Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

(1)

GERAKAN SOSIAL KAUM TANI

(Studi Kasus Pengorganisasian Tani di Dewan Pengurus Wilayah

Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Sosial

Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

Disusun Oleh:

DIKA YUDHISTIRA RIZQY

070902052

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT atas limpahan taufiq dan ‘inayah Nya, karena skripsi yang telah lama penulis harapkan kehadirannya ini dapat diselesaikan. Walaupun penulis menyadari bahwa masih banyak kecatatan dan kekurangan terlebih lagi untuk dikonsumsi oleh orang-orang yang rindu akan sebuah gerakan sosial. Sholawat dan Salam penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah berhasil memerankan fungsi kehambaan dan kekhalifahannya secara sempurna di alam ini. Sejatinya Nabi Muhammad SAW harus dijadikan uswat hasanah bagi manusia. Sehingga regenerasi manusia yang ada dapat mentransformasikan ajaran dan sikap seorang Nabi akhir zaman tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan orientasi awalnya adalah guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Strata satu (S-1) pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Bahan yang diambil berasal dari studi kepustakaan dan studi lapangan yang penulis lakukan. Kehadiran penelitian ini bermaksud untuk mengangkat tema “Gerakan Sosial” yang dijadikan alat untuk melihat organisasi masyarakat Tani sebagai sebuah gerakan sosial. Penelitian ini memfokuskan pada perjuangan SPI (Serikat Petani Indonesia). Adapun judul skripsi ini adalah “Gerakan Sosial Kaum Tani (Studi kasus pengorganisasian tani di DPW SPI Sumut)”.

Jujur diakui, skripsi ini banyak sekali kekurangannya, jika pembaca sekalian merasa memilikinya, berikanlah saran dan kritikan yang konstruktif agar skripsi ini lebih baik lagi. Namun apapun bentuknya, hanya inilah yang dapat penulis berikan untuk penambahan amunisi keilmuan bagi kita semua.

Penulis juga ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang bersinggungan langsung dan pernah bersentuhan pemikiran dengan penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini. karena sedikit banyaknya pengerjaan skripsi ini adalah kristalisasi dari diskusi-diskusi serta pemikiran-pemikiran


(3)

penulis selama menjalani tugas dan tanggungjawab sebagai seorang mahasiswa. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada :

1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, selaku dekan FISIP USU.

2. Bapak/ibu Pembantu Dekan FISIP USU, Pak Zakaria Taher (PD 1), Ibu Rosmiani (PD 2) dan Pak Edward (PD 3).

3. Ibu Hairani Siregar S.sos, MSP selaku Ketua departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

4. Bapak Agus suriadi S.sos, M.si selaku Dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan, masukan dan pemikiran-pemikiran untuk pemantapan skripsi ini. Thank’s a lot sir.

5. Terimakasih juga saya ucapkan kepada staff pengajar dan staff kepegawaian di kampus FISIP USU. Yang telah memberi banyak kesempatan untuk saya menimba ilmu dan meminta pertolongan-pertolongan sehingga menghantarkan saya pada akhir masa studi ini.

6. Thank’s to my parent, buat orangtuaku H.Tumino dan Hj. Yuslinar

Siregar. Terimakasih semua yang telah diberikan selama ini serta harus sabar menunggu sampai gelar S.sos itu didapatkan.

7. Buat dua my little sister ku, Tya Maghfirah R dan Nazwa Annisa R, melihat kalian berdua membuat Mas lebih termotivasi untuk menyelesaikan studi ini. Don’t stop to study n fly away into your dreams.

8. Sepupu-sepupu awak merangkap teman se-rumah awak di kota Medan. Doi, Didit n Pupa. akhirnya satu persatu dari kita beranjak dewasa, dan ini saat awak untuk menyusul apa yang udah kalian lakukan. Buat yang lain, Bou-Bou dan Tulang ku dikampung semua, sepupu q Nita,Rika,Ery,Pu2t, denny, ovi dll, terimakasih atas perhatian dan kehangatan yang udah kita buat, semoga bisa jadi hal positif untuk keluarga kita kedepan.


(4)

9. Miftah “Lady Rose” Khairuza, Thank’s udh bisa beradaptasi dengan Mas yaa. Serta support dan “bimbingan-bimbingan khusus nya” selama ini. dengan itu semua lah proses-proses yang ada ini bisa menjadi lebih indah.

10. Kawan-kawan Mokondo dan Mokondowati Kesos, Amir (Jgn asik mw pulkam aja bawaan geng, selesaikan dulu itu), Rholand (duluan aku yaa ketua), Acong (siapa lagi korban yg kau tipuin cinaa.he), Ridho (Kapan serius nya do. Fokus dulu), Ferdy (apalagi yg dtggu cuy, sembari2 selesai nya itu), Ojan (jgn byk “haaa?!” nya, responsive dikit), Baim (marcepat-cepat pulak selesai lae ya). Boy (apa yg bs kami bantu?!), Endika (Si perfectsionis man) Rizal Bolang, Billy, Sunario, Ody, Asep, Manuk, Timo, Petrus dll (Mantap laah utk kalian semua GBU). Aing, Wirda, Malida, Vi2n, Titik, Ayu dll (kalo udah sama kalian, kek sama bou2 ku, bising, he..).

11. Kawan-kawan seperjuangan Batu Kristal, sungguh banyak yang kita hadapi dan nikmati selama masa-masa asik itu. Terima kasih banyak telah menjadi kawan berjuang. Sebagai kesimpulan akhir semoga kita bisa mengerti dan merasakan apa yg disebut dgn konsolidasi, friends.

12. Keluarga Besar HMI Komisariat FISIP USU. Tidak cukup kata terimakasih yang dihantarkan kepada kakanda dan adinda semua yang ada disana. Pastinya, setiap jejak rekam proses yang dilewati disana menjadi amunisi yang berguna untuk struggle kedepannya. Semoga Allah SWT memberi yang terbaik untuk kita semua dan rumah ini. YAKUSA!!

13. Kepengurusan PEMA FISIP USU Periode 2010-2011. Siapapun itu, yang telah bersentuhan pemikiran dengan saya. Terimakasih banyak.

14. Kepengurusan IMIKS FISIP USU Periode 2009-2010. Terus bergerak kawan untuk sesuatu yang lebih baik lagi untuk kita semua, kalau ada yang salah dengan kerendahan diri saya meminta maaf.

15. Keluarga besar DPW SPI Sumatera Utara. Bang Henry, Bang Wagimin, Bang Edy, Bang Dhani, Bang Syahmana, Bang Tumpak, Bang Chandra,


(5)

Bang foo, Bang Dika, Kak Andre, Kak dewi, Kak Ri2 dll serta keluarga besar SINTESA bang Pian, Ca’ kardi, Kak Lisda, Kak Novi dll serta juga seluruh petani anggota DPW SPI Sumut yang tidak bisa disebut satu persatu. Terimakasih atas kesempatan belajar yang diberikan disana sehingga saya mengerti apa artinya perjuangan itu.

16. Semua pihak yang pernah bersentuhan pemikiran dengan penulis. Sedikit banyaknya skripsi ini adalah kristalisasi pemikiran yang selama ini ada. Terimakasih semuanya.

Akhirul kallam, setiap fase yang terlewati merupakan pijakan untuk berbuat sesuatu yang lebih baik lagi kedepan, skripsi ini pun tidak ada apa-apanya tanpa dilanjutkan dengan hal-hal kongkrit untuk sebuah kebenaran. Oleh karena itu, ucapan terimakasih mesti penulis ucapkan kepada semua support, bantuan dan motivasi dari orang-orang yang pernah berinteraksi dengan penulis. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua dan khusus bagi pergerakan petani di SPI sebagai amunisi keilmuan. Suarakan terus kebenaran dan keadilan itu, karena kita selalu di janjikan kedamaian tanpa keadilan yang nyata.

Medan, 21 September 2011


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

ABSTRAK

Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 105 Halaman, 2 tabel, 3 bagan, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 15 sumber lain yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan lembaran Negara.)

Salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia adalah pertanian. Adapun masalah yang mengakar di sektor pertanian adalah ketimpangan terhadap pola penguasaan lahan/tanah dalam struktur sosial. Konflik yang ada pun tidak terlepas dari pandangan ekonomi nasional yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana pola pengorganisasian tani dan implementasi perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengorganisasian dan implementasi perjuangan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara serta di areal yang secara struktur menjadi tanggungjawabnya dengan jumlah informan sebanyak 12 orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan melakukan proses triangulasi.

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa pola pengorganisasian dan perjuangan yang dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara adalah gerakan yang organik. Artinya gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi (pendidikan dan konsolidasi) bagi petani.


(7)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

ABSTRACT

Social movement peasant in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera.

(This thesis is composed of 6 chapters, 105 pages, 2 tables, 3 charts, appendix and 15 literature and other sources from the internet, scientific labour, journalist and sheet of state)

One of the public sector dominate by the people of Indonesia is a farming. The main problem in farming sector is the injustice rule to own land model in social structure. The conflict come out because of national economic persfective related to the result of the power capital global construction. The feed back is going to the land and become comuditty and create the land market. So the investor are more interested to put their investment in land sector. Because it is big profit for them. Inspite of the peasant don’t stop in one line. They always move to the dynamica of life. They always be related to social change. Where there one way is doing to peasant movement.

The that is going to be picked up problem. “Here is about the model in organizing peasant and implementation struggle that be created by sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera”. This research has aim for knowing “how is the model in organizing peasant and implementation struggle by sub organizing of Indonesian peasant of North Sumatera”. This method research use explorative method research in qualitative approach. The research was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera and also in area that the structurebecome their responsibility with size of informant about 12 man. Method in collecting data by interview guide and observation of the field. The data that was got by researcher is being narrated by qualitative method with the triangulasi process.

Based on the data that has been analayzed the researcher take conclusion that organizing model and struggle that was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera is organic movement. The point is movement that built based on conclusion collective. Organization struggle that was created to built spirit peasant based on condition that they face by giving training (education and consolidate) for peasant.


(8)

DAFTAR ISI

Kata pengantar ... i

Abstraksi ... v

Daftar isi ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 15

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 16

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 16

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 16

1.4 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gerakan Sosial ... 19

2.1.1 Pengertian Gerakan Sosial... 19

2.1.2 Pendekatan Melalui Teori Marxist ... 23

2.1.3 Pendekatan Interaksionisme Simbolik... 27

2.2 Kesejahteraan Sosial ... 28

2.2.1 Pengembangan Masyarakat dalam Ilmu kesejahteraan sosial... 32

2.3 Kerangka Pemikiran ... 32

2.4 Defenisi Konsep ... 35

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 36


(9)

3.3 Unit Analisis dan Informan... 37

3.3.1 Unit Analisis ... 37

3.3.2 Informan ... 38

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.5 Teknik Analisa Data ... 40

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Organisasi ... 42

4.2 Tujuan Organisasi ... 45

4.3 Program Organisasi ... 47

4.4 Platform Organisasi ... 49

4.5 Struktur Organisasi ... 51

4.6 Jumlah Satuan Organisasi ... 63

4.7 Keanggotaan Organisasi ... 70

4.7.1 Syarat Keanggotaan ... 70

4.7.2 Jenis dan Jenjang Keanggotaan ... 71

BAB V ANALISA DATA 5.1 Semangat Lahirnya Gerakan Serikat Petani Indonesia ... 73

5.2 Pendidikan Kader dan Konsolidasi Dalam Organisasi ... 80

5.2.1 Pendidikan Kader ... 80

5.2.2 Konsolidasi ... 84

5.3 Perjuangan Pembaharuan Agraria dan Pedesaan ... 86

5.4 Gerakan Pertanian ... 91 5.4.1 Pertanian Berkelanjutan Berbasis


(10)

Keluarga Petani ... 91

5.4.2 Kedaulatan Pangan ... 93

5.4.3 Hak Asasi Petani ... 95

5.4.4 Perlawanan Terhadap Neoliberalisme ... 97

5.5 Pembentukan Perjuangan Organisasi ... 98

5.5.1 Penyadaran Kelas Petani ... 98

5.5.2 Tekanan Politik ... 100

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ... 103

6.2 Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

ABSTRAK

Gerakan Sosial Kaum Tani di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

(Skripsi ini terdiri dari 6 BAB, 105 Halaman, 2 tabel, 3 bagan, lampiran, serta 15 kepustakaan dan 15 sumber lain yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan lembaran Negara.)

Salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia adalah pertanian. Adapun masalah yang mengakar di sektor pertanian adalah ketimpangan terhadap pola penguasaan lahan/tanah dalam struktur sosial. Konflik yang ada pun tidak terlepas dari pandangan ekonomi nasional yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana pola pengorganisasian tani dan implementasi perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pengorganisasian dan implementasi perjuangan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara serta di areal yang secara struktur menjadi tanggungjawabnya dengan jumlah informan sebanyak 12 orang. Teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara kualitatif dengan melakukan proses triangulasi.

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa pola pengorganisasian dan perjuangan yang dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara adalah gerakan yang organik. Artinya gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi (pendidikan dan konsolidasi) bagi petani.


(12)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE

ABSTRACT

Social movement peasant in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera.

(This thesis is composed of 6 chapters, 105 pages, 2 tables, 3 charts, appendix and 15 literature and other sources from the internet, scientific labour, journalist and sheet of state)

One of the public sector dominate by the people of Indonesia is a farming. The main problem in farming sector is the injustice rule to own land model in social structure. The conflict come out because of national economic persfective related to the result of the power capital global construction. The feed back is going to the land and become comuditty and create the land market. So the investor are more interested to put their investment in land sector. Because it is big profit for them. Inspite of the peasant don’t stop in one line. They always move to the dynamica of life. They always be related to social change. Where there one way is doing to peasant movement.

The that is going to be picked up problem. “Here is about the model in organizing peasant and implementation struggle that be created by sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera”. This research has aim for knowing “how is the model in organizing peasant and implementation struggle by sub organizing of Indonesian peasant of North Sumatera”. This method research use explorative method research in qualitative approach. The research was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera and also in area that the structurebecome their responsibility with size of informant about 12 man. Method in collecting data by interview guide and observation of the field. The data that was got by researcher is being narrated by qualitative method with the triangulasi process.

Based on the data that has been analayzed the researcher take conclusion that organizing model and struggle that was made in sub organization of Indonesian peasant of North Sumatera is organic movement. The point is movement that built based on conclusion collective. Organization struggle that was created to built spirit peasant based on condition that they face by giving training (education and consolidate) for peasant.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Runtutan penjajahan dari satu masa kemasa lainnya telah membawa Indonesia kedalam struktur ekonomi kolonialistik. Sistem ekonomi yang berwatak penjajahan ini hanya difungsikan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang dengan merampas kedaulatan rakyat. Sementara itu, kesalahan masa lalu tidak pernah menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia. Pembangunan secara umum masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, yakni berorientasi pada pertumbuhan tanpa memperdulikan proses distribusi kesejahteraan yang semakin timpang. Akibatnya terjadi pemusatan kapital yang hanya didominasi oleh kekuatan korporat dan konglomerasi. Padahal secara prinsipil, kita mengenal trilogi pembangunan yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas nasional yang dinamis dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Hal ini menjadi ciri struktur ekonomi bangsa. Sementara itu, sebagian besar rakyat hanya menjadi kuli di negerinya sendiri.

Paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan telah membawa kondisi sosial dan ekonomi Indonesia menjadi terpuruk. Saat ini arah pembangunan masih diarahkan semata-mata pada pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ekspor. Ujung-ujungnya, kondisi sosial ekonomi menjadi keropos dan negara tidak mampu memenuhi hak sebagian besar rakyatnya untuk hidup layak dan bermartabat.


(14)

Hal di atas juga menimpa salah satu sektor publik yang paling di dominasi oleh masyarakat Indonesia yaitu pertanian. Sektor pertanian merupakan jantung kehidupan pedesaan. Selain berfungsi sebagai penjamin kedaulatan pangan bangsa, sektor ini juga telah menjadi tulang punggung kekuatan ekonomi nasional. Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Sekitar 46 persen rakyat Indonesia terserap di sektor ini, dan dari sembilan sektor yang ada, sektor pertanian adalah sektor penyumbang upah terbesar dari kontribusinya terhadap PDB yaitu sebesar 47.8 persen. Sementara itu sektor lainnya seperti pertambangan, listrik, gas dan air, serta sektor keuangan dan jasa hanya menyumbangkan pengembalian berupa upah/pendapatan masing-masing sebesar 5,6 persen, 21,67 persen dan 7,55 persen dari GDP yang disumbangkan. Namun sayang, peran pertanian yang sangat vital ini tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk memprioritaskan penguatan dan pembangunan sektor pertanian dan pedesaan. (BPS,2009)

Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, pemerintah mengimplementasikannya melalui revolusi hijau yang berideologi developmentalisme-modernisme. Ideologi inilah yang akhirnya membawa dampak buruk terhadap struktur ekonomi, sosial budaya, demografi, dan struktur


(15)

penguasaan sumber agraria. Dalam struktur ekonomi revolusi hijau telah membawa ketimpangan dalam kecepatan pertumbuhan ekonomi yang akhirnya menimbulkan polarisasi asset. Hal ini berimbas pada struktur sosial yang menyebabkan adanya ketimpangan pendapatan dan penguasaan lahan antar kelompok yang semakin menajam dan semakin meningkatkan potensi konflik serta melumpuhkan etika kehidupan sosial di desa.

Konflik yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat tani adalah konflik agraria. Salah satu penyebab konflik agraria adalah ketidakadilan dalam struktur penguasaan dan pemilikan terhadap sumber-sumber agraria. Penguasaan atas perkebunan, kehutanan, pertambangan saat ini hanya didominasi segelintir individu dan perusahaan-perusahaan besar nasional dan asing seperti London Sumatera, Exxon, New mont, Freeport, Caltex dan lainnya yang luasnya hingga mencapai jutaan hektar. Situasi tersebut telah mendorong timbulnya ribuan konflik-konflik yang bersandar kepada perebutan penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan kepemilikan atas sumber-sumber agraria, baik yang sifatnya vertikal, horizontal maupun gabungan antara keduanya. Umumnya konflik yang terjadi selalu mengakibatkan petani, masyarakat adat ataupun yang termarjinalkan lainnya. (Ya’kub, 2007:vii).

Jelas memang hal yang paling mendasari timbulnya perlawanan kaum tani adalah ketimpangan yang terjadi akibat pola penguasaan lahan dalam struktur sosial. Pola penguasaan tanah di desa tempat petani melakukan usaha pertaniannya menyangkut masalah sebegitu rumitnya untuk dikuasai karena meliputi aspek yang sangat erat dengan nilai ekonomi, politik, hukum maupun sosialnya. Pada akhirnya dari beberapa pandangan tersebut menempatkan posisi


(16)

tanah menjadi rentan terhadap manipulasi pandangan yang bersifat ekonomis dan memposisikan tanah menjadi faktor produksi mutlak. Sehingga akibat dari paradigma berikut makin lama tanah menjadi barang yang langka dan mendorong perbandingan antara tanah dengan jumlah manusia terjadi ketimpangan yang begitu lebar.

Hal ini dikarenakan oleh fungsi tanah yang mewadahi semua kegiatan manusia. Dimana pada zaman romawi kuno, konsep-konsep tentang lingkungan sumber daya alam dan pertambangan belum dikenal akibat terpusatnya kegiatan manusia pada kegiatan berburu dan bercocok tanam. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah, agraria tidak hanya dapat diartikan sederhana sekadar “tanah” atau “pertanian” saja. Kata-kata pedusunan, bukit dan wilayah atau teritori jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena didalamnya termaktub segala sesuatu yang terwadahi olehnya. (Yakub,2007:2)

Dalam setiap sumber agraria terlihat hubungan-hubungan agraria yang sangat kompleks. Hubungan agraria bukan hanya berupa hubungan antara manusia dengan objek-objek agraria khususnya tanah melainkan juga menyangkut hubungan subjek-subjek agraria secara sosial dan ekonomi bahkan politis. Situasi tersebut membentuk suatu struktur penguasaan, kepemilikan dan kepengelolaan dari sumber-sumber agraria. Jika setiap hubungan berjalan harmonis maka konflik relatif tidak muncul, sebaliknya jika terjadi ketimpangan maka konflik akan datang. Konflik agraria terjadi apabila terdapat benturan kepentingan intra dan antar subjek agraria ataupun tumpang tindih klaim atas akses terhadap objek agraria. Pada dasarnya, gejala konflik dalam hubungan agraria itu selalu ada baik


(17)

itu bersifat laten maupun manifest. Gejala konflik berakar dari tiga hal yaitu sebagai berikut :

1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang menyertainya.

