18
Modernisasi  pesantren  di  Indonesia,  yang  berkaitan  erat  dengan pertumbuhan gagasan modernisasi Islam di kawasan ini, mempengaruhi dinamika
kelimuan  di  lingkungan  pesantren.  Gagasan  modernisme  Islam  yang  nenemukan momentumnya  sejak  awal  abad  20,  pada  lapangan  pendidikan  direalisasikan
dengan pembentukan lembaga-lembaga pendidikan moidern. Pemrkarsa peertama dalam  hal  ini  adalah  organisasi-
organisasi  ”modernis”  Islam  seperti Muhammadiyah  dan  lain-lain.
22
Uraian  pembahsan  lebih  lanjut  akan  dibahas dalam Bab IV pada pembahasan analisis  model dan sistem pendidikan Islam yang
dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan.
2. Sistem Pendidikan Sekolah
Proyek  pendidikan  pemerintah  kolonial  Belanda  dimulai  sekitar pertengahan  abad  ke-19.  Beberapa  anak  Indonesia  dari  kalangan  yang  sangat
terbatas memperoleh kesempatan untuk belajar di sekolah untuk anak-anak Eropa yang  sudah  berdiri  sejak  1816.  pemerintak  kolonial  juga  membuka  seloah  guru
untuk  sekolah-sekolah  Jawa  dan  sekolah  STOVIA  untuk  melayani  kesehatan masyarakat  pribumi.  Karena  dirasa  kurang  mencukupi,  pada  1879  pemerintah
kolonial  membuka  Hofdenschoolen  sekolah  para  kepala  untuk  mendidik  anak- anak Bupati dalam bidang administrasi. Proyek pendidikan terus berlanjut sampai
dengan pembukaan lembaga pendidikan dasar yang disebut dengan Sekolah Kelas Satu dan Sekolah Kelas dua pada tahun 1893.
23
Pada periode politis etis, atau periode setelah 1900-an, terjadi perubahan- perubahan penting dalam konteks proyek pendidikan kolonial, baik dalam bentuk
re-organisasi sekolah maupun pembukaan sekolah-sekolah baru. Pada tahun 1900, tiga  Hofdenschoolen  yang  terletak  di  Bandung,  Magelang  dan  Probolinggo  di-
reorganisasi  menjadi  OSVIA  Opleidingscholen  Voor  Inlandsche  Ambtenaren dengan  tujuan  supaya  nyata-nyata  menjadai  lembaga  pendidikan  yang  mencetak
pejabat  pribumi.  Berbeda  dengan  pendahulunya,  masa  belajar  di  OSVIA  adalah lima  tahun,  dengan  pengantar  bahasa  Belanda.  Perubahan  berikutnya  dilakukan
22
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, h. 90.
23
Arief Subhan,  Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta : LPJM UIN Jakarta Press, 2009, h. 86.
19
terhadap  sekolah  Kelas  Satu  yang  diubah  menjadi  HIS  Hollandsch  Inlandsch School
atau  ”sekolah  Belanda-Pribumi”  pada  1914.
24
Sebelumnya,  yaitu  pada tahun  1908,  Sekolah  Kelas  Dua  telah  mendapat  sentuhan  perubahan  dengan
berubah  menjadi  Standard  Schoolen atau  ”sekolah  standar”.  Sementara  bagi
masyarakat  desa  disediakan  volkschoolen,  sekolah  rakyat,  atau  sekolah  desa nagari  dengan  masa  belajar  selama  3  tahun,  di  beberapa  tempat  di  Indonesia
sejak dasawarsa 1870-an. Tetapi  sekolah  desa  ini,  setidak-tidaknya  dalam  perkembangan  awalnya,
cukup  mengecewakan.  Bagi  pemerintah  Belanda,  sekolah  desa  ini  tidak  berhasil mencapai tujuan seperti yang mereka harapkan, karena tingkat putus sekolah yang
sangat  tinggi  dan  mutu  pengajaran  yang  amat  rendah.  Di  sisi  lain,  kalangan pribumi,  khususnya  masyarakat  di  Jawa,  terdapat  resistensi  yang  kuat  terhadap
sekolah-sekolah  ini,  yang  mereka  pandang  sebagai  tujuan  integral  dari  rencana Pemerintah kolonial Belanda untuk ”membelandakan” anak-anak mereka.
