KH. Ahmad Dahlan Dan Sosial Keagamaan

31 Sepulangnya dari Makkah ini, pada tahun 1890 ayah KH. Ahmad Dahlan meninggal dunia. Oleh Sultan Hamengkubuwono VII 1839-1921 KH. Ahmad Dahlan diangkat sebagai pegaganti kedudukan ayahnya Ketib di Masjid Agung Kauman, Yogyakarta. Beliau pun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta, karena memiliki persyaratan yaitu telah mendalami agama di pesantren dan meneruskan pelajarannya di Makkah. Sebagai abdi dalem santri yang disamping bekerja di bawah pimpinan Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu, beliau juga merangkap sebagai anggota Dewan raad Agama islam hukum Kraton. 12 Pada tahun 1902, KH. Ahmad Dahlan menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada beberapa guru di Makkah, hanya saja kali ini beliau berkesempatan bermukim hanya selama 1,5 tahun di makkah. Di usia 34 tahun ini beliau berguru kepada KH. Ahmad Khatib asal Minangkabau, Sumatera Barat ia juga sempat bertemu dan bertukar pikiran dengan Sayid Rasyid Ridha 13 , seorang cendikiawan yang ketika itu terkenal dengan gagasan-gagasan pembaharuan Islamnya. Pada periode ini pula beliau bersama KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, juga tinggal dan belajar bersama di Makkah. Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah.

F. KH. Ahmad Dahlan Dan Sosial Keagamaan

Pada masa hidupnya KH. Ahmad Dahlan, masyarakat Islam sedang ditimpa oleh berbagai macam krisis. Banyak umat Islam yang mengamalkan ritual dan berbagai tradisi yang pada dasarnya tidak sesuai dengan tuntunan agama yang berdasar atas al-Quran dan Had its. Mereka telah berbuat bid’ah, khurafat, dan syirik. Hal inilah yang menyebabkan mereka jauh dari tuntunan agama yang sebenarnya. 12 MT. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah dalam Pendidikan, h. 82. 13 Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma‟arif, h. 28. 32 Di mana-mana tampak cahaya Islam mulai pudar, akibat dari umat Islam itu sendiri. Agama Islam telah banyak bercampur dengan berbagai ajaran yang bukan berasal dari al-Quran dan Hadits. Islam hanya menjadi kepercayaan hidup yang diwarisinya dari nenek moyangnya turun-temurun. Tetapi, Islam tidak menjadi keyakinan hidup masyarakat yanng mendorong kepada amal. Makin lama semakin jauh menyimpang tata cara hidup masyarakat dari tuntunan agama Islam. Agama Islam tidak lagi menjiwai masyarakat dalam segi hidup dan kehidupan mereka, selain yang tinggal hanyalah berupa konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme belaka. Tidak murni, artinya tidak diambil dari sumber yang sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang dipahami, dipelajari, kemudian diamalkan, ajaran Islam yang seperti itulah kemudian yang hidup dan tersebar di Indonesia dan menjadi anutan masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Agama Islam yang seperti itulah yang tidak akan dapat memberikan manfaat yang sebenar-benarnya kepada manusia, termasuk umat Islam di Indonesia. Semuanya itu mengakibatkan tidak tidak utuh dan tidak murninya lagi faham pengertian dan praktik ajaran agama Islam di Indonesia. 14 Demikianlah kenyataan dan keadaan perkembangan umat Islam yang mendorong memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia. KH. Ahmad Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin umat ke jalan yang benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah. Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus diserukan dakwah kepada seluruh umat manusia melalui upaya-upaya yang sistematis dan kolektif. Faktor subyektif KH. Ahmad Dahlan dalam memahami pesan-pesan al- Quran terutama QS. Ali-Imran : 104, yang secara eksplisit merupakan perintah untuk melakukan dakwah amar makruf nahi munkar. 14 M. Djindar Tamimiy, Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, Malang : Tiara Wacana Yogya, 1990, h. 8. 33 Dalam al-Quran Allah swt. berfirman :                 “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar, 15 merekalah orang-orang yang beruntung QS. Ali-Imran : 104. Pada tahun 1912, KH. Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. KH. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Quran dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal KH. Ahmad Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Menurut Alwi Shihab, terdapat dua pandangan dalam hal latar berdirinya Muhammadiyah. 