2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam itu.

3. Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfataan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam tersebut. (Yakub,2007 : 3)

Secara umum konflik agraria diawali dengan persengketaan atas sumber agraria, yang pada perkembangannya menjelma menjadi konflik yang kompleks. Intensitas konflik makin tinggi seiring dengan kebijakan-kebijakan di bidang agraria dikawal oleh suatu kekuatan besar berupa alat pemerintah maupun terlibatnya alat Negara seperti kepolisian dan militer. Sehingga yang terjadi adalah praktek dalam bentuk pemaksaan kehendak.

Berbicara tentang penguasaan atas tanah tidak terlepas dengan penguatan legalitas kebijakan hukum di dalamnya. Jika kita lebih melihat secara sejarah kebijakan tanah yang ada ketika inggris menjajah Indonesia (1811-1816), legalitas agraria diatur melalui Domain Theory Raffles , yaitu kebijakan agraria didasarkan atas dan bertujuan untuk menarik pajak bumi dengan dalil bahwa tanah adalah milik Raja/Negara/Pemerintah. Setelah Van den bosch memegang kendali pemerintahan, selain dikeluarkan sistem tanam paksa, para petani juga diwajibkan


(18)

ikut membangun proyek-proyek besar (waduk, jalan raya, kereta api) dan bekerja diperkebunan. Kebijakan ini kemudian diganti oleh Agrarische Wet yang menetapkan asas domain veklaring, suatu prinsip yang mengatakan semua tanah tidak ada bukti kepemilikannya atau tanah terlantar adalah domain Negara.

Setelah itu dikeluarkanlah Undang-Undang Agraria 1870 yang mengakomodasikan swasta Belanda berbisnis di Indonesia. Kenyataannya, perilaku berbisnis swasta Belanda yang eksploitatif terhadap petani dan lebih dari itu selalu berusaha memperoleh kepastian menjangkau penyediaan tanah dalam waktu yang panjang.

Mengingat struktur kepemilikan dan penguasaan tanah masih timpang, maka setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno membuat kebijakan untuk penataan agraria, suatu kebijakan yang sangat populis dan nasionalis. Asumsinya, penataan kepemilikan dan penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dilakukan industrialisasi (Suhendar dan Kasim,1995 : 15)

Para pendiri bangsa telah merumuskan suatu kebijakan hukum yang populis dan mampu menjamin tanggung jawab nilai kerakyatan pertanian pemerintah. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) menjadi sinyal tersendiri bagi keadilan atas penguasaan tanah tersebut, karena UU ini dianggap representatif untuk menyelesaikan konflik agraria yang ada. Karena UUPA dijalankan dengan orientasi penyediaan tanah untuk penggarap. Akan tetapi dalam proses implementasi dari undang-undang tersebut mengalami banyak kesulitan tentang frame berpikir penguasa di negeri ini.


(19)

UUPA tahun 1960 menegaskan batasan agraria sebagai "bumi, air dan angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya". Artinya pengertian agraria jauh lebih luas dari pengertian tanah seperti yang di anut di mata masyarakat umum. Ruang lingkup agraria mencakup pertanahan (UUPA 1960 menyebutnya sebagai "permukaan bumi"), termasuk tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air (sehingga mencakup pertambangan); Air, termasuk air pedalaman maupun laut di wilayah indonesia (termasuk kekayaan laut itu sendiri); dan ruang angkasa, yaitu ruang atas bumi dan air tersebut. Prinsip Negara sebagai penguasa tertinggi dilandasi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menempatkan negara sebagai pemilik agraria, melainkan penguasa agraria. Penjabaran Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 ini tertuang dalam Pasal 1 ayat 2 UUPA yang menyatakan " ... bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara ...".

Pengkhianatan terhadap UUPA dimulai ketika berkuasanya rezim orde baru. Relasi kekuasaan antara petani yang diklasifikasikan sebagai rakyat dengan kekuasaan Negara terbentuk saling berkonfrontasi. Hal ini disebabkan karena cerminan pemerintahan orde baru sangat jauh dari harapan mengenai penjaminan kesejahteraan petani. Kondisi tersebut sangat jelas terlihat dengan banyaknya kebijakan dan perundangan yang banyak mengadopsi pengaruh modal daripada mewujudkan nilai-nilai dan semangat kerakyatan.

Kebijakan tersebut dapat dilihat dengan banyak dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk eksploitasi sumber-sumber agraria dengan menyandarkan aktivitasnya kepada lembaga-lembaga pembangunan


(20)

multilateral dan perusahaan-perusahaan internasional. Bahkan didapati peraturan perundang-undangan berkenaan dengan alokasi sumber-sumber agraria tersebut justru tidak berorientasi dari UUPA dan menjadikan pengaturan masalah ini kepada masalah sektoral. Di tambah lagi dengan timbulnya UU yang secara asas bertentangan dengan UUPA tersebut, seperti Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang No. 7 tahun 2004 sumber daya air, Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang pertambangan dan Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal. Yang kesemua produk undang-undang tersebut sangat jelas menjurus pada sebuah akumulasi modal dan memberikan jalan untuk pemodal untuk menanamkan asetnya di pedesaan. Akibatnya, dengan adanya Undang-undang yang ada setelah itu dengan secara tidak langsung me”mandul”kan UUPA yang telah ada.

Nasib petani di pedesaan semakin terpuruk ketika pemerintah memilih paradigma pembangunan yang mengacu kepada hasil konstruksi kekuatan capital global. Yang kenyataannya sangat problematika kepada petani dengan ditopang investasi modal asing secara besar-besaran melalui industrialisasi yang untuk keperluan operasionalnya memerlukan tanah. Akibatnya tanah menjadi komoditas dan memunculkan pasar tanah, sehingga investor lebih tertarik menanamkan modalnya dalam bentuk tanah karena akan sangat menguntungkan. Proses ini tanpa disadari telah mengintegrasikan petani dengan tanahnya kedalam sistem kapitalisme melalui ekspansi pasar dengan fasilitas intervensi kebijakan Negara.

Selain munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial yang sebenarnya terdapat pula tanah rakyat didalamnya, juga terjadi konversi hak erfpacht yang


(21)

diperebutkan dengan rakyat menjadi HGU untuk diberikan pada perusahaan perkebunan swasta maupun pemerintah dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan. Meskipun kebijakan agraria dalam UUPA terdapat peraturan yang memfasilitasi perlunya peninjuan kembali tentang terhadap penguasaan tanah untuk rakyat, namun makna Land reform yang populistik yang menjiwai UUPA tak pernah dijalankan. Situasinya semakin problematik dimana intervensi kekuatan dan kekuasaan bukan saja dilakukan oleh Negara, melainkan juga kekuatan pasar.

Kecenderungan tersebut telah menegaskan bahwa yang dihadapi petani tidak saja Negara, tetapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang pengaruhnya semakin kuat. Pada zaman orde baru yang sebegitu kuat, Negara dengan aparatnya yang tersebar di pelosok pedesaaan telah menjadi agen pembangunan secara efektif dan efisien. Sementara dalam konteks kekinian, kekuatan pasar justru semakin merajalela dan sulit dikontrol, termasuk oleh Negara sekalipun. Pasar mampu dan dengan leluasa membentuk dan menawarkan sesuatu yang menguntungkan bagi siapa saja baik individual, kelompok, organisasi sosial keagamaan dan bahkan pemerintahan lokal untuk bisa menjadi agen kepentingannya.

Berbagai kebijakan Negara dan pengaruh ekonomi global sebagaimana dikemukakan diatas secara langsung atau tidak telah menyebabkan petani semakin banyak kehilangan tanahnya. Paling tidak ada 25% petani memiliki 74,8% lahan dengan luas 1-5 ha. 75 % sisanya hanya menguasai 25,8% lahan dengan luas 0,1-0,99 ha (KPA, 2002). Dari data yang ada tersebut selain mengindikasikan bagaimana petani di pedesaan harus berjuang menyambung hidup pada lahan


(22)

pertanian yang semakin terbatas, juga memperlihatkan bagaimana para petani mempertaruhkan eksistensinya sebagai petani. Faktor kesenjangan penguasaan dan kepemilikan tanah dan terancamnya eksistensi diri para petani pada gilirannya menjadi penyebab utama terjadinya konflik pertanahan di pedesaan yang sejak belakangan ini kian marak.

Arah dari serangkaian kebijakan neoliberalisme ini pada garis besarnya adalah mencabut kedaulatan petani pada sumber-sumber agraria, tidak hanya tanah tetapi benih, pupuk, teknologi, kredit, termasuk juga pasar.

Kehidupan petani yang sebelumnya dihantui ketidakjelasan, dengan demikian semakin parah dengan rasa ketidakmenentuan. Kehidupan petani semakin hari bukannya semakin membaik, melainkan justru semakin tertekan dan terperosok ke dalam arus kemiskinan struktural. Semuanya itu mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada saat yang sama, rakyat petani selain tidak dapat memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya melalui institusi-institusi, juga tidak cukup mempunyai kemampuan mengekspresikan emosi secara wajar sehingga persoalan-persoalan yang muncul kemudian diarahkan menjadi kekerasan massa yang kerapkali brutal, destruktif dan radikal terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol-simbol kekuasaan (Negara dan pasar).

Masyarakat petani merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih luas. Tata kehidupannya merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih makro, seperti sistem sosial kemasyarakatan, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi


(23)

masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Oleh karena itu, petani juga tidak berhenti pada satu titik saja, petani akan mengalami dinamika kehidupan. Mereka senantiasa terkait dengan perubahan sosial, dimana salah satu caranya adalah melakukan gerakan petani. Gerakan ini bukan sebagai suatu reaksi tetapi juga sebaga wahana untuk mencapai tujuan-tujuan perubahan.

