Kesenian Bahasa Sejarah Reog Ponorogo

Sebagai petani masyarakat desa kampung kolam menanam padi, pisang, dan ubi kayu karena hanya jenis tanaman itulah yang sesuai dengan iklim daerah desa kolam tersebut. Di desa kampung kolam juga terdapat pabrik dan bangunan-bangunan yang akan dikerjakan oleh masyarakat. Selain itu penduduk desa kampung kolam dapat memperoleh tambahan dengan mengikuti group kesenian reog ini, dari hasil pentas keliling itulah mereka mendapatkan uang untuk membantu biaya hidup mereka masing-masing. Koentjaraningrat menyatakan bahwa “di dalam kenyataan hidup orang Jawa, orang yang masih membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum terpelajar dengan orang-orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti petani-petani, tukang-tukang, dan pekerja kasar lainnya di samping keluarga keraton dan keturunan bangsawan atau bendera-bendera. Dalam rangka susunan masyarakat ini, secara bertingkat yang berdasarkan gensi-gensi itu, kaum priyayi dan bendera merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan masyarakat bawah” Heristina Dewi,1992:38. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa masyarakat Jawa yang ada di desa kampung kolam masih berstatus sosial rendah, namun istilah wong cilik tidak berlaku bagi masyarakat Jawa didesa kampung kolam karena mereka menganggap mereka semua sama. Aktivitas masyarakat Jawa didesa kampung kolam kebanyakan sebagai buruh dan petani.

2.7 Kesenian

Masyarakat yang tinggal di desa-desa yang berbatasan dengan desa kampung kolam mayoritas suku Jawa. Namun hanya desa kampung kolam yang mempunyai Universitas Sumatera Utara kesenian reog, Sanggar Langen Budoyo berada di bawah naungan Forum Masyarakat Jawa Deli. Masyarakat suku Jawa tetap menampilkan ciri etnisnya dan mereka juga tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka sehari-hari, walaupun masyarakat Jawa tersebut sudah berdampingan dengan berbagai suku yang tinggal menetap di desa kampung kolam. Mereka juga masih melakukan peristiwa budaya seperti ritual upacara perkawinan, serta menghidupkan dan mempertahankan kesenian tradisional mereka seperti : Ludruk, Ketoprak, Kuda Lumping, Wayangan, Jaran Kepang dan Reog Ponorogo.

2.8 Bahasa

Bahasa pengantar dikalangan masyarakat Jawa didesa kampung kolam adalah bahasa Jawa. Namun, sebagian besar masyarakat Jawa didesa kampung kolam menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan etnis lain. Para pemain kesenian reog ponorogo ada yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik ada juga yang tidak bisa sama sekali, biasanya pemain yang tidak bisa berbahasa Indonesia adalah para sesepuh dan yang bisa para pemain yang lahir dan besar diseda kampung kolam tersebut. Kromo inggil merupakan tata cara berbahasa paling tinggi atau dengan kata lain yang paling halus. Bahasa kromo ini sering digunakan oleh orang- orang yang berpangkat, orang-orang sederajat, anak terhadap orang tuanya, murid terhadap guru, bawahan terhadap atasan, dan buruh terhadap majikan. Bahasa sehari- hari yang dipergunakan oleh penduduk desa kampung kolam adalah bahasa Ngoko karena merupakan bahasa Jawa biasa yang sering dipergunakan oleh orang tua terhadap anak, antar teman sebaya, atasan terhadap bawahan, dan majikan terhadap kuli. Universitas Sumatera Utara