16 Pandangan pertama menyatakan bahwa kelahiran Muhammadiyah didorong oleh tersebarnya gagasan pembaruan Islam dari Timur Tengah ke Indonesia pada tahun-tahun pertama abad ke-20. Pada masa itu di Timur Tengah, khususnya di Mesir, Jamaludin al-Afghani 1838-1897 dan Muhammad Abduh 1849-1905 tengah gencar-gencarnyamempelopori gerakan pembaruan Islam. KH. Ahmad Dahlan sebelum mendirikan Muhammadiyah termasuk salah seorang yang menerima pengaruh gagasan-gagasan dan penafsiran Abduh tentang pelunya reformasi dan pembaruan pendidikan Islam. Sementara itu, pandangan kedua menyatakan bahwa Muhammadiyah muncul sebagai respon terhadap pertentangan ideologis yang berlangsung lama 15 Maruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. 16 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung : Mizan, 1998, h. 125-141. 34 dalam masyarakat Jawa. Pada masa itu, keyakinan keagamaan dalam masyarakat Jawa masih sangat diwarnai oleh pengaruh takhayul, khurafat, mitologi, dan sebagainya yang berbau sinkretisme kejawen. 17 Nama Muhammadiyah, mengandung pengertian sebagai sekelompok orang yang berusaha mengidentifikasi dirinya atau menisbahkan dirinya sebagai pengikut, penerus dan pelajut perjuangan dakwah Rasul dalam mengembangkan tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian Muhammadiyah dimaksudkan sebagai organisasi yang gerak dan perjuangannya ditujukan untuk mengembangkan suatu tata kehidupan masyarakat sebagaimana yang dikehendaki Islam. Usaha-usaha dilakukan berdasarkan pola dasar yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. Dengan pengertian bahwa organisasi Muhammadiyah sebagai pola dan tata kehidupan bersama Muslim pengikut Rasulullah Muhammad saw., Muhammadiyah juga berusaha mencari metodologi pemahaman dan pengamalan Islam dalam kehidupan sehingga diperoleh suatu pemahaman yang benar. Perjuangan KH. Ahmad Dahlan dan sejumlah kiai, ulama terpandang di berbagai wilayah di Jawa dan Sumatra serta tempat lainnya bagaikan fajar yang mulai menyinari gelapnya bumi. Mereka secara intensif melakukan silaturahim dari kota satu ke kota yang lainberdiskusi dan menyampaikan dakwah, pengajian di pelosok-pelosok kota. Mereka terlibat dalam gerakan pembaruan sosial keagamaan dan pendidikan. Itulah sebabnya kenapa para kiai dan ulama tidak bisa dipisahkan dengan gemuruhnya bunyi lonceng kebangkitan nasional yang yang terus membahana. Dengan dilandasi niat yang tulus ikhlas para ulama dan kiai bersungguh-sungguh menyampaikan gagasan-gagasan keagamaan secara kritis dan cerdas ketengah masyarakat guna memperbarui perilaku dan cara pandang keagamaan masyarakat yang dirasakan masih aduk dengan kepercayaan lokal. Kesadaran seperti itulah yang menyebabkan KH. Ahmad Dahlan sangat merasakan kemunduran umat islam di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk membangunkan, menggerakkan dan memajukan 17 Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani; Independensi, Rasionalitas dan Pluralisme, Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2005, h. 73-74. 35 mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu tidak mungkin tanpa organisasi. Untuk membangun upaya dakwah seruan kepada umat manusia tersebut, maka KH. Ahmad Dahlan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama- sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon guru Kweekschool di Jetis Yogyakarta setiap hari Sabtu dan Ahad, dan yang calon Pamong Praja yang belajar di OSVIA Opleiding School Voor Inlandsch Amtenaren Magelang 18 karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut. Dengan mendidik para calon Pamong Praja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Muallimin Kweekschool putera tahun 1918 dan Madrasah Muallimat Kweekschool puteri tahun 1923. Mula-mula madrasah ini dinamai Madrasah Muhammadiyah, kemudian diubah menjadi al-Qismul Arqa, sesudah itu diganti dengan nama Kweekschool Muhammadiyah. Akhirnya ditukar d engan nama Madrasah Mua’allimin Muhammadiyah sampai sekarang, dengan lama belajarnya yaitu enam tahun dari kelas I sd VI. 19 KH. Ahmad Dahlan mengajarkan agama Islam di dalamnya dan tidak lupa menyebarkan cita-cita pembaharuannya. 