidup dalam ketaatan terhadap agama.
E. Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Sebagaimana halnya anak-anak yang lain, Muhammad Darwis diasuh serta dididik orang tuanya baik-baik, diajar mengaji al-Quran dikampungnya serta di
kampung pengajian yang lain. Begitu pun banyak anak keluarga Muslim di Kauman pada waktu itu, Darwis sejak kecilnya pun tidak dididik pada lembaga
pendidikan formal yang diselenggarakan oleh pemerintah Hindia Belanda yang dikenal sebagai sekolah Gubernemen.
Sejarah mencatat, para kiai pemimpin pesantren dari berbagai daerah kala itu sepakat untuk tidak melakukan kerjasama dalam bentuk apapun dengan
penjajah Belanda. Segala interaksi dengan kolonial, seperti terlibat dalam pendidikan, pergaulan sehari-hari, termasuk meniru gaya berpakaian misalnya
bercelana panjang, berjas, berdasi, bertopi, dan sebagainya hukumnya telah kafir atau haram. Kader-kader santri pesantren yang ada, terus berkonsentrasi belajar
agama di pesantrennya masing-masing dengan pengawasan ketat dari Belanda. KH. Abu Bakar tak terkecuali, beliau sendiri sebagai pemimpin pesantren tentu
4
Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya Jakarta : Alwasath, 2009, h. 56.
29
memiliki keterikatan moral dengan sesama kiai yang lain. Walau secara ekonomi beliau cukup mampu untuk menyekolahkan putra-putrinya, tetapi beliau tidak
lakukan karena sekolah-sekolah yang ada waktu itu seluruhnya di bawah manajemen kolonial Belanda. Sebagai jalan keluarnya, KH. Abu Bakar memilih
mendidik putra-putrinya yang berjumlah 7 tujuh orang
5
di pesantren Kauman yang dipimpinnya. Untuk menambah wawasan keilmuan, KH. Abu Bakar
kemudian mengirim Ahmad Dahlan supaya belajar pada kiai yang lain di luar pesantrennya, di luar wilayah Kesultanan Yogyakarta.
6
Menurut anggapan masyarakat Kauman, barang siapa yang memasukan anaknya ke sekolah tersebut akan di anggap sebagai orang kapir, karena ia telah
memasuki pola kehidupan kapir landa.
7
Anggapan ini sesungguhnya bukan hanya dilandasi oleh pola berfikir apriori yang menggambarkan kebencian terhadap
penjajah, melainkan pula dilandasi pula oleh kesadaran bahwa penjajah Belanda adalah musuh umat Islam daerah Kesultanan Yogyakarta. Karena itu maka dapat
dipahami bahwa prasangka terhadap model-model kehidupan yang berkaitan dengan sistem kehidupan penjajah dianggap sebagai suatu sikap kompromi
dengan bagian dari identitas penjajah, termasuk dalam sistem pendidikan. Tercatat antara lain KH. Ahmad Dahlan pernah belajar Fikih hukum
Islam kepada KH. Muhammad Shaleh, ilmu Nahwu sintaksis bahasa Arab kepada KH. Mushsin, ilmu Falak astronomi dan geografi kepada KH. Raden
Dahlan, Kiai Shaleh Darat dan Syekh M. Jamil Djambek , ilmu Hadits kepada Kiai Mahfud dan Syekh Khayyat, ilmu Al-Quran kepada Syekh Amin dan Sayid
Bakri Satock dan ilmu pengobatan dan racun binatang pada Syekh Hasan. Bahkan, konon ia juga pernah sekamar dengan KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU
5
Tujuh orang putra-putri KH. Abu Bakar yaitu 5 orang perempuan Ny.Hj. Khatib Hasan, Ny.Hj. Muchsin, Ny.Hj. Muhammad Saleh, Ny.Hj. Abdurrahman dan Ny.Hj. Muhammad Fakih
dan 2 orang laki-laki H. Ahmad Dahlan dan H. Muhammad Basyir.
6
Noor Chozin Agham, Teologi Muhammadiyah dan Penyelewengannya; Agenda Persyarikatan Abad Keakanan, h. 283.
7
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1987, h. 77.
30
ketika belajar teologi kepada kiai Shaleh Darat di Semarang. Guru-guru tersebut merupakan para ulama ternama pada masa itu.
8
Diantara buku dan kitab-kitab yang menjadi kegemaran serta mengilhami beliau dalm hidup dan perjuangannya adalah :
9
a. Kitab Tauhid karangan Syekh Muhammad Abduh
b. Kitab tafsir Juz Amma karangan Syekh Muhammad Abduh
c. Kitab Kanzul Ulum
d. Kitab Dairatul Ma’arif karangan Farid Wajdi
e. Kitab-kitab Fil Bid’ah karangan Ibnu Taimiyah, di antaranya ialah : Kitab
At-Tawassul wa-Washilah karangan Ibnu Taimiyah f.
Kitab Al-Islam wan-Nashraniyah karangan Syekh Muhammad Abduh g.
Kitab Izhharul Haqq karangan Rahmatullah al-Hindi h.
Kitab-kitab Hadits karangan Ulama Madzhab Hanbali i.
Kitab-kitab Tafsir al-Manar karangan Sayid Rasyid Ridha dan majalah al- Urwatul Wutsqa
j. Tafshilun Nasjatain Tashilus Syahadatain
k. Matan al-Hikam li Ibn Athaillah
l. Al-Qashid ath-Thasiyah Abdullah al-Aththas, dan lain-lain.
Pada usia 15 tahun 1883,
10
ia menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu-ilmu keagamaan tentang Islam, ia pun menetap di Makkah untuk belajar
agama dengan sungguh- sungguh. Oleh Sayyid Bakri Syatha’, salah seorang
gurunya yang menjabat sebagai Mufti atau Imam dari Madzhab Syafi’i di Makkah,
11
ia diberi nama baru yaitu Haji Ahmad Dahlan. Setelah lima tahun mukim dan menjadi murid para syaikh dan ulama terkemuka di Makkah ia pun
pulang ke kampung halamannya di Yogyakarta. Sepulang dari tanah suci namanya lebih dikenal dengan nama Haji Ahmad Dahlan.
8
Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga
A. Syafii Ma‟arif, h. 24-25.
9
Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, h. 58.
10
Yunan Yusuf, et.all., Ensiklopedi Muhammadiyah, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2005, h. 74.
11
MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, h. 79.
31
Sepulangnya dari Makkah ini, pada tahun 1890 ayah KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia. Oleh Sultan Hamengkubuwono VII 1839-1921 KH. Ahmad
Dahlan diangkat sebagai pegaganti kedudukan ayahnya Ketib di Masjid Agung Kauman, Yogyakarta. Beliau pun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta, karena memiliki persyaratan yaitu telah mendalami agama di pesantren dan meneruskan pelajarannya di Makkah. Sebagai abdi dalem
santri yang disamping bekerja di bawah pimpinan Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu, beliau juga merangkap sebagai anggota Dewan raad Agama islam
hukum Kraton.
12
Pada tahun 1902, KH. Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada
beberapa guru di Makkah, hanya saja kali ini beliau berkesempatan bermukim hanya selama 1,5 tahun di makkah. Di usia 34 tahun ini beliau berguru kepada
KH. Ahmad Khatib asal Minangkabau, Sumatera Barat ia juga sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan Sayid Rasyid Ridha
13
, seorang cendikiawan yang ketika itu terkenal dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islamnya. Pada periode
ini pula beliau bersama KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, juga tinggal dan belajar bersama di Makkah.
Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.
F. KH. Ahmad Dahlan Dan Sosial Keagamaan