Rangkaian Undang-undang perburuhan awal ini juga menegaskan bahwa sistem hukum perburuhan yang ingin dibangun adalah sistem hukum
perburuhan yang melindungi protektif terhadap buruh pekerja, sebagai pihak yang senantiasa akan berada pada posisi yang lemah dalam sebuah relasi
perburuhan yang karenanya perlu proteksi. Dalam konteks ini pemerintah memainkan peran untuk menjamin perlidungan terebut dengan cara aktif
terlibat dengan isu perburuhan. Melalui Undang-undang ini pemerintah mengambil peran untuk menentukan batas dan lingkup dari pengerahan tenaga
kerja labour supply. Ini antara lain melakukan dengan mendefinisikan kapan orang dapat memasuki pasar kerja usia lulus sekolah; kapan mereka
diharapkan berhenti bekerja usia pensiun serta dengan mengatur syarat-syarat dimana kelompok masyarakat tertentu bekerja misalnya: perempuan, orang
muda, buruh migran.
27
Kemudian pada masa Soeharto keadaan Indonesia sudah lebih baik, politik hukum ditekankan pada pembangunan ekonomi. Kesejahteraan
nasional akan cepat terwujud apabila pembangunan ekonomi berjalan dengan baik. Untuk mewujudkan suksesnya pembangunan ekonomi maka
ditetapkanlah repelita. Namun sejalan dengan berkembangnya waktu pembangunan ekonomi, akhirnya tertuju pada tindakan penguasa yang
sewenang-wenang. Seperti pengerahan TKI keluar negeri pada masa
27
Lihat Putusan Perkara Nomor 012PUU-I2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
pemerintahan Soekarno yaitu berdasarkan pada pasal 2 TAP MPRS No.XXVIIIMPRS-RI1966,
yaitu segera
dibentuk undang-undang
perburuhan mengenai penempatan kerja. Kemudian hukum yang mengatur tentang tenaga kerja yaitu diatur dengan ketentuan Undang-undang No. 14
Tahun 1969 tentang Pokok-pokok Ketentuan Tenaga Kerja. Selama masa Soeharto ketentuan ini tidak pernah di realisasi dan
dicabut sebagai kelanjutan pasal 5 ayat 2 UU No. 14 Tahun 1969 ditetapkan tugas pemerintah untuk mengatur pembayaran tenaga kerja yang efektif dan
efisien. Kedudukan buruh semakin lemah dengan Hubungan Industrial Pancasila, hak buruh hanya dapat mendirikan satu serikat pekerja, yaitu
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia SPSI.
28
2. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru pemerintahan Indonesia, sebagian di dorong oleh masalah finansial pada awal krisi ekonomi, banyak ketidak stabilan di
Indonesia yang menurut Bank Dunia tidak menguntungkan bagi bisnis dan investasi.
Merespon ”peringatan” yang berkaitan dengan makin meningkatnya ketidak stabilan perburuhan dengan mengajukan RUU ketenagakerjaan
kepada DPR yang kemudian menjadi Undang-undang No. 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang baru ini mendapat protes dari
berbagai organisasi buruh dan LSM perburuhan sebagai sebuah undang-
28
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta: Sinar Grafika, 2009 h. 23
undang yang “anti buruh” dalam berbagai hal. Undang-undang tersebut telah disahkan dengan berbagai masalah di dalamnya.
Di dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1997 mengatur tentang ketenagakerjaan, yang keberadaannya menimbulkan perdebatan yang
berdasarkan UU No. 28 Tahun 2000 diundur masa berlakunya hingga 1 Oktober 2002, Undang-undang Ketenagakerjaan, yang sudah banyak
menimbulkan kontroversi, karena dianggap telah tidak berpihak kepada kepentingan buruhpekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan
pemilik modal, Didalam Undang-undang ini di antaranya juga mengatur tentang kebijakan seperti
Serikat pekerja, Organisasi pengusaha, Lembaga kerjasama Bipartite, Lembaga kerjasama Tripartite, Peraturan perusahaan,
Kesepakatan kerja bersama, Penyelesaian perselisihan industrial.
Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya cenderung menjadi “legalisasi” dari Praktek-praktek Orde Baru yang merugikan buruh dalam
bentuk sebuah Undang-undang yang didiskusikan secara sembunyi-sembunyi di hotel berbintang untuk menghindari aksi buruh yang menolak dengan
memanipulasi uang buruh dalam program Jamsostek. Dengan demikian jelas bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan memang merupakan kelanjutan dari
hasil pesanan Bank Dunia yang mewakili kepentingan modal Internasional di
Indonesia yang melihat buruhpekerja semata sebagai hambatan bagi investasi dan pembangunan ekonomi.
29
3. Kebijakan Ketenagakerjaan Pada Masa Reformasi
Bahwa pada tanggal 25 februari 2003 DPR RI telah menyetujui RUU Ketenagakerjaan yang diajukan oleh pemerintah RI menjadi Undang-undang
Ketenagakerjaan, dan selanjutnya di sahkan oleh pemerintah RI menjadi Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yang
diundangkan pada tanggal 25 maret 2003, dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 2003 No. 39 bahwa sejak awal mulai dari pembahasannya
hingga pengesahannya, Undang-undang ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU pembinaan dan perlindungan ketenagakerjaan PPK, sudah
banyak menimbulkan kontroversi karena pertama-tama dianggap tidak berpihak kepada kepentingan buruhpekerja dan cenderung lebih mengadopsi
kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama Internasional, serta tidak cukup mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruhpekerja
Indonesia. Di dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 mengatur tentang
ketenagakerjaan, tetapi sejak awal mulai pembahasannya hingga pengesahan, Undang-undang Ketenagakerjaan, yang awalnya disebut RUU Pembinaan
29
Lihat Putusan Perkara Nomor 012PUU-I2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dan Perlindungan Ketenagakerjaan PPK, sudah banyak menimbulkan kontroversi, karena pertama-tama dianggap tidak berpihak kepada
kepentingan buruhpekerja dan cenderung lebih mengadopsi kepentingan pemilik modal, nasional dan terutama internasional, serta tidak cukup
mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap buruhpekerja Indonesia. Didalam Undang-undang ini di antaranya juga mengatur tentang kebijakan
seperti Upah minimum, Outsourcing kontrak kerja, mogok kerja, pemutusan hubungan kerja.
30
Meliputi hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik
badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan
orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
31
Bahwa sudah banyak penelitian yang menunjukan penekanan terhadap efesiensi secara berlebihan untuk semata-mata meningkatkan investasi guna
mendukung pembangunan ekonomi melalui kebijakan upah murah dan berakibat kepada hilangnya keamanan kerja job security bagi buruh pekerja
Indonesia, karena sebagian besar buruh pekerja tidak akan lagi menjadi buruh pekerja tetap tetapi menjadi buruhpekerja kontrak yang akan berlangsung
30
Lihat Putusan Perkara Nomor 012PUU-I2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.