18 Abdul Munir Mulkan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Soaial, Jakarta : Bumi Aksara, 1990, h. 19. 19 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Mutiara Sumber Wida, 1995, h. 272 36 Di samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Ia dikenal sebagai salah seorang dari duabelas Khatib Masjid Besar Yogyakarta, yang menerima gaji kecil sekali tujuh gulden sebulan dari harta benda Sultan. 20 KH. Ahmad Dahlan memberikan pelajaran agama di rumahnya sendiri dan usaha perdagangan batik di samping tugas resminya. Di samping itu, KH. Ahmad Dahlan juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi yang cukup menggejala di masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, KH. Ahmad Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di beberapa organisasi, seperti Jamiatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad saw. Sebelum mendirikan Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiatul Khair, gerakan pembaharu pertama di Indonesia. Melalui organisasi ini Dahlan berkenalan Ahmad Syurkati yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasan-gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar belakangi ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair. 21 Bersamaan dengan itu, KH. Ahmad Dahlan ikut bergabung dalam pergerakan Budi Utomo. Kedua organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern. Selama lima tahun pertama di tanah suci Makkah, KH. Ahmad Dahlan banyak memperoleh pengalaman hidup yang berharga terutama menyangkut soal pemahamannya terhadap perkembangan dunia pemikiran Islam dan informasi tentang keadaan maju mundurnya masyarakat Islam di berbagai belahan dunia. Sebagai seorang pribadi yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas, walau 20 Mitsuo Nakamuro, Bulan Sabit Muncul Dari Balik Pohon Beringin, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1983, h. 55. 21 Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, h. 112. 37 usianya baru dua puluh tahun, ia pun mulai merintis jalan pembaruan di kalangan umat Islam. Misalnya membetulkan arah kiblat 22 yang tidak tepat menutut semestinya. Dengan semangat memurnikan ibadah dan dengan berdasar perhitungan ilmu falak astronomi yang dikuasainya, beliau menjadi orang kedua di Indonesia, setelah Syekh Arsyad al-Banjari yang berupaya meluruskan arah kiblat langgar, mushalla dan masjid di Indonesia yang kala itu tidak mengarah persis ke Ka’bah Baitullah di Makkah Mukarramah. Sebagaimana di ketahui, Syekh Arsyad al-Banjari melakukan pembetulan arah kiblat masjid Jembatan Lima Betawi Jakarta 4 Shafar 1186 H 7 Mei 1772 M. Dengan berbekal ilmu falak tentang arah kiblat yang dikuasai, ia palingkan arah kiblat masjid ke kanan sebanyak 25 derajat. Semula, arah kiblat masjid tersebut selalu miring ke kiri. 23 KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama yang luas ilmunya dan tidak jenuh untuk menambah ilmu dan pengalamannya. Di mana saja ada kesempatan, ia berusaha menambah atau mencocokan ilmu yang diperolehnya. Observatorium Lembang Bandung pernah ia datangi untuk mencocokan ilmu yang diperolehnya tentang ilmu falak dan ilmu hisab, 24 karena ia pun ahli dalam ilmu tersebut. Selain perhitungan penentuan awal Ramadhan dan Syawal perhitungan Idul Fitri, KH. Ahmad dahlan pun mempelopori shalat Idul Fitri di lapangan terbuka, ia bersama segenap warga Muhammadiyah untuk pertama kali menyelenggarakan shalat Idul Fitri di lapangan kota Yogyakarta, pada Idul Fitri 1343 Hijriyah 1925. 25 Shalat itu diikuti sekitar 5 lima ribu orang dari berbagai daerah, baik dari dalam ataupun luar Yogyakarta. Selaim itu, kiprah KH. Ahmad Dahlan pun menyerukan aspirasi kaum perempuan, dalam peribadatan. Maklum, pada masa itu perempuan sebaiknya di 22 Abdul Munir Mulkan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Soaial, h. 18. 23 Abdul Fattah Wibisono, ”KH. Ahmad Dahlan dan Perjuangan Meluruskan Arah Kiblat ” dalam Kiprah Muhammadiyah Membangun Bangsa, Tajdid; Jurnal Studi Islam dan Kemuhammadiyahan, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad Muhammadiyah Juli 2010, h. 49. 24 Djamaludin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1999, h. 89. 