Gerakan petani merupakan salah satu jenis dari gerakan sosial, artinya gerakan petani itu adalah gerakan sosial yang dilakukan oleh petani. Gerakan petani merupakan gerakan reformatif, karena ia menghendaki perubahan terhadap sebagian sistem yang melingkupi kehidupannya. Gerakan petani dapat masuk dalam gerakan fase kedua, yakni fase dimana gerakan sosial sering disebut sebagai proses politik, tindakan rasional, model mobilisasi sumber tentang tindakan kolektif serta tentang gerakan itu sendiri. (wahyudi, 2005 : 6). Dikalangan petani berkembang anggapan, bahwa tidak banyak pihak yang bersedia membantu secara penuh untuk membantu mengentas meeka dari posisi keterpurukan. Dalam perspektif marxis, Bahwasanya hanya suatu pihak yang dapat mengambil inisiatif revolusioner untuk melakukan reformasi agraria yaitu petani itu sendiri (Mustain,2007:15).

Proses perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani tersebut tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas organisasi yang banyak muncul untuk memperjuangkan kaum tani. Karena dalam berprilaku secara organisasilah petani dapat di stimulus


(24)

kesadaran akan ketertindasan mereka. Pada bulan November 1945, diselenggarakan kongres petani yang pertama dan dalam kongres tersebut lahirlah Barisan Tani Indonesia (BTI). Kemudian disusul kelahiran Rukun Tani Indonesia (RTI) dan Sarekat Kaum Tani Indonesia (Sakti). Pada tahun 1947 berdiri Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang disponsori oleh Masyumi. Menyusul PETANI yang banyak dinilai dekat dan PNI dan PETANU yang dekat dengan NU. Organisasi-organisasi tani tersebut, khususnya BTI kemudian berkembang dengan pesat, bahkan pada akhir tahun1955, anggota BTI telah mencapai angka 3 juta lebih dan tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Gerakan petani paska berdirinya organisasi tani modern tersebut tidak dapat dilepaskan dari gerakan massa rakyat dalam revolusi Indonesia. Program perjuangan dari organisasi tani khususnya BTI, RTI dan Sakti yang dikemudian hari meleburkan diri menjadi BTI digariskan dengan tegas yakni anti imperialisme dan juga anti feodalisme dengan memperjuangkan terlaksananya land reform. Organisasi tani inilah yang secara aktif menuntut nasionalisasi perusahaan asing dan pelaksanaan secara konsisten UUPA 1960.

Pasca 1966, orde baru mempraktekkan kebijakan yang sangat mengekang kebebasan berorganisasi bagi kaum tani. Satu-satunya organisasi yang 'direstui' oleh orde baru adalah HKTI, dan apabila kaum tani menolak masuk HKTI atau mendirikan organisasi sendiri maka akan dicap sebagai pembangkangan terhadap pemerintah. Demikian juga aturan tentang partai politik yang tidak diperbolehkan membentuk ranting sampai tingkat desa, merupakan upaya dan strategi orde baru untuk memberangus kesadaran politik kaum tani. Dan ini terbukti berhasil, di mana selama 32 tahun, kaum tani di Indonesia dibuat buta tentang politik dan


(25)

menganggap hal yang tabu untuk berbicara atau berurusan dengan politik. Protes dan ketidakpuasan petani juga banyak dihadapi dengan kekerasan oleh orde baru, sehingga menimbulkan ketakutan yang mendalam di kalangan kaum tani. Dapat dikatakan, selama Soeharto berkuasa, gerakan tani mengalami kemunduran yang luar biasa.

Pasca Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar. Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di tingkat desa, kabupaten, provinsi bahkan nasional banyak bermunculan. Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara,

Khusus di Sumatera Utara, semangat perjuangan tani merupakan upaya untuk pemecahan masalah sosial yang mengakibatkan kondisi petani hanya menjadi kuli dirumah sendiri. Ketimpangan model penguasaan agraria terjadi akibat mengencangnya intervensi modal dan penjajahan fisik zaman kolonial Pada tahun 1950, banyak bermunculan organisasi tani yang secara tidak langsung saling bersaing dalam menguasai basis massa. Sehingga menjadi perhatian dari organisasi yang berskala nasional. Organisasi PETANI (Persatuan Tani Nasional Indonesia) yang bernaung dibawah payung Partai Nasional Indonesia (PNI),


(26)

Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai underbouw PKI muncul sebagai organisasi yang kuat dan mendapat pengaruh yang luas ditingkatan nasional dan berdiri tahun 1951 di Sumatera utara.

Era kekinian pasca reformasi, semangat perjuangan tani di Sumatera Utara belum berubah secara substansi. Gejolak perlawanan yang dilakukan oleh kaum petani menjadi alternatif sikap petani untuk mendapatkan keadilan. Karena jika melewati prosedural resmi tersebut tidak mungkin dapat memperoleh persetujuan, maka mereka menempuh dengan cara kekerasan, sehingga gerakan ini disebut dengan aksi sepihak.

Kondisi di atas persis dengan metode perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia Wilayah Sumatera Utara yang berorientasi pada reforma agraria (pembaharuan agraria), reforma agraria sendiri adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. (Yakub,2007 : 10)

Adapun semangat perjuangan Serikat petani wilayah Sumatera utara tersebut menuju pada upaya pelaksanaan pembaharuan agraria dimulai dari dilaksanakannya program land reform, yaitu suatu upaya yang mencakup pemecahan dan penggabungan satuan-satuan usaha tani, dan perubahan skala pemilikan. Kemudian dilanjutkan dengan peningkatan kemampuan petani dengan berbagai program-program pendidikan, upaya penyediaan kredit, pemilikan


(27)

teknologi pertanian, sistem perdagangan yang adil, dan mendorong tumbuhnya organisasi-organisasi massa petani dan koperasi petani, serta infrastruktur lainnya. Secara umum, tujuan gerakan SPI ini adalah untuk tujuan ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya

Dari peninjauan sebelumnya, tercatat ada 13 kabupaten/kota yang telah menyebar organisasi ini. Secara struktural Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia di Sumatera Utara sebagai pimpinan tertinggi di wilayah Sumatera Utara menanggung jawabi kesemua itu sampai ketingkatan desa.

Maka atas dasar orientasi perjuangan yang dilakukan oleh Serikat Petani Indonesia wilayah Sumatera utara yang fokus terhadap permasalahan petani yang semakin jauh dari rasa keadilan, dengan hal itulah penulis ingin melakukan penelitian untuk melihat bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara secara kongkrit.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan penjabaran yang telah disebutkan dalam latar belakang, maka penulis dapat merumuskan masalah yang nantinya akan diteliti. Agar studi terhadap masalah tersebut bisa fokus dan tidak keluar jalur, dalam pembahasan Skripsi ini penulis mengajukan rumusan permasalahan pokok sebagai berikut :

1. Bagaimana pola pengorganisasian tani yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara?


(28)

2. Bagaimana wujud implementasi dan bentuk perjuangan yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara?

1.3 Tujuan dan manfaat penelitian

1.3.1 Tujuan penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk dapat mendeskripsikan dan mengetahui pola pengorganisasian tani yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui wujud implementasi dan bentuk perjuangan tani yang dilakukan oleh Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara.

1.3.2 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan yang positif terhadap kajian dan bacaan di lingkungan mahasiswa Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial yang berminat mengenai studi tentang gerakan sosial.

2. Secara teoritis, dapat mempertajam kemampuan penulis dlam penulisan karya ilmiah, menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan berpikir


(29)

terhadap fenomena dan gejala sosial secara kritis. Sehingga dapat di follow up kan dalam dunia nyata bagi penulis.

3. Secara praktis, diharapkan mampu memberi masukan dan kontribusi yang signifikan terhadap perluasan agenda perjuangan dan gerakan tani di Sumatera Utara khususnya bagi Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang uraian dan teori-teori yang berkaitan tentang masalah dan objek yang akan diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.


(30)

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang profil organisasi Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatera Utara. Selanjutnya juga pada bab ini juga menjelaskan sejarah singkat, visi, misi, platform organisasi, struktur organisasi dan jumlah satuan organisasi yang tersebar didaerah yang meliputi ranah kerja organisasi serta keanggotan organisasi.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian baik melalui data kepustakaan maupun dengan melakukan studi lapangan sehingga menjawab permasalahan yang diangkat

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas penelitian yang dilakukan. Bab ini juga akan memberikan kritik dan saran dalam rangka proses membangun kearah yang lebih baik lagi untuk semua objek yang terkait dalam penelitian ini.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gerakan sosial

2.1.1 Pengertian gerakan sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gerakan sosial adalah tindakan atau agitasi terencana yang dilakukan sekelompok masyarakat yang disertai program terencana dan ditujukan pada suatu perubahan atau sebagai gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga masyarakat yang ada.

Dalam sosiologi, gerakan tersebut di atas diklarifikasikan sebagai suatu bentuk perilaku kolektif tertentu yang diberi nama gerakan sosial. Sejumlah ahli sosiologi menekankan pada segi kolektif dan gerakan sosial ini, sedangkan diantara mereka ada pula yang menambahkan segi kesengajaan, organisasi dan kesinambungan. Sebagai sebuah aksi kolektif, umur gerakan sosial tentu sama tuanya dengan perkembangan peradaban manusia. Perubahan suatu peradaban ke peradaban lain tidaklah selalu melalui jalan “damai” bahkan sejarah membuktikan perubahan peradaban masyarakat kerap terjadi melalui gerakan-gerakan kolektif atau yang lebih dikenal dengan istilah gerakan sosial sekarang ini (Situmorang, 2007).

Gerakan sosial lahir dari situasi dalam masyarakat karena adanya ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang terhadap masyarakat. Dengan kata lain, gerakan sosial lahir dari raksi terhadap sesuatu yang tidak diinginkan rakyat atau menginginkan perubahan kebijakan karena dinilai tidak adil. Gerakan secara


(32)

merupakan gerakan yang lahir dari prakarsa masyarakat dalam menuntut perubahan dalam institusi,kebijakan atau struktur pemerintahan. Disini terlihat tuntutan perubahan itu lahir karena melihat kebijakan yang ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada maupun bertentangan dengan kepentingan masyarakat scara umum.

Gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Jadi ada sekelompok besar rakyat yang terlibat secara sadar untuk menuntaskan sebuah proses perubahan sosial. Selanjutnya gerakan sosial ini gelombang pergerakan dari individu-individu, kelompok yang mempunyai tujuan yang sama yaitu suatu perubahan sosial

Indikasi awal untuk menangkap gejala sosial tersebut adalah dengan mengenali terjadinya perubahan-perubahan pada semua elemen arena publik dan ditandai oleh kualitas “aliran” atau “gelombang”. Dalam prakteknya suatu gerakan sosial dapat diketahui terutama lewat banyak organisasi baru yang terbentuk, dan bertambahnya anggota dalam suatu organisasi gerakan.

Selain itu menurut Lofland dua aspek empiris gelombang yang perlu diperhatikan adalah Pertama aliran tersebut cenderung berumur pendek antara lima sampai delapan tahun. Jika telah melewati umur itu gerakan akan melemah dan meskipun masih ada akan tetapi gerakan telah mengalami proses ‘cooled down’. Kedua, banyak organisasi gerakan atau protes yang berubah menjadi gerakan sosial atau setidaknya bagian dari gerakan-gerakan tersebut diatas. Organisasi-organisasi ini cenderung selalu berupaya menciptakan gerakan sosial atau jika organisasinya berbeda maka mereka akan dengan sabar menunggu


(33)

pergeseran struktur makro yang akan terjadi (misalnya krisis kapitalis) atau pertarungan yang akan terjadi antara yang baik dan yang jahat, atau kedua hal tersebut. Serta menunggu kegagalan fungsi lembaga sentral, kala itulah gerakan itu bisa dikenali sebagai gerakan pinggiran, gerakan awal dan embrio gerakan. (Lofland, 2003 : 50)

Menurut John Lofland, ada 17 variabel yang berpengaruh terhadap gerakan sosial, yaitu :

a. Perubahan dan ketimpangan sosial

b. Kesempatan politik

c. Campur tangan negara terhadap kehidupan warga

d. Kemakmuran (yang menimbulkan deprivasi ekonomi)

e. Konsentrasi geografis

f. Identitas kolektif

g. Solidaritas antar kelompok

h. Krisis kekuasaan

i. Melemahnya kontrol kelompok yang dominan

j. Pemfokusan krisis

k. Sinergi gelombang warga negara (penduduk)


(34)

m. Jaringan komunikasi

n. Integrasi jaringan di antara para pembentuk potensial

o. Adanya situasi yang memudahkan para pembentuk potensial

p. Kemampuan mempersatukan

Perlu diperhatikan juga ada beberapa faktor pengaruh terhadap jalannya gerakan sosial, gagasan ini dapat digambarkan pada tabel dibawah ini.

Aspek mikro

(Internal diri aktor)

Aspek makro

(Eksternal diri aktor)

Ideologi diri Kondusivitas structural

Nilai-nilai diri Ketegangan structural

Perspektif memandang suatu fenomena Penyelenggaraan pemerintah

Sumber daya diri Strategi pembangunan

Komitmen diri Situasi dan kondisi yang sedang berlangsung

Sumber : (Wahyudi,2005 : 198)

Maka dari itu, gerakan sosial dapat dikategorikan sebagai sebuah manifestasi kepentingan orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan dari


(35)

adanya kekuasaan secara struktural negara. Sehingga mengambil jalan untuk mewujudkan tuntutan dengan berbagai macam metode perlawanan yang disajikan, mulai dari yang bersifat taat asas hukum sampai kepada sebuah usaha yang radikal progresif dalm payung hukum yang abnormal dalam implementasinya. Walaupun nantinya konsekuensinya yang terjadi harus melibatkan semua potensi material yang dimiliki oleh para pelaku gerakan sosial itu sendiri. Baik harta, tenaga maupun nyawa sekalipun untuk mewujudkan harapan keadilan bagi semua orang.

2.1.2 Pendekatan melalui teori Marxist

Dalam perspektif Marxisme tradisional perjuangan kelas ditempatkan pada titik sentral dan faktor esensial dalam menentukan suatu perubahan sosial. Masyarakat kapitalis dibagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas proletar (kelas yang dieksploitasi) dan kelas kapitalis/Borjuis (kelas yang mengeksploitasi). Oleh karena itu, dalam perspektif ini, masyarakat terdiri dari dua unsur esensial, yaitu dasar dan superstruktur.

Unsur dasar (base) adalah faktor ekonomi, dianggap sebagai landasan yang secara esensial menentukan dalam perubahan sosial. Sedangkan superstruktur, adalah faktor pendidikan, budaya, dan ideologi yang berada di tempat kedua, karena faktor tersebut ditentukan oleh kondisi perekonomian. Dengan demikian, menurut pendekatan ini, perubahan sosial terkaji dikarenakan adanya perjuangan kelas, yaitu kelas yang dieksploitasi (buruh) berjuang melawan kelas yang mengeksploitasi (kelas kapitalis).


(36)

Pendekatan yang digunakan dalam Marxisme tradisional tersebut di atas mendapatkan kritikan dari beberapa tokoh antiesensialisme dan nonreduksionis, termasuk Antonio Gramsci. Mereka menolak pendekatan bahwa kompleksitas yang terjadi di masyarakat hanya direduksi secara sederhana dengan hubungan sebab dan akibat. Setiap sebab itu sendiri merupakan sebuah akibat dan demikian pula sebaliknya. Inti pemikiran Antonio Gramsci adalah konsep hegemoni, yang kaitan dengan studi tentang gerakan sosial dan perubahan sosial.

Dalam perspektif Gramscian, konsep organisasi gerakan sosial dikategorikan sebagai masyarakat sipil terorganisir. Konsep tersebut didasarkan pada analisis tentang kepentingan konfliktual dan dealektika atau kesatuan dalam keberbedaan antara Negara (State) dengan Masyarakat Sipil (Civil Socoety). Masyarakat sipil terdiri dari berbagai bentuk masyarakat voluntir dan merupakan dunia politik utama, dimana semuanya berada dalam aktivitas ideologi dan intelektual yang dinamis maupun konstruksi hegemoni. Masyarakat sipil merupakan konteks dimana seseorang menjadi sadar dan seseorang pertama kali ikut serta dalam aksi politik. Dengan demikian, masyarakat sipil adalah suatu agregasi atau percampuran kepentingan, dimana kepentingan sempit ditransformasikan menjadi pandangan yang lebih universal sebagai ideologi dan dipakai atau diubah. Dalam konteks ini, bagi Gramsci masyarakat sipil adalah dunia dimana rakyat membuat perubahan dan menciptakan sejarah dengan dahulu menciptakan kesadaran kelas bagi mereka. (Fakih, 2004 : 23).

Menurut pernyataan Gramsci “semua orang adalah intelektual, maka seseorang dapat mengatakannya demikian; tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual dalam masyarakat”. Definisi intelektual tersebut adalah


(37)

orang-1 

orang yang memberikan homogenitas dan kesadaran fungsinya kepada kelompok sosial utama. Intelektual memainkan peran dalam menyebarkan ideologi hegemonik kelas dominan yang dibentuk melalui informasi dan lembaga formal (misalnya sekolah dan perguruan tinggi). Selanjutnya Gramsci berpendapat bahwa perjuangan kelas harus dilakukan dengan dua strategi utama, yaitu pertama, apa yang disebut dengan “perang manuver”, yaitu perjuangan mencapai perubahan jangka pendek dalam mengubah kondisi dalam rangka memenuhi kebutuhan praktis; kedua, “perang posisi” yang ditandai sebagai perjuangan kultural dan ideologis jangka panjang. Bagi Gramsci, tugas utama pendidikan adalah meyakinkan kelas bawah bahwa “yang dalam kepentingannya bukan tunduk kepada disiplin tetap dari kultur, tetapi mengembangkan konsepsi dunia dan sistem hubungan manusia, ekonomi, dan spiritual yang kompleks yang membentuk kehidupan sosial global”. Dengan demikian, peran kependidikan organisasi gerakan sosial, pendidik, dan pemimpin adalah mencakup pencapaian tujuan jangka pendek (bersifat praktis) dan tujuan jangka panjang (bersifat ideologi) untuk menghasilkan transformasi sosial. Upaya untuk memunculkan kesadaran dan pendidikan kritis (termasuk yang dilakukan oleh organisasi gerakan sosial) merupakan bagian terpenting dalam seluruh proses perubahan sosial atau transformasi sosial.

Robert Mirsel menambahkan dari dua pendekatan diatas, bahwa dalam perkembangan teori-teori gerakan sosial selain adanya stimulus sebab-akibat dan organisasi sosial jua perlu adanya mobilisasi sumber daya dan rasionalitas dari setiap tindakan dalam gerakan kemasyarakatan. Serta menekankan perlunya menganalisa struktur-struktur didalam gerakan-gerakan itu berjalan. Lebih jauh


(38)

paradigma ini juga menaruh perhatian terhadap organisasi-organisasi gerakan. Namun paradigma marxis berbeda dari paradigma mobilisasi sumber daya dalam tiga hal. Pertama, paradigma ini lebih menaruh perhatian pada struktur-struktur yang ada, tidak semata-mata sebagai ruang lingkup sebuah gerakan tetapi lebih sebagai penyebab utama lahirnya gerakan kemasyarakatan. Sebuah gerakan tidak semata-mata merupakan cara-cara yang rasional dalam hubunganya dalam ruang lingkup gerakan sebagai sumber dari sumber-sumber daya atau dari perlawanan, tetapi juga merupakan tujuan yang rasional dalam upaya membaharui atau merubah struktur-struktur tersebut. Kedua, teori-teori marxis dalam analissi akhirnya menghubungkan struktur-struktur ini dengan kapitalisme sebagai bentuk sosial. Juga ketika membuat analisis tentang para elite kekuasaan Negara ataupun lokal, para haluan marxis ini mengaitkan struktur dengan sistem kapitalisme sebegitu luas. Ketiga, para penganut teori marxis cenderung menaruh perhatian kepada gerakan-gerakan yang bersifat revolusioner, sementara para penganut teori mobilisasi sumber daya cenderung mempelajari gerakan-gerakan pembaharuan. (Mirsel, 2006 : 74)

Oleh karena itu, kepentingan mendasar dalam sebuah aktivitas gerakan sosial ini diakibatkan oleh segelintiran orang dalam kelas tertindas yang tidak mendapatkan keadilan yang absolut dalam praktek kenegaraan, sehingga muncul suatu kontradiksi sikap untuk melawan semua hal yang diberi label ketidakadilan. Karena konsepsi dasar gerakan sosial ini berorientasi pada perubahan bentuk-bentuk struktural secara radikal. Keadaan ini menjadi opsi dari gerakan sosial yang melihat bahwa terjadi proses eksploitasi dalam struktur yang ada di masyarakat.