Disamping  itu  pemerintah  kolonal  Belanda  juga  telah  membuka  sekolah- sekolah  seperti  sekolah  untuk  orang  Eropa  ELS  Europessch  Lagere  School,
sekolah  tingkat  mengah  HBS  Hogere  Burgerschool,  MULO  Meer  Uitgebreid Lagere  Onderwijs  untuk  melayani  pendidikan  tingkat  menengah  dan  AMS
Algemene Middelbare Shcool untuk melayani pendidikan tingkat menengah atas. Lepas dari lembaga pendidikan yang demikian kompleks -karena mengakomodasi
banyak gagasan dan cita-cita- pada tahun 1900-an STOVIA School tot Opleiding van  Inlandsche  Arsten  merupakan  satu-satunya  lembaga  pendidikan  lanjutan
yang mungkin dicapai kalangan pribumi priyai yang tidak tertarik kepada jabatan administrasi.
Hanya  sebagian  kecil  dari  anak-anak  Indonesia  yang  dapat  menikmati pendidikan  HIS.  Namun  HIS  pada  waktu  itu  telah  diterima  sebagai  lembaga
pendidika  yang  berharga  karena  bahasa  Belanda  dipandang  sebagai  alat  ke  arah kemajuan.  Bahkan  diusahakan  adanya  hubungan  antara  sekolah  desa  dengan
MULO dengan mendirikan Schakelschool, sekolah penghubung antara pendidikan
24
Arief Subhan,  Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas, h. 87.
20
pribumi  berbahasa  Melayu  dengan  pendidikan  Barat  berbahasa  Belanda. Schakelschool  yang  didirikan  tahun  1927  lamanya  5  tahun  dan  menerima  murid
dari kelas 3 Sekolah Desa. Schakelschool ini disamakan dengan HIS jadi memberi hak  untuk  memasuki  MULO  dan  selanjutnya.  Dalam  teorinya  adanya
Schakelschool  ini  setiap  anak  desa  dapat  memasuki  universitas,  di  Indonesia maupun di Belanda.
25
Sekolah  telah  didirikan  oleh  Belanda  sejak  abad  ke-18.  Sekolah-sekolah Belanda ini telah menyebar keseluruh Indonesia. Disekolah-sekolah Belanda tidak
diajarkan    mata  pelajaran  agama,  sesuai  dengan  kebijakan  pemerintah  Belanda yang netral agama. Pendidikan agama di zaman kolonial baru diberikan di sekolah
setelah berdirinya sekolah-sekolah yang diasuh oleh organisasi Islam. Perkembangan  sekolah  yang  semakin  merakyat  dalam  batas  yang  cukup
jauh  telah  merangsang  kalangan  Islam  untuk  memberikan  respon.  Dalam  hal  ini mereka  memikirkan  bahwa  diskriminasi  untuk  mendapatkan  kesempatan
pendidikan yang seluas-luasnya masih sangat tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah  kolonial  Hindia  Belanda.  Kebanyakan  rakyat  Indonesia  bagaimana
pun masih akan tetap bodoh karena tingkat  pendidikan  yang diperkenankan bagi mereka  hanya  terbatas  pada  sekolah  rendah.  Dari  sudut  ini,  pendidikan  Islam
memiliki  tanggung  jawab  untuk  meningkatkan  kecerdasan  mereka  atas  prinsip persamaan  sebagaimana  yang  menjadi  asas  ajaran  Islam.  Namun  di  sisi  lain
pendidikan  Islam  sudah  saatnya  untuk  menawarkan  pola  pendidikan  yang  lebih maju,  baiuk  dalam  hal  kelembagaan,  struktyur  materi,  maupun  metodologinya,
sehingga dapat mengimbangi sekolah-sekolah ala Belanda. Kesadaran  untuk  memperbaharui  pendidikan  Islam  ini  dimiliki  oleh
sejumlah tokoh, khususnya mereka yang sudah mengenyam sekaligus pendidikan Islam  tradisional  dan  pendidikan  sekolah  ala  Belanda.  Dalam  pemikiran  mereka
perlu  ditempuh  cara  kombinasi  yaitu  mata-mata  pelajaran  keagamaan  tetap diadakan  tetapi  ditambah  dengan  mata-mata  pelajaran  umum  seperti  membaca,
menulis,  berhitung,  bahasa,  ilmu  pengetahuan  alam,  ilmu  pengetahuan kebudayaan,  dan  keterampilan-keterampilan  administrasi  dan  organisasi.  Metode
25
S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 1995, h. 121.
