Kuasa Hukum nya yaitu: Surya Tjandra, SH. LLM: Rita Olivia Tambunan,
SH. LLM: Asfinawati, SH. B. Lucky Rossintha, SH. Pengacara Publik Lembaga
Bantuan Hukum LBH Jakarta.
2. Materi Permohonan
Para pemohon pada dasarnya di dalam permohonan uji materi Undang- undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengemukakan sebagai
berikut: Pertama,
“Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melanggar Hak atas pekerjaan dan penghidu
pan yang layak bagi kemanusiaan”, yang dimuat di dalam UUD 1945 yang menjadi dasar konstitusional untuk
“memajukan kesejahteraan umum” berdasarkan Pancasila, untuk terciptanya “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Negara, selaku pihak yang yang
merancang semua sejak awal, dan harus terlibat serta bertanggung jawab terhadap perburuhan dan menjamin agar mereka dapat terlindungi hak-haknya
dalam bingkai konstitusi. Kedua, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
melanggar pasal 27 ayat 2 UUD 1945 mengenai “pekerjaan” dan penghidupan
yang layak”, yang terkait amat erat dengan pasal 28 mengenai hak untuk berorganisasi dan berkumpul. Keduanya termuat di dalam Bab X UUD 1945
mengenai “Warga negara dan Penduduk” . Keduanya sekaligus menjadi jaminan konstitusional bagi warga negara umumnya dan buruh khususnya, untuk
mendapatkan hak konstitusional “penghidupan yang layak” yang dapat diperolehnya dari “pekerjaan”, dan kebebasan untuk berorganisasi guna
menaikkan posisi tawarannya. Namun demikian, apabila melihat sejarah Pembentukan hukum perburuhan di Indonesia dapat ditemukan banyak bukti
nuansa perlindungan proteksi terhadap buruh. Ketiga, Tahun 1948, tiga tahun setelah proklamasi kemerdekaan dihasilkan
dua Undang-undang lain yaitu Undang-undang No. 12 Tahun 1948 tentang Kerja dan Undang-undang Nomor 23 tahun 1948 tentang pengawasan Perburuhan,
yang memuat banyak aspek perlindungan terhadap buruh. Undang-undang tentang Pengawasan Perburuhan ini menegaskan pula bahwa sistem hukum
perburuhan yang ingin dibangun adalah sistem hukum perburuhan yang melindungi protektif terhadap buruhpekerja, sebagai pihak yang senantiasa
akan berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi perburuhan yang karenanya perlu proteksi. Dalam konteks inilah pemerintah memainkan peran
untuk menjamin perlindungan tersebut dengan secara aktif terlibat dalam isu perburuhan.
Keempat, Melalui Undang-undang pemerintah mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga kerja Labour Supply.
Antara lain dilakukan dengan mendefinisikan kapan seseorang dapat memasuki pasar kerja usia lulus sekolah, kapan mereka diharapkan berhenti bekerja Usia
pensiun serta dengan mengatur syarat-syarat di mana kelompok masyarakat
tertentu bekerja. Kebijakan legislasi yang protektif seperti ini terus berlangsung hingga disahkannya Undang-undang Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas akan
menghapuskan nuansa protektif dalam hukum perburuhan Indonesia, dan karenanya menjadikan Undang-undang tersebut bertentangan dengan amanat
UUD 1945. Argumen hukum untuk mendukung fakta-fakta dengan adanya pelanggaran
hak konstitusional dalam Undang-undang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 yaitu :
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedur penyusunan dan pembuatan
sebuah Undang-undang yang patut. Undang-undang Ketenagakerjaan telah dibuat tanpa mengikuti prosedur dan tata cara penyusunan sebuah Undang-
undang yang layak. Hal ini dapat dilihat dari beberapa fakta antara lain: a Tidak adanya “naskah akademis” yang memberi dasar pertimbangan ilmiah perlunya
Undang-undang. Secara prosedur pembuatan Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak layak, dan menjadikan Undang-Undang tersebut
telah cacat secara hukum. b Penyusunan Undang-undang Ketenagakerjaan diwarnai kebohongan publik oleh DPR. Undang-undang No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, sebagai satu dari “Paket 3 UU Perburuhan”, dibuat
semata-mata karena tekanan kepentingan modal asing dari pada kebutuhan nyata buruhpekerja Indonesia.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat 1 dan 2, pasal 28
dan pasal 33, dan secara substansial lebih buruk dari Undang-undang yang dihapusnya. a Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Bertentangan dengan pasal 27 ayat 2 UUD 1945. “Mendasari Undang-undang
Perburuhan yang disusun kemudian, pada intinya mempersulit tindakan PHK ole
h pihak majikan dengan keharusan meminta “izin” untuk PHK terlebih dahulu kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Inilah yang ingin dihapuskan oleh Undang- undang Ketenagakerjaan.” b
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 “Setiap warga negara mempunyai hak asasi untuk
secara bebas berorganisasi termasuk mendirikan serikat dan organisasi dan menjalankan aktivitas organisasi lainnya tanpa ada tekanan dalam bentuk
apapun.” c Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 mengatakan
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Akan tetapi Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan akan terjadi dilegalkannya sistem kerja “pemborongan
pekerjaan” outsourcing sebagaimana diatur dalam Pasal 64-66, yang akan menjadikan buruhpekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal.