Materi Permohonan Proses Putusan Uji Materi Undang-undang Ketenagakerjaan
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat 1 dan 2, pasal 28
dan pasal 33, dan secara substansial lebih buruk dari Undang-undang yang dihapusnya. a Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Bertentangan dengan pasal 27 ayat 2 UUD 1945. “Mendasari Undang-undang
Perburuhan yang disusun kemudian, pada intinya mempersulit tindakan PHK ole
h pihak majikan dengan keharusan meminta “izin” untuk PHK terlebih dahulu kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.
Inilah yang ingin dihapuskan oleh Undang- undang Ketenagakerjaan.” b
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945 “Setiap warga negara mempunyai hak asasi untuk
secara bebas berorganisasi termasuk mendirikan serikat dan organisasi dan menjalankan aktivitas organisasi lainnya tanpa ada tekanan dalam bentuk
apapun.” c Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 mengatakan
“perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Akan tetapi Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan akan terjadi dilegalkannya sistem kerja “pemborongan
pekerjaan” outsourcing sebagaimana diatur dalam Pasal 64-66, yang akan menjadikan buruhpekerja semata sebagai sapi perahan para pemilik modal.
Pada beberapa pasal Undang-undang Ketenagakerjaan memasung hak-hak fundamental buruhpekerja dan serikat buruhserikat pekerja, terdapat dalam
beberapa ketentuan dalam pasal-pasalnya sebagaimana diuraikan berikut ini: a.
Pasal 119 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa untuk melakukan perundingan
PKB, serikat buruh harus dapat membuktikan bahwa serikat buruh tersebut memiliki jumlah anggota lebih dari 50 dari jumlah seluruh
buruhpekerja di Perusahaan yang bersangkutan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 28 UUD 1945.
b. Pasal 120 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mensyaratkan bahwa apabila dalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruhpekerja, maka yang berhak
mewakili buruhpekerja dalam melakukan perundingan PKB adalah memiliki anggota lebih dari 50 dari jumlah seluruh buruhpekerja di
perusahaan. c.
Pasal 121 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotaan serikat buruh
pekerja harus dibuktikan dengan kartu tanda anggota. Sedangkan dalam pasal 28 UUD 1945 tidak lah mewajibkan adanya kartu tanda
anggota.
d. Pasal 106 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mewajibkan setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 orang buru
hpekerja atau lebih untuk membentuk “Lembaga Kerja Sama Bipartit”. Dan demikian pasal ini jelas-jelas bertentangan
dengan pasal 28 UUD 1945 karena pembentukan Lembaga Kerja Sama Bipartit yang keberadaannya ditentukan sebagai sebuah
kewajiban. Ada beberapa pasal telah bersifat diskriminatif secara hukum, sebagaimana
terlihat dalam beberapa pasal yaitu : a Pasal 158 ayat 1 berisi perbuatan- perbuatan yang karenanya buruh dapat diputuskan hubungan kerjanya
karena telah melakukan kesalahan berat. b Pasal 158 ayat 2 mensyaratkan bukti untuk menuduh telah terjadi kesalahan berat yaitu: tertangkap tangan,
pengakuan buruh yang bersangkutan, laporan kejadian yang dimuat dipihak yang berwenang di perusahaan dan didukung oleh minimal 2 saksi. c Pasal
170 menegaskan kembali bahwa PHK yang disebabkan kesalahan berat. d Pasal 159 buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial” sehingga telah mencampuradukan wewenang peradilan pidana ke perdata.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara substansial juga bertentangan dengan standar perburuhan internasional
Konvensi dan rekomendasi ILO. Terlihat di dalam beberapa hal yaitu: a Pengaturan tentang mogok kerja dalam pasal 137
–pasal 145 UU
Ketenagakerjaan bertentangan dengan Konvensi ILO tentang hak-hak fundamental buruh yang berkenaan dengan hak asasi atas kebebasan
berserikat dan berorganisasi. Pasal 137 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengenai Mogok Kerja membatasi alasan mogok
hanya sebagai akibat “gagalnya suatu perundingan”. Pasal 138 ayat 1 UU Ketenagakerjaan mengenai pembatasan hak pekerja atau serikat buruh untuk
mengajak rekannya melakukan mogok kerja picketing. Pasal 186 Undang-undang Ketenagakerjaan yang mengatur soal sanksi
menetapkan sanksi pidanan kejahatan terhadap pelanggaran pasal 138 ayat 1. Pasal 140
– 141 UU Ketenagakerjaan juga melanggar standar perburuhan internasional ILO karena pasal-pasal tersebut menetapkan tahapan prosedur
administratif dan birokratis yang harus dilalui oleh buruhpekerja. b Pengaturan tentang jam kerja bagi buruh perempuan dalam pasal 76 Undang-
undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan konvensi internasional ILO No. 111 tentang larangan Diskriminasi di tempat kerja.
Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari segi sistematika dan prosedural sebuah produk perundang-undangan rancu di
antara pasal- pasalnya serta banyak memberikan “cek kosong” kepada
pemerintah. Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dari segi sistematika penyusunannya cenderung dibuat dengan banyak saling
bertolak belakang di antara pasal-pasalnya satu sama lain sehingga cenderung menjadi rancu, yaitu pada pasal :
a. Pasal 1 angka 3 dengan Pasal 1 angka 15 dan dengan Pasal 50
b. Pasal 1 angka 26 dengan pasal 66-69
c. Pasal 1 angka 23 dengan Pasal 137
d. Pasal 74 ayat 2 a, b dan c dengan Pasal 52 ayat 1 d
e. Pasal 1 angka 26 jo. Pasal 68 jo Pasal 69 ayat 2 d dengan 76 ayat 1
f. Pasal 1 angka 18 dengan Pasal 106 ayat 3
g. Pasal 102 ayat 2 dengan Pasal 106 mengatur tentang lembaga kerja sama
bipartit. h.
Pasal 106 ayat 3 dengan Pasal 110 ayat 3 i.
Pasal 1 angka 20 dengan Pasal 108 ayat 2 dengan Pasal 1 angka 21 j.
Pasal 108 ayat 2 dengan Pasal 110 ayat 2 dan Pasal 116. Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang
diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft UU Ketenagakerjaan yang disahkan oleh sidang umum DPR RI pada tanggal 25 Februari 2003.
Adapun perubahan redaksi Undang-undang Ketenagakerjaan yang disahkan DPR dan pemerintah, tanpa melalui proses pengesahan oleh sidang umum DPR
RI adalah jelas-jelas menyalahi aturan tata cara pembuatan Undang-undang mengingat Undang-undang harus dibuat berdasarkan atas dan melalui
kesepakatan antara pihak exekutif dan legislatif. Berdasarkan hal-hal yang telah disebut oleh pemohon di atas, maka para
pemohon Uji
materi Undang-undang
No.13 Tahun
2003 tentang
Ketenagakerjaan memohon kepada ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus permohonan hak uji Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yaitu Mahkamah Konstitusi menerima dan mengabulkan seluruh permohonan hak uji ini, Mahkamah
Konstitusi menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan tidak berlaku umum, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.