(39)

2.1.3 Pendekatan interaksionisme simbolik

Teori interaksionisme simbolik (Simbolyc interactionism) dari mazhab Chicago mengadopsi pendekatan serupa untuk mempelajari perilaku kolektif dan gerakan sosial. Berangkat dari asumsi bahwa individu dan kelompok bertindak berdasarkan eksperimen bersama, mereka berpendapat bahwa gerakan sosial muncul dari sesuatu yang tidak terstruktur. Ini adalah situasi dimana hanya ada sedikit pedoman kultural bersama atau pedoman itu berantakan dan didefenisikan kembali. Gerakan sosial adalah ekspresi kolektif dan rekonstruksi situasi sosial tersebut. Gerakan sosial adalah perilaku kolektif yang bertujuan untuk membangun tatanan kehidupan yang baru. (Outwaite, 2008:784).

Pendekatan ini pada studi gerakan sosial tidak berhasil mengembangkan paradigma teoritis yang memadai. Secara keseluruhan, pendekatan ini masih mendapat perhatian, sebab pendekatan ini di satu sisi menekankan pada aspek sosial-psikologis dari aksi kolektif seperti emosi, perasaan solidaritas, prilaku ekspresif dan komunikasi sedangkan di sisi lain menempatkan pada kemunculan gerakan sosial didalam proses relasi dan interaksi yang terus berjalan.

2.1.4 Pendekatan struktural fungsionalisme

Pendekatan struktural adalah konsep pertama yang relatif sering dipergunakan oleh para akademisi studi gerakan sosial dalam menjelaskan fenomena gerakan sosial. Konsep ini sangat populer diantara akademisi ilmu pengetahuan sosial, bukan karena kata struktural menjadi kata penting dalam pembendaharaan kata dalam ilmu pengetahuan sosial sekarang ini, tetapi karena istilah struktural telah berkembang menjadi eponymous school seperti


(40)

fungsionalisme struktural, strukturalisme dan pasca-strukturalisme. (Situmorang, 2007:17)

Dalam fungsionalisme struktural, istilah struktural dan fungsional tidak selalu perlu dihubungkan, kita dapat mempelajari struktur masyarakat tanpa perlu mengetahui fungsinya begitu juga sebaliknya. Fungsionalisme kemasyarakatan (societal fungsionalism), sebagai salah satu pendekatan fungsionalisme struktural, paling dominan dipakai oleh fungsionalis structural. Perhatian utama dari fungsionalisme struktural ini adalah struktur sosial dan intitusi masyarakat secara luas, hubungannya dan pengaruhnya terhadap anggota masyarakat.

2.2 Kesejahteraan sosial

Istilah kesejahteraan sosial (social welfare) tidak merujuk pada suatu kondisi yang baku dan tetap. Istilah ini dapat berubah-ubah karena ukuran sejahtera atau tidak sejahtera kadang-kadang berbeda antara satu ahli dengan ahli yang lain. Pada umumnya orang kaya dan segala kebutuhannya tercukupi itulah yang disebut orang yang sejahtera. Namun demikian, dilain pihak orang yang miskin dan segala kebutuhannya tidak terpenuhi kadang juga dianggap justru lebih bahagia karena tidak memiliki masalah yang pelik sebagaimana umumnya orang kaya.

Wilensky dan Lebeaux merumuskan kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial, yang dirancang untuk mrmbantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar


(41)

mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan. Maksudnya agar tercipta hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada individu-individu pengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. (Suud, 2006:7).

Pengertian kesejahteraan sosial dapat dikembangkan dari hasil Pre-Conference Working for the 15th International Conference of Social Welfare, yakni Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya. (Huda, 2009:73).

Dalam konteks Indonesia sendiri, kesejahteraan dapat dimaknai terpenuhinya kebutuhan seseorang, kelompok atau masyarakat dalam hal material,spiritual maupun sosial. Ini seperti tertuang dalam Undang-undang tentang Kesejahteraan sosial yang baru disahkan pada 18 desember tahun 2008 yaitu Undang No. 11 than 2009 sebagai pengganti terhadap Undang-undang No. 6 tahun 1974 juga tentang kesejahteraan sosial. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa, “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”.


(42)

Dari sini dapat dipahami bahwa kesejahteraan sosial lebih mudah dipahami sebagai sebuah kondisi. Tetapi kesejahteraan sosial pada dasarnya juga dapat dipahami dalam dua konteks lain, yakni sebuah institusi (institution) dan sebagai sebuah disiplin akademik (academic discipline). Sebagai institusi, kesejahteraan sosial dapat dipahami sebagai sebuah program pelayanan maupun pertolongan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sedangkan sebagai sebuah disiplin ilmu kesejahteraan sosial mengacu kepada suatu studi terhadap lembaga, program maupun kebijakan yang fokus kepada pelayanan pada masyarakat. (Zastrow, 2004:5).

Secara definisi, kesejahteraan sosial banyak diperdebatkan oleh para ahli, karena beda ahli beda pula cara menafsirkan tentang apa itu kesejahteraan sosial. Gambaran besar tentang definisi ini tidak lari dari, bahwa kesejahteraan sosial itu merupakan kondisi, kesejahteraan sosial itu merupakan ilmu dan kesejahteraan sosial itu merupakan upaya untuk merubah fakta sosial.

Kalau dilihat dari gambaran definisi yang dibangun oleh para tokoh atau UU yang dipaparkan diatas, sebenarnya kesejahteraan sosial memiliki tiga orientasi besar, Berikut 3 orientasi ilmu kesejahteraan sosial yaitu :

 Kesejahteraan sosial dari segi akademis

Dari beberapa dispilin ilmu murni yang ada, kesejahteraan sosial ini menjadi ketertarikan sendiri untuk dibahas dari pendekatan teoritis. Karena dengan banyaknya fenomena-fenomena sosial yang ada taraf pemenuhan kebutuhan masyarakat belum sampai pada hal yang membanggakan. Inilah


(43)

mengapa sub kajian ini dapat melahirkan sintesis baru dalam penaggulangan masalah-masalah sosial.

 Kesejahteraan sosial dari segi klinis

Aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang kental dengan pelayanan-pelayanan sosial yang ada menjadi bagian tak terpisahkan dari kesejahteraan sosial. Ini bisa dilihat beberapa metode pekerja sosial yang menjadi enabler, educator, advocate, activist, broker etc. memakai semua ilmu kesejahteraan sosial untuk dapat mengintervensi masalah- masalah klien. Ini juga sebenarnya bagian dari manifestasi seorang pekerja sosial. Selain itu sistem klien dan sistem sumber juga dijadikan alat untuk membangun interaksi dalam peneyelesaian masalah klien.

 Kesejahteraan sosial dari segi strategis

Seorang pekerja sosial juga mengambil peranan penting dalam membuat suatu rumusan pemenuhan kebutuhan yang bersifat publik. Biar bagaimanapun ikut berpartisipasi dalam pembangunan publik juga dapat menjadi konsentrasi sendiri bagi seorang pekerja sosial. Seperti misalnya yang dilakukan oleh seoarang CD Worker, sosial planning maupun lain-lain yang masih berkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.

(Suud, 2006 : 2)

Kegandaan arti, orientasi, dan konteks tersebutberhak mendapat perhatian dari pemangku dan pemerhati kesejahteraan sosial agar memeperoleh pemahaman yang tepat dan bulat.


(44)

2.2.1 Pengembangan masyarakat dalam ilmu kesejahteraan sosial

Dalam disiplin ilmu kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat merupakan dari praktik makro (macro practice) ataupun praktik tidak langsung (indirect practice). Istilah pengembangan masyarakat sering disepadankan dengan Community organization, social administration, community practice ataupun social work with community. (Hardcastle, 2004:3). Namun demikian, istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian dan maksud yang sama, yakni proses pertolongan yang digunakan untuk membantu memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan masyarakat (community).

Pengembangan masyarakat juga dapat dilihat dari beberapa cara pandang :

1. Sebagai sebuah Proses

2. Sebagai sebuah Metode

3. Sebagai sebuah Program

4. Sebagai sebuah Gerakan

Dengan demikian, sejak awal memang pengembangan masyarakat diterapkan sebagai sebuah proses, metode, program dan gerakan untuk membantu masyarakat dalam menigkatkan kesejahteraan sosialnya.

2.3 Kerangka pemikiran

Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara melaksanakan pola pengorganisasian untuk kelompok-kelompok tani yang


(45)

terkena imbas dari ketidakadilan dari sebuah sistem yang ada khususnya di daerah tanggungjawabnya yaitu di provinsi Sumatera Utara. Selain itu mampu memberikan kesadaran petani untuk melakukan perjuangan secara kolektif dan melakukan kaderisasi petani itu sendiri. Sehingga dengan suatu metode organisasi yang dipakai mampu mewujudkan semangat perjuangan tani untuk menuju tatanan sosial petani yang lebih ideal bagi petani dan memberi atmosfir keadilan, semangat perjuangan ini lebih popular dikalangan aktivis petani adalah reforma agraria sejati.