21
pengajarannya  pun  direkayasa  sedemikian  rupa  sehingga  lebih  efektif  sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Secara konkrit di antara mereka adalah
KH.  Ahmad  Dahlan  di  Yogyakarta,  mendirikan  sekolah  Islam  ”MULO  met  de Quran”  dan  kemudian  sekolah-sekolah  Islam  yang  dapat  disebut  sebagai
madrasah menurut istilah teknis dalam pendidikan Islam.
26
Sedangkan  madrasah  merupakan  model  lembaga  pendidikan  Islam  yang bersifat  formal.  Kemunculan  dan  kelahirannya  lebih  bersifat  sintetis-adaftif  dari
model  pendidikan  kolonial  dari  satu  sisi  dan  model  pesantren  di  sisi  yang  lain. Pendidikan  model  Belanda  menerapkan  pola  pembelajaran  sekuler,  yang
materinya pengetahuan
umum semua,
sedangkan model
pesantren memberlakukan  pola  pembelajaran  dengan  materi  pengetahuan  agama  semua.
Dua kutub  yang dikotomis itu dikonvergensikan dalam sistem pendidikan model madrasah.
27
Pada  awal  abad  ke-20,  sistem  pendidikan  model  madrasah  bermunculan, sebagaimana  halnya  pesantren.  Kemunculan  madrasah  ini  minimal  dapat  dilihat
dari  dua  sisi.  Pertama,  ia  sebagai  salah  satu  bentuk  pengembangan  yang  berasal dari pesantren. Dalam konteks ini ada beberapa pesantren yang melakukan proses
adaptif  terhadap  fenomena  yang  sedang  berkembang  saat  itu.  Kedua,  madrasah lahir  dari  luar  pesantren,  seperti  organisasi-organisasi  sosial-keagamaan  atau
organisasi sosial politik. Dalam konteks ini kelahiran madrasah bukan merupakan kelanjutan  dari  sistem  pesantren,  melainkan  sistem  pendidikan  yang  berdiri
sendiri. Madrasah yang lahir dari luar pesantren dan organisasi sosial-keagamaan lebih banyak muncul diluar.
Secara  internal  para  tokoh  umat  Islam  yang  medirikan  sistem  pendidikan model madrasah ini, dapat dikatakan berfikiran modernis. Di satu sisi mereka mau
menerima  sistem  pendidkan  ala  Belanda,  dan  di  sisi  lain,  mereka  menganggap pentingnya materi pendidikan umum. Sebagian ulama modernis memandang perlu
didirikan  lembaga  pendidikan  formal,  untuk  mewadahi  pendidikan  umat  Islam yang kurang mampu mengikuti sistem pendidikan ala Belanda.
26
Maksum,  Madrasah;  Sejarah  dan  Perkembangannya,  Jakarta  :  Logos  Wacana  Ilmu, 1999, h. 96.
27
Abdur Rahman Assegaf, Pendidikan Islam di Indonesia, h. 92.
22
D. Politik Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam