Gerakan Petani di Sumatera Utara

dinyatakan atas nama pembangunan. Dalam hal ini rakyat dipaksa untuk menerima segala hal yang hendak dilakukan negara, baik dalam bentuk kepentingannya secara langsung maupun untuk kepentingan pemodal.

2.2. Gerakan Petani di Sumatera Utara

Sepanjang sejarah yang merentang dari masa kolonialisme hingga sekarang, penindasan petani di pedesaan selalu memunculkan bentuk perlawanan petani. Sebagian golongan petani mengambil jalan untuk menentang kehadiran dan bekerjanya bentuk-bentuk penguasaan baru yang menindas mereka. Jika pada masa kolonialisme penindasan petani dilakukan oleh kuasa tuan tanah dan kaum penjajah, maka pada saat ini yang mereka hadapi adalah kuasa negara dan modal. Gerakan-gerakan rakyat di pedesaan yang muncul, baik pada masa kolonial maupun pada masa sekarang adalah bentuk perlawanan yang berkelanjutan atas berbagai kekuasaan yang menindas masyarakat di pedesaan yang datang dalam kuasa dan bentuk yang berbeda-beda. Perlawanan–perlawanan yang mengacaukan dan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan tersebut pada mulanya merupakan suatu tanggapan kolektif atas terpuruknya kondisi hidup dan kemerdekaan mereka atas penggunaan dan penyalahgunaan kekuasaan para pemegang kuasa ekonomi maupun kuasa politik. Di Sumatera Utara sendiri, kondisi petani tidak lepas dari berbagai bentuk penindasan dan masih berada pada posisi yang dimarginalkan. Dalam struktur tatanan agraria masyarakat tradisional di Sumatera Utara dahulu Sumatera Timur, kepemilikan tanah menjadi otoritas penguasa tradisional. Sepanjang masa penjajahan Belanda, penguasaan tanah berada pada pengusaha perkebunan Hindia Universitas Sumatera Utara Belanda. Arus masuknya penetrasi kapitalisme dalam bentuk modal dimulai pada tahun 1863, saat Jacobus Nienhuys investor pertama dalam sejarah perkebunan di Sumatera Utara menanamkan modalnya dalam perkebunan tembakau. Sejak saat itu, perusahaan perkebunan milik pemodal Hindia Belanda tumbuh di Sumatera Utara hingga daerah ini menjadi primadona karena tanah-tanah yang subur untuk perkebunan. Perkebunan yang marak berkembang di Sumatera Utara pada waktu itu mengakibatkan tersingkirnya petani penggarap yang telah menggarap lahan secara adat. Gelombang migrasi buruh kebun dari Pulau Jawa dan China meningkat, sebagai akibat meningkatnya kebutuhan perusahaan perkebunan akan buruh kebun. Hingga pasca Perang Dunia II disaat terjadi ketidakpastian kondisi sosial politik dan krisis pangan, para buruh kebun beramai-ramai menggarap lahan perkebunan milik perusahaan Hindia Belanda yang ditelantarkan. Penggarapan lahan perkebunan oleh petani terjadi sekitar tahun 1948 hingga jatuhnya Orde Lama 23 Pasca Konfrensi Meja Bundar, penyerahan kedaulatan dari Hindia Belanda membawa perubahan besar terhadap tatanan struktur agraria di Republik Indonesia. Terciptanya negara kesatuan merupakan revolusi kedua yang ditandai dengan perubahan revolusioner terhadap situasi agraria dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Arus besar revolusi kedua tersebut membawa . Kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh ketimpangan kepemilikan lahan ditengah-tengah meningkatnya buruh kebun yang didatangkan oleh perusahaan perkebunan dan maraknya aktifitas partai politik yang mengusung semangat revolusioner. 23 Pelzer, Karl J. SENGKETA AGRARIA ; Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991. Halaman 24-26. Universitas Sumatera Utara pengaruh terhadap lahirnya berbagai organisasi gerakan petani di Sumatera Timur pada waktu itu. Pada awal tahun 1950, di Sumatera Utara dulu Sumatera Timur terdapat delapan organisasi petani, yang bersaing satu sama lain dalam usahanya untuk mendapatkan basis massa. Kebanyakan organisasi petani itu menjalin hubungan dengan partai politik bahkan ada yang didirikan oleh partai politik untuk memperoleh pengikut dikalangan petani. Sumatera Utara menjadi lahan yang sangat menarik perhatian organisasi-organisasi petani yang lahir di Jawa. Namun ada beberapa organisasi petani yang lahir di Sumatera Utara dan tidak memperluas basisnya keluar Sumatera Utara. Petani Persatuan Tani Nasional Indonesia yang bernaung dibawah Partai Nasional Indonesia PNI lahir di Sumatera Utara pada tahun 1951, dan memperoleh kedudukan sangat penting ditahun-tahun berikutnya secara nasional. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Partai Politik dan Organisasi-Organisasi Petani dan Buruh di bawahnya 24 Organisasi Petani Partai Politik PETANI Persatuan Tani Nasional Indonesia PNI Partai Nasional Indonesia PETANU Persatuan Tani Nahdhatul Ulama NU Nahdhatul Ulama STII Sarekat Tani Islam Indonesi Masyumi Majelis Syuro Muslimin Indonesia BTI Barisan Tani Indonesia RTI Rukun Tani Indonesia PKI Partai Komunis Indonesia GTI Gerakan Tani Indonesia PSI Partai Sosialis Indonesia BPRPI Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia PRN Partai Rakyat Nasional Organisasi-organisasi petani yang muncul sangat berbeda satu sama lain, terutama menyangkut aktifitas dan sikap militansi organisasi. Pada tahun 1950-an organisasi petani yang paling agresif di Sumatera Utara adalah BTI dan RTI. Sikap agresif dalam setiap organisasi petani berbeda-beda tergantung dari kepemimpinan dalam organisasinya. Militansi organisasi petani di Sumatera Utara pada waktu itu berhasil mempengaruhi jalannya dinamika politik di Sumatera Utara melalui aksi-aksi sabotase, pemogokan, politik non-koperasi, pelanggaran peraturan secara hukum sehingga mekanisme pelaksanaan hukum pada waktu itu sama sekali terhenti 25 Bahkan organisasi-organisasi yang militan seperti BTI yang memiliki klaim sebagai organisasi petani dengan basis massa terbesar, mampu mendorong aksi-aksi pendudukan lahan yang merepotkan pemerintah dan pengusaha . 24 Ibid. Pelzer, Karl J. Halaman 83. 25 Ibid. Pelzer, Karl J. Halaman 84. Universitas Sumatera Utara perkebunan di Sumatera Utara. BTI dikenal sebagai organisasi petani yang sangat radikal dibawah asuhan Partai Komunis Indonesia. Dengan basis massa yang besar dan kuat, BTI mampu memberikan kemenangan pada PKI dalam Pemilu 1955 26 Keuntungan ekonomis ini dapat dilihat dari keuntungan negara yang diperoleh dari biaya pajak dan nonpajak yang disetor oleh pengusaha swasta maupun BUMN sebagai hasil penjualan produk-produk sarana peningkatan produksi pupuk, bibit, herbisida, pestisida, mesin-mesin pertanian, dll.. Peningkatan produksi ini juga ditujukan agar sektor pertanian dapat mensubsidi . Kemenangan tersebut memperlebar jalan BTI dan PKI untuk mengesahkan UU Pokok Agraria yang menjadi tameng perjuangan dan perlindungan hak-hak kaum tani. Kebesaran organisasi petani seperti BTI ini nyaris tidak ditemukan kembali setelah penghancuran PKI seiring lahirnya Orde Baru. Pembangunan sektor pertanian dilakukan melalui program-program kapitalistik. Pada sektor tanaman pangan, negara memperkenalkan dan memaksakan konsep revolusi hijau terhadap petani. Pilihan revolusi hijau oleh Negara merupakan cermin dari kebijakan yang berorientasi pada peningkatan produksi bukan keadilan dan keuntungan bagi petani. Dengan revolusi hijau, negara memperoleh keuntungan berlipat ganda yaitu keuntungan ekonomis, keuntungan politis, dan ideologis. 26 Pada maret 1945 BTI mengklaim jumlah massanya sebesar 800 ribu orang, dan berkembang pesat menjadi 8,5 juta orang ditahun 1965. Bahkan di tahun 1965 cabang-cabang BTI dapat ditemukan praktis diseluruh kabupaten di Indonesia dan di lebih daripada 80 persen kecamatan yang ada di Indonesia. Universitas Sumatera Utara sektor industri baik industri disektor pertanianagribisnis maupun industri nonpertanian yang sedang dikembangkan 27 Untuk meredam kekuatan politik petani dan di pedesaan pada umunya, pemerintahan Suharto mengeluarkan kebijakan politik Floating Mass Massa Mengambang tahun 1971 menjelang Pemilu. Kebijakan ini ditujukan untuk memotong hubungan antara massa pedesaanpetani dengan partai-partai politik. Partai Politik tidak boleh lagi mempunyai cabang-cabang di daerah kecamatan ke bawah. Pada tahun 1973 pemerintah memfusikan partai politik yang banyak jumlahnya itu menjadi tiga wadah: Partai Persatuan Pembangunan PPP, Golongan