Reforma agraria adalah suatu upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang, yang memungkinkan eksploitasi manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendi kepada keadilan agraria. Keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang. Pelaksanaan pembaruan agraria sendiri harus dapat menciptakan proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. (Ahmad Yakub,2007 : 10). Tetapi secara umum, tujuan yang lebih besar lagi dapat dibagi dalam tiga hal, yaitu tujuan sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial-budaya bagi petani yang ada di SPI

Mencita-citakan suatu perubahan bagi kondisi petani merupakan hal yang wajar karena petani makinterhimpit oleh derasnya arus kapitalisasi di dunia pertanian tersebut. Maka dari itu, selain dari pola pengorganisasian, bentuk-bentuk perjuangan tani sebagai wujud konkrit dari semangat reforma agraria tadi juga menentukan hasil dari orientasi awal petani bergerak. Kesemuanya itulah


(46)

terangkum dalam nafas gerakan sosial yang ada, sehingga keadilan bagi petani dapat terwujud.

Tabel I

Bagan kerangka pemikiran

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

Kelompok

Tani

DPW SERIKAT PETANI INDONESIA

SUMUT

GERAKAN SOSIAL

TUJUAN

SOSIAL-EKONOMI

TUJUAN

SOSIAL-BUDAYA

TUJUAN

SOSIAL-POLITIK


(47)

2.4 Definisi Konsep

Konsep adalah elemen dari proposisi, seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep adalah abstrak di mana dapat menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap extensinya. (Wikipedia.org)

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah :

1. Gerakan secara garis besar adalah suatu tindakan persatuan yang mengarah pada satu kesatuan unit fungsional. Pada dasarnya gerakan itu timbul akibat ada keresahan masyarakat akan kondisi yang ada untuk menuju perubahan yang diinginkan.

2. Organisasi adalah wadah atau tempat berkumpulnya dua orang atau lebih karena memiliki tujuan, kepentingan dan cita-cita bersama untuk menyelesaikan atau mencapai tujuan bersama itu. Sedangkan, Pengorganisasian adalah Serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus menerus bersama masyarakat dengan sistematis dan terencana untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan bersama yakni perubahan kearah yang lebih baik.

3. Petani adalah manusia yang memelihara dan mengembangkan tanaman dan hewan untuk memperoleh produksi yang berguna.. Petani juga identik dengan kemiskinan dan level kaum bawah.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif secara sederhana dapat diartikan sebagai penelitian berdasarkan pada situasi wajar (natural setting) yang meneliti informan sebagai subjek penelitian dalam kehidupannya sehari-hari. Serta dengan pendekatan fenomenologis yang secara induktif dan holistik memahami secara mendalam dan menyeluruh pengalaman manusia pada konteks yang khusus. (Idrus, 2009 : 23)

Penelitian eksploratif atau yang bersifat menjelajah. Artinya adalah penelitian yang dilakukan bila pengetahuan tentang gejala yang diteliti masih sangat kurang atau tidak ada sama sekali. Seringkali penelitian ini dilakukan sebagai suatu feasibility studi, artinya untuk meneliti apakah penelitian itu dapat dilakukan berdasarkan adanya atau dapat diperoleh data yang diperlukan dan sebagainya. Penelitian eksploratif ini berupa studi kasus, yaitu meneliti fenomena sosial dari suatu kelompok atau golongan tertentu, yang masih kurang diketahui orang.

Penelitian jenis ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan mengenai suatu gejala tertentu, atau mendapatkan ide-ide baru mengenai gejala itu dengan maksud untuk merumuskan masalahnya secara lebih terperinci atau untuk


(49)

mengembangkan hipotesa. Dalam hal ini, masalahnya sangat terbuka dan belum ada hipotesa.

Sehingga pada akhirnya penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif ini dapat memahami tentang situasi dan variabel yang terbentuk dari kondisi sosial yang menjadi objek dari penelitian ini. Penelitian ini coba mengambarkan secara jelas bagaimana pola pengorganisasian tani dan wujud implementasi perjuangan tani yang ada di DPW SPI Sumut.

3.2 Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Sumatera Utara, yang beralamat di Jalan Eka rasmi Gg. Eka rasmi III Nomor 8, Kecamatan Medan Johor, kode pos 20144, Medan.

Serta juga dapat dilakukan di beberapa areal yang menjadi tanggung jawab secara struktur dari DPW SPI Sumut tersebut.

3.3 Unit analisis dan Informan

3.3.1 Unit Analisis

Unit analisis merupakan sosok (hal, entitas) amat penting ketika melakukan analisis data penelitian. Penentuan unit analisis menjadi faktor yang utama untuk mendapatkan informasi dan data yang akurat dilapangan. Adapun yang menjadi unit analisis atau subjek kajian dari penelitian ini adalah


(50)

keanggotaan serta struktur kepengurusan yang berada di DPW SPI Sumut, Karena pada penelitian ini yang menjadi objek penelitiannya adalah orang-orang yang secara direct beraktivitas dilingkup organisasi yang nantinya mampu menggambarkan secara jelas tentang ativitas dan model pengorganisasian untuk melihat fenomena gerakan sosial yang ada

3.3.2 Informan

Mengingat jumlah unit analisis cukup banyak maka data diambil beberapa yang disajikan sebagai sumber informan. Subjek yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini menjadi informan yang akan menberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian, dalam penelitian ini informan ada dua jenis yaitu informan utama dan informan tambahan.

a. Informan utama yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pengambilan kebijakan pada aktivitas organisasi yang diteliti. Yang menjadi informan utama dalam penelitian ini adalah: Pimpinan organisasi beserta perangkat kepengurusan yang ada di DPW SPI Sumut.

b. Informan tambahan yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam pengambilan kebijakan, tetapi aktif pada aktivitas organisasi yang diteliti.. Dalam penelitian ini yang menjadi informan tambahan adalah: representatif dari anggota petani SPI yang ada diwilayah DPW SPI Sumut.


(51)

3.4 Teknik pengumpulan data

Data penelitian dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Dimana data tersebut diperoleh dengan menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal. Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak mungkin bias yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data. Triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena yang diteliti maupun konteks di mana fenomena itu muncul. Bagaimana pun, pemahaman yang mendalam (deep understanding) atas fenomena yang diteliti merupakan nilai yang harus diperjuangkan dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut :

1. Data Primer

a. Observasi partisipatif, yaitu peneliti ikut aktif dalam proses pengambilan data, peneliti mengadakan pengamatan secara langsung. Data yang diperoleh melalui observasi langsung terdiri dari rincian tentang kegiatan, perilaku, interaksi interpersonal, dan proses penataan yang merupakan bagian dari pengalaman manusia yang dapat diamati.


(52)

b. Wawancara mendalam, yaitu peneliti mengadakan tanya jawab secara langsung dengan para informan. Dalam penelitian ini digunakan juga instrumen penunjang lainnya dalam wawancara yaitu alat bantu rekam ( tape recorder ) yang akan membantu peneliti dalam menganalisis data dari hasil wawancara.

2. Data Sekunder

Studi kepustakaan (Lybrary research) yaitu dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder dengan mengumpulkan dokumen, baik itu dokumen tertulis, gambar ataupun elektronik yang berkaitan langsung dan dianggap relevan dengan penelitian ini.

3.5 Teknik analisis data

Setelah melakukan penarikan dengan kedua model pendataan diatas barulah dilakukan proses triangulasi dengan cara reduksi data dan analisis. Menganalisis data merupakan sesuatu yang sangat kritis di dalam penelitian. Maka dari itu, penulis akan melakukan proses pengumpulan data secara komperhensif. Setelah data-data terkumpul maka langkah berikutnya adalah menganalisa data secara kualitatif, semua data-data yang terkumpul dari studi lapangan dan studi kepustakaan tersebut disatukan kemudian dianalisis dan dieksplorasi serta tidak lupa untuk proses editing.

Triangulasi juga digunakan sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan


(53)

atau sebagai pembanding terhadap data itu. Peneliti akan melakukan triangulasi dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Pada metode triangulasi dapat diperoleh dengan berbagai cara :

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi terbuka dan tertutup.

c. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang.

d. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Tahap akhir dari analisis data ini adalah mengadakan pemeriksaan keabsahan data, kemudian data diuraikan dan disajikan secara eksploratif.


(54)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Organisasi

Secara historis, SPI (atau sebelumnya SPSU) dibentuk oleh Lembaga Swadaya Masyarakat yang bernama Sintesa. Siintesa merupakan kelompok diskusi yang di bentuk oleh beberapa orang mahasiswa. Kata sintesa sendiri awalnya berasal dari 3 (tiga) kata, yaitu: tesis, anti tesi dan sintesis. Kelompok ini tidak secara khusus membatasi kajian-kajian di bidang pertanian saja, melainkan di bidang lainnya, seperti kebijakan-kebijakan pemerintah dan lain-lain.

SPI adalah singkatan dari Serikat Petani Indonesia. SPI merupakan organisasi gerakan petani kecil, buruh tani, masyarakat adat petani dan muda-mudi yang berkeinginan kuat menjadi petani. Sebagai organisasi gerakan petani, SPI aktif memperjuangkan isu-isu yang dianggap representative oleh para petani yaitu seperti pembaharuan agraria, Hak asasi petani, kedaulatan petani, keanekaragaman hayati, pertanian berkelanjutan serta perlawanan terhadap neoliberalisme.

SPSU dideklarasikan pada 3 Juni 1994 di Pesantren KH Ahmad Basyir, Desa Parsariran, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pertemuan deklarasi tersebut diikuti oleh 53 peserta yakni, 30 petani dari 6 Kabupaten (Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapaanuli Utara, Asahan, Labuhan Batu dan Deli Serdang), 5 orang mahasiswa, dan aktifis LSM sekaligus fasilitator dan moderator sebanyak 15 orang.


(55)

Kongres pertama dilaksanakan pada September 1997, di Desa Lobu Rappa, Kecamatan Bandar Pulo, Kabupaten Asahan. Kongres kedua dilaksanakan pada tahun 2000, Kongres ketiga pada Maret 2004, di Lobu Rappa, Bandar Pulo, Asahan, Dan pada akhir November 2007 yang lalu telah dilaksanakan Kongres ke-IV SPSU.

