membatasi. Mengenai Pasal 33 ayat 1, menurut ahli perekonomian di Indonesia belum berdasarkan demokrasi ekonomi, sering terjadi adalah
pemilik modal dengan kekuatan ekonominya dapat memaksakan. Sehubungan dengan konstitusi sebagai kontrak sosial, maka saksi ahli tidak
setuju kalau direduksi induvidualisme bahwa dapat berpotensi tetapi harus dilihat juga bahwa konstitusi adalah sebagai cita-cita bersama. Jika
Undang-undang Ketenagakerjaan mempunyai unsur-unsur atau minimal potensi adanya perlindungan yang lemah terhadap buruh, maka memang
perlu digugat. Sedemikian bersalahnya Undang-undang Ketenagakerjaan, sehingga ini sungguh-sungguh seratus persen tidak adil.
B. Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa, permohonan para pemohon dapat dikabulkan untuk sebagian, yaitu sebagaimana sudah disebut dalam amar
putusan dan menolak permohonan para pemohon sebagiannya, karena isi permohonan dipandang tidak cukup beralasan. Mahkamah Konstitusi
memperhatikan Pasal 56 ayat 2, ayat 3, dan ayat 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan mengabulkan permohonan
para Pemohon untuk sebagian yaitu: Pasal yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yaitu pasal 158, pasal 159, pasal 160 ayat 1, pasal 170
, pasal 158 ayat 1, pasal 171, pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “Pasal 137 dan Pasal 138 ayat 1” pasal-pasal ini bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160
ayat 1, Pasal 170, Pasal 171, dan Pasal 186 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat. Mahkamah Konstitusi juga menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya dari pasal-pasal yang diajukan pada waktu itu.
Berdasarkan keterangan dua orang saksi yang diajukan oleh para pemohon, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa praktek-praktek yang
dilakukan pengusaha dalam terjadinya pengalihan usaha dan dalam keadaaan lain ketika pengusaha ingin melakukan penghematan dengan cara menekan
buruhpekerja mengundurkan diri melalui lock-out perusahaan dengan kewajiban membayar pesangon minim, dan kemudian membuka kesempatan
kerja atas dasar perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang disebut saksi sebagai pekerja kontrak dengan syarat-syarat yang sangat merugikan
pekerjaburuh, Perlindungan secara hukum atas hak-haknya telah dijamin oleh Undang-undang Ketenagakerjaan. Akan tetapi pelanggaran pengusaha terhadap
pasal-pasal yang bertentangan kurang mampu melindungi atau yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar 194, seperti pasal 55, Pasal 59 ayat
1, Pasal 61 ayat 1 dan ayat 3, Pasal 62, Pasal 65 ayat 2 secara seimbang
tidak diberikan sanksi pidana sebagai bentuk perlindungan hukum. Di pihak lain dalam Pasal 186 ditentukan sanksi bagi buruhpekerja yang melanggar
Pasal 137 dan 138, sehingga dengan demikian Mahkamah Konstitusi berpendapat pasal 186 Undang-undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan
UUD 1945, oleh karena itu sanksi-sanksi pidana dalam Undang-undang bagi buruh pekerja dipandang tidak proporsional dan berlebihan.
Mahkamah Konstitusi juga mengatakan bahwa pasal 158 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27, karena
Pasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruhpekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law
melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsal. Dan di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruhpekerja yang ditahan oleh
pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah
presumption of innocence. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD
1945. Kemudian di dalam pasal 159, apabila buruhpekerja yang telah di
PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak menerima pemutusan hubungan kerja, pekerjaburuh yang bersangkutan tidak dapat
mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial, ketentuan
tersebut menimbulkan beban yang tidak adil dan berat bagi buruhpekerja untuk membuktikan ketidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis
lebih lemah yang memperoleh perlindungan hukum yang lebih dibandingkan pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuan berfikir
dengan mencampuradukkan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.
a. Pendapat Berbeda Dissenting Opinion
Pendapat berbeda dinyatakan juga oleh Prof. H. Abdul Mukhtie Fadjar S,H.M.S dan Prof. Dr. H.M Laica marzuki, S.H. Mereka adalah Hakim
Konstitusi, mereka menyesalkan lahirnya Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena pembaharuan Undang-undang di bidang
Ketenagakerjaan melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan kurang ramah kemanusiaan dan kurang memberi pengayoman,
khususnya terhadap buruhtenaga kerja, seperti ditunjukan oleh berbagai kebijakan yang tercantum dalam Undang-undang Ketenagakerjaan antara lain
kebijakan outsourcing, telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruhpekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja dan hanya
sekedar sebagai sebuah komuditas, sehingga berwatak kurang protektif terhadap pekerja. Kedua hakim ini menyimpulkan Undang-undang No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan bertentangan