25 Hery Sucipto dan Nadjamudin Ramly, Tajdid Muhammadiyah; Dari Ahmad Dahlan hingga A. Syafii Ma‟arif, h. 36. 38 rumah saja. Menilai setiap manusia sama di mata Tuhan, KH. Ahmad Dahlan pun mendirikan surau khusus untuk perempuan di Kauman Yogyakarta pada tahun 1341 H 1922. Pendiriannya ini kemudian menelurkan kehadiran organisasi perempuan Aisyiyah pada Muhammadiyah. Pada tanggal 20 Desember 1912, KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum untuk organisasi Muhammadiyah. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi Muhammadiyah hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan mensiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al- Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah SATF yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Taawanu alal birri, Taruf bima Kan ’u, wal-Fajri, wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Jamiyatul Ummahat, Syarikatul Mubtasi. 26 Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui 26 Junus Salam, KH. Ahmad Dahlan; Amal dan Perjuangannya, h. 99. 39 relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Selanjutnya, dalam bidang sosial, KH. Ahmad Dahlan menganjurkan memberi perhatian kepada kaum dhu’afa, anak yatim, kehidupan dan perlindungan lahir batin, serta untuk kalangan fakir miskin. Hal ini diajarkan supaya dipraktikan oleh murid-muridnya yang selalu setia mengaji kepadanya. Faktor subyektif KH. Ahmad Dahlan dalam memahami pesan-pesan al-Quran terutama QS. Al- Ma’un : 1-7, yang secara eksplisit merupakan perintah untuk melakukan keshalihan sosial. Dalam al-Quran Allah swt. berfirman :                                 “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang- orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya 27 Dan enggan menolong dengan barang berguna”. QS. Al-Ma’un : 1-7 27 riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat. 40 Inilah refleksi teologis yang diajarkan oleh KH. Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya ketika mengajarkan tafsir surat al- Ma’un, yang dikenal dalam Muhammadiyah dengan Teologi al- Ma‟un atau Fikih al-Ma‟un. 28 KH. Ahmad Dahlan tidak mengenal teori-teori sosial, akan tetapi ia menguraikan cita-cita sosial yang sangat jelas, beliau tidak hanya berteori dan sekedar menganjurkan, namun ia juga bersedia berkorban untuk mempraktikan cita-cita sosialnya, terutama bagi tercapainya suatu masyarakat yang menyantuni anak-anak yatim dan fakir miskin. Inilah makna legenda surat al- Ma’un, penumbuhan kesadaran keagamaan merupakan ruh yang menggerakan seluruh gerakan ini dan kegiatan sosial Muhammadiyah. 29 Kesadaran ini pula yang menjadi ruh pertumbuhan amal-amal usaha hingga bisa mendirikan ratusan rumah sakit, panti asuhan, dan ribuan sekolah. Ajaran Islam terdiri dari atas tiga hal yaitu, iman, ilmu dan amal. Dengan iman seseorang memperoleh kepercayaan kepada Allah dan segala firman-Nya, dengan demikian menghasilkan kepercayaan diri sendiri. Dengan izin dan kekuasaan Allah tiap orang mampu melaksanakan segala sesuatu di bawah petunjuk ilmu dan karunia-Nya. Oleh sebab itu ilmu harus dicari dan dimiliki setinggi mungkin. Ajaran Islam mewajibkan pemeluknya untuk mencari ilmu setinggi mungkin. Dengan ilmu yang telah dicapainya itu setiap orang melakukan sesuatu dan mengamalkan ajaran agamanya agar tujuan ajaran yang baik dapat direalisir. 30 Demikianlah pemahaman KH. Ahmad Dahlan tentang ajaran agama Islam. Ilmu yang tidak diamalkan, tidak ditransformasikan kedalam perbuatan atau amalan yang nyata, hanya akan sampai pada segala sesuatu yang tergolong verbalisme dan simbolisme, yang hanya baik untuk keperluan upaya. Akan tetapi masyarakat luas menantikan amal yang nyata, amal yang berdasarkan ilmu. 28 Afifi Fauzi Abbas, Muhammadiyah dan Pemihakan pada Kaum Mustadh‟afin dalam Kiprah Muhammadiyah Membangun Bangsa, Tajdid; Jurnal Studi Islam dan Kemuhammadiyahan, Edisi Khusus Muktamar Satu Abad Muhammadiyah Juli 2010, h. 36. 29 Mitsuo Nakamuro, dkk. Muhammadiyah Menjemput Perubahan; Tafsir Baru Gerakan Sosial-Budaya Muhammadiyah, Jakarta : Kompas, 2005, h. 11. 30 Tashadi, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Ir. Soekarno dan KH. Ahmad Dahlan, Jakarta : Ilham Bangun Karya, 1999, h. 148. 41

D. Jasa-jasa dan Wafatnya KH. Ahmad Dahlan