SPSU merupakan pendiri dan anggota Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). FSPI dideklarasikan pada tanggal 8 Juli 1998 di Dolok Maraja, Desa Lobu Ropa, Kecamatan Bandar pulo, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara oleh beberapa organisasi petani di Indonesia. Saat deklarasi diadakan, dibentuklah badan pelaksana sementara yang bertugas mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan perjuangan petani Indonesia untuk menjadi anggota FSPI. Badan ini juga bertanggungjawab dalam hal untuk melaksanakan kongres pertama.

Pada Tanggal 22-25 Februari 1999 kongres pertama FSPI diselenggarakan di Medan, Sumatera Utara. Kongres pertama ini juga menetapkan kepengurusan FSPI yang berkantor pusat di Medan dan juga membuka kantor perwakilan di Jakarta, akan tetapi pada kongres kedua yang dilakukan di Malang, Jawa timur kedudukan kantor pusat FSPI dipindahkan ke Ibu kota Jakarta.

Pada Kongres ke-III FSPI, di Wonosobo Desember 2007 yang lalu, Bentuk organisasi berubah format dari federatif menjadi unitaris. Perubahan format organisasi tersebut di sepakati dan diterima oleh 10 Serikat Anggotanya, Salah satunya adalah SPSU sendiri. Kesepuluh serikat tersebut yakni ; SPSU, SPSB, PERTAJAM, SPSS, SPL, SPB, SPJT, SP-Jatim, Serta NTB dan Serikat Petani Kabupaten Sikka (SPKS).


(56)

Ada beberapa perubahan dalam tubuh organisasi setelah berubahnya format organisasi dari federatsi menjadi unitaris. Adapun perubahan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Organisasi dari nasional (DPP) hingga ketingkat Desa/dusun (Basis) memiliki satu Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), sehingga memiliki nama, simbol, dan perangkat organisasi yang seragam dan sama.

b. Hubungan antar tingkat organisasi dari tingkat nasional hingga tingkat basis bersifat garis komando yang berarti kebijakan dan kontrol organisasi mengikat kuat terhadap pengurus dibawahnya dan seluruh anggotanya.

c. Keanggotan Serikat Petani Indonesia bukanlah organisasi-organisasi tani melainkan adalah orang per orang.

d. Program dan kegiatan dari tingkatan nasional hingga basis saling terkait dan memiliki arah yang sama dalam memperbesar gerak dalam mencapai tujun organisasi.

e. Memiliki sistem dan jenjang perkaderan/pendidikan yang seragam secara nasional dan tercakup dalam satu kesatuan.

Sementara itu, Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara merupakan salah satu dari beberapa Dewan Perwakilan Wilayah Serikat Petani Indonesia yang berkedudukan di Provinsi Sumatera Utara dan bertempat di Kota Medan sebagai pusat koordinasi untuk segala aktivitas organisasi. Perlu diketahui, sebelum melebur kedalam Serikat Petani Indonesia,


(1)

dimaksimalkan semua potensi organisasi, karena jika satu komponen saja tidak berfungsi akan menjadi penghambat laju gerak organisasi. Maka dari itu diperlukan sebuah tekanan politik agar massa SPI ini diperhitungkan dan dapat menjadi bagian dari pengambilan kebijakan khususnya terkait tentang kebijakan-kebijakan tentang kemaslahatan petani..


(2)

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

1. Gerakan yang dibangun DPW Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara, merupakan gerakan organik, bukan gerakan mekanik. Artinya, gerakan yang dibangun atas kesadaran kolektif untuk berjuang. Perjuangan organisasi yang ditimbulkan dipandang untuk membangkitkan semangat juang petani atas kondisi yang dihadapi dengan cara memberi suatu proses kaderisasi bagi petani itu sendiri.

2. Semangat perjuangan DPW Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara ini didasari atas situasi agraria yang tidak berkeadilan. Dimana perlawanan gerakan petani ini berorientasi untuk menyingkirkan kekuatan neoliberalisme dan kapitalisasi dalam setiap aspek kehidupan, khususnya pertanian.

3. Pengembangan masyarakat dengan konsep Communitty Organizing menjadi satu hal yang fundamen dalam pembangunan gerakan di SPI. Dimana, penguatan sumber daya manusia adalah hal pokok yang dilakukan organisasi. Pendidikan dan pelatihan kader menjadi aktivitas rutin yang dilakukan untuk menambah grade pemahaman dan skill petani untuk menghadapi zaman, sehingga petani itu kritis atas kondisi yang mereka hadapi.

4. Perjuangan yang dilakukan DPW Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara memiliki banyak model yang sistematis. Model yang paling pokok adalah bagaimana aktivitas pertanian yang dilakukan kebanyakan gerakan pertanian alternatif untuk menghadapi liberalisasi dan kapitalisasi dalam dunia pertanian. Karena bentuk pertanian konvensional yang ada merupakan bentuk pemiskinan


(3)

untuk petani karena menggunakan semua produk pertanian yang bertujuan menciptakan ketergantungan bagi petani itu sendiri. Selain itu, penyelesaian kasus-kasus tanah yang secara langsung berhadapan dengan korporasi dalam pertanian dan perkebunan dengan cara raklaming (pendudukan lahan) sampai kepada gerakan hukum untuk pemenangan kasus. Model yang rutin dilakukan adalah dengan melakukan aksi massa, hal ini terkait dengan penuntutan hak petani dan untuk melakukan sebuah tekanan politik.

5. DPW Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara menyandarkan kekuatan gerakannya pada petani-petani yang telah menjadi anggotanya di organisasi. Sehingga, massa petani yang terlibat dalam organisasi menjadi kekuatan yang real untuk menuju cita-cita organisasi. Pada akhirnya, dengan memiliki anggota yang kuat dan struktur organisasi yang rapi, maka perjuangan yang dilakukan pun dilakukan secara terorganisir dan terpimpin.

6.2 Saran

1. DPW SPI Sumatera Utara sebagai induk organisasi ditingkat wilayah haruslah Banyak mendengar aspirasi dari para anggota di cabang, ranting dan basis agar kebijakan yang ada serta isu perjuangan yang dilakukan bersifat bottom up dan lebih aspiratif.

2. Perlu diintesifkan berbagai macam pola dan model konsolidasi di seluruh tingkat basis untuk menguatkan wacana perjuangan organisasi serta menumbuhkan rasa memiliki dan tanggungjawab untuk organisasi.

3. Menghadapi sistem kapitalisme dan Liberalisme yang semakin menunjukan tajinya perlu ada peningkatan usaha-usaha yang dilakukan oleh seluruh


(4)

keluarga besar organisasi dalam proses pembaharuan agraria dan kedalautan pangan, serta SPI harus menunjukan eksistensinya di tengah sistem pemerintahan sebagai lembaga eksekutif, karena perjuangan petani tidak jarang langsung bersinggungan dengan pihak pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

4. DPW SPI Sumut agar lebih banyak merekrut pemuda-pemuda tani yang nantinya dapat menjadi regenerasi ditubuh organisasi, karena tanpa suatu proses kaderisasi dan militansi yang ada organisasi ini akan bergerak stagnan. 5. Lebih banyak bekerjasama dengan kampus agar mengisi khasanah keilmuan

bagi organisasi, jadi jarak antara SPI dan kampus tidak terlalu lebar serta nantinya bisa saling bersimbiosis.

6. Naskah-naskah akademik baik itu skripsi, artikel atau tulisan tentang SPI agar bisa dijadikan alat untuk penambah input dalam pergerakan di SPI. Jadi semua penelitian yang bertemakan petani dan SPI bisa menjadi amunisi sendiri bagi organisasi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Willey. 2009. The Social Movement Reader (Cases And Concepts). A John Willey & Sons Ltd Publication. West Sussex, UK

FSPI. 2005. Perjuangan Mewujudkan Pembaruan Agraria Sejati. FSPI. Jakarta Huda, Miftachul. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Idrus, Muhammad.. 2009. Metode Penelitian Ilmu sosial. Erlangga, Jakarta. Lebowitz, Michael. 2009. Sosialisme Sekarang Juga. Resist Book. Yogyakarta Mirsel, Robert. 2006. Teori pergerakan sosial. Resist Book, Yogyakarta.

Mustain. 2007. Petani Vs Negara (Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara). Ar-Ruzz Media Group. Yogyakarta

Situmorang, Abdul Wahib. 2007. Gerakan Sosial (Studi Kasus Beberapa Perlawanan). Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Susilo, Dwi, Rachmad. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Ar-Ruzz Media Group. Yogyakarta

Suud, Mohammad. 2006. Tiga Orientasi Keejhteraan Sosial. Prestasi Pustaka, Jakarta

Wahyudi. 2005. Formasi Dan Struktur Gerakan Sosial Petani. UMM Press. Malang

Ya’kub, Achmad. 2007. Konflik Agraria (Tinjauan Umum Kasus Agraria Di Indonesia). FSPI. Jakarta

Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Huberman, Michael. 1992. Qualitative Data Analysis (Analisis Data Kualitatif). UI Press, Jakarta


(6)

SUMBER-SUMBER LAIN :

Walhi. 2007. Asian Destructive Bank (ADB) And Asian Development Bank Is The Crisis

Yayasan Sintesa dan SPSU. Modul Lembaga Keuangan Petani.

Seriakat Petani Indonesia, Dokumen Kongres III SPI (AD/ART,GBHO dan Pandangan Sikap)

Santoso. Ahmad. http://ssantoso.blogspot.com/2007/07/gerakan-sosial-dan-perubahan-sosial.html

Aby. Muhammad. http:// « Abiechuenk's Blog.htm/2009/09(PENGERTIAN DAN KONSEP GERAKAN SOSIAL)

Loflan. John, studi tentang gerakan sosial, Yogyakarta, insist press 2003

KARYA ILMIAH

Andrianthy, Novi. 2009. Gerakan Sosial (Aktivisme Gemkara-BP3KB Dan Pengaruhnya Dalam Pembentukan Kabupaten Batu Bara).

Ari, Jean. 2010. Gerakan Tani Sumatera Utara (Studi Kasus DPW SPI Sumut)

LEMBARAN NEGARA

Undang-Undang Republik Indonesia No. 11/2009, tentang Kesejahteraan Sosial Undang-Undang Republik Indonesia No.5/1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang No.25 tahun 2007 tentang penanaman modal.