Karya Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia PDI. Kedua partai politik ini PPP dan PDI tidak boleh memiliki organisasi massa berdasarkan sektor buruh dan petani misalnya. Tetapi Golkar menempatkan HKTI sebagai . Keuntungan politik bagi Orde Baru adalah terjaminnya stabilitas politik melalui pengendalian harga dan pemenuhan stock bagi pemenuhan kebutuhan subsistensi dari rakyat terutama rakyat miskin. Sedangkan keuntungan ideologis: negara memperoleh legitimasi sebagai negara yang memperhatikan kebutuhan rakyat banyak dalam hal kemampuan memenuhi stock pangan dalam negeri. Sophistifikasi program kapitalis ini juga dilakukan di sektor Kehutanan dan Perkebunan. Di sektor perkebunan bentuk mutakhirnya adalah PIRcontract farming. Untuk mem-back up berhasilnya program kapitalisasi pertanian di berbagai sektor ini dijalankan pula sistem politik otoritarian yang semakin canggih repressi fisik dan ideologis. 27 Produktivitas ini dipilih dalam rangka stabilitas keamanan investasi dari Orde Baru. Produktivitas dipacu agar sektor pertanian dapat mensubsidi sektor industri. Universitas Sumatera Utara underbouw-nya. Sementara HKTI dinyatakan sebagai satu-satunya organisasi petani yang resmi sebagai organisasi petani. HKTI kemudian menjadi organisasi yang dipergunakan sebagai wadah mengkontrol petani sekaligus sebagai representasi penyaluran aspirasi politik dari petani. Jalur kekuatan organisasi produksi petani juga dikooptasi oleh pemerintah. KUD untuk pelembagaan kepentingan permodalan dan penyaluran saprodi bagi petani KUD ini sendiripun harus bersaing secara tidak sehat dengan berbagai macam koperasi dan Yayasan yang didirikan oleh militer. Sedangkan berbagai kelompok tani KTNA, Kelompok Tani binaan Departemen Pertanian, P3A di kawasan irigasi, Kelompencapir untuk penyaluran pesan-pesan pembangunan diperlakukan sebagai mesin produksi dan eksperimen teknologi Revolusi Hijau. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.2 Karakteristik Organisasi Petani yang lahir dimasa Orde Baru 28 Organisasi Petani Nonpemerintah Organisasi Petani yang didirikan dan dipersiapkan sejak awal sebagai ORMAS petani. Selain berusaha menjawab kebutuhan praktis juga untuk berusaha memenuhi kepentingan strategis politik petani. Misalnya SPJB, SPSU, PITL, HPMJT, dll. Tidak mempunyai afiliasi politik terhadap partai politik manapun. Biasanya mempunyai kolektivitas yang kental tetapi mempunyai apresiasirespek yang tinggi terhadap masyarakat adat. Organisasi-organisasi Petani yang lahir dari masalah nonpertanahan, khususnya ekonomi dan budidayateknik pertanian. Berbentuk KSM, Usaha Bersama, Simpan Pinjam, dll. Biasanya lahir hasil pendampingan LSM yang berorientasi pada aktivitas Community Development. Organisasi Masyarakat Adat yang telah “dimodernisir”. Beberapa diantaranya adalah BPRPI dan Yayasan-Yayasan yang didirikan oleh Masyarakat Adat. Kebanyakan organisasi masyarakat adat ini tidak mempunyai kolektivitas kesadaran kelas yang kental, tetapi lebih pada keasadarn teritorial dan kekerabatan. Organisasi-organisasi Aksi yang lahir dari hasil advokasi pertanahan. Biasanya bersifat Ad Hoc. Sangat banyak terbentuk, namun sangat longga r mudah bubar. Pembentukan organisasi aksi ini tidak diiringi proses pengorganisasian dan kaderisasi yang baik. Organisasi-organisasi di pedesaan yang mempunyai akar tradisi. Biasanya berhubungan erat dengan kegiatan budi-daya pertanianproduksi. Misalnya Adat Bondang di Silau Lama, Asahan, Marsiadapari di Tapanuli Utara Tapanuli Selatan, dll. Berdirinya serikat tani yang menjadi underbouw dari Parpol, namun belum mempunyai anggota yang banyak STN – PRD. 28 Makalah M. Haris Putra dalam PEMBARUAN AGRARIA; Jalan Rakyat Indonesia Menuju Masyarakat Adil, Makmur dan Merdeka. Medan: FSPI, 1999. Halaman 63. Universitas Sumatera Utara Direkrutnya kalangan petani dalam struktur organisasi aktivis kelas menengah. Organisasi seperti ini dapat dikategorikan sebagai organisasi “campuran”. Biasanya keterlibatan petani di tubuh LSM lebih sebagai upaya kalangan LSM untuk ber-“demokrasi”

2.3. Sejarah Perkembangan SPI