BAB III KEBERADAAN REOG PONOROGO DI KABUPATEN DELI SERDANG

3.1 Sejarah Reog Ponorogo

Menurut Poerbajtaraka 1969: 404, pada dasarnya adalah perkawinan antara putri Kediri dengan raja seberang. Mungkin saja legenda ini tidak begitu diketahui secara detil oleh masyarakat Jawa yang hidup di Sumatera. Akan tetapi sebagai sebuah referensi, mungkin saja akan sangat berguna bagi kelompok atau sanggar yang masih melestarikan pertunjukan reog di kabupaten Deli Serdang. Secara singkat di sini akan diceritakan legenda yang sangat dipercayai oleh masyarakat Ponorogo Nursilah, 2001: 201-202. Kerajaan Kediri-Daha dengan rajanya yang sudah tua bernama Sri Gentayu yang mempunyai dua orang anak yaitu seorang putri bernama Dewi Sanggalagit dan seorang putra bernama Raden Pujangga Anom. Sang raja ingin menyerahkan tahta kepada anak laki-lakinya, akan tetapi keinginan itu ditolak karena sang putra merasa belum mampu untuk naik tahta dan ingin memperdalam ilmu lagi sebelum naik tahta. Penolakan itu menyebabkan sang raja luar biasa marah, sehingga pada suatu malam sang putra melarikan diri sampai ke lereng gunung Lawu. Di situ dia berteman dengan saudara satu perguruan bernama Prabu Klono Sewandono yang sama-sama berguru pada seorang pertapa di gunung Lawu. Prabu Klana Sewandana adalah seorang raja dari kerajaan Bantarangin yang sakti mandraguna, memiliki senjata berupa cambuk bernama Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading. Bujangganong akhirnya diajak ke kerajaan Bantarangin dan dijadikan patih. Universitas Sumatera Utara Di kerajaan Bantarangin pada masa itu diceritakan sedang terjadi masa suram yaitu paceklik yang berkepanjangan. Menurut nasehat pendeta, kesusahan ini bisa berakhir apabila sang raja segera kawin dengan putri dari kerajaan Kediri. Maka diutuslah Pujangga Anom untuk melamar putri dari Kediri. Sesampainya di Kediri, raja Sri Gentayu terkejut mengetahui maksud Pujanga Anom untuk melamar sang putri bagi rajanya. Pada saat itu Pujangga Anom menyamar dengan memakai topeng berwajah raksasa. Raja tidak percaya, karena kalau patihnya berwajah raksasa, demikian juga dengan rajanya. Karena ketidak percayaan sang raja, maka Bujangganong terpaksa mengaku bahwa dia adalah putra raja. Raja tidak percaya dan mengutuk Bujangganong menjadi raksasa, kutukan menjadi kenyataan sehingga berubah menjadi berwajah raksasa dan tidak bisa kembali ke bentuk semula. Atas kejadian itu, sang raja menyesal dan akhirnya meneriman lamaran tersebut, akan tetapi dengan tiga syarat, yaitu calon pengantin harus diiringi harimau dan hutan lainnya untuk mengisi taman. Kedua harus dicarikan gamelan yang di dunia belum pernah ada. Ketiga, diberikan persembahan berupa manusia yang berkepala harimau. Usai mendengar permintaaan itu, Bujangganong kembali ke Wengker menyampaikan hasil yang didapat untuk diberitahukan dan dibicarakan dengan prabu Klono Sewandono. Sepeninggal Bujangganong, kerajaan Kediri didatangi oleh Singalodra dengan maksud yang sama. Raja dan putrinya tidak suka dan sebetulnya menolak, akan tetapi penolakannya disampaikan untuk tidak sampai menyinggung Singalodra, yaitu berterus terang bahwa sang putri sudah dilamar oleh raja dari Bantarangin. Oleh karena itu, apabila Singalodra dapat mengalahkan prabu Klono Sewandono dengan Universitas Sumatera Utara bala tentaranya, maka lamarannya bisa diterima. Singalodra menyetujui hal itu dan menghadang di tengah hutan Roban yang menjadi perbatasan antara Bantarangin dengan Kediri. Persyaratan yang diajukan membuat pihak Prabu Klono Sewandono keberatan, akan tetapi Bujanganong bersedia untuk melengkapi persyaratan itu. Maka berangkatlah Bujangganong ke hutan Roban yang atas kesaktiannya mampu mengumpulkan seluruh hewan dalam sekejab. Syarat kedua dibuatlah gamelan yang berasal dari bambu bernada pentatonis, sedangkan syarat ketiga akan dicarikan kemudian. Rombongan dari Bantarangin berangkat ke Kediri dan sesampai di hutan Roban dihadang oleh Singalodra. Terjadilah perang antara prajurit dari Bantarangin melawan Singalodra yang dimenangkan oleh pasukan dari Bantarangin. Singalodra masih juga mau melawan dengan menjelma menjadi harimau. Dengan dicambuk oleh senjata Pecut Samandiman atau Gendir Wuluh Gading, hilanglah segala kesaktian dan kekuatan Singalodra. Dia memohon ampun dan menyerah kalah, namun tubuhnya tidak bisa berubah menjadi manusia lagi. Prabu Klono Sewandono berusaha menyembuhkan, akan tetapi tidak berhasil dengan sempurna, sehingga hanya badannya saja yang bisa kembali menjadi manusia dan kepalanya tetap harimau. Justru dengan demikian, tiga persyaratan yang diajukan oleh Raja Kediri menjadi terpenuhi. Rombongan meneruskan perjalanan ke Kediri untuk melamar sang putri. Iring-iringan yang menjadi persyaratan putri Kediri ini akhirnya menjadi satu bentuk kesenian yang disebut Reog Ponorogo. Universitas Sumatera Utara

3.2 Reog di kabupaten Deli Serdang